Jumat, 16 Januari 2015

SONGKO LOKAP



SONGKO LOKAP

sumber: https://www.facebook.com/pages/Budaya-Manggarai/804016502964496






Diakses  pada tanggal 17 Januari 2015  pukul 12:17  di JPS - Bekasi

Songko = mengangkut, lokap= potongan kayu / kulit kayu pada saat mengerjakan rumah.
Langkah-langkah songko lokap:
Bantang pa'ng olo ngaung musi
Rasang (dali) sola agu kope
Upacara kurban ayam jantan putih
Mengangkat balok dan papan dari hutan ke kampung (elong haju)
Upacara - Upacara
Semua alat pertukangan ditandai oleh darah hewan kurban
Peletakan batu pertama rumah adat
Motif rumah adat: (niang= bulat, atap berbentuk bulan pola)
Bagian-bagian utama rumah adat:
Lutur
Leba / lobo
Lempa rae
Kolong rumah adat
Bagian Puncak: lempa rae dan ukiran wajah manusia
Langkah-langkah perayaan congko lokap
Upacara wisi lose (bentang tikar) - manuk wisi lose
Pantek (menyajikan) Kaba: disertai tarian (sae kaba / toto loke).
Barong lodok / Barong wae dan boa pkl 15.00 (jam 3 sore) : Sesepuh adat menggunakan pakaian adat lengkap / resmi. Saat berangkat dan pulang menyanyikan lagu (ronda) dan disertai tabuhan gong - gendang.
Wisi loce (manuk wisi loce) - Ela wee. - makan malam
Sanda - mbata diiringi gong gendang (Mbata: bernyayi disertai bunyi gong - gendang), Sanda: nyanyi dengan posisi melingkari tiang utama rumah adat / siri bongkok.
Roban Kaba Congko Lokap
Lilik dan Renge Kaba (Lilik Kaba: membawakan doa atas hewan kurban dalam keadaan berbaris dan diucapkan sambil menari). Renge Kaba: Doa atas hewan kurban). Lalu kerbau dibunuh
Ela kempeng kaba.
Upacara terakhir / penutup
Adak wajo ela congko lokap (ela lasa songko lokap)


MBARU: INEWAI?

MBARU: INEWAI?

Simak dalam tulisan berikut:



GEREJA LAMA PAROKI RANGGA DALAM KENANGAN

Oleh: Ipran Fransiskus
 Sumber: https://www.facebook.com/notes/10152854717399733/


Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini saya mau bercerita tentang gereja Paroki Rangga yang lama, sebelum gereja yang sekarang ini ada di sana. Gedung gereja yang lama itu kiranya sudah dirobohkan pada awal tahun 70an sebab sejauh saya ingat pada tahun 70an sudah berdiri sebuah gereja baru yang bentuk dan ukurannya maupun gaya arsitekturnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan gedung gereja yang lama. Sebelum dirobohkan, gedung gereja lama itu berdiri dengan megah dengan arsitektur yang sangat unik dan menarik. Bangunan itu berbentuk bundar persegi, mungkin segi lima (Pentagon), dengan beberapa tiang besar penyangga di dalamnya. Sejauh saya ingat gedung itu sudah setengah tembok tetapi lantainya masih berupa tanah atau bebatuan yang dilekatkan dengan semen seperlunya. Ke atasnya dinding gereja itu adalah papan. Bahkan ada beberapa kaca jendela yang sudah berukiran indah walau saya tidak ingat lagi dengan tema yang diangkat di sana. Biasanya tentu saja pelbagai tema biblis seperti gembala yang baik, pokok anggur, keluarga kudus, ataupun beberapa tokoh penting dan terkenal dalam sejarah gereja atau dari kehidupan para santo santa, dll. Ada beberapa candi atau menara yang menjadi ciri khas gereja itu. Dan ada satu menara utama yang berukuran besar dan tinggi. Menara itu dikelilingi oleh empat menara yang berukuran lebih kecil dan lebih rendah dari menara utama tadi. Atap gereja itu sudah terbuat dari zink yang dicat merah tua. Di beberapa sisi dari masing-masing menara itu ada lubang yang berbentuk melingkar yang kiranya berfungsi sebagai ventilasi untuk membantu sirkulasi udara, tentu selain juga jendela-jendela lain yang terletak lebih rendah. Tetapi lubang-lubang besar melingkar itu kiranya juga berfungsi sebagai alat bantu penerangan agar gereja tidak terlalu gelap dan pengap di siang hari tatkala umat sedang memadati ruangan gereja itu.

Mungkin gereja itu sudah berdiri pada awal tahun 30an. Saya tidak tahu persis informasi tentang hal ini (semoga di lain kesempatan saya bisa menemukan informasi tentang hal itu). Tetapi mengenai proses awal pembangunannya saya ingin memberi sebuah catatan yang penting dan menarik.

Tahun lalu, persisnya akhir Agustus 2013, saya mendapat kesempatan yang sangat langka dan istimewa untuk mewawancarai bapak Mundus Rampak di kampung Dempol dan beberapa orang-orang tua yang lain di Dempol. Dalam wawancara itu ia mengatakan bahwa ia sudah menyaksikan proses pembangunan gereja itu walau ia rada lupa persis tahunnya. Ia bahkan bersaksi bahwa salah satu tiang utama dalam gereja itu, yang saat itu masih terbuat dari kayu, diambil dari gunung (poso Ponto Ara, yang terletak di Ulu Wae Lombur) dengan ritual “roko molas poso.” Hal inilah yang sangat menarik perhatian saya. Dengan cara itu berarti gereja diperlakukan sebagai sebuah rumah gendang, di mana rumah gendang (mbaru gendang atau mbaru tembong, biasanya berbentuk mbaru niang) Manggarai selalu mempunyai tiang utama, yang disebut siri bongkok dan yang bagian atasnya dilanjutkan dengan tiang ngando. Tiang siri bongkok inilah yang diambil dari gunung dengan ritual “roko molas poso” tadi. (Pada tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis tentang ritual roko molas poso ini). Karena tiang utama itu adalah perempuan, maka seluruh rumah itu juga adalah simbolisme perempuan. Hal itu juga berarti bahwa gereja lalu dianggap sebagai perempuan, terutama sebagai seorang ibu sebagaimana halnya juga mbaru gendang dan rumah pada umumnya adalah disimbolkan sebagai ibu dari dalam rahim siapa terlahir banyak kehidupan baru dan dengan itu ia menjamin sejarah dan kehidupan dan masa depan.

Dalam hal ini kiranya hal itu tidak melenceng sangat jauh dari tradisi gereja itu sendiri, sebab dalam tradisi Latin, gereja juga selalu diperlakukan sebagai ibu, sehingga ia disebut mater ecclesia, bunda gereja. Memang ungkapan ini tidak terutama mengacu kepada gedung fisik dari gereja tetapi kiranya gedung fisik itu juga tercakup di dalamnya karena gereja sebagai sebuah entitas rohani selalu mengandaikan sebuah perwujudan jasmani dalam rupa bangunan fisik yaitu gedung atau bangunan gereja. Sehingga tidak salah sama sekali jika sebutan mater ecclesia itu juga dilekatkan pada gedung bangunan fisik itu.

Sejak tahun 70 gedung gereja lama itu sudah tidak ada lagi. Lalu diganti dengan gedung gereja baru yang sekarang ini ada. Dibandingkan dengan gereja lama, gedung gereja baru ini sangat jauh lebih sederhana. Bentuknya sederhana saja, yaitu persegi panjang. Tanpa menara yang terpadu dalam gedung gereja itu sendiri. Paling-paling sekarang ini ada menara lonceng saja. Gaya arsitekturnya pun amat sederhana. Memang tidak mudah memelihara dan mempertahankan sebuah gedung lama apalagi dengan arsitektur yang rumit. Pasti memakan biaya yang besar. Sayang bahwa warisan lama itu tidak dapat dipertahankan sama sekali. Hilang begitu saja ditelan jaman. Gedung gereja baru ini sederhana. Gedung gereja lama itu sangat megah.

Sekali lagi, sayang bahwa hal itu sudah tidak ada lagi. Jika orang masih mau melihat bentuk asli gereja itu, maka orang bisa melihatnya dalam bentuk gereja Pagal atau gereja Lengko Ajang (bisa dilihat dalam foto ilustrasi yang juga dilampirkan di sini). Di kedua tempat itu bentuk bangunan gereja lama masih ada dan dipertahankan dengan baik.

Sekarang setelah bangunan gereja itu tidak ada lagi ia hanya tinggal menjadi sebuah kenangan belaka. Ia masih hidup dalam kenangan orang orang tua dulu dan juga angkatan yang dari jaman 60an. Sebab generasi sesudah itu tidak lagi dapat menyaksikannya. Jika dilihat dengan kilas balik seperti itu maka orang akan sadar bahwa dulu pernah ada gereja seperti itu di Rangga. Suatu saat orang akan sadar bahwa ia pernah menjadi pusat ziarah mudik orang-orang Lembor, karena ketika begitu melihatnya entah kenapa orang merasa seakan-akan sedang tiba padahal ia masih jauh dari rumahnya. Suatu penglihatan yang menipu: “Dekat di mata, jauh di kaki.” Suatu hal yang sangat biasa di Manggarai. Hal itu terjadi karena alamnya yang bergunung-gunung dan berbukit sehingga sebuah kampung yang terletak di atas bukit sudah akan kelihatan sangat dekat dari kejauhan padahal sesungguhnya masih sangat jauh jika ditempuh dengan berkaki sebab kita harus menuruni lembah dan menaiki lereng bukit sebelahnya.

Ada dua kenangan yang indah di Lembor dulu. Satu ialah candi gereja paroki Rangga. Yang lain ialah Salib di puncak golo Rutang di Wae Sesap (yang, kalau tidak salah, dibangun pada saat Bapa Titus Anggal menjadi Camat Lembor). Candi di Rangga dan salib di bukit golo Rutang itu memang penuh kenangan. Yang satu candi gereja, yang lain Golgotha Waenakeng, tepatnya di golo Rutang, dengan tiga salib tegak menjulang tinggi, tempat tiap mata memandang penuh lagi setelah berhasil menaklukkan Tuke Wae Bangka dan telah tiba di kampung Tuwa.

Jika kita memandang dari kejauhan, misalnya dari Besi atau dari Tonggong Golo Lajar, maka atap merah gereja itu dan kelima candinya tampak sangat indah dan mengagumkan. Ia menjadi tampak semakin indah karena warna merah tua atap zinc gereja itu dipadu dengan warna hijau tua dedaunan pohon langke rembong yang sudah berusia tua di pong Rangga. Akan semakin tampak indah lagi jika semuanya itu dilihat dengan latar belakang padang Lembor yang dulu masih banyak padangnya. Itu kondisi sebelum banyak petak sawah dicetak. Setelah banyak sawah dicetak, tentu pemandangan itu juga tidak kalah indahnya dengan latar belakang sawah yang indah permai itu. Pemandangan alam itu akan terasa semakin indah dan mengagumkan jika di sawah ada padi yang sedang menguning keemasan. Indah sekali. Sekarang semuanya tinggal kenangan. Terutama arsitektur gereja paroki Rangga yang indah itu, dan salib di Golgota Golo Rutang itu.


Medio November 2014,
Georgetown University, Washington DC, USA.


Gambar Mbaru Gendang  dengan Gendang

Sumber: 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4400010768798&set=a.1545835896210.2078472.1544422517&type=1&theater
diakses pada 13 Juni 2015, pkl 17:51


 


SEJARAH MANGGARAI



SEJARAH MANGGARAI

Sumber: https://www.facebook.com/notes/budaya-manggarai/sejarah-manggarai/863024107063735

Diakses pada tanggal  17  Januari 2015, oukul 11:43 am  di JPS  Bekasi



Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Copa de Flores" yang berarti " Tanjung Bunga". Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad.

Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.

Sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:
•    Etnis Manggarai - Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen);
•    Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
•    Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
•    Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);
•    Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.

Masyarakat Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo'o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya.

Manggarai (termasuk Manggarai Barat) Sampai Abad XIX

Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya.

Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.

Jawa
Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.

Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.

Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal. Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano.

Selain Kesultanan Goa dan Bima,
Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.

Belanda.
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.

CACI - puisi




https://www.facebook.com/groups/budayamanggarai/

CACI   By: Rerald  Bibang


lecutan cemeti bertubi-tubi
selang seling teriakan paci*)
pinggul perempuan meliuk-liuk mengikuti irama gung gendang
lengkaplah natas*) menjadi medan laga
dua lelaki telanjang dada mengadu tangkas

pui dari kulit kerbau kering disambar ke perut bumi
sebelum akhirnya menusuk raga
menggurat luka hingga cucuran darah
panggal*) penutup kepala menanduk-nanduk
selayaknya kepala kerbau untuk menaklukkan musuh
dengan kain penutup kepala hingga menyisakan sedikit celah di sekitar mata
lawan dibidik dengan erangan nafsu tinggi
yang bersembunyi di balik nggiling*)
pui pun disambar beberapa kali ke angin
hingga menggelegar ancang-ancang memecut lawan
adu tangkas dua pejantan
menghibur hati dan ribuan mata
tapi tidak untuk mematikan musuh
melainkan untuk mematangkan sikap jujur
nggiling dan agang diserahkan dengan sopan santun
kalah-menang bukanlah hal yang dituju
dada para perempuan berdebar-debar
tapi bukan untuk merangsang nafsu raga
karena ketegangan segera berlalu dengan senyum
tanpa dendam kesumat turun temurun
nggiling dan agang*) media penyucian
warisan dari rahim bumi Manggarai
untuk menguji kesucian putra-putrinya
agar terus merawat ibu bumi
di hari ini dan hari-hari mendatang
***
· Natas = halaman kampung
· Panggal = Penutup wajah pelaga caci, sebuah hiasan mirip gambaran depan kepala kerbau bertanduk. Bahan panggal utamanya terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang sudah kering.
· Nggiling-agang = Alat bantu perisai yang digunakan oleh pelaga. Nggiling terbuat dari kulit kerbau yang sudah kering-ditambah lengkungan seberkas ranting bambu atau rotan yang disebut agang.
· Paci = seruan dan litani kemenangan dalam tarian caci
(g n bibang/jkt/minggu/11.11.’12)

Kamis, 01 Januari 2015

SUKU_SUKU DI MANGGARAI


Suku  / kampung Suka di desa Nantal kecamatan Kuwus Manggarai  Barat  berasal  dari  suku Suka  di Wae Rana - Borong, Manggarai Timur. Katanya, keduanya, kakak beradik. Kakak  tinggal di Suka  Wae Rana, adik tinggal di Suka  Nantal, Kolang  Kuwus, Manggarai  Barat. (Kisah  Kreang Beny Wardy, pada  Kamis,  1 Januari 2015  di  Rumah Bapa Juan - Cikarang).

Tentang  Suka ini, tenyata  kompas. com memuatnya dalam edisi, Minggu, 4 Januari 2015
Berikut linknya:
 http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/110923727/Menyusuri.Rimba.Suka.Ndolu.dan.Mbengan.di.Bumi.Flores



Suku  Rajong

Rajong  ada 2, Rajong Koe (di Elar)  dan Rajong Mese ( Wae Rana / Kisol . Mok / Mukun)

Rajong Koe (di Nunur,Kec.Kota Komba) dan Rajong Mese ( di Elar )

Suku  Bajo  dan Bima:
Suku Bajo  / Bugis   dan Bima umumnya  mendiami    daerah pantai, seperti Labuan Bajo, Terang, Bari, Reo, Pota, Borong. Orang Bajo dan Bima umumnya  muslim. Orang Bajo dikenal pelaut ulung sedangkan orang Bima dikenal sebagai  pembuat  garam hebat. Sering terjadi perkawinan antara  kedua suku ini. Perkawinan keduanya tampak harmonis. Dengan garam Bima, Ikan  Bajo menjadi awet. Ini bukan hanya dalam makna  gramatikal tetapi juga dalam makna personifikasi bahwa  istri (gadis Bima) merupakan "garam" -   yang mengawetkan kehidupan "ikan" (lelaki)  Bugis.  Tentang orang  Bajo di Labuan Bajo,  konon ada pulau Bajo yang merupakan tempat tinggal dan tempat  pemakaman leluhur mereka. Setelah itu  mereka mendirikan kampung  Kampung Cempa yang  kemudian berubah menjadi  Kampung Ujung. Di kampung Ujung mereka mendirikan rumah-rumah Panggung.  Dahulu Kampung Ujung hanya pondok singgahan untuk orang Bajo / Bugis  yang  datang merantau ke Flores. Orang bajo sudah masuk Flores sekitar 100 tahun yang lalu. Seiring perkembangan waktu, orang terus berdatangan ke Labuan Bajo, baik pendatang dari luar maupun orang Manggarai sendiri yang turun dari gunung menuju ke daerah pantai. Mereka  berbaur menjadi satu  sebagai orang Labuan Bajo tapi  tetap dengan identitas yang jelas bahwa orang  Bajo sebagai nelayan sedangkan orang Manggarai sebagai petani. Beberapa tokoh suku Bajo yang perlu disebut adalah: Haji Sahamad Supu, Haji Muhammad Sutin (65 tahnun), Haji Aco.  Haji Sutin datang dari Selayar, Sulawesi Selatan tahun 1967. Mereka menggunakan perahu. kira-kira 3 hari  3 malam dalam perjalanan. Dia datang bersama  ayahnya, Muhammad  dan keluarga. Pemakaman Suku Bajo di Labuan berada di dekat Kantor Urusan Agama (KUA) kamoung Ujung   dan  dekat Pantai Pede.  Namun, kondisi pemakaman itu sekarang  tampaknya tak terawat. Upacara adat sebelum melaut kadang jarang diadakan karena  sudah lupa. Bahkan kadang upacara adat di Labuan Bajo menggunakan upacara  adat Manggarai.  (Sumber: bacaan: http://www.pulaubunga.com/2015/09/21/1557/mengais-puing-tradisi-bajo-yang-tercecer.html).