Ritual Pauk Manuk Iringi Uji Nyali di Poco Komba
Rongga:
Watu susu
Batu: penunjuk arah
Leluhur : Bela Paka Ratu; Meka (Leke- Ngguru - Woi)
Suku Rongga: Bela Paka Ratu; Meka (Leke- Ngguru - Woi)
Suku Motu: ada Nua (Nunuwula) - ada kubur Sunggi dan SikaMANGGARAI TIMUR – Menjelajah alam di atas punggung kuda melewati tepian pantai, jalanan berbatu, padang savana serta perbukitan di Poco Komba, merupakan petualangan yang mengasyikkan sekaligus menantang.
Pagi itu udara di sekitar Pantai Mbalata Desa Watunggene Kecamatan Kota Komba, sangat cerah. Setidak sepuluh ekor kuda telah disiapkan melakukan petualangan yang sangat menantang itu. Langkah kaki kuda mengiringi perjalanan menuju lokasi Watu Susu Rongga di Poco (Bukit) Komba, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Sebelum rombongan menuju lokasi, rombongan singgah di rumah Gaspar Jala, Pemangku Adat Suku Nggeli dan dan Antonius Tandas, Pemangku Adat Suku Motu yang merupakan turunan dari etnis Rongga. Di rumah kedua pemangku adat itu, rombongan yang didampingi Galus Ganggus S.Pd, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Adrianus S. Adjid, Camat Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur, diterima dengan upacara penyambutan oleh kedua pemangku adat tersebut.
Camat Kota Komba pun menyeritakan tentang maksud kedatangan rombongan untuk mengunjungi makam para leluhur kedua suku itu serta melihat dari dekat keberadaan Watu Susu Rongga yang juga merupakan prasasti bersejarah di Poco Komba.
Selepas upacara penyambutan, rombongan diajak masuk ke rumah adat untuk melakukan upacara ritual Pauk Manuk (Persembahan Ayam). Hal itu dimaksudkan untuk memohon restu kepada arwah para leluhur agar seluruh rombongan terhindar dari bencana yang tidak diinginkan dan dapat pulang kembali dengan selamat.
Medannya cukup jauh dan berat. Upacara ritual itu juga untuk mengetahui apakah para leluhur itu mengabulkan maksud dan tujuan tersebut. Setelah membaca beberapa mantera, Gaspar Jala yang ditugasi memimpin upacara ritual itu mulai mencabut beberapa bulu ayam hitam, lalu disembelih dan diteliti jeroan (isi di dalam perut ayam) utamanya usus dan empedu.
“Jika usus yang terdapat dalam perut ayam itu panjang dan empedunya terlihat bersih, maka berarti rombongan tamu diterima dan diperkenankan mengunjungi makam para leluhur dan berkunjung ke Watu Susu Rongga,” ujar Gaspar.
Menurut Gaspar, tidak semua permohonan dikabulkan oleh para leluhur. Ada juga tamu yang tidak direstui leluhur Etnis Rongga saat mau berkunjung ke Watu Susu Rongga. Maka beruntunglah rombongan yang telah mendapat restu itu.
“Ini doa, bukan nujum. Ritual ini dilakukan setiap mereka ada kegiatan masuk ke kampung adat,” kata Camat Kota Komba. Selesai melaksanakan ritual tersebut, masing-masing anggota rombongan diminta meminum sedikit Sopi atau Moke (arak yang bahannya diambil dari pohon lontar).
Dari rumah pemangku adat, rombongan start menuju Poco Komba. Iring-iringan kuda mulai menyusuri sebagian tepi Pantai Mbalata yang berbatu. Badan terasa diguncang-guncang. Kuda-kuda yang dipakai rombongan sangat tangkas. Tak pernah terpeleset sedikitpun, meski bebatuan di tepi pantai itu cukup licin. Bahkan beberapa diantaranya berukuran cukup besar. Selepas jalanan berbatu, rombongan mulai menyusuri pekarangan penduduk.
Tak lama kemudian, rombongan melewati sebuah padang savana yang teramat luas di kaki Poco Komba. Berlatar Laut Sawu dan pandangan ke depan yang tertuju pada Poco Komba nan menghijau. Beberapa kerbau, kuda, sapi-sapi liar berlarian begitu rombongan sampai padang savana tersebut..
Setelah puas menikmati keindahan di padang savana, rombongan melanjutkan langkahnya menuju makam para leluhur yang tersebar mulai dari kaki hingga ke ujung Poco Komba. Suasana magis mulai terasa.
Makam pertama yang ditemui letaknya masih belum terlalu jauh dari padang savana tersebut. Menurut Antonius Tandas, makam pertama tersebut merupakan makam seorang petinggi Etnis Rongga bernama Bela Paka Ratu yang punggungnya pernah disambar petir tetapi tidak mati. Batu itulah sebagai pertandanya sekaligus petunjuk arah untuk menuju Bukit Komba.
Setelah beberapa lama, rombongan sampai di sebuah kompleks pemakaman para leluhur etnis Rongga di Kampung Sambi Lewa (pohon Kesambi yang tinggi). Sebelum sampai kompleks pemakaman para leluhur itu, kuda-kuda ditambatkan. Perjalanan menuju lokasi makam leluhur dilanjutkan dengan jalan kaki. Setelah sampai di Kampung Sambi Lewa, upacara ritual pauk manuk digelar untuk kedua kalinya.
Gaspar Jala lagi-lagi bertugas untuk memimpin jalannya upacara tersebut. Upacara ritual persembahan ayam (pauk manuk) itu berlangsung khidmat. Maklum suasana magisnya semakin terasa. Prosesi upacara juga dilakukan seperti ritual yang dilakukan di rumah adat, saat keberangkatan. Ritual itu juga untuk mengetahui apakah sejauh ini, para leluhur etnis Rongga itu masih menyetujui niat rombongan tamu untuk berkunjung ke Watu Susu Rongga apa tidak. Gaspar menunjukkan hasil positif, dimana usus ayam yang dipotong itu masih panjang terurai, warna empedunya pun masih tetap bersih. “Itu pertanda bahwa rombongan diijinkan untuk mendekati lokasi Watu Susu Rongga,” katanya.
Selepas melaksanakan ritual kedua, pendakian ke puncak Poco Komba dilanjutkan. Rombongan harus melewati pelataran bersusun tujuh yang dulunya merupakan tempat tinggal leluhur etnis Rongga, yang merupakan kakak beradik.
Pelataran pertama merupakan lokasi tempat tinggal anak paling bungsu, demikian seterusnya hingga anak sulung (pertama) yang bernama Meka Leke. Meka Leke memiliki adik yang namanya Meka Ngguru, disusul kemudian Meka Woi. “Anak keempat dan kelima perempuan. Lalu anak keenam Meka Paka dan anak bungsu bernama Jawatu,” ujar Gaspar. Sebelum mencapai pelataran bersusun, rombongan mendapatkan makam leluhur etnis Rongga yang ditandai batu berbentuk pisau atau belati setinggi dua meter dengan lebar sekitar 50 cm. “Merekalah yang menjaga Watu Susu Rongga,” tambah Gaspar.
Konon pada jaman dulu, pisau yang digunakan terbuat dari batu. Waktu perang mereka menggunakan pisau batu tersebut untuk menusuk musuh. Waktu mati pisau batu itu pun ditancapkan di makam masing-masing sebagai pusara. Pada ketinggian sekitar 50-60 meter dari permukaan laut (dpl). Watu Susu Rongga pun terlihat jelas di depan mata. Ketinggian batu yang dipenuhi semak-semak itu sekitar 15 meter. Letaknya saling berdampingan danbentuknya menyerupai payu dara. Itulah sebabnya batu itu dinamakan Watu Susu Rongga.
Sedang pada ketinggian di atas 75 meter dpl, atau di atas lokasi Watu Susu Rongga terdapat sebentuk batu yang dinamakan Watu Weri Lewa. Konon batu tersebut pada jaman nenek moyang digunakan untuk menjemur kapas. Setelah beberapa lama mengamati Watu Susu Rongga, rombongan diajak pulang dengan menuruni punggung bukit dari arah lain.
Dalam perjalanan pulang tersebut rombongan juga sempat ditunjukkan mata air Wei Motu yang pada awalnya digali oleh seekor anjing bernama Eko Lewa (anjing yang berekor panjang). Mata air tersebut mengalir melalui sela-sela bukit.
Selain itu, rombongan juga menjumpai kubur Sunggi dan Sika, nenek moyang Suku Motu yang masih keluarga etnis Rongga. Di atasnya juga terdapat kubur lain di Kampung (Nua) Nunuwula. Menurut Antonius Tandas, Pemangku Suku Motu yang menyertai rombongan, makam para leluhurnya itu juga merupakan bukti bersejarah keberadaan suku Motu, sekaligus merupakan petunjuk arah menuju ke padang savana dimana kuda-kuda itu ditambatkan. (CMY)
Menjelajahi Desa Tenun di Manggarai Timur, Flores
Kompas.com - 10/02/2018, 10:06 WIB
http://travel.kompas.com/read/2018/02/10/100600427/menjelajahi-desa-tenun-di-manggarai-timur-flores
KOMPAS.com - Para misionaris Eropa yang mengabdi di Wilayah Elar dan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur sudah mengenal dan memahami keunikan-keunikan yang dimiliki warga setempat sejak 1937.
Misionaris
pertama yang berani melayani umat dan warga di wilayah itu adalah
Pastor Yohanes Swinkels, SVD. Pastor ini berkarya sejak 1937-1947.
Karyanya dilanjutkan oleh rekan se ordonya, Pastor Petrus C. De Graaft,
SVD dari 1948-1964. Selanjutnya diteruskan oleh Pastor Otto Vollert SVD.Karya-karya pelayanan imam-imam itu selalu bersentuhan dengan budaya setempat selain mewartakan persaudaraan dan perdamaian serta toleransi. Saat itu ada sesama saudara Muslim yang hidup di wilayah pelayan mereka, tetapi mereka rukun hingga saat ini.
(Baca juga : Podo Puzu, Ritual Mistis Suku Kengge di Flores)
Warga
setempat sudah memiliki warisan leluhur menenun kain khas kedaluan
Rembong dan Biting. Kedaluan adalah sebuah wilayah terkecil di bawah
wilayah kerajaan. Kini sistem kedaluan sudah perlahan-lahan tidak
memiliki wilayah kekuasaan akibat masuknya sistem pemerintahan Indonesia
dengan sebutan pedesaan.
(Baca juga : Menikmati Kopi Flores di Kafe La Bajo Labuan Bajo)
Warisan
leluhur yang diwariskan secara turun temurun adalah kain tenun khas
Rembong dan Biting. Kaum perempuan di wilayah Kecamatan Elar memegang
teguh warisan itu.
Kain tenun juga sebagai penghargaan dan penghormatan kepada leluhur di wilayah itu yang sudah diwariskan. Ini juga sebagai kebanggaan dalam suatu wilayah dari zaman dulu hingga saat ini dan seterusnya.
Peran kaum perempuan di wilayah itu sungguh hebat karena mereka belajar dan melatih diri secara otodidak. Mereka tidak kursus tapi mereka melihat langsung dari ibu serta mempraktikkannya. Mereka tidak membutuhkan teori melainkan langsung mempraktikkannya, baik di rumah-rumah maupun ketika ibu mereka menenun kain di pondok-pondok di kebun.
(Baca juga : Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat)
Hebatnya,
mereka menenun kain tenun di waktu senggang. Mereka tetap kerja kebun
di musim tanam. Bahkan, ladang-ladang mereka ditanami berbagai jenis
tanaman padi dan jagung.
Zaman dulu mereka sistem menanam di
ladang karena mereka tidak terbiasa dengan lahan persawahan. Hingga saat
ini lahan kering dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis tanaman demi
keberlangsungan hidup keluarga.Merawat Warisan Leluhur
Hanya perempuan yang mampu merawat warisan leluhur, khususnya warisan kain tenun. Sebelum ada lembaga pendidikan, kaum perempuan sudah terlebih dahulu belajar menenun secara langsung dari ibu mereka.
Berawal dari melihat cara menenun ibu sejak usia dini, melihat cara-cara memasukkan benang dengan peralatan tenun. Merajut benang-benang itu untuk membentuk sebuah kain. Ketika seorang perempuan beranjak dewasa, seorang ibu mulai melatihnya dan mempraktikkannya.
Seorang ibu setia melatih dan memberikan dorongan kepada anak perempuan agar bisa menenun sendiri kain tenun untuk kebutuhan dirinya maupun untuk kebutuhan keluarga.
Sesungguhnya perempuan yang tersebar di pelosok-pelosojk itu sungguh sangat hebat. Namun, kadang-kadang tidak dihargai karyanya. Namun, mereka tetap bekerja tanpa kenal lelah.Mereka sering memanfaatkan waktu luang pada malam hari apabila urusan domestik dalam keluarga untuk melayani suami dan anak-anak selesai dilaksanakan. Mereka biasanya menenun di sudut dapur bersebelahan dengan tungku api. Sehari-hari seorang perempuan yang sudah berkeluarga harus bekerja ekstra keras di dalam rumah, seperti memasak, menimba air, bekerja di ladang serta melayani kebutuhan suaminya.
Sesungguhnya yang bekerja sangat total di kampung-kampung adalah kaum perempuan. Namun, sistem patrilineal membuat kaum perempuan kadang-kadang tidak diperhitungkan.
Penopang Hidup Keluarga
Selain penghasilan suami dari kerja harian di kampung-kampung, perempuan juga mencari cara untuk menambahkan penghasilan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hasil tenun yang dirajutnya dijual ke pasar dan pelanggan yang datang langsung di rumahnya.
Penjualan hasil bumi untuk membiayai pendidikan anak-anak dan biaya adat membuat kaum perempuan bekerja ekstra keras dengan menenun kain.
Selain memenuhi kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk berkomunikasi juga semakin meningkat karena teknologi yang memudahkan untuk berkomunikasi dari sudut negeri untuk sesama saudara atau anak-anak yang sedang sekolah di tempat jauh.
Kebutuhan untuk membeli pulsa bagi handphone juga tidak bisa dibendung lagi. Bahkan, membeli handphone untuk memudahkan berkomunikasi menjadi sebuah kebutuhan primer dalam diri warga di seluruh pelosok-pelosok negeri ini.
Jelajah Desa Tenun
Sejak Minggu (28/1/2018), Kompas.com bersama dengan Benediktus Adeni (sopir) dan Levi Betaya melaksanakan perjalanan dari Kota Borong menuju ke wilayah Elar. Kompas.com sudah mengumpulkan banyak informasi yang berkaitan dengan keunikan-keunikan di wilayah itu. Salah satunya adalah informasi tentang kain tenun khas Rembong dan Biting.
Kami berangkat pukul 13.00 Wita melintasi kawasan hutan konservasi Banggarangga, kawasan kopi colol di Kecamatan Pocoranaka Timur, selanjutnya ke wilayah Watunggong, Kecamatan Sambirampas.
Memasuki wilayah Elar, kami ditantang dengan jalan yang parah, walaupun sebagian di aspal. Memasuki wilayah Elar, sang sopir harus hati-hati mengendarai kendaraan karena melintasi jalan rusak, berlumpur, apalagi saat musim hujan saat ini.
Nyawa kami dipertaruhkan dalam tangan sang sopir agar selamat dalam perjalanan. Beruntung sang sopir berpengalaman dalam mengendarai kendaraan di medan berat.
Kami menghibur diri dengan berbagai cerita-cerita humor ala kadarnya agar perjalanan kami tidak jenuh dengan medan yang sangat berat. Kami bersyukur kepada sopir yang penuh kehati-hatian dalam mengendarai kendaraan hingga kami tiba dengan selamat di tempat tujuan.
Malam sebelum tidur, Kompas.com mengumpulkan informasi tentang berbagai keunikan-keunikan budaya setempat. Paskalis Peli Purnama menginformasikan keunikan-keunikan kaum perempuan di wilayah itu.
Kaum perempuan di wilayah itu tetap merawat warisan leluhur, salah satunya adalah menenun kain tenun khas wilayah itu. Selanjutnya kami istirahat malam untuk memulihkan tubuh yang lelah karena perjalanan masih panjang untuk berpetualang di medan berat keesokan harinya.
(Bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar