SEJARAH TODO DAN ADAK MANGGARAI
https://www.youtube.com/watch?v=gnJ9JzptYUM
Misteri Gendang Kulit Manusia | Moyang Suku Manggarai | NB Part. 5
Bapa Agustinus (Generasi ke 10 - Adak Todo):
Todo, bahasa Manggarai secara harafiah berati tumbuh.
Todo pande (perbuatan) , todo wintuk (tindakan) , todo gauk (perilaku). Todo one sekola (pendidikan).
Nenek Moyang orang Todo datang dari Minangkabau. Leluhur itu merupakan pemengn pertarungan kerbau. Dia bertarung kerbau dengan saudaranya. Kerbau saudaranya itu besar. Dia pakai kerbau kecil yang masih menyusui tapi pada tanduknya diselipi dengan pisau. Ketika saat pertarungan tiba, kerbau kecil ini menyelinap di kolong perit kerbau jantan besar. Kerbau kecil ini mengiran scrotum kerbau besar ini adalah susu, maka ia menggigitnya sambil menusuk perut kerbau itu sehingga terluka. Kerbau besar itu lari, kalah. Kerbau kecil kecil ini meang. Lalu leluhur ini merantau ke Timur, dia mengarungi lautan dengan menggunakan perahu kayu. Jankar kapal kayu masih ada di Todo. Mereka mendarat di weriloka, Labuan Bajo. Tali jangkar perahu disebut Manggar. Leluhur itu adalah Sri Lawang dan Istrinya Siti Hawa. Mereka memiliki anak yakni Kembang Emas (perempuan) dan Masyur Ilaki-laki). Lalu mererka menuju Todo.
Dalam perjalanan, Kembang Emas menangani Niang Mongko.
Di Manggarai sendiri ada ada (pemerinatah) lain yakni Cibal, Bajo, Reo, Bima.
Sebelum Sri Lawang tiba, Manggarai saat itu bernama Nuca Lale. Lalu berubah menjadi Manggarai karena jangkar perahu mereka lari dibawa ombak. Ketika jangkar dibawa arus, mereka berteriak, Manggar rai yang artinya jangkar lari ( dibawa ombak). Akhirnya sejak sat itu Nuca Lale berubah menjadi Manggarai dan dipakai hingga saat ini. Sri Lawang dan keturunannya membangun Gadang. Tapi kemudian rumah itu terbakar oleh pasukan perang Cibal. Saat itu pasukan perang Cibal memasuki halaman kampung Todo dan membakar rumah adat (Rumah Gadang). Mulanya rmah itu susah untuk dibakar. Pasukan memasuki rumah dan menemukan seorang perempuan tua yang lumpuh. Mereka mengobrol mengapa ada rumah yang yidak bisa dibakar. Mereka berjanji untuk tidak mengapa-apakan dia. Perempuan itu percaya saja. Lalu perempuan itu memberi tahu rahasia kesaktian rumah itu. Dia meminta mereka untuk mengambil barang sakti di loteng rumah itu. Mereka melakukan itu. Mereka mengambilnyanya lalu membakar rumah itu. Api berkobar. Lalu mereka mencampakkan perempuan lumpuh itu ke api yang sedang berkobar. Akhirnya rumah itu berhasil dibakar oleh pasukan Cibal. Lama setellah itu rumah adat itu dibangun kembali. Lalu Todo merencanakan penyerangan ke Adak Cibal. Perang Todo dan Cibal tak terelakkan.
Leluhur itu datang ke Manggarai sekitar tahun 1111 (?) .
. Sebelum Sri Lawang tiba, Manggarai sudah ada adak (pemimpin) yakni : Cibal, Bajo, Reo, Bima dan kemudian lahirlah Todo.
Kehadiran Todo, dianggap sebagai saingan untuk adak lain, terutama Cibal. Ada peraiangan anatara Todo dan Cibal. Ada perang .
Todo memiliki 5 gelarang yakni: : Popo (termasuk Wae Rebo) , Nao, Torok, Rendang (?) , Wewo, Worok.
Gelarang itu sakti, tak mempan ditomabk dan diparangi. Merreka pasukan militer yang melindungi Todo.
Di Todo ada Gendang yang terbuat dari kulit manusia. Bagaimana sejarahnya? Kulit manusia dibunuh oleh. Dia anak orang India yang tinggal di Bima. Ada petugas dari Todo yakni Parera pergi membawa Upeti (pajak) ke Bima. Di sana dia ketemu dengan perempuan India yang suaminya sdeang berada di India untuk satu dua keperluan di sana. Saat sebelum dia ke India, dia berpesan, apabila saat kelahiran tiba anak ini berjenis kelamin laki-laki, maka dia dipelihara. Tapi bila perempuan maka dia harus dibunuh. Perempuan hamil ini kepincut dengan Parera, pembawa Upeti dari Todo ini. Setelah perempuan hamil ini dibawa lari, ada istilah Peti Todo, Kunci Bajo (PETO KUBA) , artinya utusan dari Bajo ini jangan sampai membuka rahasia kepada perempuan hambil yang bibawa oleh Parera bahwa Parera ini tinggal di Todo, sehingga dia ekut ke sana. Utusan Todo (Parera) berusaha mneyakinkan utusan Bajo ini. Mereka saling mengerti. Parera mengatakan demikian karena dia sudah punya banyak istri di Todo. Maka Perempuan hamil ini terdampar di Ndoso (Kecamatan Kuwus / Kecamatan Ndoso) sekarang. Perempuan hamil ini akhirnya tinggal di Ndoso dan bersalin di sana. Saat itu, diketahui bahwa anak yang dilahirkan itu berjenis kelamin perempuan, maka seturut pesan suaminya yang sedang berada di India, maka anak ini harus dibunuh. Tetapi saat itu dia merasa iba kalau anak perempuannya ini harus dibunuh. maka dia mencari akal untuk menggantikannya dengan membunuh seekor anjing lalu dikuburkannya sebagai pengganti anaknya. Sementara itu, suaminya sudah kembali dari India dan tiba di Bima. Dia mencari istrinya. Keluargaa di Bima mengisahkan bahwa dia ke Nuca Lale, lari ikut dengan pembawa Upeti dari Nucalale. Dia putuskan untuk mencari istirnya. Dia mencari isttrinya di wilayah adak Bajo namun tidak dijumpai di sana. Akhirnya dia menemukannya di Ndoso. Begitu tiba di Ndoso, dia mendapti istrinya. lalu dia menanyakan keadaannya termasuk soal anaknya. Istrinya menjawab bahwa dia telah melahirkan anak perempuan dan dia telah membunuhnya seturut pedannya. Dia menunjukkan kuburnya, padahal sebenarnya itu kuburan anjing , bukan kuburan manusia. Sementara anak perempuan ini, dipelihara oleh janda tua yang menjaga kera di kebun. Janda ini memelihara bayi ini. Anak ini bertumbuh gadis remaja. Gadis ini bernama Wela Loe (Koe) (Bunga kecil, belum mekar). Meski masih kecil, Wela Loe ini menyimpan pesona, hingga dinaksir oleh Adak Todo dan Adak Bima. Daripada Todo dan Bima bersitegang memperebutkan dia, keluarganya memutuskan untuk membunuhnya dan sulitnya dijadikan gendang.
Denikianlah kisah Gendang Wela Loe, yang menjadi gendang Adak Todok. Adak Todo melingkupi Wae Mokel batas sebelah Timur (awo) dan Selatan Sape batas di Bagian barat (sale).
Menurut Bapak Agustinus, Gendang itu masih ada, disimpan di dalam peti kaca di Gendang Todo..
Gendang ini sudah dicobai di Laboratorium Polandia oleh Pastor Paroki . Sekarang tidak boleh disentuh karena sudah terlalu tua usianya.
Sistem Perkawinan:
Manggarai menganut sistem Pattrilineal, artinya anak yang memiliki keweangan untuk mendapat warisan orang tua, mislanya rumah, kebun (tanah) adalah anak laki-laki. Perempuan tidak mendapat jatah warisan karena mengikuti suaminya. Orang Manggarai, pengantin laki-laki harus membayar belis (mahar) kepada keluarga pengantin perempaun, misalnya uang dan binatang seperti kerbau (sapi) dan kuda .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar