News / Internasional
Paulus Lahur: Asal Indonesia, Tinggal di Australia, Klien di Jepang
Rabu, 24 Desember 2014 | 08:30 WIB
Terkait
- Tertangkap Google Earth, dari Ganja sampai Prostitusi
- Faisal Basri: Gunakan Subsidi Tetap untuk BBM, APBN Lebih Stabil
- Jokowi Minta Pandangan PBNU Terkait Vonis Mati Bandar Narkoba dan Radikalisme
- Kampoeng Djamoe Organik, Oase di Kawasan Industri Cikarang
- Paulus Lahur: Asal Indonesia, Tinggal di Australia, Klien di Jepang
Perjumpaan saya dengan Paulus Lahur juga terjadi tidak sengaja ketika kami sama-sama menghadiri sebuah seminar mengenai Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi yang diselenggarakan oleh Australia Indonesia Center (AIC) di Melbourne beberapa waktu lalu.
Dalam perbincangan kami mengenai latar belakang pekerjaan masing-masing, Lahur kemudian mengungkapkan bahwa dia, yang sejak beberapa tahun terakhir tinggal di Australia, mengatakan tidak memiliki kantor, tetapi bekerja dari rumah.
Namun, "pekerjaan rumah" itu ditekuninya karena kliennya ternyata berada di luar negeri, tepatnya di Jepang.
Apa bisnis yang ditekuninya?
Inilah penjelasannya kemudian lewat e-mail.
"Bisnis yang saya lakukan sekarang adalah pengembangan software, khususnya untuk tujuan simulasi fisika, seperti aliran fluida, struktur, dan perpindahan panas. Biasanya untuk simulasi aliran udara, misalnya, dibutuhkan proses yang panjang dan melibatkan lebih dari satu software. Masing-masing software punya fungsi yang spesifik dalam proses ini. Spesialisasi saya adalah otomasi salah satu bagian dari proses yang banyak menyita waktu dan tenaga manusia," kata Lahur.
"Software ini saya kembangkan sesuai dengan pesanan klien. Klien memberikan perincian software yang mereka butuhkan. Lalu, saya mengembangkan software yang diminta, mulai dari perencanaan, desain, pembuatan program, pengujian, perbaikan, hingga pemeliharaan," tambahnya kepada wartawan ABC, L Sastra Wijaya.
Menurut Lahur, perkenalannya dengan Australia sudah dimulai sejak dia kuliah S-1 di jurusan Teknik Mesin di University of Tasmania, di Hobart.
"Setelah lulus, saya kembali ke Indonesia untuk bekerja. Setelah itu, saya kembali lagi ke bangku kuliah untuk mengambil program S-2 dan S-3 di Nagoya University, Jepang. Setelah lulus, saya lalu bekerja di lembaga antariksa Jepang, JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency ), di Tokyo. Kemudian, saya sempat juga bekerja di perusahaan Jepang yang merupakan salah satu kontraktor JAXA," kata Lahur.
Sejak tahun 2007, Lahur memutuskan untuk pindah ke Australia karena alasan pribadi tetapi tetap menjalin hubungan dengan kliennya dari Jepang.
"Ketika sudah tamat dari Nagoya, saya sempat mempertimbangkan tinggal di Jepang. Tapi, ada beberapa faktor yang membuat saya untuk pindah ke Australia. Salah satunya adalah pertimbangan jangka panjang untuk keluarga, terutama anak."
"Keadaan Jepang yang rentan bencana juga menjadi salah satu faktor. Ditambah lagi masalah demografi Jepang semakin berat karena jumlah penduduk usia kerja semakin sedikit, sementara jumlah penduduk usia lanjut yang harus ditopang negara bertambah banyak," kata tamatan SMA Kanisius Jakarta tersebut.
Dengan klien di negara lain, kesulitan apa yang dihadapi Paulus Lahur dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari?
Menurut dia, hal itu lebih banyak disebabkan keahlian yang dimiliknya memang unik sehingga kliennya terbatas.
"Jadi, kesusahan terbesar adalah tidak ada jaminan akan selalu ada klien. Idealnya kalau ada klien yang punya proyek jangka panjang misalnya selama beberapa tahun, tetapi dalam kenyataannya belum tentu begitu. Saya sendiri masih mencari-cari rumus yang tepat untuk menghadapi masalah ini," lanjut pria yang sekarang berusia 46 tahun tersebut.
Namun, menurut dia, dari sisi teknologi, dengan berkembangnya internet yang begitu cepat, komunikasi dengan klien tidak banyak masalah.
"Bidang pengembangan software adalah bidang yang dapat dikerjakan secara lintas negara karena semuanya bisa dikerjakan lewat internet. Komunikasi bisa dengan e-mail dan Skype. Data bisa dikirim langsung lewat e-mail, atau kalau besar (puluhan megabyte atau lebih besar lagi) bisa pakai DropBox (tempat penyimpanan data online yang aksesnya bisa dibuka kepada orang yang kita tuju). Bahkan, untuk data yang sangat besar (puluhan gigabyte atau lebih besar lagi) bisa disimpan di USB key atau hard drive dan dikirim lewat pos. Pendek kata, batasan teknologi sudah hampir tidak ada lagi," kata Lahur lagi.
Sejauh ini, apakah yang dilakukan Lahur juga banyak dilakukan oleh orang lain?
"Sejauh yang saya ketahui, tidak banyak orang yang bekerja lintas negara seperti ini. Namun, saya yakin bahwa pada masa datang angka ini akan terus meningkat seiring dengan semakin hadirnya internet di segala penjuru dunia. Peluang bekerja di mana saja kepada siapa saja semakin terbuka lebar."
"Selain itu, kemajuan teknologi ini mempunyai efek menipiskan keterikatan batin manusia pada suatu negara atau bangsa. Selama kode etik bisnis yang baik dipatuhi, harga cocok, tidak ada alasan untuk menolak tawaran pekerjaan dari negara lain," kata Lahur yang salah satu hobinya adalah melukis.
Sampai sekarang Lahur sudah pernah tinggal di tiga negara, Indonesia, Jepang, dan Australia, dan dia berharap bahwa dengan istri dan satu orang anaknya sekarang ini, mereka tidak harus berpindah negara lagi.
Namun, apakah dia menikmati apa yang dikerjakannya sekarang?
"Saya memang pada dasarnya senang bertualang dan mencoba sesuatu yang tidak umum dikerjakan oleh orang lain. Mungkin ini juga yang membuat saya cocok di bidang riset dan pengembangan. Ada tantangan dan kepuasan tersendiri di sana. Faktor lain adalah datangnya kesempatan yang sulit sekali untuk disia-siakan, apalagi kalau dibandingkan dengan keadaan Indonesia waktu itu yang relatif kurang kondusif dalam hal pengembangan spesialisasi saya," kata Lahur lagi.
Dari mana sikap petualang itu muncul dalam dirinya?
"Saya anak sulung dari lima bersaudara. Besar di Jakarta. Ayah saya sendiri waktu muda suka bertualang. Dia lahir di Flores dan berpindah-pindah tempat di Indonesia untuk mengejar pendidikan, sampai akhirnya menetap di Jakarta. Mungkin secara tidak sadar saya mewarisi semangatnya dalam hal bertualang mengejar pendidikan. Saya sudah berkeluarga, istri satu, anak satu. Keluarga kecil ini juga memudahkan kami untuk berpindah negara. Namun, sekarang saya berharap tidak perlu pindah-pindah lagi," kata Lahur.
Editor | : Egidius Patnistik |
Sumber | : ABC Australia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar