sisitim pendidikan di Manggarai seharusnya mengikuti nafas, semangat dan ideologi bermain ‘caci’.
selama ‘caci’ seorang harus energetik, penuh smangat yang
membara(agar di segani lawan),selama caci seorang tak pernah merasa
malas dan tak kan pernah menyerah kecuali kedua kaki patah tak bisa
‘kélong'(menari-nari), peserta juga harus tampil perkasa agar tampil
jantan dan berani, walau berdarah tapi tetap ‘ncoang paci’ seolah rasa
sakit adalah sahabat lama, bunyi ‘kalus/lempa’ bagaikan musik merdu,
merintih kesakitan bukan dengan tangisan tapi dengan nyanyi. Ada saatnya
untuk memukul dan ada saatnya untuk di pukul, mengalahkan lawan dengan
sopan santun dan banyak lagi semangat caci lain nya.
sistim pendidikan kita terlalu jauh dari semangat caci bahkan tampak
tak serius alhasil kebanyakan yang tamat sekolah menjadi SWL(sarjana
wuku lolo), terlalu banyak urus ‘wuku’ biar nganggur yang penting
kukunya tampil bagai kukunya céwék yang bekerja di ‘fashion show’….
kalau kukunya panjang lebih baik sekalian pakai lipstick bro, siapa tahu
bisa jadi model. Mana kejantanan-mu? mana semangat caci-mu?
ketika politisi menyinggung dunia pendidikan Manggarai, di sana
seolah tersirat harapan semoga ini adalah suatu tanda akan di mulainya
reformasi bahkan revolusi untuk menyadarkan semua pihak bahwa
(mutu)pendidikan adalah sektor paling strategis dan amat sangat penting
yang akan membawa kita(Manggarai) kepada perubahan ke arah positiv.
..semoga…
KOMPAS.com -
Menari caci merupakan tradisi yang sangat kental bagi orang Manggarai
Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur.
Caci merupakan permainan rakyat yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur orang Manggarai Raya.
Dengan
dua orang pemain, permainan rakyat ini sangat berbeda. Satu lawan satu.
Satu yang memukul dengan menggunakan cemeti (Larik) dan lawan menangkis
dengan sebuah alat yang disebut Nggiling (sebuah tameng) berbentuk
bulat yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit kambing dan sapi.
Permainan
dilakukan sambil menari-nari di tengah lapangan, memukul lawan sambil
menyanyikan sebuah lirik lagu bahasa daerah setempat. Bahkan lawannya
pun ikut menari-nari usai menangkis pukulan.
Keunikan dari
permainan rakyat ini terletak pada pemain-pemain yang turun di lapangan
sambil menari-nari dan menyanyikan lirik lagu menghibur penonton maupun
menggelabui lawan.
Saat itu, suara-suara emas dari pemain caci
dilantunkan dengan dialek-dialek bahasa daerah setempat. Bahkan, pemain
yang masih muda atau bujang menampilkan yang terbaik demi menggaet
perhatian dari perempuan yang memadati lapangan.
Bahkan, ajang
permainan caci juga bisa mempertemukan jodoh bagi pemuda dan pemudi.
Kaum perempuan terhibur dengan goet-goet (dialek-dialek) yang dibawakan
saat menari-nari di tengah lapangan sambil melemparkan senyuman kepada
kaum perempuan yang memadati di pinggir lapangan.
Dalam sebuah
permainan caci, ada beberapa peralatan caci yang disiapkan, seperti
Nggiling (Tameng), Larik (Cemeti) yang terbuat dari kulit kerbau bagi
orang Manggarai dan Manggarai Barat sementara untuk orang Manggarai
Timur memakai ijuk muda dari pohon Enau.
Selain itu, ada puga
panggal (penutup kepala), selendang untuk menutup bagian wajah. Juga
nggiring (alat bunyi yang terbuat dari besi berbentuk gong kecil). Gong
kecil yang banyak ini biasanya dipakai di bagian belakang pinggang dari
para penari caci.
Dalam tarian caci ada kalah dan menang. Untuk
menentukan menang, jika lawan yang dipukul mengenai wilayah wajah. Oleh
sebab itu wilayah wajah dari penangkis menggunakan tameng berbentuk
bulat (Nggiling) dan harus ditutup rapat dengan mata saja yang tidak
ditutup.
Yang menarik dan bermakna dari permaian caci adalah
persaudaraan yang sangat tinggi. Tidak ada dendam, walaupun tubuh
berdarah akibat terkena pukulan. Bahkan, aturannya secara lisan sudah
diketahui secara umum dan ditaati bersama. KONTRIBUTOR MANGGARAI, MARKUS MAKUR
selama ‘caci’ seorang harus energetik, penuh smangat yang membara(agar di segani lawan),selama caci seorang tak pernah merasa malas dan tak kan pernah menyerah kecuali kedua kaki patah tak bisa ‘kélong'(menari-nari), peserta juga harus tampil perkasa agar tampil jantan dan berani, walau berdarah tapi tetap ‘ncoang paci’ seolah rasa sakit adalah sahabat lama, bunyi ‘kalus/lempa’ bagaikan musik merdu, merintih kesakitan bukan dengan tangisan tapi dengan nyanyi. Ada saatnya untuk memukul dan ada saatnya untuk di pukul, mengalahkan lawan dengan sopan santun dan banyak lagi semangat caci lain nya.
sistim pendidikan kita terlalu jauh dari semangat caci bahkan tampak tak serius alhasil kebanyakan yang tamat sekolah menjadi SWL(sarjana wuku lolo), terlalu banyak urus ‘wuku’ biar nganggur yang penting kukunya tampil bagai kukunya céwék yang bekerja di ‘fashion show’…. kalau kukunya panjang lebih baik sekalian pakai lipstick bro, siapa tahu bisa jadi model. Mana kejantanan-mu? mana semangat caci-mu?
ketika politisi menyinggung dunia pendidikan Manggarai, di sana seolah tersirat harapan semoga ini adalah suatu tanda akan di mulainya reformasi bahkan revolusi untuk menyadarkan semua pihak bahwa (mutu)pendidikan adalah sektor paling strategis dan amat sangat penting yang akan membawa kita(Manggarai) kepada perubahan ke arah positiv. ..semoga…
Sumber: http://www.floresa.co/2015/07/28/hery-nabit-hentikan-politisasi-institusi-pendidikan-di-manggarai/#comment-26971
JPS, 10 Des. 2015
Mengenal Tari Caci, Pertarungan Masyarakat Manggarai
Caci merupakan permainan rakyat yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur orang Manggarai Raya.
Dengan dua orang pemain, permainan rakyat ini sangat berbeda. Satu lawan satu. Satu yang memukul dengan menggunakan cemeti (Larik) dan lawan menangkis dengan sebuah alat yang disebut Nggiling (sebuah tameng) berbentuk bulat yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit kambing dan sapi.
Permainan dilakukan sambil menari-nari di tengah lapangan, memukul lawan sambil menyanyikan sebuah lirik lagu bahasa daerah setempat. Bahkan lawannya pun ikut menari-nari usai menangkis pukulan.
Keunikan dari permainan rakyat ini terletak pada pemain-pemain yang turun di lapangan sambil menari-nari dan menyanyikan lirik lagu menghibur penonton maupun menggelabui lawan.
Saat itu, suara-suara emas dari pemain caci dilantunkan dengan dialek-dialek bahasa daerah setempat. Bahkan, pemain yang masih muda atau bujang menampilkan yang terbaik demi menggaet perhatian dari perempuan yang memadati lapangan.
Bahkan, ajang permainan caci juga bisa mempertemukan jodoh bagi pemuda dan pemudi. Kaum perempuan terhibur dengan goet-goet (dialek-dialek) yang dibawakan saat menari-nari di tengah lapangan sambil melemparkan senyuman kepada kaum perempuan yang memadati di pinggir lapangan.
Dalam sebuah permainan caci, ada beberapa peralatan caci yang disiapkan, seperti Nggiling (Tameng), Larik (Cemeti) yang terbuat dari kulit kerbau bagi orang Manggarai dan Manggarai Barat sementara untuk orang Manggarai Timur memakai ijuk muda dari pohon Enau.
Selain itu, ada puga panggal (penutup kepala), selendang untuk menutup bagian wajah. Juga nggiring (alat bunyi yang terbuat dari besi berbentuk gong kecil). Gong kecil yang banyak ini biasanya dipakai di bagian belakang pinggang dari para penari caci.
Dalam tarian caci ada kalah dan menang. Untuk menentukan menang, jika lawan yang dipukul mengenai wilayah wajah. Oleh sebab itu wilayah wajah dari penangkis menggunakan tameng berbentuk bulat (Nggiling) dan harus ditutup rapat dengan mata saja yang tidak ditutup.
Yang menarik dan bermakna dari permaian caci adalah persaudaraan yang sangat tinggi. Tidak ada dendam, walaupun tubuh berdarah akibat terkena pukulan. Bahkan, aturannya secara lisan sudah diketahui secara umum dan ditaati bersama. KONTRIBUTOR MANGGARAI, MARKUS MAKUR