"The Hobbit" dari Flores Ternyata Punah 50.000 Tahun Lalu
http://sains.kompas.com/read/2016/03/31/06300021/.The.Hobbit.dari.Flores.Ternyata.Punah.50.000.Tahun.Lalu?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Sains
"The Hobbit" dari Flores Ternyata Punah 50.000 Tahun Lalu
Kamis, 31 Maret 2016 | 06:30 WIB
KOMPAS.com - Riset
yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas), Smothsonian
Institution, dan University of Wollongong merevisi pandangan sebelumnya
tentang manusia kerdil dari Flores.
Homo floresiensis, demikian nama spesies manusia itu, dinyatakan punah 38.000 tahun lebih awal dari waktu yang diungkap dalam penelitian sebelumnya.
Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (30/3/2016) itu berpotensi memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Hobbit, begitu manusia kerdil dari Flores biasa dipanggil, ditemukan pada tahun 2003 lalu oleh tim arkeolog yang diantaranya berafiliasi dengan Arkenas.
Peneliti Arkenas yang ikut menemukannya antara lain Thomas Sutikna dan EW Saptomo. Keduanya lantas dinyatakan sebagai arkeolog paling berpengaruh di dunia berkat temuan tersebut.
Manusia kerdil yang otaknya hanya sebesar simpanse (400 cm3) itu ditemukan pada kedalaman kurang lebih 6 meter dari permukaan Liang Bua saat ini.
Tinggi jenis manusia itu hanya 106 cm, karenanya disebut manusia kerdil. Penampakannya mirip dengan manusia yang hidup di Asia dan Afrika 1 - 3 juta tahun lalu.
Penemuannya membuahkan kontroversi. Sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa Hobbit merupakan jenis manusia tersendiri, beberapa ilmuwan lain menganggapnya bagian dari Homo erectus atau malah Homo sapiens yang mengalami kecacatan.
Penentuan waktu kepunahan spesies ditentukan berdasarkan usia lapisan tanah termuda dan tertua tempat fosil spesies manusia tersebut ditemukan.
Hasil riset sebelumnya yang dipublikasikan pada tahun 2003 mengungkap, lapisan tanah tempat H floresiensis ditemukan berusia antara 95.000 - 12.000 tahun.
Fosil yang ditemukan diduga berusia 18.000 tahun. Sementara itu, terdapat fragmen lain yang ditemukan pada lapisan tanah yang berusia 12.000 tahun. Waktu kepunahan kemudian dinyatakan 12.000 tahun lalu.
Kini penemuan terbaru mengungkap fakta berbeda. Thomas Sutikna yang terlibat penemuan Hobbit dan menjadi penulis utama dalam publikasi riset baru kali ini mengatakan, ada yang kurang tepat dalam dasar penentuan usia Hobbit beserta kepunahannya.
"Kami tak menyadari dalam ekskavasi awal bahwa deposit Hobbit pada dinding gua bagian timur sama dengan yang berada di dekat tengah gua, yang kami perkirakan berusia 74.000 tahun," kata Sutikna.
Sutikna dalam rilis bersama yang bisa dilihat di Scimex.org mengatakan, perluasan penelitian mengungkap bahwa ada deposit tanah yang besar dan berusia lebih tua yang digerus oleh erosi permukaan, membentuk lereng curam ke mulut gua.
"Sayangnya, usia sedimen yang menutupi ini yang kemudian digunakan untuk menentukan usia hobbit, tetapi ekskavasi dan analisis lebih lanjut mengungkap bahwa kasusnya tak seperti itu," kata Saptomo.
Matt Tocheri, paleontropolog Universitas Lake Head Kanada yang juga terlibat riset terbaru ini mengatakan, penanggalan dalam riset terbaru dilakukan dengan berbasis Uranium, Argon-argon, dan Luminescence.
"Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Tocheri saat ditemui Harian Kompas pada Rabu (30/3/2016) di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.
Peneliti menemukan pula artefak terkait H floresiensis yang berusia paling muda 50.000 tahun. Maka waktu itulah yang dijadikan dasar penentuan kepunahan spesies itu.
Perubahan perkiraan waktu kepunahan H floresiensis ini memunculkan kontroversi. Bila dinyatakan bahwa Hobbit punah 12.000 tahun lalu, maka mereka kemungkinan besar mengalami kontak dengan spesies kita yang datang ke Flores 50.000 tahun lalu.
Namun bila waktu kepunahannya 50.000 tahun lalu, apakah Hobbit masih kontak dengan manusia modern? Bila kontak, bagaimana relasinya? Jangan-jangan, spesies kitalah yang memusnahkan Hobbit.
Dalam abstrak publikasi di Nature, peneliti mengatakan bahwa interaksi antara manusia modern dan spesies manusia purba lain dengan hobbit masih menjadi pertanyaan.
Homo floresiensis, demikian nama spesies manusia itu, dinyatakan punah 38.000 tahun lebih awal dari waktu yang diungkap dalam penelitian sebelumnya.
Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (30/3/2016) itu berpotensi memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Hobbit, begitu manusia kerdil dari Flores biasa dipanggil, ditemukan pada tahun 2003 lalu oleh tim arkeolog yang diantaranya berafiliasi dengan Arkenas.
Peneliti Arkenas yang ikut menemukannya antara lain Thomas Sutikna dan EW Saptomo. Keduanya lantas dinyatakan sebagai arkeolog paling berpengaruh di dunia berkat temuan tersebut.
Manusia kerdil yang otaknya hanya sebesar simpanse (400 cm3) itu ditemukan pada kedalaman kurang lebih 6 meter dari permukaan Liang Bua saat ini.
Tinggi jenis manusia itu hanya 106 cm, karenanya disebut manusia kerdil. Penampakannya mirip dengan manusia yang hidup di Asia dan Afrika 1 - 3 juta tahun lalu.
Penemuannya membuahkan kontroversi. Sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa Hobbit merupakan jenis manusia tersendiri, beberapa ilmuwan lain menganggapnya bagian dari Homo erectus atau malah Homo sapiens yang mengalami kecacatan.
Penentuan waktu kepunahan spesies ditentukan berdasarkan usia lapisan tanah termuda dan tertua tempat fosil spesies manusia tersebut ditemukan.
Hasil riset sebelumnya yang dipublikasikan pada tahun 2003 mengungkap, lapisan tanah tempat H floresiensis ditemukan berusia antara 95.000 - 12.000 tahun.
Fosil yang ditemukan diduga berusia 18.000 tahun. Sementara itu, terdapat fragmen lain yang ditemukan pada lapisan tanah yang berusia 12.000 tahun. Waktu kepunahan kemudian dinyatakan 12.000 tahun lalu.
Kini penemuan terbaru mengungkap fakta berbeda. Thomas Sutikna yang terlibat penemuan Hobbit dan menjadi penulis utama dalam publikasi riset baru kali ini mengatakan, ada yang kurang tepat dalam dasar penentuan usia Hobbit beserta kepunahannya.
"Kami tak menyadari dalam ekskavasi awal bahwa deposit Hobbit pada dinding gua bagian timur sama dengan yang berada di dekat tengah gua, yang kami perkirakan berusia 74.000 tahun," kata Sutikna.
Sutikna dalam rilis bersama yang bisa dilihat di Scimex.org mengatakan, perluasan penelitian mengungkap bahwa ada deposit tanah yang besar dan berusia lebih tua yang digerus oleh erosi permukaan, membentuk lereng curam ke mulut gua.
"Sayangnya, usia sedimen yang menutupi ini yang kemudian digunakan untuk menentukan usia hobbit, tetapi ekskavasi dan analisis lebih lanjut mengungkap bahwa kasusnya tak seperti itu," kata Saptomo.
Matt Tocheri, paleontropolog Universitas Lake Head Kanada yang juga terlibat riset terbaru ini mengatakan, penanggalan dalam riset terbaru dilakukan dengan berbasis Uranium, Argon-argon, dan Luminescence.
"Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Tocheri saat ditemui Harian Kompas pada Rabu (30/3/2016) di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.
Peneliti menemukan pula artefak terkait H floresiensis yang berusia paling muda 50.000 tahun. Maka waktu itulah yang dijadikan dasar penentuan kepunahan spesies itu.
Perubahan perkiraan waktu kepunahan H floresiensis ini memunculkan kontroversi. Bila dinyatakan bahwa Hobbit punah 12.000 tahun lalu, maka mereka kemungkinan besar mengalami kontak dengan spesies kita yang datang ke Flores 50.000 tahun lalu.
Namun bila waktu kepunahannya 50.000 tahun lalu, apakah Hobbit masih kontak dengan manusia modern? Bila kontak, bagaimana relasinya? Jangan-jangan, spesies kitalah yang memusnahkan Hobbit.
Dalam abstrak publikasi di Nature, peneliti mengatakan bahwa interaksi antara manusia modern dan spesies manusia purba lain dengan hobbit masih menjadi pertanyaan.
Editor | : Yunanto Wiji Utomo |
Homo Florensiensis
Sumber:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=479335488891840&set=a.107147096110683.16944.100004461781156&type=1&theater
Kompas Print (Cetak), 27 April 2014
60 Persen Fosil Manusia Purba Dunia Ditemukan di Indonesia
Kompas.com - 25/10/2017, 07:27 WIB
"Indonesia salah satu negara yang penting dalam dunia arkeologi," kata salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Thomas Sutikna, Saat menjadi pembicara dalam diskusi Arkelologi 'Rumah Peradaban Gua Braholo', di Gunungkidul, Selasa (24/10/2017).
Alasannya, sambung Thomas, karena geografis Indonesia yang strategis diapit dua benua yakni Asia dan Australia.
"Indonesia itu merupakan melting pot (metafor untuk masyarakat heterogen yang semakin homogen) atau dengan kata lain seperti periuk, semua aspek ada," bebernya.
(Baca juga : Dunia Mengakui Arkeologi Indonesia, tetapi Pemerintah Berdiam Diri)
Selain itu, potensi sumber daya arkeologi dari Sabang sampai Marauke luar biasa. Fosil masa pra sejarah yang usianya jutaan tahun contohnya, ditemukan di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.
Terakhir ditemukan di Situs Liang Bua di Flores, dengan usia ratusan tahun ribu tahun yang lalu.
Jika menelik dari laman http://arkenas.kemdikbud.go.id, pada 2003 lalu ditemukan manusia purba Homo Floresiensis lebih 9 individu Homo Floresiensis, akan tetapi hingga saat ini hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh.
Satu fosil dan memiliki karakeristik fisik yang unik, yaitu tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar. Usia situs Liang Bua diperkirakan 60.000-100.000 tahun yang lalu. Untuk alat batu mereka diperkirakan berusia antara 50.000–190.000 tahun yang lalu.
"Di Indonesia ditemukan dari manusia sampai binatang ada," tuturnya.
Arkeolog yang menghabiskan waktu 17 tahun melakukan penelitian di Liang Bua ini menjelaskan, hampir 60 persen fosil manusia purba ditemukan di Indonesia.
(Baca juga : Tiga Replika Tengkorak Manusia Purba Sangiran Dipamerkan di Gorontalo)
Hal ini lantaran pada masa lalu, sekitar zaman es, wilayah Indonesia bagian barat menyatu atau disebut Paparan Sunda, dan bagian timur pun menyatu disebut Paparan Sahul. Sehingga awal hewan purba bisa bermigrasi.
Lalu 1,8 juta tahun lalu, Homo Erektus bermigrasi dari daratan Afrika ke Asia Tenggara, dan Eropa seperti di Perancis dan Spanyol, tetapi lebih muda. Di Indonesia penelitian terakhir ditemukan di Sangiran dan Liang Bua.
"Semua manusia (purba) baik dari DNA maupun fosil dari Afrika," kata Thomas yang juga Peneliti dari Centre for Archaeological Science, University of Wollongong, Australia.
Ia menyebutkan, penelitian terus berkembang. Para ilmuwan pun harus terus sharing dengan ilmuwan lain dari luar negeri untuk mengetahui perjalanan manusia purba menuju Indonesia timur sampai Pasifik.
Untuk perjalanan manusia modern (Homo sapiens) sesuai dengan situs yang ditemukan selatan melalui pesisir Jawa Utara sampai ke Australia.
(Baca juga : Bukan Cuma Kita, Manusia Purba Juga Suka Bawa Kotak Makan. Apa Isinya?)
Namun demikian, sampai sekarang peneliti belum menemukan jalur perjalanan manusia purba modern sampai ke Australia. Sebab di sana sudah ditemukan fosil berusia 50.000 tahun lalu.
Sementara di Indonesia, usianya lebih muda. Seperti di Situs Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, yang usianya sekitar 40.000 tahun lalu, Liang Bua usianya 47.000 tahun lalu, dan di Timor usianya diperkirakan 30.000-42.000 tahun lalu.
"Di Australia lebih tua. Masalahnya mereka harus melewati Indonesia, karena tidak mungkin dari Afrika langsung ke Australia. Itu pentingnya Indonesia memiliki peranan penting tentang cikal bakal manusia," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar