Warga Curigai Tujuan Penelitian Bertahun-tahun di Liang Bua
Pada September 2003, memang ada penemuan homo floresiensis, manusia purba Flores oleh sejumlah pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia.
Terkait penemuan manusia purba itu, belakangan, tim gabungan Australia dan Indonesia kemudian menyimpulkan bahwa itu merupakan fosil yang berasal dari spesies bukan manusia.
Kesimpulan itu dikritik oleh peneliti lain yang dimotori oleh Teuku Jacob, ahli dari Universitas Gajah Madah (UGM). Menurut dia, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan.
Itu sebabnya, pada 2007 lalu tim peneliti dari UGM melakukan penggalian ulang.
Keberadaan peneliti yang hampir 10 tahun di lokasi itu tersebut membuat tanda tanya besar bagi warga sekitar.
Lantaran para peneliti tertutup dengan masyarakat sekitar, mereka menduga, ada yang tidak beres dengan kegiatan penelitian di lokasi yang berjarak kurang lebih 13 km arah utara kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai itu.
“Patut kami duga para peneliti hanya mengambil kekayaan alam di Liang Bua untuk keuntungan pribadi mereka. Peneliti juga sangat tertutup dengan masyarakat,” ujar Fidelis Randut, warga Desa Liang Bua kepada Floresa.co, Sabtu (6/2/2016).
Menurutnya, jika peneliti melakukan pencurian barang tertentu dari dalam Gua Liang Bua pasti bakal tak satu yang bisa mengetahuinya.
”Kalau saya amati, masyarakat Liang Bua sudah tertipu dengan adanya fosil homo hloresiensis. Masa sudah puluhan tahun belum ada hasilnya. Sejauh ini kita belum tahu persis Sumber Daya Alam apalagi di Gua Liang Bua,” katanya mencurigai.
Dihubungi terpisah, Minggu (7/2), Petrus Rabu, Sekretaris Desa Liang Bua mengaku, memang tidak ada pendampingan dari pemerintah setempat sejak tahun 2007 lalu.
Ia mengaku pernah memang pernah ikut dalam proses penggalian dan yang ditemukan adalah tulang-tulang yang berserakan di bawah tanah.
“Sepengetahuan saya, tulang-tulang yang didapatkan dalam tanah itu di bawah ke Jakarta,” katanya.
Penggalian, kata dia, dilakukan di banyak tempat, dengan kedalaman sekitar 11 meter.
“Kami tidak tahu persis di kampung ini. Selama ini kami hanya anggap mereka sebagai peneliti saja,” ujarnya.
Floresa.co sudah berupaya meminta tanggapan dari pejabat di lingkup Setda Manggarai terkait hal ini.
Hingga berita ini diturunkan, kami belum berhasil mendapat respon mereka. (Ardy Abba/ARL/Floresa)
Kecurigaan Terhadap Penelitian di Liang Bua
Oleh: ALFAN MANAH
Pada 7 Februari lalu, Floresa.co mempublikasi berita
berjudul “Warga Curigai Penelitian Bertahun-tahun di Liang Bua.” Dalam
berita itu, dijelaskan bahwa warga bernama Fidelis Randut menduga para
peneliti hanya mengambil kekayaan alam di Liang Bua untuk keuntungan
pribadi mereka, lantaran para peneliti tertutup dengan masyarakat
sekitar. Ia juga mengatakan, penelitian yang dilakukan puluhan tahun itu
tak ada hasilnya.Usai menyimak berita tersebut, saya merasa tergerak untuk menyampaikan beberapa pokok pikiran berdasarkan cacatan selama melakukan kegiatan peliputan di Situs Liang Bua pada tahun 2012.
Sebelum lebih jauh saya menanggapi pendapat Fidelis Randut yang termuat pada berita tersebut, mari kita simak gambaran sepintas tentang Situs Liang Bua.
Liang Bua adalah sebuah gua kuno yang menjadi tempat tinggal manusia purba yang hidup pada 94.000 tahun silam. Gua itu merupakan cekungan berukuran besar, dengan mulut selebar lebih dari 15 meter dan kedalaman sekitar 7 meter. Langit-langit berupa batu dengan ujung menggelantung.
Situs Liang Bua terletak di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Gua ini terlihat bersih dan bekas-bekas galian fosil masih terlihat.
Hemat saya, mencurigai tujuan penggalian Situs Liang Bua untuk penelitian dan sampai menilai bahwa penelitian tersebut tidak ada hasilnya adalah tidaklah berdasar.
Apalagi, tim penggalian situs purbakala di bawah pimpinan ilmuwan Australia dan Indonesia telah menemukan sisa-sisa kerangka delapan manusia dengan ukuran tubuh agak pendek dan volume otak kecil di dalam gua Liang Bua. Fosil-fosil tersebut kemudian diberi nama Homo Floresiensis (Manusia Flores), yang diambil dari nama pulau tempat ditemukannya fosil tersebut.
Salah satu kerangka yang diperkirakan seorang perempuan berusia 30-an tahun dan meninggal sekitar 18.000 tahun lalu, tingginya hanya 1 meter. Volume otak wanita itu hanya 380 cc. Informasi ini penting, sebab ukuran otak tersebut boleh dikatakan kecil, bahkan untuk seekor simpanse sekalipun.
Penyelidikan atas penemuan itu, yang diperkirakan berlaku paling tidak bagi 8 kerangka tersebut, menunjukkan bahwa Homo Floresiensis hidup di dalam gua ini antara 95.000 dan 12.000 tahun yang lalu.
Pendapat bersama dari para ilmuwan yang meneliti perkakas dan tulang-belulang hewan yang berhasil ditemukan dalam penggalian di dalam gua tersebut adalah bahwa individu-individu Homo Floresiensis memperlihatkan perilaku kompleks yang memerlukan kemampuan berbicara, dengan kata lain mereka adalah manusia cerdas yang hidup bermasyarakat dan memiliki keterampilan (kemampuan berkarya).
Batu-batu yang dipahat dan diasah tajam untuk keperluan tertentu ditemukan di dalam gua itu, dan keberadaan kerangka hewan memperlihatkan bahwa mereka adalah para pemburu yang berhasil, yang mampu menangkap binatang-binatang yang lebih besar dari tubuh mereka sendiri.
Penggalian lanjutan di Situs Liang Bua pada tahun 2012 yang lalu dilakukan dalam rangka menemukan kedelapan temuan yang terfragmentaris itu. Hal ini juga dilakukan untuk menjawab keraguan dari sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa Homo Floresiensis adalah spesies manusia modern atau Homo Sapiens yang kerdil.
Jatmiko, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di sela-sela kegiatan penelitian di Liang Bua ketika itu mengakui bahwa ada pendapat yang mengatakan Homo Floresiensis adalah manusia kerdil yang masuk dalam spesies Homo Sapiens atau manusia modern. Karena itu, pihaknya melakukan penelitian lanjutan untuk menjawab semua keraguan itu.
Tim penggalian tahun 2012 itu terdiri dari Thomas Sutikno, Jatmiko, Sri Warsito, Rokus Awe Due dari Puslit Arkenas, Matthew Tocheri, Mike Morwood. Dan tim peneliti ini dibantu oleh 41 orang lokal terlatih yang sudah bergabung dalam tim penggalian di Liang Bua sejak tahun 1979.
Terkait punahnya spesies Homo Floresiensis, Jatmiko menjelaskan pihaknya juga sedang meneliti tentang penyebab punahnya spesies ini. “Ada dugaan sementara punahnya spesies ini akibat letusan gunung berapi yang sangat dahsyat terjadi pada sekitar 13.000 tahun yang lalu.
Diduga, letusan Gunung Tambora, atau Gunung Berapi yang kini menjadi Danau Toba ataukah Gunung Berapi di Flores yang kini menjadi Danau Rana Mese,” terang Jatmiko. Dikatakannya, dugaan itu didasarkan atas struktur lapisan tanah vulkanik setebal 80 cm yang ditemukan berada tepat diatas kerangka tulang Homo Floresiensis ditemukan.
Salah seorang tim local penggailian Liang Bua 2012, Hendrikus Bandar (72) yang bertugas sebagai seorang pencatat tanah yang sudah ditimbang mengatakan bahwa dirinya telah bergabung dalam tim ini sejak tahun 1979. “Tim penggalian menggunakan tenaga warga sekitar Liang Bua yang terlatih sejak tahun 1979,” ujarnya.
Masyarakat setempat meyakini manusia purba itu berukuran pendek, setinggi 80 cm-100 cm. Penampilan mendekati bentuk monyet, tetapi sudah punya kemampuan berburu. Mereka makan binatang, seperti tikus atau kelelawar.
Lorens Hena termasuk salah satu warga yang diajak para peneliti arkeologi untuk menggali fosil manusia purba di dalam goa tersebut sejak awal tahun 2000-an.
Menurut Hena, sebelum digali untuk penelitian, gua besar ini pernah dipakai untuk tempat sekolah, yaitu mulai tahun 1960-an sampai 1970-an. Sekolah Rakyat, tempat anak-anak kampung belajar. Kadang, gua ini dipakai untuk upacara adat dan persembahan sesaji untuk leluhur.
Untuk diketahui bahwa Homo Floresiensis atau “Manusia Purba dari Flores”, dijuluki “hobbit” dan “llo” adalah spesies yang kini sudah punah, dalam genus Homo. Sisa-sisa fosilnya ditemukan pada tahun 2003 di Liang Bua, Manggarai. Kerangka parsial dari sembilan orang telah ditemukan, termasuk satu tengkorak lengkap. Bekas-bekas inilah yang menjadi subyek penelitian intensif untuk menentukan apakah mereka merupakan spesies yang berbeda dari manusia modern, dan kemajuan ini menimbulkan kontroversi ilmiah.
Hominin ini adalah luar biasa bagi tubuh yang kecil dan otak dan untuk bertahan hidup sampai waktu yang relatif baru pada sekitar 18.000 hingga 13.000 tahun yang lalu. Dipulihkan bersama sisa-sisa kerangka adalah alat-alat batu dari wawasan arkeologi mulai dari 94.000 sampai 13.000 tahun yang lalu.
Dua penelitian ortopedi diterbitkan pada tahun 2007 keduanya melaporkan bukti yang mendukung status spesies untuk Homo Floresiensis. Sebuah studi dari tiga token dari karpal (pergelangan tangan) tulang menyimpulkan ada kesamaan dengan tulang-tulang karpal dari seekor simpanse atau hominin awal seperti Australopithecus dan juga perbedaan dari tulang manusia modern. Sebuah studi tentang tulang dan sendi pada lengan, bahu, dan anggota tubuh bagian bawah juga menyimpulkan bahwa Homo Floresiensis lebih mirip dengan manusia purba dan kera daripada manusia modern.
Pada tahun 2009, penerbitan analisis cladistic dan studi pengukuran tubuh komparatif memberikan dukungan lebih lanjut untuk hipotesis bahwa Homo Floresiensis dan Homo Sapiens adalah spesies terpisah.
Untuk menjawab keraguan sejumlah warga seperti Fidelis Randut, saya sarankan Pemerintah Kabupaten Manggarai perlu membuat Museum Sejarah dan Budaya Manggarai yang juga turut memajang duplikat tulang belulang Homo Floresiensis agar warga mudah memperoleh informasi yang tepat.
Penulis berasal dari Ruteng, sekarang bekerja di Yayasan Senyum Bali. Ia juga masih aktif menulis di beberapa media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar