Institut Manggarai - Ensiklopedia Manggarai
Sumber: WAG _ Wela Jakarta, Diposting Sixtus Harison, pada Minggu, 12 Maret 2023.
"Etnis Manggarai adalah Etnis Tua"
Setelah penemuan yang mengguncangkan dunia "hobit Flores" di Liang Bua, Manggarai, masih adakah spekulasi bahwa etnis Manggarai adalah pendatang?
Dalam beberapa kajian para ilmuwan Manggarai dan beberapa orang Manggarai mengatakan bahwa orang Manggarai pendatang.
Ada yang mengatakan dari Goa, Makasar dan dari Minangkabau.
Bahkan, ini benar atau tidak, warga di Wae Rebo menarasi ke pada Turis bahwa kami dari turunanan Minangkabau!
Celaka ini. Ini memperlihatkan "rasa rendah diri" orang Manggarai.
Demikian dalam diskusi terbatas dengan Pak Dubes Berty Fernandez!
Tidak, tidak! Etnis Manggarai adalah etnis tua. Demikian kata Gusty Dawarja, pengacara kondang Manggarai!
Terlepas pro dan kontra soal ini, coba kita lacak ritus-ritus asli Manggarai sebelum gereja dan agama lain masuk ke Manggarai.
Dari kumpulan riset para sarjana Manggarai, yang sedang dikerjakan tim ensiklopedia, untuk sementara, memperlihatkan bahwa etnis ini sudah tua.
Coba cari di seluruh etnis di Indonesia dan dunia pola "jaring laba2 di rumah gendang dan ladang?
Jadi, masih berani kita disebut etnis Pendatang?
Jika tidak, mohon maaf, hentikan narasi2 yang tidak berdasar itu. (save dagun)
**
Tanggapan saya:
[10.04, 12/3/2023] Frans:
Terima kasih Bp Liezel utk postingan yang bagus ini. Kita butuh penelitian dan publikasi tentang Manggarai dan sejarahnya. Manggarai yang sekarang mrpkn hasil akulturasi manusia antara orang asli (homo fobit) yang mengusung budaya gendang one lingko peang dan pendatang dari luar Manggarai. Akulturasi ini kita bisa simak dalam salah satu artefak budaya, Manggarai, yakni Lagu, misalnya O ndaeng, ndaengo eko Joe moleg ko o ndaeng e. . Kunem hi Rueng molas Kuleng toe ngoeng eko mole, impi ampam hau nana berat bara, som mata nitu wah, som bambo nitu awoh. Lagu ini mengungkapkan daya tawar orang Manggarai, termasuk perempuan dalam proses pertukaran budaya itu. Lagu ini mengisyaratkan bahwa orang Manggarai punya harga diri yang tinggi dalam proses pembauran budaya. Lagu kedua yang mengungkapkan kedatangan orang luar ke Manggarai adalah Kakor Sale Lale Lombong. E.. a e kakor e, e... I.. e ei e kakor sale e lale a. Kakor sale Lale Lombong hia... empo peang mai (Ayam berkokok di Lale Lombong, mengisahkan leluhur yang datang dari luar (Manggarai).
[10.16, 12/3/2023] Frans:
Selain itu dari Segi bahasa, Manggarai juga tdk lepas dari proses saling mempengaruhi dengan budaya luar (Sulawesi, Jawa, Timor, Sumba, Sumbawa, dll). Dalam budaya Bugis, ada lipa Sabe,Palu mara, Dalam budaya Manggarai ,ada kata lipa (towe), pelmara (dojang). Dengan budaya Jawa, ada persamaan dgn bbrp kata yang mirip /sama , misalnya, telu, limo , watu.
Mengupas Makna “Nèka Teing Tangè Bèrit Jaga Jaja Lata Tana Manggarai”
http://voxntt.com/2018/02/11/mengupas-makna-neka-teing-tange-berit-jaga-jaja-lata-tana-manggarai/
Oleh : Cyprian Guntur*
Beberapa hari terakhir media sosial lokal di NTT khususnya di kabupaten Manggarai sedang ramai meributkan kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”. Kalimat ini menjadi trending topic dalam berbagai level diskusi. Pro-kontra dan silang pendapat pun tak terhindarkan, bahkan di kalangan orang Manggarai sendiri.
Dalam berbagai diskusi pun baik para netizens dan warga net seperti facebook dan group-group WhatsApps maupun dalam pertemuan-pertemuan kelompok di dunia nyata perang argumentasi pun digelar. Masing-masing pihak teguh berpegang pada kebenaran argumentatif menurut versinya.
Bagi kelompok kontra, kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” merupakan bentuk kampanye rasis (baca primordialisme) dari pasangan calon Gubernur/wakil gubernur tententu yang berasal dari Manggarai (kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur yang kerapkali disebut sebagai Manggarai Raya).
Bagi kelompok kontra, dengan mengungkapkan kalimat ini, orang-orang yang berasal dari Manggarai menutup diri terhadap kehadiran suku-suku lain dari luar mereka.
Jadi, dengan mengungkapkan kalimat ini, orang-orang Manggarai sedang menggaung-gemakan kesukuan dan ketertutupannya, extra Manggarai nulla benne – bahwa di luar Manggarai tidak ada kebaikan atau hal yang baik.
Sedangkan kelompok pro melihat kalimat ini bebas dari politic interest (kepentingan politik) dengan melihatnya secara obyektif dari sudut pandang budaya Manggarai in sic.
Menurut kelompok pro, generasi zaman now Manggarai berkewajiban untuk melestarikan nilai-nilai kultural, sosial dan moral yang telah dipatrikan para leluhur secara turun-temurun kepada generasi Manggarai.
Generasi zaman now Manggarai telah dan secara pelan-pelan meninggalkan frase Tinu sangge’d papi agu toing data tu’a (melestarikan kiat-kiat dan wejangan-wejangan para leluhur).
Dari konteks ini jelas bahwa kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rasisme, primordialisme atau arogansi kultural kemanggaraian. Justru sebaliknya dengan kalimat ini orang Manggarai mengenal jati dirinya, mengetahui identitasnya, siapa mereka dan darimana arkhe-nya (Yunani : asal-muasal).Terinspirasi oleh polemik tak bertepi ini, yang cenderung mengarah ke debat kusir, maka penulis merasa terpanggil untuk mencoba menarasikannya.
Pertama-tama penulis mencoba ber-googling untuk mendapatkan inspirasi guna memahami makna kalimat di atas. Harapnnya akan mendapatkan inormasi dari tulisan-tulisan terkait budaya Manggarai yang pernah ditulis para pendahulu.
Tujuannya untuk sekedar mendapatkan referensi dan menguatkan argumentasi penulis terhadap makna kalimat ini. Namun upaya itu nihil.
Karena kurangnya referensi tentang makna kalimat ini, maka penulis mencoba mengupasnya dari sudut pandang penulis sendiri (personal opinion) yang bisa saja subyektif dan mempribadi sifatnya.
Oleh karena itu, analisis lain dari para sahabat untuk saling memperkaya sangat dibutuhkan. Sebabnya? Karena walaupun variation est delectat (kepelbagaian itu menyenangkan), tetapi sangat menyenangkan jika kesepakatan itu menemukan titik jumpa (concensus est delectat).
Maka agar mendekati dapat menemu-kenali konsensus bersama (walaupun itu cukup sulit hemat penulis), penulis mencoba persuasive dengan nalar sendiri. Dan untuk meredam makna bersayap yang kerapkali disangkut-pautkan dengan Pilgub NTT penulis mencoba netral.
Jadi, nukilan berikut tak ada sangkut pautnya dengan pesta demokrasi di NTT. Apalagi mengaitkannya dengan pasangan calon (paslon) tertentu dari 4 Paslon yang akan berjibaku pada Pilgub NTT 27 Juni 2018.
Penulis hanya mencoba mengupas makna quotation itu dari sudut pandang budaya Manggarai. Penulis akan mencoba menarasikannya dari beberapa sudut pandang antara lain : makna linguistik, makna historis, makna cultural dan makna ekonimo-sosialnya.Sudut pandang linguistik (gramatikal-leksikal-sintaksis dan morfologis)
Secara leksikal dan gramatikal Kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”, dapat dijelaskan sebagai berikut. Sekarang kita mengacu pada kalimat di atas. Jelaslah bahwa kalimat ini terdiri dari 9 kata.
Kata-kata ini tetap memiliki makna jika berdiri secara sendiri-sendiri. Kata Nèka diterjemahkan sebagai kata larangan ‘jangan’, tèing adalah memberi/membiarkan, tangè (bantal), bèrit (menyadar/ sandaran), ‘jaga’ (supaya / agar), jaja (menjajah/ menguasai), lata (merupakan kata jadian dari sub kata le dan ata. le artinya oleh dan ata artinya orang), tana (tanah/bumi), Manggarai (sebutan untuk 3 kabupaten di Provinsi NTT yaitu Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur).
Maka secara hurufiah atau literasi kalimat “nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” diterjemahkan sebagai “Jangan memberikan atau membiarkan orang lain menempati bantal sandaranmu, supaya mereka tidak menjajah Tanah/bumi Manggarai”.
Sedikit tentang frase tangè bèrit ini. Secara literasi arti dari frase tangè bèrit adalah bantal sandaran yang ditempatkan dan merapat pada suatu obyek entah dinding rumah, pohon atau kayu penopang/ tiang, semacam sandaran di kursi.
Apa maknanya? Agar kita tetap aman dan nyaman saat bèrit (menyandarkan) punggung di bantal sandar itu tatkala kita duduk dalam durasi yang cukup lama ketika ada sèkèk (ritual adat atau semacamnya).
Tangè bèrit ini juga memberikan kita kesempatan, agar mengikuti acara yang tengah berlangsung dengan seksama. Karena jika kita duduk tanpa tangè bèrit besar kemungkinan kita mudah lelah atau capeh. Kita juga gampang gagal fokus karena bagian pantat dan belakang terasa sakit.
Hal itu yang menyebabkan kita tidak nyaman untuk duduk dalam durasi waktu yang lama dan menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkan tempat duduk.
Landasan Historis (aspek Sejarah)
Bagi orang Manggarai yang pernah mendengarkan atau bahkan pernah mendendangkan lagu “Guru Ame Numpung” frase “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” merupakan penjabaran paci tuan Petrus yang terkenal dengan nama pahlawan “Motang Rua” dengan nama lain Guru Ame Numpung (sebagai salah satu pahlawan dari Manggarai).
Saat itu makna kalimat di atas adalah keteguhan, ketangguhan dan keberanian Motang Rua dan kawan-kawannya untuk tidak membiarkan “tana kuni agu kalo” atau “Osang momang Congka Saè” (sebutan lain untuk tanah Manggarai) kepada orang lain.
Konon, untuk mengusir musuh yaitu Belanda dan Jepang, Motang Rua dan pasukannya menggunakan pering lolo-harat (bambu runcing-tajam), korung/wokat (lembing) dan kopè lewè/banjar (parang panjang), juga cola (kampak).
Secara bergerilya entah dengan mbeko pèpot (pakai dukun untuk menghilang) atau dengan bersembunyi di gua-gua dan hutan-hutan. Dengan dukun dan benda-benda tajam itulah Motang Rua dan pasukannya melibas siapapun musuh yang dijumpainya.
Dengan demikian Motang Rua, menantang orang Manggarai dengan kata “Eme ranim hau nana” (Kalau Anda berani atau tangguh/jago maka janganlah Anda membiarkan Tana Manggarai untuk dijajah orang lain). Atau dengan kata lain, jangan sampai orang lain menguasai Tana Manggarai.
Konteks sejarahnya adalah pengusiran para penjajah baik itu dari dalam negeri seperti Bima, Goa, Makasar maupun dari musuh manca-negara seperti Holandia (Belanda) dan Nippon (sebutan kala itu untuk Negara Jepang sekarang).
Tak selangkah pun Motang Rua mundur karena menyadar pada tangè bèrit (sandaran) yaitu nilai-nilai budaya yang sangat kuat. Jadi, makna frase tangè bèrit kala itu lebih bermakna sebagai benteng pertahanan untuk melawan musuh. Juga sebagai lambang ‘lalong tana” (jantanya orang Manggarai).
Dengan bersandarkan pada kepemilikan itu Morang Rua tidak mudah dipukul mundur oleh pasukkan musuh. Motang Rua deri wa’i agu menggi lime (tanam badan) pada tangè bèrit-nya untuk mengusir para pencuri tana Manggarai. Itu sedikit makna kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” dari konteks sejarah.
Landasan Kultural (dari perspektif budaya Manggarai)
Pada zaman dahulu, tangè bèrit ini hanya boleh digunakan oleh tu’a golo atau tu’a adat (Kepala Kampung dan Kepala Kebun). Juga untuk orang terhormat atau senior-senior di suatu kampung.
Tidak etis dan tidak dibenarkan tangè bèrit ini digunakan oleh ata taki mendi (budak/jongos/opas atau pesuruh). Mengapa? Sebab tangè bèrit ini hanya boleh digunakan oleh seorang pemimpin kampung atau sesepuh yang dituakan di kampung.
Selain karena senioritas, yang menggunakan tangè bèrit ini juga merupakan lambang kebesaran seorang pemimpin kampung, kepala suku dan orang-orang yang dituakan di sebuah kampung.
Tangè bèrit ini adalah lambang kebesaran, power atau kewibawaan kepala kampung atau ketua suku. Itulah sebabnya tidak sembarang orang yang menyandarkan dirinya pada tangè bèrit itu.
Konon, bagi orang-orang berpengaruh sebagaimana disebut di atas biasanya memiliki tiga buah bantal yaitu tangè lonto (bantal utuk duduk), tangè hang (bantal untuk makanan yang ditempatkan di depan), dan tangè bèrit (bantal untuk menyandar).
Landasan Sosial-Ekonomi
Lalu bagaimana kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”, dilihat dari kehidupan sosial dan ekonominya? Kita semua tahu bahwa tanah Manggarai itu adalah tanah subur.
Apa saja yang ditanam bisa bertumbuh dengan suburnya. Ada begitu banyak tanaman perdagangan dan perkebunan serta holtikultura yang bertumbuh subur. Bahkan tanpa dirawat secara intensif pun.
Itulah sebabnya, zaman dahulu hasil sawah dan perkebunan orang Manggarai selalu berlimpah. Demikian juga manusianya. Selain tanah yang subur, para leluhur Manggarai juga terkenal sebagai petani yang rajin dan pekerja keras.
Tidak ada yang mental instan. Mereka bukan pemalas. Mereka bukan hanya sebagai pengagum (sobit) hasil karya atau kekayaan orang lain. Tidak ada yang mencuri dan merampas.
Nilai kejujuran ini dinarasikan dalam sebuah kalimat : èmè data, de ata kèta, nèka data ngong data (Jangan menjadikan milik orang lain sebagai milik pribadi). Mereka juga gemar bergotong royong, bekerjasama dan membantu sesamanya.
Hal ini dikenal dengan istilah Manggarai dodo atau lèlès, bahkan masih berjalan sampai sekarang untuk beberapa kampung di Manggarai. Saat ini banyak generasi muda yang money oriented (uang dulu baru kerja)
Nah, bagaimana konteks kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” dalam perspektif sosial ekonomi? Secara kasat mata, saat ini kebanyakkan generasi Manggarai menjadi bermental instan.
Banyak yang bermental konsumtif daripada menjadi manusia produktif. Mengharapkan bantuan pemerintah daripada sendiri berusaha (high dependence). Belum lagi dengan banyak dan beragamnya budaya pesta. Ditambah lagi dengan adanya kupon putih, lonto lèok (berjudi), miras, dll.
Tambah lagi begitu banyak melego-kan tanahnya kepada orang lain untuk mempertahankan dirinya. Ah tambah malas untuk bekerja. Sebagai contoh, banyak orang muda tidak lagi bekerja di sawah atau kebun, apalagi menanam tanaman perdagangan. Lebih banyak bermental proyek (project oriented) daripada bersandar pada tangè bèrit-nya untuk bisa survive.
Selain menunggu bantuan pemerintah, kalau kita jalan-jalan ke pasar, kebanyakkan bahan sayur-sayuran serta buah-buahan diimport dari tempat lain. Walaupun ada hasil dari tanah Manggarai, jumlahnya sangat sedikit.
Dalam konteks inilah, kita generasi penerus Manggarai sedang meninggalkan tangè bèrit dan memberikannya kepada orang lain untuk ditempati.
Bersamaan dengan itu, kita sedang membiarkan orang lain untuk menjajah tanah kita. Menjajah di sini bukan lagi dalam arti fisis tetapi penguasaan orang lain terhadap harta kekayaan kita dengan membeli tanah yang kita jual kepada mereka. Jadi akhirnya, “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”. ***
*Penulis berminat pada ekososbud dan politik, tinggal di Leda Ruteng-Kabupaten Manggarai, email : sipriguntur@gmail
298 views
Apa Makna “Tinu-Toing-Titong-Teing” Bagi Orang Manggarai?
http://www.floresa.co/wp-content/uploads/2015/01/Manggarai.jpg, diakses 9 Januari 2015, pkl 20:20
Oleh: RIKARDUS KERAF BASUKUR SMM
Kearifan Lokal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)
menyemburkan makna yang berlimpah-limpah. Makna itu jelas lahir dari
refleksi manusia Manggarai akan keberadaan mereka sebagai diri dan dalam
kaitan dengan berada bersama dengan yang lain. Artinya, refleksi
manusia Manggarai tentang kehidupan ini, dengan segala dinamika di
dalamnya membuahkan hasil berupa pemahaman yang benar akan diri sendiri
dan akan kehadirannya dalam kebersamaan dengan yang lain.Kebersamaan yang humanis dalam refleksi filosofis orang Manggarai, tidak hanya soal menghargai kemanusiaan manusia, yang memang niscaya, tapi lebih kepada menelisik kebersamaan itu sebagai sesuatu yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Manusia tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan yang lain, ia selalu ditemukan berada bersama yang lain.
Di sini, manusia lain menjadi dasar untuk menemukan diri. Artinya, selain dipahami bahwa “aku” membutuhkan “yang lain”, tapi juga, dengan ada “yang lain”, “aku” dapat menyebut diriku “aku”. Tapi, menurut orang Manggarai, semuanya tidak hanya berhenti pada hal ini. Ketika “aku” dan “engkau” hadir dalam kebersamaan dan membentuk “kita”, di situlah “aku” adalah manusia yang sesungguhnya. Kebersamaan jelas tidak hanya memaksudkan ada bersama, atau kebetulan berdiri bersama di sebuah halte bis, di kelas filsafat dan di tempat lainny. Tapi, kebersamaan yang dimaksud dalam refleksi filosofis orang Manggarai adalah padir wa’i rentu sa’i.
Ada ungkapan kearifan Lokal Manggarai yang mengemukakan soal kebersamaan yang humanis yaitu: tinu, toing, titong, dan teing (disingkat 4T). Apa yang termaktub dalam 4T ini bagi saya menggambarkan pertama keindahan bunyi dan seni berbicara; kedua menggambarkan kejelasan dan kejernihan refleksi; ketiga menggambarkan keluasan makna refleksi itu sendiri. Kalau sungguh-sungguh dipahami, 4T ini selalu “berdiri” berdampingan. Refleksi tentang salah satu T tidak pernah terlepas dari refleksi tentang T yang lain.
Tinu, secara singkat ini berarti memelihara. Namun, sesungguhnya, maknanya lebih dari sekadar memelihara. Kata ini biasa dipahami dalam konteks orang tua memelihara anaknya. Orang yang dewasa memelihara anak-anak muda generasi penerus. Tinu dengan demikian dekat dengan pemaknaan jasmaniah. Misalnya orang tua memberikan pemeliharaan kepada anaknya dengan menyediakan kebutuhan hidupnya.
Jika kita menelisik lebih jauh, ternyata pemeliharaan jasmaniah, yang tersembul dari kata tinu tidak hanya berhenti di situ. Artinya, makna pemeliharaan itu sungguh-sungguh mencuatkan nilai humanitas yang tinggi. Tindakan memelihara dalam refleksi filosofis orang Manggarai lahir sungguh-sungguh dari penghargaan akan kodrat kemanusiaan. Manusia lain bagiku, dengan demikian, adalah dia yang perlu kupelihara. Bahkan niscaya kupelihara. Itu adalah tugas kemanusiaan atau panggilan kemanusiaan yang diemban oleh para orang tua, maupun juga para tua-tua adat.
Hal ini terbukti dari usaha yang keras dari setiap orang tua untuk bekerja keras agar dapat memberi pemeliharaan terhadap anak mereka. Bukan hanya itu, bila sebuah keluarga dari sebuah kampung sedang kehabisan beras atau sedang membutuhkan pinjaman, hal tersebut dengan sendirinya menggerakkan orang-orang untuk bergerak, dan memberi, meski sedikit. Di sini jugalah sebenarnya arti tinu itu berada. Semiskin-miskinnya orang Manggarai, mereka tidak pernah menelantarkan anaknya atau tetangganya tanpa diberi (bantuan) makanan dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Di sinilah nilai penghargaan akan kemanusiaan itu mendapat maknanya yang luar biasa tinggi. Bandingkan saja dengan realitas zaman ini, terutama di kota besar. Rasa kepedulian dan tanggungjawab pemeliharaan seperti ini amat kurang. Orang menjadi sedemikian individual, dan berpikir bahwa, segalanya adalah untuk aku, dan aku adalah aku, kamu adalah kamu; kita berbeda.
Kedua, toing. Secara singkat, toing bermaksud menasihati, memberitahu. Toing jelas merupakan tindakan kepedulian. Artinya dengan menasihati orang lain, aku peduli dengan keadaannya dan aku ingin dia menjadi lebih baik dan memiliki kebaikan itu dalam dirinya.
Dalam kearifan lokal Manggarai, jelas orang tua yang biasa melakukan ini; juga seorang kakak kepada seorang adik. Tindakan memberi nasihat, memberitahu sesuatu tentang kehidupan seseorang agar dia menjadi lebih baik, jelas menampakkan wajah manusia-manusia yang punya hati untuk orang lain. Artinya bahwa dalam kebersamaan itu, “aku” tidak hanya hadir sebagai diriku yang berbeda dengan dirimu tetapi “aku” hadir sebagai bagian dari dirimu dan dirimu sebagai bagian dari diriku. Sehingga hal yang tidak patut bagiku perlu kau nasihati, sebaliknya apa yang tidak patut bagimu perlu kunasihati.
Di sini tindakan nasehat tidak hanya berhenti pada mengingatkan dan mewariskan nilai moral tetapi juga menampakkan bahwa “aku” dan “dia” ada. Ketika dalam kebersamaan itu ada relasi saling menasihati dengan tujuan kebaikan, di situlah makna kehadiran dan ke-ada-an itu mendapat maknanya yang luar biasa. Seorang yang angkuh-sombong misalnya jatuh miskin. Dan banyak orang yang mengumpat dan mengutuknya. Yang perlu disesalkan di sini adalah bukan karena kutukan dan umpatan itu, tetapi pertanyaan retoris, di manakah kalian saat kalian tahu bahwa jalan hidupku ini tak benar. Dimanakah orang lain itu saat jalannya sesat untuk sekadar memberi peringatan dan nasihat? Di situlah tindakan menasihati itu menampakkan kehadiran orang. Dia menampilkan wajah. Dan hidup bersama tanpa kepedulian dan saling nasihat tidak lain daripada sekumpulan hewan.
Ketiga, Titong. Arti sederhana dari Titong adalah mengarahkan atau menuntun ke hal-hal yang baik. Ada perbedaan dengan toing. Toing lebih memaksudkan ucapan verbal, artinya tuntunan atau nasihat melalui omongan, ucapan, kata-kata bijaksana. Namun, Titong lebih kepada relasi ketergantungan. Artinya di sana ada dua pelaku. Yang mengarahkan dan yang diarahkan. Kalau dalam toing titik berat refleksi adalah orang yang menasihati dan motivasi nasihatnya, tapi, dalam titong titik berat refleksinya pada kedua-duanya. Titong akan berhasil jika keduanya “bergerak” artinya mau diarahkan dan mau memberi teladan dan tuntunan. Di sini bukan saja ucapan verbal, tapi juga teladan hidup. Saya juga menambahkan belaskasihan dan kepedulian.
Satu lagi yang sungguh menurut saya ada dalam titong ini bahwa Tuhan Allah (Mori Kraeng) dikatakan sebagai Dia yang mengarahkan hidup manusia. Sehingga dalam doa dan perkataan selalu diucapkan: “Mori, titong koe ami”. Dengan mengucapkan ini sebenarnya manusia Manggarai menempatkan Allah sebagai Pengarah tunggal hidup manusia. Dan lebih jauh lagi, predikat Allah adalah Pengarah atau Penuntun. Jadi, jika seseorang mengarahkan atau menuntun orang lain agar menjadi lebih baik, halnya menjadi begitu luar biasa, sebab sesungguhnya orang itu telah mengambil bagian dalam tindakan Allah. Dan bisa dikatakan bahwa tuntunan atau arahan Allah itu diwujudkan dalam tuntunan dan arahan orang lain kepada saya dan saya kepada orang lain. Di sini makna titong begitu menemukan kedalaman refleksinya tatkala dia ditenggelamkan dalam tindakan ke-Allah-an.
Keempat, teing. Arti sederhana dari teing adalah memberi atau menyerahkan. Arti ini bisa menunjuk pada pemberian hal jasmani, maupun rohani. Tindakan memberi ini dalam refleksi filosofis orang Manggarai memiliki makna yang dalam. Pertama, bahwa tindakan memberi merupakan tindakan yang pasti dalam kebersamaan. Artinya kebersamaan tanpa saling memberi dan membagi bukanlah kebersamaan. Kedua, tindakan memberi merupakan tindakan mulia. Dan orang-orang dihargai bukan karena jabatannya, namun karena kemurahannya dalam memberi. Namun, tidak boleh dianggap bahwa penghargaan terhadap seseorang itu merupakan balasan dari tindakannya memberi. Justru penghargaan itu memiliki alasannya yang paling rasional dan mutlak olah tindakannya memberi. Memberi di sini jelas dalam artian tindakan tulus untuk membantu yang kekurangan.
Makna kata teing memiliki nilai metafisis dalam artian tindakan yang melampaui keterbatasan kodrat ketika dimaknai dalam upacara Teing hang (memberi sesaji kepada leluhur). Ketika upacara ini dilakukan, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tindakan memberi itu telah menjembatani jurang abadi antara dua dunia. Artinya jurang dua dunia itu terseberangi oleh tindakan kasih yang mewujud dalam tindakan memberi.
Keempat T tersebut, pertama, hadir dalam refleksi orang Manggarai secara utuh. Keempatnya direfleksikan begitu menyatu. Dalam memberi ada nilai tuntunan, ada tindakan pemeliharaan. Dan bisa saja dibuat jejeran panjang contoh tentang bagaimana keempatnya berpadu dalam tindakan salah satu dari keempatnya itu. Kedua, bahwa dari kearifan lokal Manggarai tersembul kuat keyakinan bahwa aku dan engkau bukan sekadar manusia, tapi manusiawi. Kemanusiawian kita terletak pada pemaknaan kita akan kemanusiaan kita dan kemanusiaan orang lain. Ketika saya bertindak terhadap orang lain karena dia adalah manusia yang sama seperti saya.
Dari kearifan lokal tersebut terlihat bahwa refleksi filosofis orang Manggarai, mulai dari para leluhur hingga orang-orang zaman sekarang begitu dalam dan luas maknanya. Jelas memang refleksinya berkembang terus. Selain berkembang, nilai-nilai dasar humanis ini juga kadang terseret oleh arus individualisme pada zaman yang membuat dunia yang mahaluas ini menjadi hanya sebuah ‘kampung kecil’. Ada tantangan dari luar, ketika nilai-nilai itu mendesak nilai-nilai lokal. Ada banyak budaya yang telah terseret, dan jatuh. Ada banyak budaya yang telah kehilangan “harga dirinya” karena semakin hari semakin mencintai apa pun yang muncul dan datang dari Barat yang katanya “ras istimewa”.
Ada juga tantangan dari dalam, ketika nilai-nilai itu tidak diwariskan secara kuat, maka, dia akan cepat “tercerabut” dan akhirnya justru para generasi muda dan penerus itulah yang akan menolak mempertahankan budaya yang dianggapnya kuno, lalu beralih pada budaya dari luar. Maka, bagi saya, Ide merefleksikan kembali nilai budaya ini merupakan ide yang bukan sekadar ide, tetapi dihidupkan dalam ruang hidup.
Rikardus Keraf Basukur adalah calon imam SMM. Ia berasal dari Manggarai.
OLE, NEKA RABO TA!
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Setiap bangsa dan suku bangsa di dunia ini mempunyai cara dan keunikan tersendiri dalam cara dan pola bertutur dan berkomunikasi mereka. Jika kita berjalan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, maka kita akan dengan sangat mudah menemukan dan menyadari hal-hal unik seperti itu dalam berexpresi dan dalam berkomunikasi. Orang Jawa berbeda cara komunikasi dirinya dari orang Batak, orang Bali berbeda cara expresi verbal dirinya dari orang Flores. Bahkan di antara orang-orang Flores sendiripun terdapat pelbagai macam perbedaan dan keragaman. Demikian juga halnya dengan orang-orang Manggarai; kelompok suku bangsa ini pun mempunyai keunikan dalam pola bertutur dan berkomunikasi mereka.
Tentu ada sangat banyak keunikan dalam cara bertutur orang Manggarai. Tetapi dalam tulisan ini saya hanya mau memusatkan pada salah satu expresi saja. Apa yang saya maksudkan ialah kenyataan berikut ini: Orang Manggarai sering sekali memakai ungkapan “neka rabo” untuk mengawali hampir semua pembicaraan atau penuturan mereka apalagi jika berhadapan dengan orang yang baru dikenal, yang baru datang ke dalam komunitas mereka. Seakan-akan tidak ada expresi verbal yang luput dari ungkapan tsb. Ungkapan itu seakan-akan melekat kuat pada bibir dan lidah kita orang-orang Manggarai, sehingga setiap saat bisa terlontar begitu saja dari mulut kita. Bagi orang-orang Manggarai sendiri mungkin hal itu sama sekali tidak terasa aneh. Tetapi untuk orang-orang yang bukan Manggarai, yang kebetulan datang ke Manggarai atau menjadi suami atau isteri orang Manggarai, hal itu langsung terasa aneh sekaligus menarik juga. Atau setidak-tidaknya terasa lain sama sekali jika dibandingkan dengan apa yang mereka alami dalam konteks praksis bertutur yang lain. Mereka akan langsung merasakan bahwa kehadiran ungkapan “neka rabo” itu terasa sangat kuat dan mencolok dalam konteks praksis bertutur orang Manggarai. Sedikit-sedikit, orang Manggarai akan berkata, “ole, neka rabo e....,” baru sesudah itu dilanjutkan dengan wacana yang lain. Yang lebih menarik lagi ialah ketika kita berhadapan dengan orang yang kita tahu bukan berasal dari Manggarai, maka kita menerjemahkan saja secara harfiah ungkapan Neka Rabo itu, dengan ungkapan “Jangan marah.” Bagi kita orang Manggarai, tidak ada yang aneh. Tetapi bagi orang luar yang mendengarnya, terasa lain dan unik, bahkan aneh juga. Mari kita lihat ilustrasi berikut ini.
Hal itulah yang sangat dirasakan oleh isteri saya ketika datang ke Manggarai bulan Agustus dan Oktober 2013 silam. Tentu ini bukanlah kunjungan dia yang pertama ke Manggarai. Ini kunjungan dia yang keempat kalinya. Ia sendiri berasal dari Kampung Sawah, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Ketika di kampung Dempol kemarin isteri saya bertanya kepada saya apa arti ungkapan “neka rabo”? Saya mengatakan bahwa secara harfiah artinya “jangan marah.” Jawaban itu tentu secara spontan memunculkan pertanyaan lain berikut ini dari dia: mengapa mesti begitu? Lalu ia mengatakan sbb: “Kan saya tidak sedang marah-marah tetapi kok diminta agar tidak marah?” Pertanyaan ini mencerminkan fakta bahwa memang ada sesuatu yang unik dan menarik dengan pola bertutur dan berkomunikasi seperti itu. Dengan kata lain di balik pertanyaan itu, tersirat suatu pertanyaan yang jelas berikut ini: mengapa orang Manggarai selalu mengawali pembicaraan mereka dengan ungkapan seperti itu? Tentu ada cara berpikir tertentu yang melatar-belakangi model komunikasi dan model cara bertutur seperti itu. Dalam tulisan ini saya mencoba menjawab pertanyaan itu. Saya akan mencoba mencari tahu jawaban dan cara berpikir itu dengan para tetua di Manggarai. Sampai saat ini saya masih mencari penjelasan atas gejala berbahasa dan berkomunikasi seperti itu.
Diskusi singkat dengan isteri saya di atas tadi serta-merta mengingatkan saya akan diskusi dan pertanyaan yang serupa dari suster Lisbeth CB kepada saya ketika kami sama-sama belajar teologi di Belanda dulu. Beberapa tahun lamanya suster Lisbeth bekerja di Ruteng lalu di sana ia berjumpa dengan model bertutur kata dan berkomunikasi seperti itu. Bagi dia, seperti halnya bagi isteri saya, hal itu terasa aneh sekali. Seperti halnya istri saya, ia juga bertanya, saya tidak marah tetapi diminta untuk tidak marah, neka rabo. Mengapa begitu? Berikut ini adalah beberapa jawaban atau penjelasan hipotesis saya sendiri yang masih harus diuji dalam riset di lapangan.
Pertama, mungkin hal itu disebabkan oleh adanya satu pandangan filosofis tertentu di kalangan orang-orang Manggarai, yaitu bahwa bagi orang Manggarai komunikasi verbal itu sangat rentan (vulnerable), amat mudah menimbulkan salah paham atau sangat mudah disalah-artikan. Sebelum salah paham itu terlanjur menyakiti perasaan orang lain (mitra komunikasi) maka harus didahului dengan permintaan agar tidak marah, neka rabo. Jadi, pemakaian ungkapan "neka rabo" itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya salah paham dalam komunikasi antar manusia. Memang komunikasi antar manusia itu amat rapuh, mudah sekali menjadi rusak justru oleh kata-kata dan perbuatan kita sendiri juga. Apalagi jika komunikasi itu terjadi antara dua kubu yang berbeda status dan kelas sosialnya. Misalnya antara guru dan murid, antara ro'eng (rakyat apalagi rakyat jelata, sebab pejabat hanya suka pada rakyat jelita) dan pejabat. Atau jika komunikasi itu terjadi di antara dua komunitas yang mempunyai sejarah “salah paham” yang panjang.
Kedua, mungkin model komunikasi verbal seperti itu adalah sisa-sisa dari sejarah feodalisme Manggarai dulu di mana orang harus menyajikan upeti yang terbaik kepada para penguasa. Agar penguasa tersebut tidak marah atau kecewa maka terlebih dahulu diminta maaf, neka rabo. Lalu perilaku dan pola komunikasi seperti itu mengendap dan menjadi pola perilaku sosial komunal. Misalnya, ketika orang mempersembahkan hasil bumi kepada raja; agar raja itu tidak kecewa atau marah dengan mutu dan jumlah persembahan tersebut, maka secara aktif rakyat meminta dengan sangat agar dia tidak marah, neka rabo. Lama kelamaan pola komunikasi verbal yang semula serba terbatas akhirnya menjadi pola relasi verbal masyarakat secara luas juga. Jika penjelasan ini benar maka ungkapan “neka rabo” itu merupakan endapan dari tahap feodalisme dalam sejarah Manggarai. (Mungkin akan ada yang bertanya secara kritis: apakah memang benar Manggarai sudah bebas dari feodalisme? Ini sebuah pertanyaan besar yang tidak mungkin untuk dibahas dalam sebuah artikel yang ringan dan sederhana ini).
Penjelasan ketiga juga bisa masuk akal: ungkapan “neka rabo” itu hanyalah sebuah “excuse” saja, misalnya seperti ungkapan “sorry” dalam bahasa Inggris atau “maaf” dalam bahasa Indonesia. Sangat sering kita dengar orang mengawali tutur katanya dalam komunikasi sosial inter personal dengan ungkapan maaf atau sorry tadi. Penjelasan ini bisa masuk akal juga, sebab di Manggarai selain ungkapan “neka rabo” itu sesungguhnya masih ada ungkapan excuse yang lain. Misalnya: “besung laing dite ga,” atau “eta keta ulu ise....,” atau “neka denge le dewa gong,” atau “neka denge lise,” atau ungkapan lain seperti “tadu kaut tilu dise....dst.dst....” Jadi ungkapan “neka rabo” itu mempunyai fungsi excuse seperti itu saja. Tidak lebih dari itu. Jadi, ungkapan neka rabo itu hanya salah satu saja dari pelbagai macam excuse yang ada dalam kosa kata komunikasi verbal Manggarai.
Biarpun dengan tiga butir penjelasan seperti ini, tetaplah tinggal fakta bahwa gejala pola bertutur seperti itu tetap terasa unik dan menimbulkan pertanyaan dalam diri orang-orang yang bukan Manggarai yang kebetulan berkomunikasi dengan kita. Hal yang jauh lebih menarik lagi ialah bahwa bahkan ketika kita berbicara bahasa Indonesia pun, kita hampir secara tidak sadar menerjemahkan ungkapan “neka rabo” tadi ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu terjadi tidak hanya di Manggarai melainkan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Jadi, biarpun kita ini sudah jauh dari Manggarai dalam artian physical space, namun ternyata keManggaraian itu tetap hadir dan mempengaruhi kita cara bertutur kita. Ia hadir sebagai spiritual and virtual space.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan berikut ini: Jangan marah, mungkin tulisan saya ini tidak seluruhnya benar. (Neka rabo e, am toe benarn sanggen taung apa ata poli tulis daku ho’o). Ataukah mungkin masih ada penjelasan yang lain dari anda para pembaca Manggarai? Atau para pembaca non Manggarai, mungkin anda menemukan fenomena seperti itu juga di sekitar anda? Mari kita saling memperkaya dengan sharing dan informasi kita. Memang tentang hal ini masih harus dicari dan digali lagi nanti. Itu niat yang saya ungkapkan kepada diri saya sendiri.
Yogyakarta, 02 September 2013
Setiap bangsa dan suku bangsa di dunia ini mempunyai cara dan keunikan tersendiri dalam cara dan pola bertutur dan berkomunikasi mereka. Jika kita berjalan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, maka kita akan dengan sangat mudah menemukan dan menyadari hal-hal unik seperti itu dalam berexpresi dan dalam berkomunikasi. Orang Jawa berbeda cara komunikasi dirinya dari orang Batak, orang Bali berbeda cara expresi verbal dirinya dari orang Flores. Bahkan di antara orang-orang Flores sendiripun terdapat pelbagai macam perbedaan dan keragaman. Demikian juga halnya dengan orang-orang Manggarai; kelompok suku bangsa ini pun mempunyai keunikan dalam pola bertutur dan berkomunikasi mereka.
Tentu ada sangat banyak keunikan dalam cara bertutur orang Manggarai. Tetapi dalam tulisan ini saya hanya mau memusatkan pada salah satu expresi saja. Apa yang saya maksudkan ialah kenyataan berikut ini: Orang Manggarai sering sekali memakai ungkapan “neka rabo” untuk mengawali hampir semua pembicaraan atau penuturan mereka apalagi jika berhadapan dengan orang yang baru dikenal, yang baru datang ke dalam komunitas mereka. Seakan-akan tidak ada expresi verbal yang luput dari ungkapan tsb. Ungkapan itu seakan-akan melekat kuat pada bibir dan lidah kita orang-orang Manggarai, sehingga setiap saat bisa terlontar begitu saja dari mulut kita. Bagi orang-orang Manggarai sendiri mungkin hal itu sama sekali tidak terasa aneh. Tetapi untuk orang-orang yang bukan Manggarai, yang kebetulan datang ke Manggarai atau menjadi suami atau isteri orang Manggarai, hal itu langsung terasa aneh sekaligus menarik juga. Atau setidak-tidaknya terasa lain sama sekali jika dibandingkan dengan apa yang mereka alami dalam konteks praksis bertutur yang lain. Mereka akan langsung merasakan bahwa kehadiran ungkapan “neka rabo” itu terasa sangat kuat dan mencolok dalam konteks praksis bertutur orang Manggarai. Sedikit-sedikit, orang Manggarai akan berkata, “ole, neka rabo e....,” baru sesudah itu dilanjutkan dengan wacana yang lain. Yang lebih menarik lagi ialah ketika kita berhadapan dengan orang yang kita tahu bukan berasal dari Manggarai, maka kita menerjemahkan saja secara harfiah ungkapan Neka Rabo itu, dengan ungkapan “Jangan marah.” Bagi kita orang Manggarai, tidak ada yang aneh. Tetapi bagi orang luar yang mendengarnya, terasa lain dan unik, bahkan aneh juga. Mari kita lihat ilustrasi berikut ini.
Hal itulah yang sangat dirasakan oleh isteri saya ketika datang ke Manggarai bulan Agustus dan Oktober 2013 silam. Tentu ini bukanlah kunjungan dia yang pertama ke Manggarai. Ini kunjungan dia yang keempat kalinya. Ia sendiri berasal dari Kampung Sawah, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Ketika di kampung Dempol kemarin isteri saya bertanya kepada saya apa arti ungkapan “neka rabo”? Saya mengatakan bahwa secara harfiah artinya “jangan marah.” Jawaban itu tentu secara spontan memunculkan pertanyaan lain berikut ini dari dia: mengapa mesti begitu? Lalu ia mengatakan sbb: “Kan saya tidak sedang marah-marah tetapi kok diminta agar tidak marah?” Pertanyaan ini mencerminkan fakta bahwa memang ada sesuatu yang unik dan menarik dengan pola bertutur dan berkomunikasi seperti itu. Dengan kata lain di balik pertanyaan itu, tersirat suatu pertanyaan yang jelas berikut ini: mengapa orang Manggarai selalu mengawali pembicaraan mereka dengan ungkapan seperti itu? Tentu ada cara berpikir tertentu yang melatar-belakangi model komunikasi dan model cara bertutur seperti itu. Dalam tulisan ini saya mencoba menjawab pertanyaan itu. Saya akan mencoba mencari tahu jawaban dan cara berpikir itu dengan para tetua di Manggarai. Sampai saat ini saya masih mencari penjelasan atas gejala berbahasa dan berkomunikasi seperti itu.
Diskusi singkat dengan isteri saya di atas tadi serta-merta mengingatkan saya akan diskusi dan pertanyaan yang serupa dari suster Lisbeth CB kepada saya ketika kami sama-sama belajar teologi di Belanda dulu. Beberapa tahun lamanya suster Lisbeth bekerja di Ruteng lalu di sana ia berjumpa dengan model bertutur kata dan berkomunikasi seperti itu. Bagi dia, seperti halnya bagi isteri saya, hal itu terasa aneh sekali. Seperti halnya istri saya, ia juga bertanya, saya tidak marah tetapi diminta untuk tidak marah, neka rabo. Mengapa begitu? Berikut ini adalah beberapa jawaban atau penjelasan hipotesis saya sendiri yang masih harus diuji dalam riset di lapangan.
Pertama, mungkin hal itu disebabkan oleh adanya satu pandangan filosofis tertentu di kalangan orang-orang Manggarai, yaitu bahwa bagi orang Manggarai komunikasi verbal itu sangat rentan (vulnerable), amat mudah menimbulkan salah paham atau sangat mudah disalah-artikan. Sebelum salah paham itu terlanjur menyakiti perasaan orang lain (mitra komunikasi) maka harus didahului dengan permintaan agar tidak marah, neka rabo. Jadi, pemakaian ungkapan "neka rabo" itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya salah paham dalam komunikasi antar manusia. Memang komunikasi antar manusia itu amat rapuh, mudah sekali menjadi rusak justru oleh kata-kata dan perbuatan kita sendiri juga. Apalagi jika komunikasi itu terjadi antara dua kubu yang berbeda status dan kelas sosialnya. Misalnya antara guru dan murid, antara ro'eng (rakyat apalagi rakyat jelata, sebab pejabat hanya suka pada rakyat jelita) dan pejabat. Atau jika komunikasi itu terjadi di antara dua komunitas yang mempunyai sejarah “salah paham” yang panjang.
Kedua, mungkin model komunikasi verbal seperti itu adalah sisa-sisa dari sejarah feodalisme Manggarai dulu di mana orang harus menyajikan upeti yang terbaik kepada para penguasa. Agar penguasa tersebut tidak marah atau kecewa maka terlebih dahulu diminta maaf, neka rabo. Lalu perilaku dan pola komunikasi seperti itu mengendap dan menjadi pola perilaku sosial komunal. Misalnya, ketika orang mempersembahkan hasil bumi kepada raja; agar raja itu tidak kecewa atau marah dengan mutu dan jumlah persembahan tersebut, maka secara aktif rakyat meminta dengan sangat agar dia tidak marah, neka rabo. Lama kelamaan pola komunikasi verbal yang semula serba terbatas akhirnya menjadi pola relasi verbal masyarakat secara luas juga. Jika penjelasan ini benar maka ungkapan “neka rabo” itu merupakan endapan dari tahap feodalisme dalam sejarah Manggarai. (Mungkin akan ada yang bertanya secara kritis: apakah memang benar Manggarai sudah bebas dari feodalisme? Ini sebuah pertanyaan besar yang tidak mungkin untuk dibahas dalam sebuah artikel yang ringan dan sederhana ini).
Penjelasan ketiga juga bisa masuk akal: ungkapan “neka rabo” itu hanyalah sebuah “excuse” saja, misalnya seperti ungkapan “sorry” dalam bahasa Inggris atau “maaf” dalam bahasa Indonesia. Sangat sering kita dengar orang mengawali tutur katanya dalam komunikasi sosial inter personal dengan ungkapan maaf atau sorry tadi. Penjelasan ini bisa masuk akal juga, sebab di Manggarai selain ungkapan “neka rabo” itu sesungguhnya masih ada ungkapan excuse yang lain. Misalnya: “besung laing dite ga,” atau “eta keta ulu ise....,” atau “neka denge le dewa gong,” atau “neka denge lise,” atau ungkapan lain seperti “tadu kaut tilu dise....dst.dst....” Jadi ungkapan “neka rabo” itu mempunyai fungsi excuse seperti itu saja. Tidak lebih dari itu. Jadi, ungkapan neka rabo itu hanya salah satu saja dari pelbagai macam excuse yang ada dalam kosa kata komunikasi verbal Manggarai.
Biarpun dengan tiga butir penjelasan seperti ini, tetaplah tinggal fakta bahwa gejala pola bertutur seperti itu tetap terasa unik dan menimbulkan pertanyaan dalam diri orang-orang yang bukan Manggarai yang kebetulan berkomunikasi dengan kita. Hal yang jauh lebih menarik lagi ialah bahwa bahkan ketika kita berbicara bahasa Indonesia pun, kita hampir secara tidak sadar menerjemahkan ungkapan “neka rabo” tadi ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu terjadi tidak hanya di Manggarai melainkan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Jadi, biarpun kita ini sudah jauh dari Manggarai dalam artian physical space, namun ternyata keManggaraian itu tetap hadir dan mempengaruhi kita cara bertutur kita. Ia hadir sebagai spiritual and virtual space.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan berikut ini: Jangan marah, mungkin tulisan saya ini tidak seluruhnya benar. (Neka rabo e, am toe benarn sanggen taung apa ata poli tulis daku ho’o). Ataukah mungkin masih ada penjelasan yang lain dari anda para pembaca Manggarai? Atau para pembaca non Manggarai, mungkin anda menemukan fenomena seperti itu juga di sekitar anda? Mari kita saling memperkaya dengan sharing dan informasi kita. Memang tentang hal ini masih harus dicari dan digali lagi nanti. Itu niat yang saya ungkapkan kepada diri saya sendiri.
Yogyakarta, 02 September 2013
- Marsel Agot and 34 others like this.
- Rofinus Ngabut E mungkin kearifan leluhur orang Manggarai, "tidak mau merasa benar sendiri" sa'at berinteraksi dengan orang lain. Ini ekspresi kesederhanaan atau kerendahan hati para leluhur.
- Fransiskus Borgias M kraeng Rofinus, trima kasih atas rumusan verbal ini... menarik juga dan itu selalu mungkin... am (aram) ne nggitu... am (aram) ne nggo'o... semakin banyak am (aram) smoga kita semakin dekat dengan "kebenaran"....
- Fransiska Mur Essy Daima Oleee kak, 'neka rabo'...olo imusss po komentar laku tulisan dite hoo hehehe... Setelah baca tulisan dite hoo, baru terpikir...kenapa yaa, kita sering mengatakan itu... Sy setuju dg 3 penjelasan dite, juga setuju dengan tambahan dari Pak Rofinus...bentuk kesederhanaan dan kerendahan hatii... Coba liat tuan rumah, saat menyajikan makanan utk tamu... Padahal do nuru ko ikang one meja, tapi tetap keta kin tae... Oleeee...'neka rabo' hang kaut saung ndaeng nenggo tite bao ga... Mungkin maksudn, am toe keta sesuai selera de meka makanan situ, jadi diawal sdh minta maaf duluan hehehe...
- Fransiskus Borgias M mantap enu Fransiska Mur Essy atas penjelasan ini... trima kasih... bisa dipakai utk mengolah kembali tulisan ini nanti... luar biasa...
- Rueng Theresia Imelda Penjelasan yg menarik dan masuk akal.. "neka rabo" dalam perkenbangan selanjutnya juga mengalami makna yg lain, saya tdk dapat menjelaskan secara tata bahasa indonesia, sya hanya bisa memberi conto kalimat... "neka rabo e, toe anak koe dite aku!" Makna neka rabo terdengar agak lain dalam kalimat tersebut. Dan kata neka rabo juga bisa digantikan dengan lawan katanya "do do rabo dite." Mis.nya "do do rabo dite ga, ai lite keta bo ba de dea situ" banyak sekali makna kata neka rabo, klo menurut saya, tergantung dari ekspresi dan situasi saat penggunaan kata tersebut. Tabe.
- Fonsie Econg Krg tu'a Fransiskus Borgias M, tabe. Bagi saya, ini sebuah kajian semiotika budaya verbal yang menarik. Ketika setiap gejala sosial - dalam hal ini, gejala bahasa - dibiarkan mengalir begitu saja, keanehan pun seringkali dianggap normal2 saja, sebagaimana halnya kecenderungan umum dalam penuturan verbal orang Manggarai yang ite ulas ini. Terkait dengan karakteristik sistem bertutur orang Manggarai, saya menemukan betapa ada jarak antara 'fisik tuturan' dan 'makna tuturan' tersebut. Gaya bertutur orang Manggarai sarat dengan karakter sastrawi: mengungkapkan (makna tuturan) dengan menyembunyikan (fisik tuturan) - orang Manggarai bilang, "peke tadang, kali ce'e ho'o henan".Orang Manggarai dalam kekhasan bertuturnya sarat dengan prinsip, "lembut dalam kata, tegas dalam prinsip". Untuk hal yang seriskan sekalipun, orang Manggarai yang 'tahu adat' (beradab) tidak akan menyampaikannya secara vulgar. Semuanya dikemas dalam gaya bicara "peke tadang, kali ce'e ho'o henan". Atas dasar itu, kita akan sangat kesulitan untuk menerjemahkan bahasa Manggarai secara hurufiah ke dalam bentuk bahasa lain. Tentu saja ungkapan 'neka rabo' akan terasa sangat aneh ketika kemudian ditransliterasikan secara hurufiah sebagai 'jangan marah'. Memaknai setiap fisik tuturan orang Manggarai memang seperti melakukan kajian sastrawi: setiap ungkapan dimaknai seturut latar penuturan. Ungkapan 'neka rabo' akan sangat multimakna andaikata diterapkan dalam aneka konteks pembicaraan. Dalam konteks persediaaan menu makanan, seperti yang diangkat oleh Bu Fransiska Mur Essy Daima, misalnya, makna 'neka rabo' merujuk pada kesadaran akan kemungkinan ketersediaan menu yang tidak sesuai selera, bukan tuturan menjegal 'orang yang lagi kecewa/marah'. Pada intinya, benar kata krg Rofinus Ngabut bahwa org Manggarai tidak merasa benar sendiri, tetapi biarkan orang lain yang menilai setiap pembawaannya. Tapi sebenarnya dengan mengungkapkan standar minimal, orang diharapkan bisa merasakan surprise yang luar biasa jika ternyata kemudian menemukan sesuatu yang justru maksimal. Begitulah, orang Manggarai memegang teguh prinsip, "orang yang merendah akan ditinggikan".
- ri Samsung Terimakasih KK, Ulasan yang sangat menarik yang mungkin bagi kebanyakan orang telah lupa untuk melihat makna dibalik ungkapan ' Neka rabo" dalam gaya komunikaso verbal orang Manggarai. Sepakat dengan ulasan dari kk dan juga dari pembicara terdahulu, Ase juga melihat bahwa (Neka rabo jika tidak berkenan), gaya komunikasi ini (ole neka rabo), mungkin juga mau menunjukan sikap kehati - hatian orang Manggarai dalam memulai perkenalan, percakapan dan juga segala bentuk komunikasi lainnya. misalnya ketika bertemua atau berkenalan pertama kali dengan orang lain, Selalu di awali dengan " Neka rabo cala eta mai beo hitu ite". Hal ini menunjukan prinsip kehati - hatian dalam memulai percakapan atau juga perkenalan orang Manggarai. Hal lain juga terkait makna dari ungkapan "Neka rabo" adalah sebagai bentuk ketidak percayaan diri (Kurang PD) Orang Manggarai dalam memulai sesuatu hal (tidak mau gegabah/ rendah diiri/ sederhana). Hal ini terlihat dalam ungkapan mereka ketika hendak membantu orang lain dalam membenarkan sesuatu hal, "Neka raba asa eme ne nggo'o", Yang bisa saja bahwa yang akan dia lakukan itu adalah hal yang sebenarnya. Tetapi dia ungkapkan dengan kata 'Neka rabo" terlebih dahulu.,, Neka rabo eme manga salad one tulisan de ase ho'o,,...See More
- Aleksius Armanjaya secara psikologi bahasa atau secara sosiologis ada kecenderungan kuat untuk harmoni sosial di kalangan orang Manggarai, ada sekian banyak ungkapan untuk "excuse" yang mencitrakan bahwa kita ingin menghormati orang lain, atau tidak konflik dengan orang lain.
- Leonardus Langku Mas Aris, Sekretaris II Dewan Paroki Marganingsih Kalasan, Yogyakarta, sering mengucapkan "nuwun sewu" yang berati mohon, sebelum mengatakan sesuatu. Hal demikian saya jumpai pada kebanyakan orang Jawa di desa-desa. Tampaknya ada kesamaan antara orang Jawa dan orang Manggari dalam hal tersebut. Neka rabo ..., Ite.
- Leonardus Langku Leonardus Langku Mas Aris, Sekretaris II Dewan Paroki Marganingsih Kalasan, Yogyakarta,
sering mengucapkan "nuwun sewu" yang berati mohon maaf, sebelum mengatakan
sesuatu. Hal demikian saya jumpai pada kebanyakan orang Jawa di
desa-desa. Tampaknya ada kesamaan antara orang Jawa dan orang Manggari
dalam hal tersebut. Neka rabo ..., Ite. - Placidus S Sanarry Kela, tulisan yang sungguh inspiratif e...Rupanya frase majemuk "neka rabo" dalam konteks bertutur lisan orang manggarai itu telah mengalami perluasan makna sebagai penghalus, yang berperan sebagai ungkapan pembuka ( semacam uppertaizer-makanan pembuka) dalam hidangan ragawi. Maka dikalangan kita orang Manggarai, itu menjadi biasa dan malah menjadi pola komunal dalam bertutur bagi orang manggarai yang tau sopan santun.. Saya sepenuhnya setuju dengan penjelasan dite dan juga postingan teman-teman sebelumnya. Terasa aneh memang kalau frase eufemisme itu dibawa keluar rahim tuturan oran Manggarai dan mengenakan kembali makna leksikalnya ( jangan marah). Mitra komunikasi bukan orang Manggarai pasti kontan bereaksi, seperti yang "ipar gaku" sampaikan agu ite. Itu memperlihatkan bahwa kata-kata yang terucap kerap memiliki nilai rekatan rasa dengan budaya penuturnya. Karenanya memakainya bukan dalam konteks kemanggaraian akan terasa aneh dan bahkan bisa menimbulkan konflik. Memang diakui bahwa amat beragam ekspresi tuturan orang-orang Manggarai dengan corak sastra yang amat tinggi. Mungkin frase neka rabo ini masih terasa profan dibanding frase-frase sejenis dalam komunikasi budaya/adat kita, semisal...eta ulu keta ite, do do rabo dite, tadu kaut tilu dise ende. Kesulitannya juga bahwa frase-frase terakhir, sulit menemukan makna literasi dalam bahasa Indonesia. Maka dalam praksis komunikasi yang lintas budaya, frase neka rabo ini lebih gampang dicomot karena begitu mudah mengenakan kembali makna kamusnya ( Jangan marah).
- Vinsen Surma lebih positif dari sekedar "excuse" (yg rasanya agak miring--karena bela diri) pada anggapan ketiga, dan adanya kesadaran soal "kerentanan" pada anggapan pertama tadi, bagi aku ca wekin, kata neka rabo, sorry, maaf,...dsb memperlihatkan adanya suatu "k...See More
- Fransiskus Borgias M ase Vinsen Surma, trima kasih banyak atas masukan yg berharga ini... analisisnya mantap... mendalam dan memperluas cakrawala pemahaman kita bersama...
- Fransiskus Borgias M Kela Placidus, wah trima kasih... mantap sekali analisis lebih lanjut yg kuat dan mendalam ini.... pemahaman kita semua semakin menjadi lebih luas dan mendalam karena masukan ini.... tabe ga....
- Fransiskus Borgias M Pa Leonardus, trima kasih atas masukan sbg bandingan dari konteks budaya jawa... hehehehe... nuwun sewu... harfiah berarti mohon seribu... yah expresi verbal komunikasi memang macam-macam... tabe ga...
- Fransiskus Borgias M Enu Rueng Theresia Imelda, trima kasih atas detil bbrp contoh kongkret pemakaian itu... juga memperkaya diskusi kita smua...
- Fransiskus Borgias M nana Fonsie, trima kasih karena telah menempatkan bahasa ini dalam bingkai SEMIOTIKA BUDAYA... dan memang itu tepat... analisis lanjutan semua berkenan di hati dan sangat bermakna... tabe agu wali dia ga... NEKA RABO... hahaha....
- Fransiskus Borgias M Ase Ari Samsung, terima kasih telah menekankan prinsip kehati-hatian itu sebagai salah satu fungsi sosial dari ungkapan verbal NEKA KETA RABO... sebuah ulasan tambahan yg penting dan menarik dan memperkaya diskusi kita ini... tabe ga... neka rabo...
- Fransiskus Borgias M Kela Aleksius Armanjaya, hehehe keraeng trima kasih ge atas tambahan singkat yang berharga ini utk diskusi kita di sini... Neka rabo... salam damai...
- Fransiskus Borgias M para JEMPOLERS trima kasih banyak atas JEMPOL2 apresiatif kalian semua di sini... salam damai.... NEKA RABO....
- Kornelya Agus Sejalan dengan perkembangan evolusi budaya, " neka rabo" sudah jarang dipakai sebagai empati sorrow ( I am sorry), banyak yg memakai nya sebagai intro denial, sinisme .
- Fransiskus Borgias M enu Kornelya Agus, terima kasih juga atas pengamatan ini... mantap... salam ke NY e...
- Cyprian Guntur Kata "neka rabo" ini sejalan dengan kata "besung laing" atau "eta keta ulu daku ite". Jika kalimatnya seperti ini, maka itu diucapkan secara tulus daripada "neka rabo". Karena kerap dikatakan, maka maknanya menjadi kurang, hanya sekedar kalimat "greetings" yang maknanya seperti tegur sapa lainnya : " ite...baot gi a".. atau "hitut di bo ko... ite. dst.
- Cyprian Guntur Terima kasih kae Efbe, telah mencoba mengangkat hal ini dan membagikannya kepada kami semua
- Fransiskus Borgias M ase Cyprian Guntur, trima kasih atas pengamatan itu... juga sudah memperkaya kita semua dalam pengembangan wacana filsafat bahasa manggarai... hehehehe... tabe ga...
- Nahusman Petrus Ungkapan "neka rabo" atau di Matim " neka rugi ite" kadang kadang dipakai bergantian dengan " neho rampon" di Matim " raka rebon" adalah ungkapan kesopanan yang mengandung makna bahwa mengganggu kenyamanan orang ( karena harus mendengarkan kita) dan merepotkan orang lain itu tidak baik dan karenanya kita katakan "neka rabo."
- Fransiskus Borgias M ase Nahusman Petrus, ole trima kasih ge atas perspektif komparatif ini... saya menjadi lebih tahu juga akan apa yg ada di belahan lain dari manggarai tercinta...kita.... tabe ga... salam ke qatar... neka rabo...
- Usman D Ganggang Artikel mencerahkan, salut Kraeng Dempol. Iya bagaimanapun juga, Manggarai kaya dengan kearifan lokal. Neka rabo, menarik untuk dikaji, "Neka rabo, ae..., hanang saung wogor kat situ wa ite!" (padahal, di samping saung wogor, ada daging ayam juga).
- Ferdy Jalu Kata neka rabo kalau diterjemahkan jangan marah memang menimbulkan pemahaman yang salah antara maksud pembicara dan pendengar, yaitu nada larangan yang tidak masuk akal. Neka rabo dapat diterjemahkan maaf atau sorry. Pemahamannya tergantung konteks. D...See More
- Charles Sene Menarik membaca tulisan dite e Om... khusus untuk Neka Rabo ini...akhir-akhir ini saya mendengar dan juga membaca di media sosial khususnya tentang Neka Rabo ini. Contohnya Neka Rabo ge usang... atau Neka rabo ge extra joss.. Werun kole penggunaan Neka Rabo ho dite ga...hehehehehhe...tabe
- Fransiskus Borgias M Pua Usman, trima kasih atas apresiasinya.... hehehe begitulah gaya bertutur dlm kearifan lokal Manggarai... tabe
- Fransiskus Borgias M Ferdy Jalu, trima kasih juga atas informasi tambahan ini... perluasan upaya pemahaman... dan perspektif yg lain...
- Fransiskus Borgias M Charles Sene, wah... itu baru jujga bg saya.... trima kasih... nanti coba sy amati dalam pemakaian secara tertulis dan lisan.... tabe atau neka rabo ga... hahaha...
- Leonardus Langku Mas Aris, Sekretaris II Dewan Paroki Marganingsih Kalasan, Yogyakarta,
sering mengucapkan "nuwun sewu" yang berati mohon maaf, sebelum mengatakan
sesuatu. Hal demikian saya jumpai pada kebanyakan orang Jawa di
desa-desa. Tampaknya ada kesamaan antara orang Jawa dan orang Manggari
dalam hal tersebut. Neka rabo ..., Ite.
KALENDER ASLI MANGGARAI
Oleh: Fransiskus Borgias M., Ph.D.,abd.,
Pengantar
Di bawah ini saya tampilkan dua tabel hasil rekonstruksi saya tentang nama-nama bulan asli Manggarai. Tabel 1 saya buat berdasarkan data yang saya temukan dalam Manggarai Text, hasil karya Pater Jilis Verheijen SVD dengan bantuan banyak penulis asli Manggarai. Tabel 2 saya buat berdasarkan data yang saya temukan dalam sebuah buku yang diedit oleh Yori Antar, yang berjudul Pesan dari Wae Rebo, dan juga hasil wawancara saya dengan beberapa orang tua-tua di Lembor, khususnya di Perang, Dempol, Rangga, Lalo, Daleng. Sebab Kalender yang dari Waerebo itu mirip dengan nama-nama bulan yang disebutkan orang-orang di Lembor tadi. Saya tampilkan di sini untuk diketahui bersama. Siapa tahu ada dari antara para pembaca yang pernah mengetahui bahwa di beberapa bagian lain dari daerah di Manggarai, ada juga sistem kalender tersendiri. Kalau ada, sudi kiranya juga ditampilkan di sini, untuk memperkaya kita sekalian, memperkaya wawasan kita sendiri akan kemanggaraian kita. Yang jelas, sejak kedatangan Kristianitas dan dengan itu datang juga modernitas, semua warisan klasik tradisional itu hilang lenyap begitu saja. Saya juga sudah membuat sebuah artikel singkat mengenai hasil analisis dan pengamatan saya akan sistem kalender ini, yang pada waktunya nanti akan saya sharingkan juga dalam media ini. Selamat membaca dan menikmati, dan juga berdiskusi dan berkontribusi, demi Manggarai.NB: Dalam teks asli di file saya, semuanya sudah berbentuk tabel (4 kotak). tetapi ketika saya copy paste ke sini, ternyata tabelnya tidak ikut, sehingga yang tampak hanya seperti ini saja.Hal itu sama sekali tidak mengurangi mutu publikasi studi ini.
NAMA-NAMA BULAN MANGGARAI: DIREKONSTRUKSI DARI MANGGARAI TEXTS VOL.I, HALAMAN 66-67.
OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
NAMA BULAN ASLI,CIRI-CIRI DAN AKTIFITAS YANG DILAKUKAN,BLN MASEHI
WULANG BONGKO: PERMULAAN MUSIM HUJAN. SAAT TUMBUH PUCUK BARU (LUDUNG SAUNG WERU). WULANG KANTA BO (BENGKAR, KELUAR DARI CANGKANG, BERTUMBUH, BERKECAMBAH). SEPTEMBER.
WULANG HOBAL: MUSIM HUJAN (TIAP HARI). MULAI TANAM WOJA RANA DAN LATUNG OLO. LATUNG MUTLAK DI SINI. HOER DILAKUKAN DI SINI. KALO TERJADI DURENG DISEBUT DURENG TONDONG HOER. OKTOBER.
WULANG DURU: MUSIM HUJAN (TIAP HARI). TERUTAMA WOJA HARUS MULAI TANAM SAAT INI. TAWI DILAKUKAN DI SINI. KALO TERJADI DURENG, DISEBUT DURENG TONDONG TAWI. NOVEMBER.
WULANG NEMPONG: TERJADI DURENG JUGA SAAT INI. DESEMBER.
WULANG LIDENG: WULANG ICIS LATUNG GA. SUDAH BISA DIMAKAN SEDIKIT2 ITU JAGUNG. DI SINI BIASANYA TERJADI DURENG ALO. JANUARI.
WULANG POCO: WULANG GOK LATUNG. DI SINI TERJADI DURENG MBARE KINA. FEBRUARI.
WULANG KERE-KAO: PADI MULAI MENGUNING. MARET.
WULANG CABA-CEA: PADI SUDAH SIAP DIPANEN. DISEBUT CABA-CEA KARENA BULAN INI ORANG SIBUK SEKALI MENGETAM PADI. APRIL.
WULANG WANDU-WAK: MULAI KERING. ORANG MEMBAWA PANEN DARI KEBUN KE RUMAH. DISEBUT WANDU-WAK KARENA BULAN INI ORANG SIBUK SEKALI KELUAR MASUK RUMAH/KAMPUNG MEMUAT HASIL KEBUN MEREKA DARI LADANG. MEI.
WULANG TASAK: BULAN NGANGGUR, TIDAK KERJA APA-APA. JUNI.
WULANG CERE-CORANG: ORANG SIAPKAN GAGANG PARANG UNTUK MENYIAPKAN KEBUN (RIMU). JULI.
WULANG RENGKA: PU’UNG KOLE RIMU UMA. DO LODA SAUNG HAJU (MUSIM GUGUR). YANG TINGGAL HANYA DAHAN DAN RANTING, RENGKA (MANGGARAI). MAKA DISEBUT WULANG RENGKA. AGUSTUS.
Keterangan Singkat:
Manggarai Texts adalah kumpulan pelbagai macam cerita dan adat kebiasaan yang diangkat dari tradisi lisan (oral tradition) Manggarai. Pengarang-pengarangnya ada pelbagai macam nama. Tetapi mereka bekerja atas permintaan dan inisiatif dari Pater Jilis Verheijen SVD. Masih ada juga misionaris lain sebelum dia yang melakukan kegiatan yang sama seperti pater Adolf Burger (yang banyak memusatkan perhatian di Manggarai Barat) dan de Graaf (yang lebih banyak fokus di daerah Lambaleda). Berdasarkan data tentang para pengarang dalam halaman 95 volume ini, tidak diketahui lagi siapa pengarang teks yang saya pakai di sini sebagai bahan rekonstruksi. Juga tidak ada keterangan ini berasal dari daerah mana. Tetapi berdasarkan dialek dan logat yang ada dalam teks, saya berani menyimpulkan bahwa teks itu berasal dari pengarang yang bekerja di daerah Cibal. Di sana disebut beberapa nama pengarang dari daerah Cibal: M.Dangku, Y.Ngantas. mungkin sekali teks ini berasal dari kedua pengarang ini.
WAE REBO DAN LEMBOR (PERANG, DEMPOL).DIREKONSTRUKSI DARI YORI ANTAR, PESAN DARI WAE REBO, HAL.42-43. JUGA DARI DAN BERDASARKAN WAWANCARA DENGAN ORANG TUA-TUA DI PERANG DAN DI DEMPOL.
OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
BULAN ASLI,CIRI-CIRI DAN AKTIFITAS MANUSIA,BULN MASEHI
WULANG BEKO: Tumbuh beko yang hanya hidup satu bulan lalu mati. Terjadi peralihan musim ke musim hujan, uhang sekeng. Kegiatan menanam. Pesta tahun baru, yaitu penti. Wuat wini. Tanam, ialah tanda awal hidup baru. NOVEMBER
WULANG REKA: Kegiatan menanam. Reka: nama tumbuhan (tumbuh saat bulan terbit). Curah hujan tinggi. DESEMBER
WULANG OHET: Nama tumbuhan merambat spt tali, wahe ohet; saat ini ia berbunga dan berbuah. JANUARI (Ohet= Wase Oset).
WULANG NDERU: Nderu, Jeruk mulai berbunga. Terjadi angin kencang. FEBRUARI
WULANG LENTA: Nama pohon Lento yg berbuah pada bulan Maret. Buahnya dipakai untuk sayur, ute Lento, sayur Lento. MARET
WULANG LIDENG: Ditandai dengan kegiatan panen jagung. Ini adalah bulan penuh kegembiraan karena makan panenan jagung muda. APRIL
WULANG RAMPENG: Bulan upacara adat. Terjadi perubahan iklim krn terjadi perubahan arah angin. Mendatangkan penyakit. Ritual Kasawiang I di compang dan mbaru gendang. MEI
WULANG HUHUNG: Huhung berarti situasi alam yang kurang bagus. Saat ini biasanya terjadi hujan lebat disertai kabut gunung. Hal ini bisa berlangsung selama berminggu-minggu. JUNI
WULANG LALAK: Ini adalah bulan yang sibuk dengan pelbagai macam upacara: perkawinan dan kenduri kematian (kelas). JULI
WULANG RANGKANG KALO: Bunga pohon dadap (kalo) bermekaran. Bunganya merah menyala. Banyak burung dan serangga mengisap sari madu bunga. Membersihkan kebun. AGUSTUS
WULANG RASI: Rasi: pinang. Saat pinang berbunga, ndiwar. Membersihkan kebun. (di Lembor di kenal dengan Rasi Ndiwar). SEPTEMBER
WULANG WAEK: Waek, akasia. Pohon pelindung kopi. Waek berbunga. Musim hujan dedaunannya rimbun. Ritual Kasawiang kedua. Terjadi perubahan arah angin dari timur ke barat. OKTOBER
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus