|
Manga sua tau ata.
Ase agu kae. Ise manga piara kaba. Sa leso ise lako tadang. Ise ba
agu kaba. Tiba one sa satar. Co' ko co, ase ho' pau one longka
delem. Kemas nai de kae ho' wajol pau ngampang / longka ase ho'.
Uling liha kudut ngance peang one mai longkan ase ho' landing to
nganceng. Pikir liha ga. So' caran kudut nganceng sampe ase ho? "som mbele
kaut kaba ho', luit ne ga... te pande larik laing te poto ase hot pau one
longka delem. Sarit liha luit kaba ho pande larik. Lewe
jendot larik ho. Poto le larik hitu asen mai wa mai longka. Woko sai
eta mai tana ase ho' ga senang ise. Naka ise. Hang keta
lise nuru kaba hitu kali ga. One uwa ngger olon te tenang pande momang
sampe ase ho' maik ise pande labar caci. Nggiling,
kalus / lempa, panggal pande one mai luit kaba
keta taung.
Sumber: (
http://www.indonesia.travel/id/destination/106/taman-nasional-komodo/article/194/)
(JPS, 1-10-2013)
_____________
TOMBO CACI:
https://www.youtube.com/watch?v=hnO8-3KJs04
SATAR MESE MEYAMBUT HUT KEMERDEKAAN RI KE 74 DENGAN TARIAN CACI
___________
Caci
Tarian
Caci merupakan suatu permainan adu ketangkasan antara dua orang laki-laki dalam
mencambuk dan menangkis cambukan lawan secara bergantian. Tarian Caci terlihat
begitu heroik dan indah karena merupakan kombinasi antara Lomes (keindahan
gerak tubuh dan busana yang dipakai), Bokak (keindahan seni vokal saat
bernyanyi) , dan Lime (ketangkasan dalam mencambuk atau menangkis cambukan
lawan). Pemain Caci juga dibekali kemampuan olah vokal untuk bernyani , dimana
setelah menangkis cambukan lawan seorang pemain Caci secara spontan bernyanyi
dan menyampaikan Paci .
Paci
merupakan ungkapan berisi nama samaran atau alias dari pemain Caci tersebut
yang berisi ungkapan tentang keberadaan dirinya, siapa dia atau sosok yang dia
dambahkan. Tujuan dari Paci yaitu untuk mempengaruhi lawan menantang lawan dan
juga untuk memotivasi atau meggelorakan semangat dari dalam diri. Kostum yang
dikenakan pemain Caci sangat atraktif dan melambangkan keunikan dan karakter
budaya yang dimiliki oleh orang Manggarai seperti: “Panggal” (penutup kepala)
berbentuk tanduk kerbau dan salah satu lambang yang ditempatkan pada bagian
kerucut atap rumah adat Manggarai. Melambangkan “rang” (kharisma dan kekuatan)
orang Manggarai. “Ndeki” (berbentuk kuncir kuda) terbuat dari rotan yang
dipilin dengan bulu ekor kuda, di tempatkan pada bagian pinggang, melambang kan
kejantanan dan keperkasaan.
Pesona
dan daya pikat lelaki Manggarai, sebagaimana seekor kuda jantan yang mengangkat
ekor untuk memikat daya tarik sang betina. Sarung songke yang diikat sepanjang
lutut, melambangkan kesantunan dan sikap patuh orang Manggarai. Celana panjang
putih melambangkan kepolosan, kemurahan dan ketulusan hati. Tubi Rapa dikenakan
sebagai manik-manik yang di ikat pada bagian bawa dagu melambangkan kebesaran
dan keagungan lelaki Manggarai. Nggorong (gemerincing) diikat pada bagian
belakang pinggang.
Selendang
leros dililit di pinggang dan dijuntai pada bagian depan sarung. Perlengkapan
permainan Caci seperti Larik (Cambuk) terbuat dari kulit kerbau dan dipilin
dengan anyaman rotan pada ujungnya, Nggiling (perisai) terbuat dari kulit
kerbau untuk menangkis cambukan lawan, Agang (berbentuk busur) terbuat dari
rotan atau dahan bambu dipakai untuk menangkis atau menahan gempuran lawan.
Permainan
Caci dilakukan antara dua kelompok dari dua kampong yang berbeda. Kelompok tamu
di sebut “Meka Landang” sedangkan tuan rumah disebut “Mori Beo”. Pada saat
pemain Caci beradu di dalam arena, tuan rumah, pria dan wanita yang berada di
luar arena melakukan Danding (bernyanyi lagu Mang ga ra i da l am bentuk
lingkaran dengan gerakan berputar) disertai gerakan Sae oleh sepasang pria dan
wanita di tengah lingkaran.
Sementara
itu beberapa wanita duduk berkelompok sambil memukul gong dan gendang yang
bertalutalu untuk menyorakkan suasana. Sasaran cambukan dari pemain Caci adalah
bagian badan sebelah atas dari perut hingga kepala. Pemukulan di bagian bawah
perut dianggap pelanggaran. Apabila mengenai wajah dinamai Beke . Pemain Caci
yang mengalami Beke dinyatakan kalah, harus keluar dari arena permainan pulang
ke rumah atau ke kampung halamannya. Permainan Caci dipertunjukkan pada
upacara 'Penti' (syukuran setelah panen), Pesso Beo (selamatan kampung),
menyambut pengantin baru, tamu penting, dan dalam upacara gembira lain seperti
Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan.
rang = kewibawaan
Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Caci...
Jumat, 15 Juni 2012 | 08:10 WIB
Caci merupakan wujud puji dan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas
keberhasilan, baik hasil panen, perkembangan penduduk, serta kesehatan jasmani
dan rohani. Bagian tubuh yang terkena cambuk mempunyai arti yang penting. Bila
punggung lawan terkena cambuk, itu pertanda baik, panen akan menjanjikan.
"Darah mengalir dari luka yang kena pecutan cambuk merupakan persembahan
kepada leluhur untuk kesuburan tanah,
Ada kepercayaan bahwa semakin banyak
darah yang ditumpahkan, maka panen semakin berlimpah.
KOMPAS.com — Betul, kalau ingin melihat komodo di habitatnya, Pulau
Rinca dan Pulau Komodo, kota terdekat untuk menjangkau binatang purba tersebut
adalah Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Komodo, primadona pariwisata NTT itu, kini menjadi salah satu dari New 7
Wonders of Nature. Dampak positifnya, kota di ujung barat Pulau Flores ini
selalu diramaikan kedatangan wisatawan dalam dan luar negeri. Pesawat yang
mendarat di Bandar Udara Komodo hampir dipastikan selalu penuh penumpang,
apalagi di musim libur. Tujuannya sebagian besar ingin melihat langsung komodo
di alam aslinya.
Namun, sebelum melihat komodo, Kota
Labuan Bajo juga memiliki beragam obyek wisata yang tak kalah menarik untuk
dikunjungi. Sebut saja Kampung Melo. Kampung Melo yang terletak di Desa Liang
Ndara, Kecamatan Sanonggoang, merupakan kampung terdekat untuk bisa menyaksikan
kesenian tradisional, yakni Caci.
Penasaran dengan pertunjukan Caci,
Rabu (30/5/2012) pagi, rombongan Tim Adira Beauty X-Pedition meluncur ke
Kampung Melo yang berjarak sekitar 22 km dari pusat kota. "Tidak jauh
Bapak, tak sampai setengah jam dari Labuan Bajo," kata Jack, pemandu
wisata yang sudah sepuluh tahun menggeluti pekerjaan menemani wisatawan
mengunjungi obyek wisata di Kabupaten Manggarai Barat.
Selama perjalanan menuju Kampung
Melo, iring-iringan mobil melewati jalan lintas provinsi, jalan yang hanya
cukup untuk berpapasan dua mobil. Perjalanan melintasi jalan lintas Flores ini
terbilang sangat lancar dan tidak ada hambatan sama sekali. Sangat
menyenangkan, jauh dari kemacetan seperti di Jakarta. Setelah melewati Kota
Labuan Bajo, selanjutnya jalanan menanjak dan pemandangan di kiri-kanan jalan
dipenuhi pepohonan yang menghijau.
"Itu Kampung Melo. Sebentar
lagi kita sampai," kata Jack sambil tangannya menunjuk arah depan di mana
sudah ada spanduk selamat datang di Kampung Melo yang siap menyambut rombongan
Tim Adira Beauty X-Pedition yang saat itu tengah memasuki etape ketiga, yakni
menjelajahi bumi Flores. Adira Beauty X-Pedition memulai perjalanan wisata ini
dari Tugu Nol Kilometer, Sabang, Aceh. Etape terakhir adalah Papua pada awal
Juli 2012.
Nah, sebelum memasuki Kampung Melo,
rombongan disambut ketua adat di pa'ang atau pintu masuk kampung serta
diiringi alunan musik tradisional. Setiap tamu disambut secara khusus
dengan mendapatkan selendang khas Kampung Melo. Lokasi Kampung Melo sekitar 600
meter di atas permukaan laut. Jika cuaca cerah, pemandangan Kota Labuan Bajo
dari atas bukit ini begitu cantik.
Musik tradisional masih terus
mengiringi para tamu menaiki anak tangga satu demi satu memasuki rumah adat
yang dinamakan Rumah Gendang. Ini sekaligus mencerminkan bahwa tuan rumah
sangat gembira dan dengan hangat menyambut tamunya.
Di halaman Rumah Gendang, tim Adira
Beauty X-Pedition duduk di halaman dan mulailah ketua adat menggelar
serangkaian ritual untuk menyambut tamu. Ketua adat juga mendoakan dan
memberikan kata-kata ucapan dalam bahasa adat, tanda menerima kami sebagai
tamunya. Bagi masyarakat Manggarai Barat, wajib hukumnya menyambut tamu dengan
baik dan ramah. Bila sampai ada tamu yang tidak disambut dengan baik,
artinya mereka gagal menjaga adat Manggarai Barat. Semua rangkaian prosesi adat
ini menunjukkan bahwa Ketua Adat Kampung Melo menerima kunjungan tamu dengan
senang hati dan sudah menganggap tamu sebagai saudara.
Sebagai bentuk tanda keakraban,
para tamu akan diberikan sopi atau tuak lokal serta pinang sirih. Sopi yang
disajikan adalah hasil olahan penduduk Kampung Melo dari pohon enau dan sebagai
sopan-santun, para tamu wajib meminumnya. Jangan ragu untuk meneguk sopi,
karena rasanya manis. Seusai penerimaan secara adat, tamu akan dipersilakan memasuki
Rumah Gendang dan setelah itu dipersilakan duduk di halaman rumah untuk
menyaksikan tarian Caci.
Di halaman, beberapa penduduk pria
Kampung Melo telah siap-siap dengan kostum dan peralatan tarian Caci, yakni
kain yang melingkari pinggang, lonceng yang melingkari pergelangan kaki dan
pinggul, tameng, cambuk, dan tongkat. Cambuk yang digunakan terbuat dari rotan
dan pegangan kulit. Tameng terbuat dari bambu rotan dan kulit kambing.
Atraksi Caci terdiri dari beberapa
babak, di mana setiap babak terdiri dari dua pemain yang secara bergantian akan
beralih peran sebagai penyerang dan yang diserang. Ketika melakukan
penyerangan, sang penyerang memegang cambuk dan segera mengambil ancang-ancang,
memutar-mutar cambuk di udara, melompat-lompat, mengumpulkan seluruh tenaga
untuk melakukan serangan dengan mencambuk lawan. Gaya si penyerang yang
mengambil ancang-ancang membuat lonceng yang melilit pinggang dan kaki begitu
berisik, membuat penonton menahan napas, ingin tahu apa yang selanjutnya
terjadi. Sementara yang diserang telah melindungi kepalanya dengan topi dan
menutupi wajahnya dengan kain dan tak lupa memegang tameng untuk menahan diri
dari serangan.
Alunan musik pun semakin meningkat,
mencekam, sekaligus menggairahkan suasana. Bumi makin bergetar dan
tiba-tiba.... jeddarrrrrr!!! Suara cambuk yang ujungnya terbuat dari
kulit kerbau dan telah dikeringkan itu menggelegar serta mengagetkan
tamu yang menyaksikan. Tak sedikit dari mereka yang menutup wajahnya
saat melihat si penyerang mencambuk lawannya dengan sekuat tenaga.
Lantas apa yang terjadi?
Meskipun mendapatkan cambuk dengan sangat kuat dan membuat luka memar di
pinggang dan lengan, tetapi yang diserang malah tertawa-tawa dan menari-nari
dengan riangnya. "Ooooiiiii.... maantaappp...." teriak yang
diserang sembari tersenyum dan menari, seolah-olah cambukan yang diperolehnya
tidak berarti sama sekali. Masing-masing dari mereka merasa gembira dan damai.
Babak berikutnya, yang diserang akan berganti posisi sebagai penyerang.
Demikian hal itu dilakukan dengan pasangan yang lain.
Meskipun tampak seperti perkelahian
serius serta menimbulkan luka, tidak ada rasa dendam antara keduanya. Mereka
tetap tersenyum sambil terus menari-nari diiringi alunan musik tradisonal.
Menurut Jack, tarian Caci bukan
suatu pertandingan untuk mencari yang menang atau yang kalah. Caci merupakan
wujud puji dan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas keberhasilan, baik hasil
panen, perkembangan penduduk, serta kesehatan jasmani dan rohani. Bagian tubuh
yang terkena cambuk mempunyai arti yang penting. Bila punggung lawan terkena
cambuk, itu pertanda baik, panen akan menjanjikan. "Darah mengalir dari
luka yang kena pecutan cambuk merupakan persembahan kepada leluhur untuk
kesuburan tanah," katanya.
Setelah tarian Caci berakhir,
dilanjutkan dengan tarian yang dibawakan penduduk perempuan Kampung Melo, yakni
Ndundu Ndake dan Tetek Alu. Tarian Ndundu Ndake merupakan tarian persembahan
kepada tamu untuk mengekspresikan rasa syukur, terima kasih, dan kebahagiaan.
Selain Ndundu Ndake, ada lagi Tetek
Alu, sebuah permainan tradisional di mana kaum perempuan menggerak-gerakkan
bambu-bambu dan ada yang menari sambil menghindari jepitan bambu. Para tamu
akan diajak bergembira menikmati permainan tradisional dengan iringan musik
gendang. Presdir Adira Finance Willy Suwandi Dharma saat pertama bermain Tetek
Alu agak kikuk juga. Namun, setelah menemukan irama yang pas, Willy mulai
sedikit piawai melompat-lompat menghindari jepitan bambu. Kuncinya cuma satu,
jangan sampai kaki Anda terjepit bambu.
Sebelum meninggalkan tempat, ketua
adat Kampung Melo mengatakan, "Kami tahu perjalanan Bapak ke puncak Melo.
Kami gembira terima Bapak. Semoga tak ada halangan di jalan. Semoga Bapak
kembali dengan aman dan bahagia...."
Editor
|
: I Made Asdhiana
|
Kota Komba, Manggarai
Pambuka
Kecamatan Kutha Komba iku salah sijining kecamatan neng Kabupaten Manggarai
provinsi Nusa Tenggara Timur.
WOLOMBORO- DESA BAMO KEC.KOTA KOMBA-FLORES KABUPATEN MANGGARAI TIMUR. Wolomboro
adalah Nama dari sebuah kampung yang ada di Desa Bamo-Kec.Kota Komba-Flores
Barat Kabupaten Manggarai Timur-Indonesia.Yang masih banyak menyimpan sejarah
Budaya atau Adat Traditional bahkan sampai saat ini kita masih dapat
menyaksikan Atraksi-atraksi Budayanya. Wolomboro Tetangga kampung Wokopau yang
sangat mengalami kekurangan atau sumber daya hidup masyarakatnya masih sangat
terbelakang, kemiskinan terdampak jelas di kampung ini. Walaupun mereka begitu
susah hidupnya tapi banyak menyimpan sejarah Budaya di Manggarai Timur. Kampung
yang pusatnya Atraksi Traditional seperti ; Caci Dance- Danding atau
Tandak- Fera Dance- Mbata ( pemukulan tambur dan gong ) Serta pembuatan
Perlengkapan alat-alat dapur dari Tanah Merah yang terkandung di gora kampung
ini dengan menggunakan peralatan yang sangat sederahana atau traditional.
DANDING ( TANDAK ) ;
Danding adalah Sebuah Tarian serta
Nyayian dalam bentuk Pantun dari kelompok Pria, dan kelompok Wanita yang
menjawabnya ataupun sebaliknya. Lagu atau Danding ini sebuah tanya jawab apa
yang terjadi di bumi ini dalam kehidupan sehari-harinya. Pelaksanaannya pada
malam hari, dimana peserta Tandak membentuk sebuah linggkaran dan saling
berpegangan pundak atau berpelukan dan berjalan sambil mengangkat kaki dan
menghentakan kaki ke tanah yang di ketuai oleh seorang yang namanya;Kepala
Nggejang dari bahasa daerah setempat atau pemberi Irama gerakan dari lagu atau
nyanyian tersebut dan berdiri di tengah lingkaran dengan membunyikan alat
Giring-giring dari bahan besi atau perak campur perunggu.
Tarian ini bertujuan agar Pemuda dan
Pemudi saling mempunyai kesempatan untuk saling berpandangan dan kadang-kadang
berakhir dengan jatuh cinta. Intinya Tarian ini dibuat sebagai tempat pertemuan
antara Pemuda dan Pemudi dari berlainan kampung pada malam hari. Pada saat
acara ini berlangsung semua bebas memilih pasangan dan tidak ada yang
melarangnya selama pertemuan pemuda-pemudi berjalan aman,asal jangan melakukan
pemerkosaan. Banyak Wanita yang lari ikut Pria pada acara ini dan bersatu
menjadi Suami Istri jika keluarganya merestui pernikahan anaknya. Ada juga yang
tidak, jika masih ada hubungan keluarga atau sejarah nenek moyangnya sama. Dan
yang hadir pada acara ini dari Anak kecil sampai orang dewasa dari beberapa
kecamatan yang ada di manggarai timur. Acara ini diadakan setiap selesai panen
yaitu pada bulan Juli-oktober setiap tahunnya.
FERA DANCE ( TARI FERA ) :
FERA adalah sebuah Tarian yang
sangat Tua dari beberapa abad yang lalu, yang pelaksanaannya bisa pada malam
hari ataupun pada siang hari di bulan yang sama. Jenis Tarian seperti ini cuman
ada di kampung Wolomboro yaitu tetangga kampung wokopau dan banyak diminati
oleh wanita yang telah bersuami, saling berpegangan tangan dan membentuk baris
memanjang, bernyanyi sambil menari dengan memgangkat kaki satu sebatas
pinggang. Dan yang Pria membentuk barisan sendiri dengan irama yang sama dan
lagunya’pun menceritakan tentang nenek moyang yang telah lama meninggal atau
cerita-cerita pada zaman dahulu kala dalam bahasa Rongga atau bahasa daerah
setempat.
Gerakannya sangat jauh berbeda
dengan Tari Tandak, Fera tidak terlalu memakan energi sedangkan Tandak
membutuhkan energi yang banyak. Begitu pula dalam menyanyikan sebuah lagu,
kedengarannya lebih merdu dan bersahaja jika dibandingkan dgn lagu atau
nyanyian tandak. Tradisi ini hanya dilaksanakan jika ada peringatan kematian
Nenek atau orang-orang yang di anggap sabagai ketua Adat pada masa kejayaannya.
Kampung-kampung yang memiliki Tradisi FERA di Manggarai timur yaitu; Kampung
Wolomboro,Kampung Bamo atau Mbero, Kampung Pandoa, Kampung Sere dekat Kisol dan
Kampung Nangarawa. Selain kampung yang ada diatas tidak ada yang melakukan
tarian Fera, tapi pada umumnya Masyarakat yang tinggal di lingkungan manggarai
atau Flores barat mengenal jenis Tarian ini.
CACI DANCE ( TARI CACI ) :
Pertandingan Caci biasanya dibuka
dengan Kelong atau Nyanyian Adat dari yang menseponsori acara Tari Caci, bisa
dari kelompok setempat ataupun dari luar lingkungan kampung wolomboro, lalu di
ikuti dengan Tandak atau Danding oleh kelompok tersebut. Lagu atau Nyanyian
Kelong tidak boleh di nyanyikan di sembarang tempat, karena nyanyian ini
bertujuan untuk memanggil arwah-arwah orang yang telah meninggal dunia atau
nenek moyang yang telah lama meninggal untuk hadir bersama dalam menyaksikan
atraksi Caci yang akan dilaksanakan.
Dan jika "Kelong"atau lagu
Adat ini telah di nyanyikan oleh kelompok tertentu maka tari Caci pada hari itu
harus dilaksanakan atau jadi terlaksana. Sebelum diadakan Kelong tidak boleh
melakukan pertandingan Caci. Sebelum beradu dilakukan pemanasan dengan menari yang
diiringi gong dan tambur sambil menyanyikan lagu manggarai. Untuk
memanas-manasi keadaan lawan para penari ini berjalan sambil menari
mengelilingi lingkaran arena pertandingan bila perlu saling menantang.
CACI dimiliki oleh seluruh kampung
di Manggarai Flores Barat, biasa dilaksanakan setelah memungut hasil dari
ladang kering ataupun sawah setiap tahunnya pada bulan juli sampai oktober dan
di laksanakan pada siang hari oleh dua kelompok masing-masing tiga pasang atau
lebih, tergantung dari luasnya arena pertunjukan. Dimana acara pemukulan'nya
dgn sebuah Larik atau pecut satu lawan satu dari kelompaknya masing-masing.
Dengan ketentuan memukul sebatas pinggang sampai di bagian kepala.
Dengan Asesoris di kepala yang
begitu indah, biasanya memakai "Pangga"dalam bahasa daerah setempat.
Yaitu sebuah Asesories yang dibuat dari kulit kerbau berbentuk sebuah tanduk
lalu dibalut dengan kain sampai membentuk seperti tanduk kerbau, dan di tengah
tanduk ada asesories membentuk ekor kuda ini pertanda bahwa mereka perkasa seperti
seekor kerbau atau seekor kuda jantan. Tubuh harus dalam keadaan telanjang,dan
dari pinggang kebawah dikenakan Sarung Songket Manggarai dengan segala
Asesories lainnya termasuk Giring-giring yang digantungkan dibelakang
pinggangnya agar pada saat menari dapat mengeluarkan irama atau nada yang merdu
didengar dalam mengikuti irama gong yang dibunyikan oleh kelompoknya.
Biasanya pembuka pukulan dari
Toko-toko Adat yang seponsor acara Caci ini, dan dari kelompok pendatang atau
dari luar daerah setempat yang menadahnya atau menangkis. Masing-masing pemain
harus melihat siapa penantangnya, karena kalau masih ada hubungan darah atau
keluarga tidak boleh melakukan pengaduan atau pemukulan. Kecuali sebatas teman
atara kampung. Para pemain dalam mengadu ketangkasan dan keluwesan dalam
menangkis pukulan lawan bisa dimulai dengan bertindak sebagai pemukul dan pada
kesempatan lain sebagai penangkis. Dan juga tidak ada keharusan untuk menadah
pukulan lawan setelah kita memukulnya, bisa di ganti dengan pemain yang lain.
Mbete,Larik atau pecut yang dibuat
dari kulit kerbau yang kering ini jika mengenai badan bisa menimbulkan luka.
Sebab kalau di kampung Wolomboro ini, di ujung Pecut'nya di pasang sebatang
Lidi dari pohon Nira atau pohon tuak bahasa setempat. Ini bertujuan agar
sebelum melakukan pemukulan para pemain membunyikan pecut tersebut seperti
suara sebuah bom yang meledak ( ini juga salasatu cara untuk memanasi lawanya )
dan jika lidi dari tuak ini mengenai badan langsung mengeluarkan darah atau
luka.
Para penonton pun harus membuka mata
karena kadang-kadang lidi ini putus dalam saat melakukan pukulan dan mencar'nya
ke penonton.( penonton bisa membawa luka tanpa bermain caci ) Dengan lincah si
penyerang mengayunkan pecutnya ke tubuh lawan, sementara si penangkis berupaya
menghalangai sabetan pecut dengan sebuah Tameng atau perisai dari kulit kerbau
dan sebuah tereng yang terbuat dari sebatang bambu kering yang ukurannya 2 -3
meter.Tapi yang pakar'nya dalam bermain caci bisa menadanya dengan sebuah
tempurung kelapa sebagai tameng dan sepotong kayu yang ukuran 1meter sebagai
terengnya. jika pukulannya kena membuktikan bahwa penyerang berhasil
mengalahkan lawanya. Dan jika megenai wajah bahasa setempatnya bilang
"Beke" harus diganti dengan posisi orang lain dan ini pertanda
pembawa sial dalam kelompoknya dan malu karena kalah dalam pertandingan
ini.Tapi semua pemain caci sudah siap menerima resiko sehingga para pemain
harus mahir memukul dan memblokade pukulan lawan.
Setelah pukulan berakhir si penada
ini mengeluarkan suara atau Paci. Paci adalah bahasa kiasan yang mengartikan
kehebatan seseorang. Contoh paci menyebutkan sebuah benda seperti
Jangkar/Anker/Saul. jika Anker ini sudah tersangkut di batu karang ,perahu yang
membuang Anker ini tak mungkin bisa berjalan atau hanyut terbawa arus. Jika ada
orang yang mengeluarkan Paci jenis ini pertanda bahwa dia paling hebat dalam
permainan Caci.
Lalu ada lagi bahasa setelah Paci,
yaitu bertanya kepada penonton apakah permainan saya cantik atau tidak? Apakah
anda melihat pukulan tadi kena atau tidak? Dan penonton menjawabnya dengan
versi suport "Cantik dan tidak kena".Di dalam Bahasa daerahnya ;
"Oe...Ema O....!!!! Hena ko toe...? pass pasang daku ema..?Kelompoknya
menjawab:"Oeeeee.....!Passss Anak......!
selanjutnya Danding atau Tandak atau
menyanyikan lagu daerah manggarai. Pada saat Menyanyikan lagu atau paci,tameng
dan tereng tidak boleh lepas dari tangannya,dia harus memberikan tameng ini
kepada lawannya dalam posisi badan menunduk atau jongkok tanda
penghormatan,begitupun yang menerimanya. Mahir memukul lawan,trampil menangkis
serangan,sportifitas tinggi,bisa mengendalikan diri dalam arti walaupun terluka
wajib memberi hormat kepada lawannya. Indah menarinya dan merdu menyanyikan
lagu daerah adalah salasatu persyaratan dalam pertandingan Caci ini sehingga
para penonton sangat terhibur.
Tidak boleh ada yang menyimpan rasa
dendam dalam pertandingan ini dan setelah pertandingan usai para pemain saling
berjabatan tangan dan memaafkanya. Caci dimulai dari jam 08.00am sampai jam
06.00pm dan ditutupi dengan membuang selembar Tikar dari daun pandan ke tengah
lapangan pertandingan, ini pertanda bahwa Caci telah selesai dan para pemain
harus berhenti melakukan pemukulan dan masing-masing kelompok semua bubar.
Kadang-kadang malamnya dilanjutkan dengan acara Danding atau Tandak, itupun
jika yang punya acara dan para Ketua Adat merestuinya.
MBATA ( PEMUKULAN TAMBUR DAN GONG
) :
Kehidupan orang-orang dikampung ini
sangat sederahana dan masih berpegang teguh pada Adat. Sehingga selalu ada yang
mengadakan pesta Adat setiap tahunnya. Ritual terbesar yang diadakan di kampung
wolomboro yaitu acara peringatan kematian Nenek Moyang, dimana seluruh
Masyarakat dari kampung; Pandoa,Bamo,Mbero,Sere,Watu nggong,Nanga
Rawa,Wolobaga,wae Soke,Wae Kutung dan Wokopau, semua berkumpul dalam satu rumah
adat dan masing-masing suku atau kilo/clan membawah hewan kurban.
Pada acara ini mengorbankan hewan
yang banyak, dan pada malam hari diadakan "Mbata"Acara pemukulan
Tambur dan gong dengan menyanyikan lagu-lagu Traditional sepanjang malam,
dengan tujuan memohon restu kepada semua makhluk penjaga tanah agar acara
pemotongan hewan dan memberi makanan kepada nenek moyangnya dapat berjalan
mulus tanpa ada halangan atau percecokan antar suku.
Menurut kepercayaan dari kampung
ini, pada saat Tambur dan Gong dibunyikan pada malam hari, semua arwah orang
yang telah meninggal dunia mendengar, datang dan hadir pada palam itu. Sehingga
pada saat pemukulan Tambur memiliki dua irama; Mbata dan Tete ndere. Mbata irama
pukulannya pelan dengan menggunakan telapak tangan di iringi dengan nyanyian
yang lamabat juga, sedangkan Tetendere iramanya cepat sebagai tanda kebahagiaan
tanpa nyanyian dengan menggunakan stick atau kayu khusus yg dibuatnya untuk
memukul tambur.Di Kampung ini Tambur dibuat dari Kulit Kambing atau kulit Sapi
yang sudah kering.
PERLENGKAPAN ALAT DAPUR DARI TANAH
MERAH ;
Di Wokopau,Wolomboro dan Wae Soke
adalah tempat pembuatan Periuk dari Tanah Merah. Dari semua jenis perlengkapan
dapur dibuatnya .Membuatnya pun sangat Traditional yaitu menggunakan batu
sebagai palu, air dan daun pisang sebagai pembungkus tanah beralaskan selembar
papan sebagai dasar penyimpan tanah yang mau di peram. Proses pembuatan sebuah
periuk yang bagus membutuhkan waktu dua bulan. Awal dari prosesnya sebagai
berikut; Tanah di Gali dengan memakai linggis yang terbuat dari kayu, dan di
bungkus dengan daun pisang, lalu di peram selama dua minggu. Dalam proses
pemeraman tanah ini harus di siram setiap pagi sore. Tanah ini di giling memakai
kaki atau tangan dan di peram lagi selama dua malam lalu proses pembuatan
periuk,mangkok,senduk,gelas dll.
Setelah membentuk sebuah periuk
dibilas lagi memakai air dan secabik kain untuk memperhalus bentuk dari sebuah
periuk dan di jemur satu atau dua minggu lamanya di Matahari. Dalam proses
penjemuran juga harus di jaga jangan sampai ada yang retak atau goresan dari
binatang peliharaan. Jika ada yang retak atau ada goresan harus cepat-cepat di
bilasnya dengan secabik kain basah jika masih mungkin untuk dibilas,sebab kalau
tanahnya sudah mengering sedikit susah untuk membilasnya. Setelah benar-benar
kering lalu dibakar dengan memakai bambu kering atau pelepah kelapa kering
sampai benar-benar mengeluarkan warna merah dan mengeluarkan bunyi yang nyaring
jika menyentuhnya dengan jari tangan kita.
Adapun larangan-larangan pada saat
mengambil Tanah ini yaitu; Menggalinnya tidak boleh memakai alat jenis besi,
Pada saat menggali tidak boleh mengeluarkan angin melalui anus(Kentut), tidak
boleh batuk, dan tidak bole berbicara kotor jika ada teman di samping kita dan
membawahnya pun harus memakai bakul atau keranjang dari jenis daun-daunan.
Mengapa peraturan ini dibuat supaya
pada proses pembuatannya nanti tidak ada yang retak atau pecah. Kalau ada yang
tidak mengikuti peraturan diatas maka sia-sialah dalam pembuatannya akan pecah
atau tidak jadi sama sekali. Nilai penjualan dari sebuah periuk tanah ini tidak
sebanding dengan tenaga atau waktu dari sipembuat. Per buah kira-kira mencapai
5000 rupiah tergantung jenis dan ukurannya.
Adapun keuntungan jika kita memasak
dari periuk tanah ini yaitu; Jika menanak nasi menimbulkan rasa gurih atau
mengeluarkan bau harum yang sangat natural dari jenis beras atau jagung
tersebut dan tidak menimbulkan hangus atau berbentuk kerak. Begitupun jika
memasak sayur.
Masih banyak Masyarakat di kampung
yang sampai saat ini menggunakan Alat Traditional diatas. Jika ada orang yang
menarik dengan pembuatan periuk dari Tanah Merah yang seperti di atas, bisa
saja langsung mengunjungi kampung tersebut dan yang menarik dengan Traditional
Dancing harus menunggu waktu acara dibuatnya.
MR.DUS. TOUR GUIDE. Multikuturelle
Schule Frankfurt am Main Germany.
http://jv.wikipedia.org/wiki/Kota_Komba,_Manggarai
_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
CACI
sumber:
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=862465367119609&id=804016502964496
Diakses pada tanggal 17 Januari 2015 pukul 11:30 am, JPS.
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” (satu hati untuk Manggarai).
Di Manggarai, Flores - NTT, caci itu sendiri adalah tarian kesatriaan pria-pria Manggarai. Watak kesatriaan itu terlihat pada ketangkasan menggunakan peralatan dan pernak-pernik caci. Peralatan dan pernak-pernik tersebut, dalam bahasa Manggarai, adalah panggal, lalong ndeki, nggorong, nggiling, agang, larik, sapu dan songke. Caci secara etimologis berasal dari dua suku kata yakni ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti lawan. Jadi, caci berarti tarian seorang melawan seorang yang lain. Prinsipnya adalah sportif dan kreatif dalam aksi.
Selain tarian caci, ada juga tarian lain yang bertalian dengan pentas budaya Manggarai yakni tarian tiba meka, danding dan 2 (dua) tarian kreasi (sae kaba-ndundu ndake-pua kopi). Masing-masing tarian tersebut mengungkapkan kehangatan sikap orang Manggarai dan menceritakan kebiasaan dalam realitas orang Manggarai.
Aspek-aspek dalam sinopsis tari
1. Nama tarian : Tari Caci (Tari Perang Nusa Tenggara Timur)
2. Nama tempat (keadaan lingkungan tarian tersebut berasal) :
Caci atau tari Caci atau adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti Manggarai.
3. Klasifikasi Tari :
Tari Caci adalah ritual Penti Manggarai. Upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang satu ini dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
Ritus penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti. Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan sirih, pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke tanah.
Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya, supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali. Lagu itu disebut Sanda Lima.
Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan penghormatan terhadap padi yang telah memberikan kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal dari rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai.
Sebenarnya, ritual Barong Lodok juga disimbolkan untuk membagi tanah ulayat kepada seluruh anggota keluarga. Tanah yang bakal dibagikan itu mempunyai beragam perbedaan luas, tergantung status sosial. Pembagiannya disimbolkan dengan Moso, yakni sektor dalam Lingko yang diukur dengan jari tangan. Tanah tersebut dibagi berdasarkan garis yang mirip dengan jaring laba-laba. Tua Teno adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas membagi tanah tersebut.
Sehabis Barong Lodok, prosesi berlanjut ke ritual Barong Wae. Di sini, warga kembali akan mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air. Menurut kepercayaan, selama ini roh leluhur itu telah menjaga sumber mata air, sehingga airnya tak pernah surut. Ritual ini juga menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan mata air bagi kehidupan seluruh warga Desa. Korban yang dipersembahkan adalah seerkor ayam dan sebutir telur.
Rangkaian upacara dilanjutkan dengan ritual Barong Compang. Prosesinya dilakukan di tanah yang berbentuk bulat, yang terletak di tengah kampung. Roh penghuni Compang juga diundang mengikuti upacara penti di rumah adat pada malam hari. Suku Manggarai mempercayai, roh kampung yang disebut Naga Galo selama ini berdiam di Compang.
Bagi suku Manggarai, peranan Naga Galo sangat penting dan amat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya, Naga Galo-lah yang telah melindungi kampung dari berbagai bencana. Mulai dari kebakaran, angin topan, bahkan bisa menghindarkan timbulnya kerusuhan di kampung. Ritual Barong Compang diakhiri dengan langkah rombongan yang masuk ke rumah adat, untuk melakukan upacara Wisi Loce. Di sana, mereka menggelar tikar, agar semua roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti.
Keluarga dari rumah adat Gendang dan Tambor melanjutkan acara Libur Kilo. Prosesi yang satu itu bertujuan mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat. Uniknya, upacara tadi dipercaya sebagai upaya membaharui kehidupan bagi seluruh anggota keluarga. Sebab dalam upacara itu, warga yang bermasalah, dapat membangun kembali hubungan keluarga supaya lebih baik lagi.
Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya.
Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.
4. Tema (cerita tari) :
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” atau Satu hati untuk bumi Manggarai. Makna cerita ini mempertegas bahwa caci bukanlah tarian atraksi saling unjuk kekuatan atau kecekatan, melainkan tarian yang menggambarkan keakraban dan persaudaraan. Tarian ini menggambar suka cita masyarakat Manggarai.
5. Pencipta Tari : Tidak diketahui
6. Para penari atau pemusiknya :
Para penari caci semuanya adalah laki-laki tetapi tidak semua lelaki dapat unjuk kebolehan dan keterampilan di arena caci. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah tubuh atletis adalah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang penari caci. Syarat lainnya, penari harus pandai pula menyerang lawan dan atau bertahan dari serangan lawan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu daerah. Hal-hal tersebut yang akan mereka lakukan selama pertunjukkan yang diringi musik gendang, gong, dan nyanyian. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci.
Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci. Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.
Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara mereka. Yang ada hanya suka cita.Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.
7. Gambaran interaksi dan komunikasi antar pendukung tari, pemusik, penonton, atau masyarakat secara luas.
Saat diadakan pertunjukkan caci, biasanya pesta besar pun dilangsungkan dengan memotong beberapa ekor kerbau kemudian disajikan sebagai makanan bagi para peserta dan penonton. Biasanya, dua kelompok tari caci merupakan kelompok laki-laki dari dua desa atau kampung. Sorak penonton menggema, memahami makna tetesan darah sebagai persembahan untuk kesuburan dan lambang kejantanan.
8. Bentuk gerak :
Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
Sebelum tarian seru ini dimulai, pertunjukan tari caci akan diawali terlebih dahulu dengan pentas tari danding atau tandak manggarai. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Pihak penyerang akan menyerang dan mencambuk tubuh lawan, terutama bagian lengan, punggung, dan dada. Tugas pihak lawan adalah menangkis atau menghindari serangan tersebut dengan perisai dan busur yang ia pegang di masing-masing tangan. Apabila kurang lincah mengelak maka dipastikan cambuk akan menyisakan bekas di tubuh hingga berdarah. Apabila pihak yang bertahan terkena cambuk pada matanya maka ia dinyatakan kalah (beke) dan kedua penari harus keluar arena dan digantikan oleh sepasang penari lainnya.
Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Dua di antara empat orang itu saling berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak ubahnya petir. Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu. Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
9. Bentuk iringan :
Para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. Iring-iringan musik dari tetabuhan gendang, gong mengeras, tembong, nggong, dan nyayian yang mempengaruhi gerak fisik.
10. Tata rias dan busana :
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung.
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan. Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan bergemirincing mengikuti gerak penari sekaligus penambah semarak musik gendang dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian.
Para penari tersebut nampak gagah mengenakan pakaian tersebut ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata. Penari yang berperan sebagai penyerang (paki) dipersenjatai dengan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang dikeringkan. Pegangan cambuk juga terbuat dari lilitan kulit kerbau. Pada bagian ujung cambuk, biasanya dipasang kulit kerbau tipis yang sudah dikeringingkan (lempa) atau dapat juga menggunakan lidi enau yang masih hijau (pori).
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan.
11. Properti yang digunakan :
Pemain dilengkapi dengan pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala), pelindung dada, pelindung kaki dan lutut (bik). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (songket khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas.
Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan perisai.
Bagi orang Kabupaten Manggarai, caci merupakan pesta besar. Desa penyelenggara memotong beberapa ekor kerbau untuk makanan para peserta dan penonton.
12. Peraturan :
Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, namun memukul dilakukan secara bergantian. Para pemain dibagi menjadi dua kelompok yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh kelompok tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang atau disebut meka landang yang berarti tamu penantang. Tarian Danding atau tandak Manggarai ditarikan sebagai pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak hanya menari namun juga melecutkan cambuk ke lawan sembari berpantun dan bernyanyi. Lokasi pertandingan caci biasanya di halaman rumah adat.
Bila pukulan lawan dapat ditangkis, maka pecutan tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat ditangkis, pemain akan menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain itu langsung dinyatakan kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.
Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau dere) para pendukung. Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok lainnya memberi dukungan sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai tempat minum tuak yang dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan penonton. Seperti layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada mendukung penyerang, sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota kelompok atau penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan lebih kuat lagi.
_____________________
sumber:
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=862465367119609&id=804016502964496
Diakses pada tanggal 17 Januari 2015 pukul 11:30 am, JPS.
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” (satu hati untuk Manggarai).
Di Manggarai, Flores - NTT, caci itu sendiri adalah tarian kesatriaan pria-pria Manggarai. Watak kesatriaan itu terlihat pada ketangkasan menggunakan peralatan dan pernak-pernik caci. Peralatan dan pernak-pernik tersebut, dalam bahasa Manggarai, adalah panggal, lalong ndeki, nggorong, nggiling, agang, larik, sapu dan songke. Caci secara etimologis berasal dari dua suku kata yakni ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti lawan. Jadi, caci berarti tarian seorang melawan seorang yang lain. Prinsipnya adalah sportif dan kreatif dalam aksi.
Selain tarian caci, ada juga tarian lain yang bertalian dengan pentas budaya Manggarai yakni tarian tiba meka, danding dan 2 (dua) tarian kreasi (sae kaba-ndundu ndake-pua kopi). Masing-masing tarian tersebut mengungkapkan kehangatan sikap orang Manggarai dan menceritakan kebiasaan dalam realitas orang Manggarai.
Aspek-aspek dalam sinopsis tari
1. Nama tarian : Tari Caci (Tari Perang Nusa Tenggara Timur)
2. Nama tempat (keadaan lingkungan tarian tersebut berasal) :
Caci atau tari Caci atau adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti Manggarai.
3. Klasifikasi Tari :
Tari Caci adalah ritual Penti Manggarai. Upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang satu ini dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
Ritus penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti. Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan sirih, pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke tanah.
Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya, supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali. Lagu itu disebut Sanda Lima.
Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan penghormatan terhadap padi yang telah memberikan kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal dari rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai.
Sebenarnya, ritual Barong Lodok juga disimbolkan untuk membagi tanah ulayat kepada seluruh anggota keluarga. Tanah yang bakal dibagikan itu mempunyai beragam perbedaan luas, tergantung status sosial. Pembagiannya disimbolkan dengan Moso, yakni sektor dalam Lingko yang diukur dengan jari tangan. Tanah tersebut dibagi berdasarkan garis yang mirip dengan jaring laba-laba. Tua Teno adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas membagi tanah tersebut.
Sehabis Barong Lodok, prosesi berlanjut ke ritual Barong Wae. Di sini, warga kembali akan mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air. Menurut kepercayaan, selama ini roh leluhur itu telah menjaga sumber mata air, sehingga airnya tak pernah surut. Ritual ini juga menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan mata air bagi kehidupan seluruh warga Desa. Korban yang dipersembahkan adalah seerkor ayam dan sebutir telur.
Rangkaian upacara dilanjutkan dengan ritual Barong Compang. Prosesinya dilakukan di tanah yang berbentuk bulat, yang terletak di tengah kampung. Roh penghuni Compang juga diundang mengikuti upacara penti di rumah adat pada malam hari. Suku Manggarai mempercayai, roh kampung yang disebut Naga Galo selama ini berdiam di Compang.
Bagi suku Manggarai, peranan Naga Galo sangat penting dan amat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya, Naga Galo-lah yang telah melindungi kampung dari berbagai bencana. Mulai dari kebakaran, angin topan, bahkan bisa menghindarkan timbulnya kerusuhan di kampung. Ritual Barong Compang diakhiri dengan langkah rombongan yang masuk ke rumah adat, untuk melakukan upacara Wisi Loce. Di sana, mereka menggelar tikar, agar semua roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti.
Keluarga dari rumah adat Gendang dan Tambor melanjutkan acara Libur Kilo. Prosesi yang satu itu bertujuan mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat. Uniknya, upacara tadi dipercaya sebagai upaya membaharui kehidupan bagi seluruh anggota keluarga. Sebab dalam upacara itu, warga yang bermasalah, dapat membangun kembali hubungan keluarga supaya lebih baik lagi.
Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya.
Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.
4. Tema (cerita tari) :
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” atau Satu hati untuk bumi Manggarai. Makna cerita ini mempertegas bahwa caci bukanlah tarian atraksi saling unjuk kekuatan atau kecekatan, melainkan tarian yang menggambarkan keakraban dan persaudaraan. Tarian ini menggambar suka cita masyarakat Manggarai.
5. Pencipta Tari : Tidak diketahui
6. Para penari atau pemusiknya :
Para penari caci semuanya adalah laki-laki tetapi tidak semua lelaki dapat unjuk kebolehan dan keterampilan di arena caci. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah tubuh atletis adalah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang penari caci. Syarat lainnya, penari harus pandai pula menyerang lawan dan atau bertahan dari serangan lawan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu daerah. Hal-hal tersebut yang akan mereka lakukan selama pertunjukkan yang diringi musik gendang, gong, dan nyanyian. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci.
Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci. Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.
Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara mereka. Yang ada hanya suka cita.Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.
7. Gambaran interaksi dan komunikasi antar pendukung tari, pemusik, penonton, atau masyarakat secara luas.
Saat diadakan pertunjukkan caci, biasanya pesta besar pun dilangsungkan dengan memotong beberapa ekor kerbau kemudian disajikan sebagai makanan bagi para peserta dan penonton. Biasanya, dua kelompok tari caci merupakan kelompok laki-laki dari dua desa atau kampung. Sorak penonton menggema, memahami makna tetesan darah sebagai persembahan untuk kesuburan dan lambang kejantanan.
8. Bentuk gerak :
Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
Sebelum tarian seru ini dimulai, pertunjukan tari caci akan diawali terlebih dahulu dengan pentas tari danding atau tandak manggarai. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Pihak penyerang akan menyerang dan mencambuk tubuh lawan, terutama bagian lengan, punggung, dan dada. Tugas pihak lawan adalah menangkis atau menghindari serangan tersebut dengan perisai dan busur yang ia pegang di masing-masing tangan. Apabila kurang lincah mengelak maka dipastikan cambuk akan menyisakan bekas di tubuh hingga berdarah. Apabila pihak yang bertahan terkena cambuk pada matanya maka ia dinyatakan kalah (beke) dan kedua penari harus keluar arena dan digantikan oleh sepasang penari lainnya.
Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Dua di antara empat orang itu saling berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak ubahnya petir. Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu. Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
9. Bentuk iringan :
Para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. Iring-iringan musik dari tetabuhan gendang, gong mengeras, tembong, nggong, dan nyayian yang mempengaruhi gerak fisik.
10. Tata rias dan busana :
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung.
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan. Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan bergemirincing mengikuti gerak penari sekaligus penambah semarak musik gendang dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian.
Para penari tersebut nampak gagah mengenakan pakaian tersebut ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata. Penari yang berperan sebagai penyerang (paki) dipersenjatai dengan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang dikeringkan. Pegangan cambuk juga terbuat dari lilitan kulit kerbau. Pada bagian ujung cambuk, biasanya dipasang kulit kerbau tipis yang sudah dikeringingkan (lempa) atau dapat juga menggunakan lidi enau yang masih hijau (pori).
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan.
11. Properti yang digunakan :
Pemain dilengkapi dengan pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala), pelindung dada, pelindung kaki dan lutut (bik). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (songket khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas.
Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan perisai.
Bagi orang Kabupaten Manggarai, caci merupakan pesta besar. Desa penyelenggara memotong beberapa ekor kerbau untuk makanan para peserta dan penonton.
12. Peraturan :
Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, namun memukul dilakukan secara bergantian. Para pemain dibagi menjadi dua kelompok yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh kelompok tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang atau disebut meka landang yang berarti tamu penantang. Tarian Danding atau tandak Manggarai ditarikan sebagai pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak hanya menari namun juga melecutkan cambuk ke lawan sembari berpantun dan bernyanyi. Lokasi pertandingan caci biasanya di halaman rumah adat.
Bila pukulan lawan dapat ditangkis, maka pecutan tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat ditangkis, pemain akan menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain itu langsung dinyatakan kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.
Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau dere) para pendukung. Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok lainnya memberi dukungan sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai tempat minum tuak yang dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan penonton. Seperti layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada mendukung penyerang, sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota kelompok atau penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan lebih kuat lagi.
_____________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar