Wae Rebo, Nominasi ASEANTA Award for Excellence 2016
Rabu, 2 Desember 2015
http://travel.kompas.com/read/2015/12/02/110556227/Wae.Rebo.Nominasi.ASEANTA.Award.for.Excellence.2016?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Berita Terkait
RUTENG, KOMPAS.com - Wonderful Indonesia siap
untuk memenangkan ajang ASEANTA (ASEAN Tourism Association) Awards for
Excellence yang akan diselenggarakan di Manila 19 Januari 2016.
Dalam ajang ASENTA Awards For Excellence 2016, ada 6 kategori yang dikompetisikan. Keenam kategori itu adalah: Best ASEANTA Tourism photo, Best ASEANTA Travel Article, Best ASEANTA Marketing & Promotional Campaign, Best ASEANTA New Tourism Attraction, Best ASEANTA Airline Program For ASEAN dan Best ASEANTA Cultural Preservation Efforts.
“ASEANTA Awards 2016 dengan tagline ‘Striving for Excellence’ dimaksudkan untuk mengapresiasi berbagai upaya terbaik dalam mendukung pariwisata di kawasan ASEAN. Kita sudah menerima 29 karya anak bangsa dari 6 kategori yang akan dilombakan. Karya-karya itu kita sudah kirim ke Sekretariat ASEANTA di Malaysia beberapa waktu lalu," kata I Gde Pitana selaku Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata.
Jelang ajang kompetesi ini di Manila, tim promosi pariwisata untuk Wae Rebo, Iwan Manasa, Kanisius T Deki, Aprila Moenaf, Iqbal dan Ridho juga diundang untuk menghadiri Malam Penganugerahan Branding Pariwisata di Hall Room Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata.
"Wae
Rebo menjadi salah satu nominator dalam ajang ini di Manila untuk
bidang Best ASEANTA Cultural Preservation Efforts. Malam hari ini kami
berbangga hati menerima penghargaan Kemenpar. Ini menunjukkan Wae Rebo
makin dicintai masyarakat Indonesia," ujar Iwan Manasa kepada KompasTravel melalui surat elektronik, Selasa (1/12/2015). Penduduk Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Manasa menjelaskan, alasan terpilihnya Wae Rebo sebagai salah satu destinasi wisata tentulah sangat mendasar.
“Wae Rebo memiliki kekayaan alam luar biasa. Pesona keindahan alam sangat memikat. Selain itu, kekayaan warisan budayanya luar biasa. Jika datang ke sana, kita seolah-olah anak yang pergi merantau dan pulang kembali ke rumah setelah bertahun-tahun. Ada suasana kekeluargaan yang hangat," ujar Deki, sebagai anggota tim promosi Wae Rebo.
Rufinus Lahur, seorang tokoh Manggarai di Jakarta mengomentari terpilihnya Wae Rebo sebagai sesuatu yang seharusnya.
“Wae
Rebo memiliki daya pikat Ilahi yang diekspresikan leluhur orang
Manggarai dalam rupa bangunan, struktur kampong dan pola hidup. Saatnya
kita meneruskan dan menghayati nilai-nilai spiritual ini untuk menjadi
kekuatan dalam membangun kehidupan," imbuhnya disertai rasa bangga. Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Bagi tim promosi tempat wisata yang lolos dalam kompetisi di Manila 19 Januari 2016 akan diundang menghadiri Malam Penganugerahan ASEANTA di ibu kota Negara Filipina.
“Kita berharap, Wae Rebo terpilih diajang perlombaan ini,” ujar Deki seraya berharap hal itu juga melecut komitmen masyarakat Manggarai untuk mencintai warisan alam dan budayanya.
Dalam ajang ASENTA Awards For Excellence 2016, ada 6 kategori yang dikompetisikan. Keenam kategori itu adalah: Best ASEANTA Tourism photo, Best ASEANTA Travel Article, Best ASEANTA Marketing & Promotional Campaign, Best ASEANTA New Tourism Attraction, Best ASEANTA Airline Program For ASEAN dan Best ASEANTA Cultural Preservation Efforts.
“ASEANTA Awards 2016 dengan tagline ‘Striving for Excellence’ dimaksudkan untuk mengapresiasi berbagai upaya terbaik dalam mendukung pariwisata di kawasan ASEAN. Kita sudah menerima 29 karya anak bangsa dari 6 kategori yang akan dilombakan. Karya-karya itu kita sudah kirim ke Sekretariat ASEANTA di Malaysia beberapa waktu lalu," kata I Gde Pitana selaku Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata.
Jelang ajang kompetesi ini di Manila, tim promosi pariwisata untuk Wae Rebo, Iwan Manasa, Kanisius T Deki, Aprila Moenaf, Iqbal dan Ridho juga diundang untuk menghadiri Malam Penganugerahan Branding Pariwisata di Hall Room Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata.
Manasa menjelaskan, alasan terpilihnya Wae Rebo sebagai salah satu destinasi wisata tentulah sangat mendasar.
“Wae Rebo memiliki kekayaan alam luar biasa. Pesona keindahan alam sangat memikat. Selain itu, kekayaan warisan budayanya luar biasa. Jika datang ke sana, kita seolah-olah anak yang pergi merantau dan pulang kembali ke rumah setelah bertahun-tahun. Ada suasana kekeluargaan yang hangat," ujar Deki, sebagai anggota tim promosi Wae Rebo.
Rufinus Lahur, seorang tokoh Manggarai di Jakarta mengomentari terpilihnya Wae Rebo sebagai sesuatu yang seharusnya.
Bagi tim promosi tempat wisata yang lolos dalam kompetisi di Manila 19 Januari 2016 akan diundang menghadiri Malam Penganugerahan ASEANTA di ibu kota Negara Filipina.
“Kita berharap, Wae Rebo terpilih diajang perlombaan ini,” ujar Deki seraya berharap hal itu juga melecut komitmen masyarakat Manggarai untuk mencintai warisan alam dan budayanya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Menyusuri Waewina, Sungai Bawah Gunung di Flores
Senin, 2 Februari 2015 | 12:24 WIB
Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2015/02/02/122400827/Menyusuri.Waewina.Sungai.Bawah.Gunung.di.Flores
Diakses pada 20 Peb. 2015 pukul 12:00
Berita Terkait
WOW, sungguh menakjubkan, sungai di bawah gunung
sepanjang tiga kilometer hanya ada di Kampung Lambaleda, Desa
Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sungai bawah gunung itu berada di Sungai Waewina. Warga masyarakat
Lambaleda menyebut sungai bawah gunung itu yang juga termasuk gua alam
bawah gunung itu adalah Werwitu.
Sungai bawah gunung yang juga termasuk goa alam di bawah gunung pada bagian hulunya atau pintu mengalirnya air sungai disebut Werwitu. Sementara di bagian hilirnya atau air sungai keluar disebut Cing Coleng. Hanya masyarakat lokal di Kecamatan Lambaleda yang mengetahui keunikan air sungai di bawah gunung Cing Coleng.
Selasa, 27 Januari 2015, sekitar pukul 15.30 Wita, wartawan Kompas.com bersama dengan sejumlah jurnalis lokal dan bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur ditantang menyusuri Sungai Waewina untuk melihat dan menyaksikan langsung keunikan air sungai yang mengalir di bawah gunung. Bahkan insting jurnalis untuk menerima tantangan secara spontan keluar untuk pergi melihat langsung keunikan dan keajaiban goa alam yang dialiri air itu.
Saat itu, rombongan dalam perjalanan pulang usai mengunjungi Kecamatan
Lambaleda, tepatnya di Kampung Waenenda, Desa Waenenda, bersama dengan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Manggarai Timur,
Belasius Tabur dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, dr
Philiphus Mantur untuk bertemu masyarakat terkait rencana pembangunan
Puskesmas di Waenenda tahun anggaran 2015 ini. Menuju Goa Werwitu di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Selama perjalanan pulang bersama dengan sopir bagian Humas Kabupaten Manggarai Timur, Om Fabianus Nurung bercerita tentang keunikan air sungai yang mengalir di bawah gunung. Tiba-tiba dalam kendaraan secara spontan menyepakati untuk mengunjungi lokasi wisata tersebut.
Nah, sampai di depan gedung SMAN Lambaleda, rombongan menanyakan informasi kepada masyarakat yang sedang bekerja membersihkan rumput di ladang tentang jalan masuk menuju ke goa alam Werwitu.
Berbekal informasi singkat dari warga masyarakat itu, rombongan memarkirkan kendaraan di pinggir jalan dan berjalan ke depan asrama SMAN Lambaleda. Dari asrama, kami dipandu oleh dua siswa SMAN Lambaleda, yakni Emilianus Igu dan Basilus Balawato. Kedua siswa ini bersama dengan sejumlah rekannya mengetahui lokasi goa itu dan jalan masuknya.
Kami melewati Sungai Waewina, di mana aliran sungai itu sebagai tempat
mandi dari anak-anak asrama Lambaleda. Sesudah itu, rombongan pertama
melewati sebuah persawahan dan rombongan kedua berjalan di pinggir
sungai. Awalnya, kami menuju ke sebuah goa yang berada di bukit, namun,
karena tanahnya licin dan pada musim hujan membuat rombongan
mengurungkan niat untuk masuk ke goa tersebut. Sesudah itu, kami
menyusuri pinggiran sungai menuju ke Goa Werwitu.
Air di Goa Cing Coleng dari aliran Sungai Waewina di Kampung Lambaleda,
Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara
Timur.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, rombongan bersama dengan dua siswa itu tiba di pintu masuk goa. Saat itu air Sungai Waewina mengalir sangat deras karena musim hujan. Setiba di depan pintu masuk goa, rombongan berhenti sejenak sambil mengabadikan keindahan dan keunikan goa tersebut dengan kamera.
"Pada musim kemarau dan aliran air Sungai Waewina kecil, kami biasa masuk ke dalam goa untuk melihat burung Kalong. Namun, jika air Sungai Waewina mengalir deras kami tidak berani masuk,” jelas kedua siswa tersebut.
Selain itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Manggarai Timur,
Belasius Tabur yang juga berasal dari Lambaleda menjelaskan, dia sudah
pernah masuk ke goa alam yang berada di bukit beberapa tahun silam.
Satu-satunya goa alam yang dialiri air sungai di bawah gunung adalah Goa
Alam Werwitu.
Dua murid SMA Lambaleda sebagai pemandu lokal menuju Goa Werwitu di
Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores,
Nusa Tenggara Timur.
"Kami akan terus mempromosikan keunikan goa alam Werwitu di bagian hulunya dan goa alam Cingcoleng di bagian hilirnya. Kami minta kerja sama dari jurnalis untuk memperkenalkan obyek wisata ini ke dunia luar,” jelasnya.
Asal-usul Nama Werwitu dan Cing Coleng
Agustinus Supratman, bagian Humas Pemda Manggarai Timur menuturkan, Werwitu adalah nama seorang gadis di wilayah Lambaleda. Namun, dalam kehidupan sosialnya, Werwitu berperilaku kurang bagus di masyarakat. Agar nama kampung tetap dijaga baik maka para orangtua di wilayah tersebut sepakat membuang Werwitu di pintu masuk goa tersebut. Nah, mulai saat itu goa alam itu disebut Goa Alam Werwitu.
"Saya dengar cerita dari orangtua di sekitar wilayah tersebut yang
berkaitan dengan nama Goa Alam Werwitu. Belum banyak yang mengetahui
tentang keunikan goa alam di bawah gunung di Lambaleda tersebut. Bahkan,
rombongan kita bersama dengan wartawan yang pertama mengunjungi goa
tersebut selain warga lokal yang mencari burung kalong,” jelasnya.
Air sungai di Cing Coleng yang keluar dari celah batu. Goa Cing Coleng
berada di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur,
Flores, Nusa Tenggara Timur.
Agustinus melanjutkan, nama Cing Coleng juga memiliki arti. Pertama-tama, ada seorang bapak dari kampung sekitar itu pada beberapa tahun silam tersesat. Bapak yang tersesat itu diselamatkan oleh seorang ayam hutan, dalam bahasa lokal disebut “Rata”. Saat itu ayam hutan sedang menggali lubang untuk bertelur. Tiba-tiba galiannya tembus ke bawah dan setika itu sinar matahari tembus di lubang.
Nah, dari dalam tanah ada suara seorang manusia. Lalu ayam jantan bertanya, dalam bahasa lokal, "cing" artinya "siapa" dan dari bawah dijawab "co leng" artinya "kenapa" atau "ada apa". Ketika mendengar suara manusia, ayam jantan menyelamatkan bapak yang tersesat melalui lubang yang sudah digali sehingga bapak tersebut selamat.
“Saat ini Goa Cing Coleng dikelola oleh Paroki Lambaleda sebagai tempat
ziarah di Keuskupan Ruteng. Ada sejumlah patung, seperti Patung Bunda
Maria. Bahkan di bawah goa itu muncul lima mata air yang mengalir dari
air Sungai Waewina. Setiap Sabtu dan Minggu, goa ini ramai dikunjungi
wisatawan lokal untuk berdoa sambil berwisata,” jelasnya.
Patung Bunda Maria di Goa Cing Coleng, Kampung Lambaleda, Desa
Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Cara Menuju Goa Werwitu dan Cing Coleng
Wisatawan domestik dan mancanegara yang datang dari Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat berjalan di jalan Transflores menuju Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Dari pusat kota, wisatawan berjalan menuju ke Timur dan sampai di Bealaing. Dari Bealaing, wisatawan melintasi hutan lindung Banggarangga menuju ke Beamuring dan menuju ke Bentengjawa, ibu kota Kecamatan Lambaleda.
Selanjutnya dari pusat Kota Kecamatan di Bentengjawa, wisatawan belok kanan menuju Timur. Nah, sampai di depan SMAN Lambaleda berhenti dan berjalan menuju ke Goa Werwitu.
Sedangkan ke Goa Cing Coleng, wisatawan berjalan lurus dari ibu kota
Kecamatan Lambaleda menuju ke arah Dampek. Sekitar empat kilometer dari
pusat kota, wisatawan belok kanan dan ada tulisan selamat datang di Goa
Alam Cing Coleng. Aliran Sungai Waewina di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Untuk wisatawan yang datang dari Timur, seperti Maumere, Ende, Nagekeo, Bajawa belok kanan di Bealaing, ibu kota Kecamatan Pocoranaka. Jalan menuju ke obyek wisata sangat bagus dengan aspal yang layak. Dari Bealaing ditempuh dengan kendaraan diperkirakan memakan waktu 2,5 jam.
Sungai bawah gunung yang juga termasuk goa alam di bawah gunung pada bagian hulunya atau pintu mengalirnya air sungai disebut Werwitu. Sementara di bagian hilirnya atau air sungai keluar disebut Cing Coleng. Hanya masyarakat lokal di Kecamatan Lambaleda yang mengetahui keunikan air sungai di bawah gunung Cing Coleng.
Selasa, 27 Januari 2015, sekitar pukul 15.30 Wita, wartawan Kompas.com bersama dengan sejumlah jurnalis lokal dan bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur ditantang menyusuri Sungai Waewina untuk melihat dan menyaksikan langsung keunikan air sungai yang mengalir di bawah gunung. Bahkan insting jurnalis untuk menerima tantangan secara spontan keluar untuk pergi melihat langsung keunikan dan keajaiban goa alam yang dialiri air itu.
Selama perjalanan pulang bersama dengan sopir bagian Humas Kabupaten Manggarai Timur, Om Fabianus Nurung bercerita tentang keunikan air sungai yang mengalir di bawah gunung. Tiba-tiba dalam kendaraan secara spontan menyepakati untuk mengunjungi lokasi wisata tersebut.
Nah, sampai di depan gedung SMAN Lambaleda, rombongan menanyakan informasi kepada masyarakat yang sedang bekerja membersihkan rumput di ladang tentang jalan masuk menuju ke goa alam Werwitu.
Berbekal informasi singkat dari warga masyarakat itu, rombongan memarkirkan kendaraan di pinggir jalan dan berjalan ke depan asrama SMAN Lambaleda. Dari asrama, kami dipandu oleh dua siswa SMAN Lambaleda, yakni Emilianus Igu dan Basilus Balawato. Kedua siswa ini bersama dengan sejumlah rekannya mengetahui lokasi goa itu dan jalan masuknya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, rombongan bersama dengan dua siswa itu tiba di pintu masuk goa. Saat itu air Sungai Waewina mengalir sangat deras karena musim hujan. Setiba di depan pintu masuk goa, rombongan berhenti sejenak sambil mengabadikan keindahan dan keunikan goa tersebut dengan kamera.
"Pada musim kemarau dan aliran air Sungai Waewina kecil, kami biasa masuk ke dalam goa untuk melihat burung Kalong. Namun, jika air Sungai Waewina mengalir deras kami tidak berani masuk,” jelas kedua siswa tersebut.
"Kami akan terus mempromosikan keunikan goa alam Werwitu di bagian hulunya dan goa alam Cingcoleng di bagian hilirnya. Kami minta kerja sama dari jurnalis untuk memperkenalkan obyek wisata ini ke dunia luar,” jelasnya.
Asal-usul Nama Werwitu dan Cing Coleng
Agustinus Supratman, bagian Humas Pemda Manggarai Timur menuturkan, Werwitu adalah nama seorang gadis di wilayah Lambaleda. Namun, dalam kehidupan sosialnya, Werwitu berperilaku kurang bagus di masyarakat. Agar nama kampung tetap dijaga baik maka para orangtua di wilayah tersebut sepakat membuang Werwitu di pintu masuk goa tersebut. Nah, mulai saat itu goa alam itu disebut Goa Alam Werwitu.
Agustinus melanjutkan, nama Cing Coleng juga memiliki arti. Pertama-tama, ada seorang bapak dari kampung sekitar itu pada beberapa tahun silam tersesat. Bapak yang tersesat itu diselamatkan oleh seorang ayam hutan, dalam bahasa lokal disebut “Rata”. Saat itu ayam hutan sedang menggali lubang untuk bertelur. Tiba-tiba galiannya tembus ke bawah dan setika itu sinar matahari tembus di lubang.
Nah, dari dalam tanah ada suara seorang manusia. Lalu ayam jantan bertanya, dalam bahasa lokal, "cing" artinya "siapa" dan dari bawah dijawab "co leng" artinya "kenapa" atau "ada apa". Ketika mendengar suara manusia, ayam jantan menyelamatkan bapak yang tersesat melalui lubang yang sudah digali sehingga bapak tersebut selamat.
Cara Menuju Goa Werwitu dan Cing Coleng
Wisatawan domestik dan mancanegara yang datang dari Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat berjalan di jalan Transflores menuju Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Dari pusat kota, wisatawan berjalan menuju ke Timur dan sampai di Bealaing. Dari Bealaing, wisatawan melintasi hutan lindung Banggarangga menuju ke Beamuring dan menuju ke Bentengjawa, ibu kota Kecamatan Lambaleda.
Selanjutnya dari pusat Kota Kecamatan di Bentengjawa, wisatawan belok kanan menuju Timur. Nah, sampai di depan SMAN Lambaleda berhenti dan berjalan menuju ke Goa Werwitu.
Untuk wisatawan yang datang dari Timur, seperti Maumere, Ende, Nagekeo, Bajawa belok kanan di Bealaing, ibu kota Kecamatan Pocoranaka. Jalan menuju ke obyek wisata sangat bagus dengan aspal yang layak. Dari Bealaing ditempuh dengan kendaraan diperkirakan memakan waktu 2,5 jam.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Wajah Kampung Todo
Jumat, 20 Februari 2015 | 11:28 WIB
http://travel.kompas.com/read/2015/02/20/1128008/Wajah.Kampung.Todo?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
diakses pada 20 Pebruari 2015, pkl 11:45
HUJAN lebat baru saja berhenti saat tiba di Kampung
Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur,
pertengahan Januari 2015. Kampung Todo merupakan salah satu kampung adat
masyarakat Manggarai.
Pada masa lampau, daerah ini merupakan salah satu pusat Kerajaan Todo yang menjadi penguasa wilayah Manggarai saat itu.
Kampung Todo kini menyisakan bangunan rumah adat (Niang Todo) berbentuk
kerucut. Rumah adat ini menggunakan atap jerami dan beralaskan kayu.
Meski sudah mengalami renovasi, bangunan ini merupakan satu-satunya sisa
peninggalan sejarah dan tradisi yang kini bersanding dengan rumah-rumah
modern warga sekitar. Kaum perempuan Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Sebagai salah satu tujuan wisata, Kampung Todo memberikan peluang ekonomi bagi warga sekitar, terutama bagi kaum perempuan.
Mereka menawarkan kain tenun (songket) khas Todo untuk suvenir kepada
wisatawan yang berkunjung. Kain dengan beragam warna dan motif tersebut
ditawarkan Rp 50.000 hingga Rp 400.000 per lembar. Kain tenun (songket) khas Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Todo berjarak sekitar 45 kilometer dari Ruteng, ibu kota Manggarai. Dengan rute perjalanan yang melewati daerah perbukitan, menuju Todo dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam menggunakan kendaraan pribadi. Namun, popularitas Kampung Todo tampaknya masih kalah dibandingkan dengan Wae Rebo, salah satu desa adat di Manggarai.
Padahal, untuk menuju Wae Rebo harus melalui jalan yang melewati Kampung
Todo. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah daerah
setempat untuk dapat memanfaatkan potensi dan aset wisata budaya yang
melimpah. (Raditya Helabumi) Warga Kampung Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengenakan kain.
Pada masa lampau, daerah ini merupakan salah satu pusat Kerajaan Todo yang menjadi penguasa wilayah Manggarai saat itu.
Sebagai salah satu tujuan wisata, Kampung Todo memberikan peluang ekonomi bagi warga sekitar, terutama bagi kaum perempuan.
Todo berjarak sekitar 45 kilometer dari Ruteng, ibu kota Manggarai. Dengan rute perjalanan yang melewati daerah perbukitan, menuju Todo dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam menggunakan kendaraan pribadi. Namun, popularitas Kampung Todo tampaknya masih kalah dibandingkan dengan Wae Rebo, salah satu desa adat di Manggarai.
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Songke Manggarai, Identitas yang Terabaikan
(179 Views) Februari 6, 2015 1:57 am | Diterbitkan FloresNews.Com | No commenthttp://www.floresnews.com/songke-manggarai-identitas-yang-terabaikan/
diundur pada 19 Peb. 2015, pkl 21"07
Oleh: Melky Pantur*)
Identitas daerah ditunjukkan melalui berbagai cara, termasuk bagaimana mengenakan busana. Dalam keseharian, sebut saja jilbab dan kerudung. Oleh orang Arab, jilbab menunjukkan identitas perempuan. Identitas ke-Araban (Timor Tengah) itu kemudian dipakai dalam budaya agama dengan mana nyaris orang-orang Muslim di seluruh dunia terutama kaum perempuan wajib mengenakan jilbab.
Pengenaan jilbab tersebut adalah sebuah identitas. Dalam dunia agama, sebut saja agama Katolik. Para biarawati atau kerap disebut Suster, wajib mengenakan kerudung sebagai bentuk identitas mereka. Dalam agama Hindu, para Pendeta mengenakan jubah berwarna kuning tua keemasan. Demikian pula dalam agama Budha, pada Pendeta Budha mengenakan jubah berwarna cokelat. Para Pendeta di agama Shinto-Jepang mengenakan jubah kemerahan sebagai penunjukkan identitas.
Dalam seni tari, tarian Jai dari Bajawa sudah mendunia. Itu adalah identitas seni tari mereka. Tarian orang Manggarai yang populer adalah caci, sanda. Caci adalah identitas orang Manggarai. Caci tidak ada di belahan dunia manapun kecuali hanya di Manggarai saja, begitu pula dengan sanda.
Dari sisi organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, sebut saja GMNI menggenakan jas merah, PMKRI mengenakan jas merah tua. Dalam sisi organisasi partai politik Indonesia, sebut saja PDI Perjuangan menggenakan jas merah, Partai Golkar mengenakan jas kuning, Partai NasDem berwarna biru. Begitu pula dalam dunia ke-TNI-AD, dunia Kepolisian dan dalam dunia perhubungan. Itu adalah identitas.
Dari sisi bahasa, kita tahu nyaris tiap daerah memiliki bahasanya sendiri-sendiri, misalnya bahasa Manggarai. Begitupula bahasa yang diakui nasional, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa-bahasa nasional lainnya. Berbagai bahasa itu juga merupakan identitas.
Nah, kembali ke Manggarai. Apa identitas orang Manggarai? Identitas orang Manggarai tentu saja salah satunya adalah Songke dan Towe Todo, Towe Cibal. Budaya Manggarai terutama dari kreasi menenun Songke (kain songket motif Todo, Cibal dan Ruis), Towe Todo, motif Songke Cibal. Songke, motifnya tentu berbeda dengan motif songket dari daerah lain. Kain songke dengan coraknya tersendiri dapat dikreasi menjadi jas songke, topi songke, kain meja songke, dan selendang songke juga rompi songke.
Lalu, apa inti yang mau dibahas dalam tulisan ini? Sebagaimana semua orang tahu bahwa orang Manggarai nyaris ada di belahan dunia manapun, ada di berbagai benua. Kendati orang Manggarai berada di beberapa benua, orang Manggarai banyak yang lupa akan identitas mereka terutama dalam hal berbusana pada acara-acara penting di pemerintahan, di tempat ibadah dan di tempat-tempat pesta. Orang Manggarai sudah banyak beralih, beralih ke gaya modern, yaitu dengan mengenakan jas luar, menggenakan baju batik dari luar.
Bila saja orang Manggarai menunjukkan identitas mereka kendati dicap sebagai orang miskin atau marginal (terpinggirkan), orang Manggarai pasti akan disanjung identitasnya di mana-mana. Terutama pada saat acara-acara penting, ketika misalnya di Amerika, di Arab, orang Manggarai menggenakan jas songke dan topi songke. Wah, luar biasa indahnya.
Yang menarik lagi bahwa ketika ada kesadaran songkenisasi saat berada di luar negeri, saling mengenal satu sama lain itu sangat mudah. Gereja Katolik Manggarai telah melakukan itu terutama pada saat Misa di Gereja-gereja Minggu ketiga dalam bulan . Para umat wajib mengenakan Towe Songke dan Jongkong Songke. Itu adalah contoh.
Jika saja di luar negeri juga di dalam daerah, budaya songkenisasi itu tumbuh dan ditumbuhkan, tentu identitas itu semakin menonjol. Itu adalah seni di mana orang-orang yang berasal dari Manggarai sangat mudah untuk saling mengenal di mana pun mereka berada.
Bilamana identitas itu kerap ditampilkan, pasti saja ada orang di luar orang Manggarai yang ingin mengenakannya meski ada juga orang yang tidak mau karena mau mempertahankan identitas mereka sendiri.
Songkenisasi tentu akan berdampak pada meningkatnya pendapatan penenun songke, meningkat pula taraf hidup para penadah, distributor dan penjualnya. Demikian pula, meningkat pula bagi perusahan pencetak benang dan pewarna. Perusahaan kain dan pewarna juga mendapat untung.
Lalu, apa yang perlu dikritik terutama songkenisasi khususnya di Manggarai? Salah satu yang dilupakan selama ini di Manggarai saja adalah motif songke hanya dikenakan oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak saat koor adat di Gereja, pada saat acara penti, congko lokap, pada saat acara meminang perempuan dan yang paling parah dipakai pada saat perang tanding.
Di sekolah-sekolah mulai SMP, SMA di Manggarai, para siswa mengenakan rok abu-abu dengan baju berwarna putih, atau ada pula yang motifnya diambil dari luar bahkan hingga ke Perguruan Tinggi, sebut saja STKIP St. Paulus Ruteng, STIPAS St. Sirilus Ruteng, jas kampus sama sekali jauh dari warna budaya.
Artinya, belum ada satu sekolah model pun di Manggarai yang setiap siswanya pada hari tertentu harus mengenakan rok songke, baju songke, topi songke, kaus kaki motif songke, dan rompi songke. Nah, itulah salah satu kelemahan orang Manggarai, baik pemerintah maupun maupun masyarakatnya. Siswa-siswi di Manggarai harus ada corak tersendiri, yaitu corak motif songke.
Ada pertanyaan lain yang mesti jawab, yaitu apakah towe (keto) Todo, towe (keto) Cibal, songke Cibal dan songke-songke lainnya agar tidak terjadi kecemburuan? Menjawabi pertanyaan ini solusi penulis adalah harus perlu diakomodir.
Di Manggarai, sekolah-sekolah mengenakan dua pakaian utama pada saat jam pelajaran, yaitu pakain wajib yang dikenakan oleh anak SMP dan SMA berlaku seluruh Indonesia. Sebut saja, untuk SMA, celana/rok abu-abu dan seragam pramuka. Kedua seragam itu adalah keharusan. Perkembangan kemudian, di beberapa sekolah, misalnya SMAK Fransiskus Ruteng, SMAK Setia Bakti, SMAK Karya Ruteng, SMAN I Langke Rembong, SMP Fransiskus. Mereka mempunyai pakain khusus tetapi tidak ada yang pakai motif songke.
Kesadaran budaya di sekolah harus sejak dini perlu ditumbuhkan. Penulis mengambil contoh, SMAN I Langke Rembong memiliki beberapa jenis pakaian seragam. Pakain seragam abu-abu, pakain pramuka dan pakaian seragam roh/celana putih dengan baju kemeja berwarna merah bergaris. SMAK Fransiskus juga demikian, dengan pakaian rok/celana putih dengan baju kemeja berwarna hitam kecokelatan dengan sedikit bermotif batik. Mereka pada dasarnya mengenakan kaus kaki putih atau bercorak warna tanpa ada keseragaman kaus kaki dengan corak motif songke.
Lalu, bagaimana dengan motif towe (keto) Todo dan tenunan towe (keto) Cibal?. Apakah kedua motif ini dianaktirikan? Sekali-kali tentulah tidak. Kedua kain tersebut juga harus dibudayakan. Dalam sepekan, ada waktu efektif proses kegiatan belajar mengajar dengan jumlah hari enam hari. Jika hari Senin mengenakan pakaian seragam abu-abu, hari
Selasa mengenakan motif Songke, hari Rabu mengenakan motif towe (keto) Todo, hari Kamis mengenakan motif towe (keto) Cibal, hari Jumat mengenakan motif bebas sesuai identitas sekolah seperti seragam merah bergaris dan celana/rok merah seperti di SMAN I Langke Rembong, sedangkan hari Sabtu mengenakan pakaian seragam Pramuka.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan motif songke di Manggarai yang berbeda? Bagi penulis, motif songke setiap sekolah tentu perlu diatur agar tidak terjadi subtitusi status motif. Misalnya, jika hari Selasa dalam empat pekan, dua pekannya mengenakan motif songke Todo, dua pekan yang lain mengenakan motif Cibal. Begitupula dengan towe (keto) Todo dan towe (keto) ala Cibal dipakai per dua pekan sesuai dengan kesepakatan para Kepala Sekolah bersama Pemkab mengenai penggenaan pakaian daerah tersebut.
Mengenai topi (jongkong—dalam bahasa Manggarai) yang lazim dipakai anak-anak SMP. Topi juga harus bermotif songke. Pemikiran ini jika dilaksanakan, maka Manggarai sangat luar biasa ke depannya. Penulis memperhatikan anak-anak TK, juga belum ada yang menjadi TK model dengan mengenakan busana motif songke. Ini yang perlu dipikirkan oleh orang Manggarai dengan mempertahankan identitas mereka. Di sini, Manggarai tentu harus menjadi daerah model, daerah budaya model.
Hilangnya identitas orang Manggarai tampak juga dalam keikutan arstitektur bangunan dari luar. Bentuk rumah adat di kampung-kampung dari keaslian telah hilang. Hanya satu saja kampung yang mempertahankan keaslian itu, yaitu Kampung Tradisional Wae Rebo, padahal tahun 1930-an ke bawah masih terdapat begitu banyak kampung di Manggarai yang mempertahankan keaslian itu. Apakah tidak ada orang Manggarai yang ingin kembali ke keaslian itu terutama dari sisi rumah adat?
Pengaruh perkembangan zaman memang tidak bisa dipungkiri, tetapi jika arus modern tetap menghanyutkan orang Manggarai, identitas itu pelan-pelan terbawa arus, tertelan lumpur dan arus lautan luas. Penulis mau mengajak, hendakya back to nature, kembalilah ke identitas kita. Dengan kembali dan mempertahankan identitas kita, maka aspek ekonomi akan terangkat. Kesejahteraan tentu dapat terbantu.
Menyatakan cita-cita itu memang tidaklah gampang tetapi dengan memulai dari sekolah-sekolah yang ada di Kota Ruteng, kesadaran itu akan tumbuh. Hal itu tentu menjadi wisata menarik. Kelak banyak pihak dari luar yang akan terkagum-kagum.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa songkenisasi media perjumpaan identitas orang Manggarai. Atau, songke adalah sarana pertemuan orang Manggarai mengenai identitas mereka di mana pun mereka tinggal.
Penulis:Jurnalis, dan Ketua Lembaga Studi Budaya dan Sejarah Manggarai (LSBSM). Asal Manggarai. Tinggal di Ruteng, Manggarai, NTT.
Batu Cermin, Sinar Penyelamat
Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2014/12/09/125522527/Batu.Cermin.Sinar.Penyelamat
diakses pada 25 Januari 2015, pukul 20:43
Di celah-celah batu berbentuk goa dan ruangan 150 meter persegi itu, sinar matahari masuk menyinari kegelapan goa. Adanya cahaya yang masuk ke dalam goa itulah yang menyebabkan warga setempat menyebut tempat itu dengan nama Batu Cermin.
Kendaraan pengunjung dapat diparkir di pelataran sekitar 70 meter dari Batu Cermin. Pengunjung lalu berjalan kaki menuju Batu Cermin.
Pintu masuk goa Batu Cermin ada dua. Jika tidak ada pemandu, pengunjung bisa keliru masuk ke dalam goa karena tidak ada tulisan petunjuk tentang pintu masuk dan pintu keluar. Pemandu lokal sangat penting, mengarahkan pengunjung ke mana saja kita harus melangkah agar tidak tersesat atau masuk ke lubang yang tidak dipahami.
Susunan batu kapur yang berada di areal seluas hampir 700 meter persegi itu setiap hari dikunjungi 10-50 orang. Mereka adalah turis asing dan lokal yang ingin melengkapi kunjungan mereka ke Pulau Komodo dengan mendatangi obyek wisata di Labuan Bajo, termasuk Batu Cermin.
Sekitar 10 meter dari pintu utama lantai satu goa terdapat 15 anak tangga. Namun sayang, tangga itu dibangun tidak disesuaikan dengan bentuk, struktur, dan guratan asli goa sehingga tampilannya merusak pemandangan asli goa.
Di lantai dua goa ada ruangan mirip sebuah gedung dengan ”lampu neon” raksasa yang tengah memancar dari atas bubungan atap, yakni sinar matahari. Sinar itu masuk menelusuri celah batu raksasa yang membelah dua di bagian puncak batu. Masyarakat setempat menyebutnya ”Batu yang sedang bercahaya atau Batu Cermin”.
Dua tiang batu berdiameter sekitar 100 sentimeter dengan ketinggian sekitar 10 meter berdiri terpisah mengarah ke puncak goa. Tiang batu itu mengundang rasa heran pengunjung karena bentuknya seperti karya tangan seorang pemahat dengan daya imajinasi tinggi.
Pengunjung pun tak bosan-bosan mengabadikan dua tiang batu kapur stalagmit itu. Tiang itu seperti dicor dari dasar goa, kemudian ujungnya meruncing, tanpa menopang dinding goa. Sementara bagian kiri kanan dinding terdapat stalaktit, batangan kapur yang terdapat di langit-langit goa dengan ujung meruncing ke bawah.
Di bagian depan dari dua tiang itu terdapat ruangan di dalam goa dengan luas sekitar 150 meter persegi, diapit dua belahan batu goa. Di puncak goa terdapat batu karang menjulang dengan ketinggian sekitar 5 meter. Di samping batu karang tumbuh pohon berdiameter sekitar 40 sentimeter melewati ketinggian batu karang.
Dua lorong
Di goa berukuran 150 meter persegi itu terdapat dua lorong. Di pintu masuk lorong kiri terdapat 10 helm yang sengaja diletakkan sebagai alat pengaman bagi pengunjung yang masuk ke dalam lorong kiri.
Pengunjung yang masuk ke dalam lorong kiri harus didampingi dan menggunakan lampu atau alat penerangan, selain helm. Di situ terdapat terowongan sangat gelap dengan panjang sekitar 15 meter dan melewati tikungan dinding batu berbahaya. Tak ada jalan keluar di bagian ujung. Pengunjung harus berbalik arah ke ruang semula, lalu keluar ke arah kanan.
Di lorong ke arah kanan masih terdapat pelataran berukuran sekitar 10 meter x 15 meter yang sangat indah. Sebagian pengunjung menyebutnya Taman Eden.
Di sebelah kiri dari pelataran itu ada celah untuk pengunjung keluar. Ada lima anak tangga yang sengaja dibangun untuk mempermudah pengunjung keluar dari goa itu. Pintu keluar tersebut ternyata berdekatan dengan pintu masuk goa.
Perjalanan mengelilingi kubah batu itu cukup melelahkan. Pengunjung harus membawa air minum, di samping lampu
senter, dan alas kaki yang bisa dimanfaatkan untuk memanjat.
Hingga 1990, Batu Cermin termasuk kawasan yang tidak mudah didekati. Ada kejadian yang unik, seperti penampakan perempuan cantik dan pria berjenggot yang menghuni goa itu. Pada malam hari sering tampak nyala api jadian dari dalam goa.
Sekitar 70 meter dari goa Batu Cermin terdapat restoran yang menyediakan berbagai minuman lokal, di samping makanan ringan dan buku-buku panduan wisata.
Kepala Desa Batu Cermin Agus Albu, Sabtu (18/10/2014), mengatakan, lokasi wisata itu dikelola Dinas Pariwisata Manggarai Barat. ”Mereka pungut Rp 20.000 per orang untuk sekali masuk bagi turis asing dan Rp 10.000 per turis lokal, termasuk pemandu. Pengunjung mulai ramai sejak 2007,” kata Albu.
Pada 2013, jumlah pengunjung ke tempat ini sekitar 20.000 orang, sebagian besar pengunjung saat pelaksanaan Sail Komodo, Juli-September 2013. Target kunjungan tahun ini sekitar 25.000 orang dengan rata-rata dalam satu hari 10-50 pengunjung.
”Jika pungutan serupa berlaku untuk ratusan obyek wisata di Manggarai Barat, uang masuk dari sektor pariwisata dalam satu bulan di Manggarai Barat cukup besar,” kata Albu.
Ia berharap Dinas Pariwisata Manggarai Barat dapat melibatkan Pemerintah Desa Batu Cermin dalam mengelola pusat wisata di desa itu. Kasus kebakaran di sekitar goa yang pernah terjadi disebabkan kurangnya pengawasan dari dinas pariwisata. (Kornelis Kewa Ama)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Travel / Travel Story
Pantai Mbolata dan Mausui Jadi Tujuan Wisata di Flores
Sumber: Jumat, 9 Januari 2015 | 10:41 WIB
http://travel.kompas.com/read/2015/01/09/104100527/Pantai.Mbolata.dan.Mausui.Jadi.Tujuan.Wisata.di.Flores
Diakses pada 25 Januari 2015, pukul 20:37
Salah satu pantai yang selalu ramai dikunjungi wisatawan domestik adalah Pantai Mbolata dan Mausui. Di mana lokasi wisata tersebut di Pulau Flores? Pantai Mbolata dan Mausui berada di Pantai Selatan Kabupaten Manggarai Timur, tepatnya di wilayah Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba.
Pantai Mbolata sudah dikenal di Eropa dan sejumlah negara lainnya, karena wisatawan asing selalu mengunjungi pantai tersebut untuk menikmati matahari terbenam dan berenang. Tapi, jalan masuk ke lokasi Pantai Mbolata belum diaspal. Pada pergantian tahun dari tahun ke tahun, pantai ini selalu dipadati pengunjung lokal dari berbagai kabupaten yang berada di Pulau Flores, seperti pengunjung dari Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur dan Ngada.
Selain itu, salah satu pantai yang selama ini kurang dikunjungi wisatawan domestik adalah Pantai Mausui. Namun, kini situasi sudah berbalik di mana ribuan wisatawan domestik mulai mengunjungi tempat ini untuk berenang dan menghabiskan waktu liburan bersama keluarga, apalagi pada Natal dan Tahun Baru. Ini dampak dari jalan menuju ke lokasi sudah diaspal belum lama ini.
Dua Pantai di kawasan Pantai Selatan Kabupaten Manggarai Timur ini menjadi alternatif bagi wisatawan asing dan domestik untuk berpiknik sambil menikmati keindahan alam dan pemandangan padang savana Mausui.
Pantai Mausui layak menjadi sasaran pengunjung untuk menghabiskan waktu liburan bersama anak-anak dan keluarga.
Kristina Nggose, salah satu pengunjung kepada Kompas.com menjelaskan, pada liburan Natal dan Tahun Baru 2015 Pantai Mbolata dan Mausui dipadati wisatawan lokal dari berbagai kabupaten di Flores. Pantainya sangat bagus dan bersih.
“Banyak orang dari berbagai kabupaten mengunjungi Pantai Mbolata dan Mausui. Bahkan yang ramai dikunjungi adalah Pantai Mausui ditambah dengan jalan obyek wisata tersebut sudah diaspal. Saya bersama teman-teman berrekreasi ke Pantai Mausui pada tahun Baru 2015,” jelasnya.
Dari pertigaan itu berjalan menuju selatan melewati perkampungan Kajukaro dan Waewole. Pengunjung bisa bertanya kepada penduduk setempat jalan menuju ke obyek wisata tersebut. Pun sebaliknya wisatawan dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka harus berhenti di pertigaan tersebut. Bisa juga langsung dengan kendaraan menuju ke obyek wisata tersebut karena jalannya sudah diaspal.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Menyusuri Rimba Suka, Ndolu, dan Mbengan di Bumi Flores
Minggu, 4 Januari 2015 | 11:09 WIB
http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/110923727/Menyusuri.Rimba.Suka.Ndolu.dan.Mbengan.di.Bumi.Flores
Kompas.com, Jumat (26/12/2014) dan Minggu (28/12/2014) menyusuri keunikan alam yang masih diwariskan leluhur dari berbagai suku di dua desa tersebut. Dua Desa itu adalah Desa Ranakolong dan Desa Mbengan.
Pertama-tama, Kompas.com mengumpulkan berbagai cerita lisan dari warga masyarakat tentang keunikan alam di kawasan hutan tutupan tersebut. Sambil menghabiskan masa liburan bersama dengan keluarga untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. Saya meluangkan waktu untuk menikmati angin segar di hutan serta mengabadikan keunikan alam di Hutan Mbengan, Suka dan Ndolu.
Pada hari Jumat (26/12/2014) di sela-sela ritual adat untuk mensyukuri kelahiran anak, saya bersama dengan seorang guru Sekolah Dasar, Fransiskus Fulla dan warga Desa Ranakolong, Basilius Simus dan anaknya, Arin sebagai penunjuk jalan ke bekas kampung Tua dari Suku Suka di Pong Suka.
Berangkat dari rumah Fransiskus Ndolu melintasi Kantor Desa Ranakolong dan melewati perkebunan warga dengan berbagai jenis tanaman holtikultura, seperti kakao, cengkeh, kemiri, bahkan tanaman jagung sedang bertumbuh. Kami melintasi pinggiran hutan untuk menuju ke tempat Batu Megalitik yang diakui sebagai Compang Suku Suka pada zaman dahulu. Batu bulat yang sangat besar sebagai tempat persembahan dari Suku Suka kepada leluhur pada zaman dulu. Bahkan, Pong Suka atau Hutan Suka sebagai kampung pertama dari Suku Suka.
“Saya selalu mendengarkan cerita dan kisah dari leluhur dan orangtua serta warga Suku Suka tentang Pong Suka sebagai kampung pertama dari Suku Suka. Dalam cerita lisan yang terus dituturkan tentang Pong Suka dengan berbagai bukti sejarah di dalamnya. Bukti sejarah yang kuat adalah Watu Compang atau batu berbentuk bulat sebagai tempat persembahan kepada leluhur serta pohon beringin Raksasa. Nenek moyang orang Manggarai Raya selalu menanam pohon beringin sebagai bukti sejarah,” jelasnya.
Watu Compang Pong Suka
Warga Suku Suka selalu mengenal dan mengetahui Watu Compang atau Batu Compang berbentuk bulat besar sebagai tempat persembahan sesajian kepada leluhur. Ribuan tahun silam, leluhur warga Suka mampu membuat Compang dengan batu-batu besar.
Namun, sebagaimana dilihat langsung oleh Kompas.com, batu itu sudah ditutupi berbagai tumbuh-tumbuhan serta daun-daun dari pohon-pohon disekitarnya sehingga tidak terawat dengan baik. Kalau tidak diperhatikan maka bukti sejarah itu akan hilang bersama dengan waktu.
Selain itu, ada pohon beringin raksasa yang tumbuh disekitar Batu Compang itu. Itu membuktikan bahwa pada zaman dulu ada perkampungan di tempat tersebut. Selain ada mata air sebagai tempat warga Suku Suka menimba air. Sampai sekarang mata air itu masih mengalir.
Waesadong
Mata air Waesadong berada di tengah hutan Suka. Mata air ini sebagai tempat warga Suku Suka pada zaman dulu menimba air minum bersih. Uniknya, mata air ini muncul dari batu cadas berbentuk kuali. Bahkan untuk menimbanya harus menggunakan tempurung kelapa. Bahkan pada musim kemarau mata air Waesadong tidak pernah kering, sehingga warga di Kampung Waekolong, Kampung Mesi saat musim kemarau menimba air minum di mata air Waesadong.
“Kami selalu menimba air minum di mata air Waesadong saat musim kemarau bahkan kami mengambil air di mata air ini untuk memberikan ternak sapi, kerbau dan kuda. Mata air Waesadong ini sangat unik karena mata airnya muncul dari batu cadas. Ini juga membuktikan bahwa di kawasan Hutan Suka pernah ada perkampungan,” jelasnya.
Pada Minggu (28/12/2014), Kompas.com, ditemani tokoh masyarakat Desa Ranakolong, Aleksius Jala, Basilius Simus, mahasiswa Unwira Kupang Antonius Ndoen, siswa SMK Negeri Labuan Bajo An Ngapan dan siswa SMAN Kota Komba Hendrikus Kapang kembali menyusuri kawasan hutan tutupan Suka, Mbengan dan Ndolu.
Pertama kali berangkat dari Kampung Mesi menyisiri Pong Suka atau Hutan Suka dan melintasi perkebunan masyarakat dan menyeberangi sebuah kali. Lalu, berjalan menanjak menuju ke Watu Waka. "Waka" dalam bahasa Kolor adalah "perahu". "Watu Waka" adalah "batu berbentuk perahu". Unik kan....
Watu Waka di kawasan Hutan Mbengan
Kami sangat terkejut dengan bentuk batu yang persis seperti perahu. Batu hanya ditahan oleh sebuah pohon. Watu Waka selalu dikisahkan warga Desa Ranakolong dan Desa Mbengan sebagai batu berbentuk perahu.
Aleksius Jala, tokoh masyarakat Desa Ranakolong mengatakan, warga Desa Ranakolong dan Mbengan sudah mengenal Watu Waka sebagai batu perahu.
“Saya selalu mendengar cerita tentang Watu Waka dari orangtua. Hanya saya tidak tahu bagaimana awal batu ini berbentuk Perahu. Mungkin leluhur memahat batu ini seperti perahu. Batu ini tidak pernah runtuh walaupun ada gempa bumi,” jelasnya.
Pong Ndolu
Pong Ndolu atau Hutan Ndolu tak kalah dengan potensi Pong Mbengan dan Pong Suka. Pong Ndolu merupakan perkampungan tua dari Suku Ndolu. Apa yang menarik di Pong Ndolu? Di tengah tutupan itu, ada batu berbentuk Kuali. Diakui bahwa batu itu sebagai tempat masak para leluhur di zaman dulu apabila memasak daging. Bukti lain sebagai perkampungan tua adalah pohon beringin raksasa di kampung tersebut.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Kampung Cecer, Pusat Tarian Caci dan Kerangkuk Alu di Flores
Jumat, 5 Desember 2014 | 10:23 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/05/102300327/Kampung.Cecer.Pusat.Tarian.Caci.dan.Kerangkuk.Alu.di.Flores
Bahkan, Kampung Cecer memikat Pangeran Denmark untuk menyaksikan atraksi unik tarian khas Manggarai Raya. Kampung Cecer yang terletak dibawah Gunung Mbeliling sudah sangat terkenal di seluruh dunia dengan berbagai atraksi budaya yang unik.
Di Kampung ini, wisatawan dapat menyaksikan pementasan Tarian Caci, Tarian Ndundu Ndake yang sudah masuk Rekor Muri 2012 dengan menampilkan 1.000 penari di Lapangan Upacara Labuan Bajo dan juga tarian Kerangkuk Alu.
Tarian Kerangkuk Alu merupakan tarian adu ketangkasan saat menari sambil melompat di tengah-tengah dua buah kayu bulat sambil digoyang oleh para penari lainnya. Jikalau penari salah melompat maka tulang kering bisa patah terkena gesekan kayu bulat yang secara terus menerus digoyangkan. Hanya kaum perempuan dan kaum laki-laki yang terlatih dapat melewati lubang kecil di tengah dua kayu yang dipegang pada penari.
Tarian Kerangkuk Alu sangat berbeda dengan Tarian Ndundu Ndake. Biasanya Tarian Kerangkuk Alu ditampilkan pada malam hari saat bulan terang. Tapi, akhir-akhir ini tarian ini selalu dipentaskan kepada tamu asing dan kunjungan para menteri di wilayah Manggarai Barat.
Tarian Kerangkuk Alu dipentaskan oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan sementara Tarian Ndundu Ndake hanya dipentaskan oleh kaum perempuan.
Satu-satunya kampung di Kabupaten Manggarai Barat yang terletak di bukit menjadi pusat atraksi budaya di Manggarai Barat adalah Kampung Cecer. Selama ini turis asing dan domestik yang secara rombongan berkunjung ke Taman Nasional Komodo juga memiliki paket perjalanan wisata ke Kampung Cecer.
Turis asing dari berbagai negara serta wisatawan domestik memiliki perjalanan wisata utama ke Taman Nasional Komodo. Turis ke Taman Nasional Komodo untuk melihat dari dekat binatang Komodo yang sudah masuk dalam tujuh keajaiban dunia baru. Selain itu, turis ke Taman Nasional Komodo untuk menyelam melihat keunikan dan keindahan bawah laut yang sudah sangat terkenal. Tercatat pada peta pariwisata Kabupaten Manggarai Barat ada 13 dive operator yang selalu melayani wisata bawah laut di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Pada September 2013 lalu diselenggarakan puncak Sail Komodo di Pantai Pede, Kota Labuan Bajo. Bukan hanya Taman Nasional Komodo yang diminati wisatawan yang berkunjung ke Manggarai Barat, ternyata wisata budaya dan alam juga sangat diminati wisatawan. Wisata budaya itu dapat ditemukan di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat.
Kerajinan tangan yang dilakukan kaum perempuan di Kampung Cecer adalah menganyam tikar dari daun pandan. Anyaman tikar berwarna warni dibuat oleh kaum perempuan pada malam hari pada waktu senggang. Kaum perempuan memiliki pekerjaan utama adalah sebagai petani, sedangkan menganyam tikar dan menenun adalaah pekerjaan sampingan.
Kampung Cecer juga terkenal dengan penghasilan kopi Arabika. Selama ini kopi Arabika selalu menguntungkan para tengkulak.
Untuk itu didampingi oleh Yayasan Burung Indonesia, warga masyarakat di Kampung Cecer membentuk kelompok. Dan pada 2013 kelompok ini menghasilkan produk kopi lokal yang sering di sebut Kopi Tuk Bambam. Bambam adalah kependekan dari Bentang Alam Mbeliling. Kopi ini diolah secara tradisional tanpa menggunakan mesin pengolah kopi. Tepung kopi ditumbuk oleh kaum perempuan dalam kelompok.
Warga Masyarakat Kampung Cecer juga bekerja sama dengan Yayasan Burung Indonesia untuk tetap menjaga konservasi hutan Mbeliling. Bentang alam Mbeliling terdapat burung Endemik Flores. Bentang alam Mbeliling selalu dikunjungi oleh para peneliti burung di dunia serta tujuan wisata Burung bagi turis yang memiliki minat khusus pada burung.
Ribuan wisatawan asing dan domestik sudah mengunjungi kampung ini. Bahkan kunjungan itu dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat yang mereka bentuk dalam sebuah koperasi.
Selain itu, pada Februari 2014 lalu, seorang turis dari Denmark ikut menari dalam tarian tradisional warga masyarakat Kampung Cecer yang lazim disebut Tarian Kerangkuk Alu.
Kampung Cecer yang tidak jauh dari jalan negara Labuan Bajo-Ruteng dan sangat mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Kampung Cecer merupakan satu-satunya kampung di Kabupaten Manggarai Barat yang tidak jauh dari Kota Labuan Bajo yang selalu menampilkan atraksi budaya, baik dalam pesta adat di kampung maupun saat ada kunjungan wisatawan yang ingin menyaksikan tarian Caci dan tarian-tarian khas lainnya yang masih dipertahankan warga masyarakat.
Ketua Sanggar Riang Tana Tiwa Kampung Cecer, Kristoforus Nison kepada Kompas.com mengungkapkan, pihaknya tidak mencatat kunjungan wisatawan asing dan domestik ke Kampung Cecer. Tetapi, setiap bulan pasti ada kunjungan grup dari wisatawan yang ingin menyaksikan tarian Caci, tarian Ndundu Ndake.
"Tahun 2013 kami menerima kunjungan dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu untuk menyaksikan dari dekat keunikan-keunikan di Kampung Cecer, selain tarian Caci juga melihat produk-produk ekonomi kreatif yang dikembangkan masyarakat.
Kristoforus mengungkapkan, warga masyarakat merasa terhormat dengan kunjungan Pangeran Denmark Andre Henrik Kristen bersama dengan rombongan yang diundang Yayasan Burung Indonesia bersama dengan WWF Indonesia. Ini merupakan kunjungan sebuah penghargaan dari Negara Denmark untuk melihat keaslian budaya Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur).
”Kami sangat senang atas kunjungan istimewa dari Pangeran Denmark ke kampung Cecer. Kunjungan ini memberikan semangat kepada kami masyarakat Cecer untuk terus mempertahankan warisan budaya yang baik yang sudah diberikan leluhur di kampung ini,” sambungnya.
Warga masyarakat Kampung Cecer merasa bangga dikunjungi Pangeran Denmark bersama dengan rombongan. Warga lantas menampilkan berbagai atraksi budaya, mempromosikan kopi Tuk Bambam yang diolah secara alamiah dengan cara menumbuk kopi. Kopi Tuk Bambam merupakan hasil olahan dari kopi Arabika dan sejenisnya dari sekitar Kampung Cecer.
Di Kampung Cecer, selain, menyaksikan atraksi budaya, juga berlimpah buah-buah segar, mulai dari nanas, pisang, rambutan dan durian. Bahkan ada minuman lokal dari enau. Bahkan, warga masyarakat di Kampung Cecer sangat terbuka menerima tamu-tamu dengan penuh ramah.
Ketua Tim Leader Burung Indonesia Program Mbeliling, Tiburtius Hani menjelaskan, Kampung Cecer masuk dalam areal dampingan Yayasan Burung Indonesia program Mbeliling.
Camat Mbeliling, Fransiskus Selatan mengatakan, Pemerintah Kecamatan Mbeliling berterima kasih kepada Pangeran Denmark bersama rombongan yang mengunjungi Kampung Cecer. ”Saya minta tolong dipromosikan ke relasi-relasi Denmark mengenai keunikan dan keaslian budaya Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur di Kampung Cecer,” katanya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Food Story
Menikmati Kopi Tuk Bambam dan Kopi Tumbuk
Sabtu, 6 Desember 2014 | 08:41 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/06/084100527/Menikmati.Kopi.Tuk.Bambam.dan.Kopi.Tumbuk
Warga Flores barat yang melingkupi Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur merupakan warga petani campuran. Mengapa disebut petani campuran? Karena, warga petani selain mengolah persawahan juga menanam kopi, kemiri, cengkeh, kakao dan tanam pohon. Tidak ada petani yang fokus pada satu jenis tanaman seperti satu petani mengolah sawah, dan satu petani lainnya menanam ribuan hektar kopi, kemiri, cengkeh. Semua warga memiliki berbagai jenis tanaman serta tetap mengolah sawah.
Sejak gencarnya promosi Komodo masuk dalam tujuh keajaiban dunia baru, berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengembangkan proyek mereka di wilayah Flores Barat mulai menawarkan program pengembangan kopi tuk atau tumbuk. Bahkan, mereka membuat merk kopi sesuai dengan nama asal kopi berada. Namun, pada umumnya, mereka membuat merk Kopi Tuk atau Tumbuk Manggarai Raya.
Apa arti Kopi Tuk Bambam. Nama kopi ini berasal dari nama Bentang Alam Mbeliling karena kopi ini diambil dari kebun-kebun masyarakat di sekitar kawasan bentang alam Mbeliling.
Ketua Kelompok Lestari Jaya, Stefanus Landing kepada Kompas.com di Kampung Cecer beberapa waktu lalu menjelaskan, anggota kelompok mengembangkan usaha ini sudah dua tahun sejak ramainya kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik ke Kampung Cecer.
Alasan pertama adalah kopi Tuk Bambam sebagai oleh-oleh saat wisatawan pulang selain membeli kain tenung songke. Untuk memperkuat usaha ini anggota kelompok sepakat membentuk koperasi simpan pinjam.
Landing menjelaskan, kelompok Lestari Jaya didampingi Yayasan Burung Indonesia yang memiliki proyek konservasi alam termasuk burung-burung endemik yang hidup di bentang alam Mbeliling.
Kopi adalah penghasil utama warga petani di Kampung Cecer. Ada hutan kopi Robusta. Bentang alam Mbeliling sangat penuh dengan Kopi Robusta. Pengolahan kopi secara tradisional. Tocu atau Kuali dari Tanah Liat untuk menggoreng kopi sebelum ditumbuk. Ada sekitar 30 hektar pohon kopi yang dimiliki masyarakat Desa Liang Ndara.
Maria Sofia Setia, Ibu Kelompok menjelaskan, dia menjual kopi pada tahun 2012 per kilogram sebesar Rp 20.000. Banyak tengkulak yang meraup keuntungan selama ini. Pasalnya, petani menjual ke tengkulak Rp 21.000-Rp 22.000.
Maria menjelaskan, pada bulan Mei 2013 mereka mengadakan promosi ke Bali. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sempat membeli kopi Tuk Bambam saat berkunjung ke Kampung Cecer. Setiap tahun panen kopi berkisar pada Mei-Agustus. Sekarang dengan ada usaha sendiri ini, lanjut Maria, warga tidak menjual ke tengkulak lagi.
Bahkan Keuskupan Ruteng di bagian Delegatus Sosial juga mengembangkan Kopi Tuk Organik dari petani Manggarai Raya. Usaha-usaha kopi mulai tumbuh subur bersamaan dengan banyaknya pesanan kopi dari Pulau Jawa dan luar negeri.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhian |
Travel / Travel Story
Menarilah Bersama Penari Vera di Flores....
Minggu, 7 Desember 2014 | 09:48 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/07/094800427/Menarilah.Bersama.Penari.Vera.di.Flores.
Tarian Vera hanya ada di Suku Motu Kaju, salah satu sub klan dari Suku Besar Rongga. Memang dalam Suku Rongga ada tujuh suku besar. Namun, tidak semua sub suku memiliki Tarian Vera.
Bagi peminat seni tari di Indonesia dan mancanegara, apabila berwisata ke Flores, jangan hanya mempelajari seni Tarian Caci, mereka juga bisa mempelajari keunikan-keunikan tarian lainnya. Salah satunya Tarian Vera tersebut. Apa uniknya Tarian Vera yang masih dipertahankan warga Suku Rongga?
Tarian ini hanya dipentaskan pada upacara kematian. Namun, sejalan dengan perkembangan pariwisata Flores, tarian ini bebas dipentaskan pada berbagai upacara, seperti upacara Kemerdekaan Republik Indonesia, festival budaya di Kabupaten Manggarai Timur dan Flores.
Tidak semua sub suku di Suku Rongga memiliki tarian Vera, hanya beberapa suku saja yang bisa mementaskan tarian Vera.
Demikian dijelaskan seorang penari dari Suku Motu Kaju di Suku Rongga, Kornelia Jaghung (69) kepada Kompas.com di kediamannya di Jalan Transflores Ruteng-Waelengga, Minggu (30/11/2014).
Kornelia menjelaskan, Tarian Vera memiliki rumah tersendiri seperti di Kampung Lekeng yang dimiliki Suku Motu Kaju. Tidak semua rumah ada Tarian Vera, ada rumah khusus Tarian Vera di Suku Rongga. Seperti di Suku Motu Pumbu di Kampung Pandoa, Suku Raghi di Kampung Waewole. Selebihnya tidak memiliki rumah khusus Tarian Vera.
Mengenai asal warga masyarakat Suku Rongga, Kornelia menuturkan, berdasarkan penuturan nenek moyang Suku Rongga Motu Kaju yang terus dituturkan kepada anak-anak mereka bahwa keturunan Suku Rongga sub klan Motu Kaju berasal dari Kalimantan. Dikisahkan dua pasang suami istri yang berlayar dari Kalimantan dan turun di Pantai Sari Kondo bersama dengan dua anak bayi. Pasangan ini juga membawa seekor anjing.
Hingga saat ini bukti sejarahnya masih ada di sumber mata air Wae Motu di Kelurahan Watu Nggene. Buktinya adalah mata air dan batu megalitik yang masih ada sampai sekarang.
“Mulai saat ini ketika ada mata air ada dua pasang keluarga yang datang dari Kalimantan bersama anak bayi mereka bertumbuh menjadi besar hingga tersebar di sejumlah sub-sub suku di Suku Besar Rongga. Nah, mulai saat itulah ada Tarian Vera. Saya sendiri tidak tahu apa arti Vera, tetapi itu merupakan tarian adat yang diwariskan leluhur hingga sekarang,” paparnya.
Para penari Vera pada umumnya berpakaian putih, baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Entah pada upacara "ngua" atau kenduri tetap memakai pakaian berwarna putih. Namun, kini sudah bervariasi yaitu pakaian berwarna putih untuk laki-lakinya dan baju berwarna pink bagi penari perempuan ditambahkan dengan selendang dan kain Songke.
Gerakan Tarian Vera
Penari perempuan dan laki-laki menari searah dengan membentuk sebuah lingkaran. Kedua, penari kaum perempuan dan laki-laki berjejeran sambil berlari-lari dengan saling memegang tangan. Saat saling pegang tangan tidak boleh lepas. Sebelum Tarian Vera dipentaskan, terlebih dahulu peserta menari Mbata yang dipadukan dengan musik gong dan gendang. Sementara pada tarian Vera tidak dibunyikan gong dan gendang melainkan seseorang memimpin dalam bentuk lingkaran sambil menyanyikan lagu-lagu daerah dengan penuh semangat.
Biasanya tarian Vera dilaksanakan pada malam hari selama semalam suntuk sementara tarian Vera pada siang hari dipentaskan pada puncak acara "Wela Kamba" atau bunuh kerbau. Kornelia sekaligus Ketua Kelompok Kerajinan Tangan "Rebo Ndii" menjelaskan, pada upacara kenduri, tarian Vera dipentaskan searah yaitu ke arah kiri dan menarinya selama tujuh kali dalam sebuah lingkaran besar.
“Tahun 1986, saat puncak Kenduri orangtua, Gabriel Inge dengan Marta Jaja dipentaskan tarian Vera dengan ‘Wela Kamba’ sebanyak tujuh ekor serta tahun 2013 lalu digelar lagi Tarian Vera saat acara upacara 'ngua' atau kenduri kakak saya dengan membunuh satu ekor kerbau,” jelasnya.
Untuk diketahui bahwa asal usul keturunan orang Manggarai sangat bervariasi, seperti di wilayah Kolang berasal dari Minangkabau, wilayah Cibal juga dari Minangkabau, wilayah Todo dan sekitarnya nenek moyangnya berasal dari Gowa bercampur dengan Minangkabau sedangkan beberapa suku kecil di Manggarai Raya ada yang berasal dari keturunan Belu.
"Jadi asal usul nenek moyang orang Manggarai Raya sangat bervariasi dari seluruh Nusantara. Untuk itu tariannya juga bervariasi di berbagai wilayah di Manggarai Raya walaupun satu kesatuan budaya,” jelasnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Tradisi Meriam Bambu di Flores Menyambut Kelahiran Yesus Kristus
Minggu, 21 Desember 2014 | 12:31 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/12/21/123100627/Tradisi.Meriam.Bambu.di.Flores.Menyambut.Kelahiran.Yesus.Kristus?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Di Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT, sementara berteduh saat hujan mengguyur, tiba-tiba terdengar suara dentuman. Suara itu awalnya terdengar hanya sekali, tiba-tiba terdengar bertubi-tubi. Ternyata anak-anak muda dan orangtua memainkan tradisi meriam bambu. Hampir seluruh warga di Pulau Flores memiliki kesamaan dalam menyambut Kelahiran Isa Almasih, yakni menyuarakan meriam bambu di kampung-kampung.
Suasana menjadi panik. "Ada perang ko?" tanya seorang bapak yang berteduh di salah satu kios di Kelurahan Karot. Karena tidak ada yang menjawab, bapak tua tersebut, gelisah, lalu nekat mengendarai kendaraan ke arah pusat Kota Ruteng, meskipun hujan belum berhenti.
Di tengah hujan gerimis, bunyi ledakan dan tembakan itu semakin keras. Suasana tiba-tiba berubah menjadi sepi, sunyi. Terdengar jelas suara teriakan dan hura-hura warga, menyusul ledakan bertubi-tubi di udara, dilanjutkan dengan suara meriam yang keras, membuat suasana kembali mencekam.
Suara ledakan dan tembakan itu tetap terdengar sampai hujan berhenti pukul 20.27. Setelah hujan berhenti, banyak anak-anak yang turun ke jalanan, berlari menghampiri suara ledakan dan tembakan tersebut. Bapak Teo yang panik, segera menghidupkan motornya dan pergi tergesa-gesa karena panik dan takut dengan suasana tersebut.
Anak-anak dan orang tua masing-masing yang berkerumun di jalan saling bertanya, dari mana suara itu. Setelah beberapa menit tiba-tiba suara ledakan terdengar, semua warga menengadah ke atas, dan cahaya warna-warni terlihat jelas di langit. "Wow keren!" sahut Rio, anak kelas 3 SDK Karot, ketika menyaksikan kembang api warna-warni tersebut.
"Itu kembang apinya," ujar Nanik sambil menunjuk ke arah cahaya dan warna-warni.
Namun aneh, begitu suara kembang apinya hilang, suara tembakan masih terdengar. "Ramai suara meriam bambu," sahut Dami, pemuda karot ketika mendengar suara seperti bunyi tembakan itu.
"Meriam? Memang ada meriam di sini?" tanya pak Ahmad yang berlibur ke Ruteng.
"Meriam bambu Pak!" ujar Dami menanggapi pertanyaan pak Ahmad.
Sementara menyaksikan kembang api atau petasan, tiba-tiba hujan turun, semua berlari berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Lalu anak-anak bahu membahu memikul bambu, ada yang membawa botol berisi minyak tanah, ada yang membawa kain dan kayu. Kemudian mereka meletakkan bambu tersebut, bagian depannya di alas dengan batu sehingga lebih tinggi dari bagian belakang.
Tono, segera memerintahkan Mikael untuk memasukkan minyak tanah di dalam bambu tersebut melalui lubang yang sudah dipahat rapi dengan ukuran yang sangat kecil. Setelah memasukkan minyak tanah, Tono lalu memberikan abu dapur ke Miko untuk memasukkan ke dalam lubang tersebut. "Cepat masukkan lalu nyalakan api," kata Tono.
Setelah semua dimasukkan, maka Tono memberi isyarat agar segera memasukkan api ke dalam lubang tersebut. Tanpa basa-basi, Miko lalu menyudutkan ke dalam lubang bambu tersebut, api pun menyala di dalam lubang bambu tersebut, asap keluar melalui dua lubang, lubang yang kecil, dan lubang bagian depan bambu tersebut yang sudah dipotong.
Miko sesekali meniup, sampai asap mengepul keluar dari dalam bambu tersebut. Setelah sepuluh menit, dan bambu mulai panas, Tono dan Miko mulai beraksi, Tono meniup sampai asap di dalam bambu tersebut keluar, kemudian Miko menyudutkan api melalui lubang kecil, suara keras seperti tembakan pun terdengar. Blarr!!
Belasius Nalur, tokoh adat Flores menjelaskan bahwa bunyi meriam hanya pada bulan Desember. Semua orang memahami kalau bulan Desember adalah bulannya meriam bambu. Namun, lanjut Belasius, dari perspektif budaya Manggarai dan Flores, meriam bambu menandakan bahwa ada orang yang meninggal dunia. Dikampung-kampung masih berlaku, hal ini disebabkan karena jarak antar-kampung sangat jauh dan medannya sangat berat.
Selain ada orang yang diutus untuk "siro atau rekadu" dan sekarang dengan zaman teknologi dengan pesan singkat melalui handphone, meriam bambu tetap dibunyikan, karena suaranya besar. Sehingga kalau di kampung-kampung meriam dibunyikan sekali pun bulan Desember itu merupakan suara dukacita, menginformasikan bahwa ada yang meninggal.
Warisan Leluhur Orang Flores dan Manggarai
Tokoh Masyarakat Manggarai Timur, Yosep Geong dan Agustinus Nggose kepada Kompas.com, Sabtu (20/12/2014) menjelaskan, salah satu warisan yang masih terus dipertahankan di masyarakat Flores pada umumnya dan Manggarai Raya pada khususnya adalah tradisi meriam bambu.
“Zaman dulu, meriam bambu dibunyikan ketika ada peristiwa kematian tokoh besar di kampung-kampung. Meriam bambu memberikan pesan kepada seluruh masyarakat bahwa di salah satu kampung itu terjadi kematian. Dan warga yang meninggal adalah salah satu tokoh masyarakat yang berpengaruh di kampung tersebut. Bunyi meriam bambu diperuntukkan tokoh masyarakat yang meninggal dunia,” katanya.
Belakangan, menurut Yosep, tradisi meriam bambu dibunyikan pada masa adventus dan Natal sampai dengan perayaan tahun baru. Selain dibunyikan pada saat tokoh masyarakat meninggal dunia.
“Tradisi ini sudah diwariskan oleh leluhur orang Flores dan Manggarai. Salah satu cara menyambut kegembiraan kelahiran Isa Almasih dengan membunyikan meriam bambu di kampung-kampung,” jelasnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Agus Wahab
Minggu, 21 Desember 2014 | 12:58 WIB
Tradisi SALAH ALAMAT.. seolah-olah "Sang-Tokoh" yg dirayakan melalui N4T4L
adalah Tokoh-Perang. Kalaupun tradisi seperti ini dapat dianggap benar, maka
pasti "benar-yg-dipaksakan".
NB: Saya setuju dengan Agus Wahab. Penulis - Markus Makur - terkesan mencari-cari hubungan antara Natal dengan Merial Bambu. Meriam bambu itu cocok untuk masa Paskah, saat Yesus (Isa Almasih) wafat. Bukan untuk Natal. Bila pada Desember terdengar bunyi dentuman meriam bambu, hemat saya ini expresi kreativitas orang, terutama anak-anak da orang muda. (JPS, 21 Desember 2014).
Travel / Travel Story
Keunikan Sawah Lodok di Manggarai Raya
Minggu, 30 November 2014 | 11:45 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/30/114500327/Keunikan.Sawah.Lodok.di.Manggarai.Raya.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Bahkan, terakhir penerbit buku wisata terbesar dunia Lonely Planet di Inggris sudah memasukkan Pulau Flores sebagai salah tujuan wisata top dunia pada 2015. Apakah anda sebagai peneliti, arsitektur, ahli persawahan atau pertanian sudah mempelajari cara pembagian lahan pertanian, baik persawahan maupun lahan kering di Manggarai Raya?
Jika belum maka jelajahi wilayah Pulau Flores Barat untuk melihat keunikan-keunikan pembagian lahan persawahan seperti yang dilakukan masyarakat agraria di Flores Barat. Bahkan tidak semua kabupaten di Flores memiliki persawahan yang berbentuk jaring laba-laba. Barangkali film Spiderman menginspirasi dari persawahan lodok di Manggarai Raya selain dari jaring laba-laba.
Persawahan Lodok di Lembor
Persawahan ini mudah dijangkau dari Kota Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat. Saat ini Labuan Bajo sudah dikenal dengan nama Labuan Bangsa-bangsa. Kenapa? Karena turis dari berbagai negara berada di Kota Labuan Bajo sejalan dengan gencarnya pertumbuhan pariwisata di Manggarai Barat, di ujung barat Pulau Flores.
Setelah anda berada bukit, arahkan pandangan kita ke persawahan lodok. Kita pasti tersentak dengan keunikan-keunikan yang dibuat oleh leluhur warga Manggarai Barat zaman dahulu.
Beberapa waktu lalu tim dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dipimpin Ibu Gayatri bersama dengan sejumlah wartawan Jakarta pada pergelaran Festival Komodo di Labuan Bajo menyempatkan diri berkunjung persawahan Lodok Lembor.
Setelah melihat keunikan persawahan Lodok di Lembor, pemandu menghantarkan wisatawan asing dan domestik untuk berkunjung persawahan lainnya yang terletak di Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Blasius Nogot (56), penjaga pintu masuk ke Puncak Weol beberapa waktu menjelaskan, setiap hari turis asing yang dipandu oleh pemandu Flores selalu mengunjungi Persawahan Lodok Cancar. Turis berjalan kaki menuju ke puncak Weol untuk melihat keseluruhan hamparan persawahan yang terluas di Cancar. Turis asing dan domestik sering mengabadikan keunikan persawahan ini dengan kameranya.
“Setiap hari saya melayani tamu-tamu yang ingin melihat persawahan Lodok di Cancar dari puncak Weol,” jelasnya.
Nogot menjelaskan, ada 11 hamparan sawah lodok di Cancar dari delapan kampung. Semuanya bisa dilihat dari Puncak Weol. Persawahan ini berada di Desa Meler, Kecamatan Ruteng. Ke 11 sawah lodok adalah, Lingko Molo, Lingko Lindang, Lingko Pong Ndung, Lingko Temek, Lingko Jenggok, Lingko Lumpung, Lingko Purang Pane, Lingko Sepe, Lingko Wae Toso, Lingko Ngaung Meler, Lingko Lumpung II.
"Kunjungan wisatawan asing dan domestik memberikan masukan pendapatan ekonomi keluarga. Penghasilan per bulannya bisa Rp 1,5 juta. Apalagi saat musim kunjungan wisatawan ke Pulau Flores. Pemandu lokal dan internasional selalu membawa turis ke Puncak Weol untuk melihat persawahan Lingko Lodok Cancar. Bahkan, General Manager PLN NTT beberapa waktu lalu juga mengunjungi persawahan Cancar dari Puncak Weol,” jelasnya.
Ke persawahan lingko Lodok di Rawang
Jika ingin lebih mengetahui keseluruhannya, berkunjunglah ke persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Akses jalan ke kampung itu dari arah Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai sangat bagus dengan melewati Karot menuju ke Pagal. Jalannya sangat bagus karena masuk dalam jalan Negara Ruteng-Reo.
Letak persawahan Lingko Lodok Rawang berada di sebelah kali Wae Nao. Untuk dapat melihat secara keseluruhan, wisatawan mengunjungi sebuah bukit di sebelah kampung Rawang. Wisatawan bisa melihat secara keseluruhan keindahan persawahan di sini.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Mbaru Embo, Rumah Hunian Leluhur
Sabtu, 18 Oktober 2014 | 18:49 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/10/18/184900827/Mbaru.Embo.Rumah.Hunian.Leluhur
Perkampungan Mok sekaligus merupakan pusat Desa Mbengan di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya sekitar 30 kilometer arah utara Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Berkunjung ke Mok tidak sulit karena sudah terhubung jaringan jalan beraspal meskipun di sejumlah lokasi masih berlubang sehingga memaksa mobil atau sepeda motor yang melintas berjalan pelan.
Sesuai dengan tuntutan adatnya, Mbaru Embo bertengger di ketinggian punggung bukit bagian hulu kampung. Bangunannya berkolong, berbentuk melingkar, dengan satu titik yang merupakan puncak atap. Sebagian besar kerangka bangunan dari bahan bambu dan beratap ijuk. Suasana rumah leluhur itu selalu hening karena tidak berpenghuni dan lokasinya agak menyendiri atau terpisah sekitar 50 meter hingga 200 meter dari jejeran perumahan warga. Bagi mereka yang memiliki kepekaan tajam, berada di sekitarnya langsung merasakan aura magis dari keheningan Mbaru Embo.
”Sejauh ini amat jarang ada warga yang berani mendekati Mbaru Embo itu jika tidak bersama tetua adatnya dari suku Nanga. Areal sekitarnya terasa angker,” kata David Badik (76), tokoh yang juga tetua Mok di kampungnya itu, Kamis (31/7). Rumah keluarga David Badik termasuk paling dekat, berjarak sekitar 50 meter di bagian hilir sebelah selatan Mbaru Embo.
Di Mok dan sekitarnya, David Badik termasuk tetua yang memiliki kepekaan lebih dari normal. Meskipun bukan tetua utama suku Nanga, kakek belasan cucu itu mampu mendengar bunyian atau suara aneh dari Mbaru Embo. Itu biasanya terjadi pada saat-saat tertentu, terutama ketika suasana sedang benar-benar hening. Suaranya berupa bunyian yang seakan dari aktivitas manusia, seperti menampi, membenahi perabot rumah, dan kesibukan lain. ”Tidak jarang pula terdengar suara percakapan manusia dengan nada bergumam,” kata David Badik, yang juga mantan Kepala Desa Mbengan.
Ritual kelas
Akhir Juli lalu bertepatan dengan ritual kelas atau kenduri bagi arwah Bernadus Sawu yang meninggal pada 12 Desember 2012. Almarhum yang lazim dikenal dengan nama alias Sodo Mok adalah tetua utama suku Nanga di Mok, yang belakangan dimandatkan kepada cucunya, Gaspar Djawa (43).
Mengetahui ada tamu berkunjung, apalagi dari turunan kerabat suku Nanga, tetua Gaspar Djawa menyambut Kompas secara adat. Dalam rangkaian adat yang ditandai dengan kepok tuak (pemberian arak), penyambutan diawali pengabaran yang disebut malang, bermakna pemberitahuan terkait meninggalnya Bernadus Sawu.
Sebagaimana lazimnya, kabar duka itu direspons dengan pemberian berupa uang—berapa pun nilainya—sebagai pertanda ikut dalam perkabungan. Selanjutnya, melalui kepok tuak pula, Kompas ikut ambil bagian dalam ritual kelas. Keterlibatan itu juga ditandai dengan pemberian berupa benda atau uang sebelum akhirnya sang tetua Gaspar Djawa bersama sejumlah kerabat dekat, termasuk Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Manggarai Timur Frans Selamat, mengantar Kompas mengunjungi Mbaru Embo, sekitar 200 meter dari rumah duka.
Gaspar Djawa mengatakan, berkunjung ke Mbaru Embo dengan sejumlah pantangan untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan, malapetaka.
Bangunan Mbaru Embo dengan empat tiang utama dari jenis kayu khusus ternyata menyimpan daya tarik lain. Baik perbaikan maupun pembangunan baru tidak bisa ditunda-tunda apa pun alasannya. Keseluruhan pekerjaan harus dirampungkan dalam sehari.
Dewasa ini, tuntutan itu tentu saja menjadi tantangan serius karena ketersediaan ijuk sebagai penutup atapnya kian langka. Lebih langka lagi menemukan jenis kayu khusus yang dibutuhkan untuk empat tiang utamanya. Namun, Gaspar Djawa, Frans Selamat, Stef Abur, Benediktus Tegu, Karolus Ndoa, dan beberapa tetua suku Nanga di Mok tetap berkeyakinan kuat bahwa pembangunan atau perbaikan Mbaru Embo kapan saja bisa diselesaikan dalam sehari sesuai tuntutan adatnya.
”Kelangkaan bahan baku bisa disiasati dengan menyediakannya secara mencicil. Pembangunan dilakukan dengan melibatkan seluruh keluarga besar. Pengalaman sejauh ini umumnya berjalan mulus,” kata Frans Selamat.
Duplikat
Keberadaan Mbaru Embo di Mok sebenarnya merupakan duplikat rumah adat serupa dengan induknya di kampung asalnya, Nanga Pu’un, kawasan Rajong, kini di Kecamatan Elar Selatan (Manggarai Timur). Lokasi Rajong sekitar 50 kilometer arah utara Mok atau sekitar 80 kilometer dari Borong.
Nanga Pu’un dipastikan sebagai kampung asal suku Nanga di Mok dan sekitarnya. Sayang, kampung induk Nanga Pu’un di Rajong tidak menyisakan Mbaru Embo. ”Rumah adat Mbaru Embo suku Nanga yang tersisa hanya di Mok itu. Di Nanga Pu’un sudah tidak ada lagi,” kata Kornelis Sambi (48), tetua Rajong, di Langgasai, Selasa (5/8/2014).
Catatan menyebutkan, Rajong adalah daerah asal tiga suku berkerabat dekat, yakni Nanga, Mulu, dan Walan. Turunan ketiga suku itu kini menyebar luas di Manggarai Timur.
Konon migrasi sebagian anggota keluarga leluhur suku Nanga dahulu kala hingga akhirnya menetap di Mok terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan di lingkungan keluarga. Seiring perjalanan waktu, ikatan persaudaraan mereka berangsur membaik hingga pulih sepenuhnya setelah berpisah jauh.
Kini, Mbaru Embo sebagai pemersatu suku Nanga hanya tersisa di Mok. ”Keberadaan Mbaru Embo di Mok memang sepantasnya menjadi induk suku Nanga setelah rumah adat awalnya tidak lagi ditemukan di Nanga Pu’un,” kata tetua suku Nanga lainnya di Nanga Meje.
Di balik berbagai keunikannya, Mbaru Embo tentu saja menunggu sentuhan mendalam para pakar, terutama menyangkut berbagai pantangan yang hingga kini tetap tidak tersingkap maknanya. Sebut saja pembangunan atau perbaikan harus rampung dalam sehari, berkunjung tanpa tembakau, tidak berpakaian warna merah, tanpa wewangian, dan pantangan lain. Gaspar Djawa, misalnya, hanya bisa mengatakan berbagai pantangan itu memang bawaan sejak leluhur. (FRANS SARONG)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Travel / Travel Story
Pohon Berdaun Pink di Flores Membuat Turis Penasaran
Sabtu, 1 November 2014 | 11:41 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/01/114100027/Pohon.Berdaun.Pink.di.Flores.Membuat.Turis.Penasaran.
Selama ini wisatawan asing dan domestik sudah mengenal pantai pink di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat dan danau tiga warna Kelimutu di Kabupaten Ende. Mata para pelancong yang menghabiskan liburan di Pulau Flores terkagum-kagum dengan keunikan pohon berdaun warna pink. Orang sering menyebutnya seperti bunga Sakura di Jepang.
Mata wisatawan mancanegara dan domestik dikejutkan tatkala melihat pohon di kiri kanan saat melintasi jalan Transflores berwarna pink. Selama ini berwisata ke Pulau Flores selalu bertujuan ke Pantai Pink dan Danau Tiga Warna Kelimutu. Wisatawan belum melirik untuk berwisata alam di Taman Wisata Alam Ruteng yang dikelolaa oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kelas Ruteng. Keindahan alam tak kalah dengan Pantai Pink. Bahkan, berwisata melihat pohon berdaun pink sambil mendengarkan suara merdu dari burung-burung yang masih di alam bebas di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng.
Pada Agustus 2014 lalu, saat Kompas.com melintasi Jalan Transflores dari arah Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, para sopir taksi tujung Ruteng-Borong dan ke arah Timur selalu menginformasikan kepada para penumpang tentang keunikan pohon berdaun warna pink.
Tak sia-sia dengan kamera yang disiapkan di dalam tasnya mengabadikan keunikan alam Pulau Flores dengan memotret. Bahkan, seorang penumpang yang hendak ke Kota Kupang juga mengabadikannya dengan memotret pohon berdaun berwarna pink tersebut. Ketika para penumpang menanyakan kepada para sopir pohon apa namanya itu dalam bahasa lokal orang Manggarai, para sopir tidak mengetahui nama pohon itu. Namun, setiap tahun pohon itu selalu menyuguhkan daun berwarna pink.
Para penumpang menceriterakan tentang binatang Komodo, salah satu binatang purba yang masih hidup sampai dengan zaman sekarang. Bahkan, sudah ditetapkan menjadi salah satu warisan keajaiban dunia. Selain itu, persawahan yang berbentuk sarang laba-laba. Dan keajaiban lain, danau tiga warna di kawah Kelimutu. Belum lagi dengan atraksi-atraksi budaya yang menakjubkan seperti tari caci, tari Ja’i, Tari Gawi. Bahkan berbagai keunikan-keunikan lain yang belum dipromosikan.
Terkait dengan pohon berdaun pink, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Ruteng, Ora Yohanes kepada Kompas.com, Rabu (29/10/2014) menjelaskan, Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng memiliki kekayaan alam yang indah. Salah satunya adalah pohon berwarna pink yang berada di Gololusang maupun di pinggir Jalan Transflores dari arah Ruteng menuju arah Timur.
Selain pohon itu, ada puncak Gunung Ranaka, bekas letusan api beberapa tahun lalu. Selain itu, di dalam kawasan Taman Wisata Alam Ruteng terdapat burung endemik khas Flores seperti burung hantu. “Turis asing dan peneliti burung sudah sering mengunjungi Taman Wisata Alam Ruteng di bagian Gololusang dan di sekitar danau Ranamese,” jelasnya.
“Turis sering mengabadikan dalam kamera mereka untuk memotret pohon berdaun pink itu,” tuturnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Tiga Air Terjun di Flores Barat yang Memukau Wisman
Sabtu, 15 November 2014 | 09:08 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/15/090800027/Tiga.Air.Terjun.di.Flores.Barat.yang.Memukau.Wisman
Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan Flores pada khususnya sudah terkenal dengan binatang Komodo yang masuk satu dari tujuh keajaiban dunia. Bahkan sudah diselenggarakan puncak Sail Komodo pada September 2013 lalu. Di balik ketenaran Komodo yang sudah masuk dalam daftar buku wisata dunia, masih ada keunikan lainnya yang tak kalah tenarnya di Flores Barat.
Keunikan lain yang terjadi di Flores Barat adalah di tiga Kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Manggarai memiliki keindahan air terjun.
Yang paling dicari oleh wisatawan asing dan domestik untuk mandi sambil menikmati keindahan alam dengan berwisata, di antaranya Air Terjun Cunca Rami, Cunca Wulang, dan Cunca Rede.
Air Terjun Cunca Rami
Dalam bahasa lokal orang Manggarai Raya, "Cunca" artinya air terjun dan "Rami" adalah hutan kecil dengan tumbuh-tumbuhan kecil. Jadi Cunca Rami adalah air terjun yang dikelilingi hutan kecil di kiri kanan airnya. Lokasi Cunca Rami berada di Kecamatan Sano Nggoang, tak jauh dari Werang, Ibu Kota Kecamatan Sano Nggoang.
Setelah itu, wisatawan menyeberangi sebuah kali. Berjalan terus sampai di sebuah bendungan, dari bendungan menyeberangi sebuah kali lagi dan terus menyusuri keindahan alam dengan perpaduan suara burung pada pagi hari ataupun sore hari. Sesudah itu, kita berjalan sampai di sebuah kali dan menyeberangi lagi sampai di persawahan. Dari persawahan kita bisa melihat dan mendengarkan bunyi air terjun yang tertinggi di Manggarai Barat. Diperkirakan tinggi Air Terjun Cunca Rami setinggi 30 meter.
Dalam keadaan lelah, kita disegarkan dengan butiran-butiran air terjun yang sampai disekitar persawahan. Puncaknya, wisatawan bisa mandi di sungainya. Namun, kita tetap hati-hati saat mandi karena sungainya sangat dalam.
Arah yang satunya adalah dari Labuan Bajo bisa ditempuh 15 menit dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Kendaraan kita parkir di Kampung Melo. Dari Melo, kita melintasi perjalanan di tengah hutan Mbeliling yang sangat sejuk sambil mendengarkan suara burung endemik Flores yang masih hidup di hutan Mbeliling.
Dari Melo kita mendaki kawasan bentang alam Mbeliling sampai dipuncak persinggahan di tengah hutan, dari situ kita menuruni lereng dan lembah sampai disebuah kampung. Dari kampung itu kita berjalan kaki menuju ke Cunca Rami. Sungguh sangat menakjubkan keindahan yang dilimpahkan Yang Maha Kuasa bagi warga masyarakat Manggarai Barat.
Setelah kita menikmati keindahan air terjun Cunca Rami, sebelum wisatawan kembali ke Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat, wisatawan mengunjungi Air Terjun Cunca Wulang. Lokasi Cunca Wulang berada di hutan Mbeliling, di Kecamatan Mbeliling.
Air Terjun Cunca Wulang
Beberapa waktu lalu Kompas.com, bersama dengan sejumlah rekan dari LSM Burung Indonesia, Elvis dan Marianus Samsung nekat mengunjungi kawasan Air Terjun Cunca Wulang. Dalam bahasa lokal Manggarai Raya, cunca adalah air terjun sedang "Wulang" adalah bulan. Jadi Cunca Wulang bisa diartikan dengan air terjun berbentuk bulan. Mengapa disebut seperti itu, karena air terjunnya berwarna seperti warna bulan yang putih.
Marianus Samsung, Staf LSM Burung Indonesia, kepada Kompas.com menjelaskan, dua air terjun di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur selalu dikunjungi wisatawan asing dan domestik. Bahkan tamu-tamu dari LSM Burung Indonesia dari luar negeri selalu mengunjungi Cunca Rami dan Cunca Wulang. “Setiap hari wisatawan asing dengan kendaraan roda dua selalu mengunjungi dua air terjun tersebut,” jelasnya.
Menurut Marianus, Cunca Rami diperkirakan memiliki ketinggian 30 meter sedangkan Cunca Wulang diperkirakan setinggi 25 meter. “Potensi pariwisata di Flores Barat sangat berlimpah sehingga tak salah kalau Lonely Planet menetapkan Flores sebagai 10 daerah top untuk dikunjungi pada 2015,” jelasnya.
Air Terjun Cunca Rede
Seorang wisatawan mancanegara dan domestik belumlah mengenal Pulau Flores dalam menghabiskan waktu liburannya, apabila tak berwisata ke Cunca Rede yang merupakan air terjun tertinggi di Flores Bagian Barat. Diperkirakan tinggi air terjun ini adalah 70 meter.
Air terjun ini terletak di Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur, Flores bagian Barat. Air terjun ini adalah satu-satunya air terjun yang berada di Kabupaten Manggarai Timur. Air terjun ini berada di Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng (TWAR) yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Ruteng.
Bagi wisatawan yang datang dari arah Labuan Bajo, berkendaraan lah menuju arah timur sambil melewati persawahan lembor dan menikmati kota dingin Ruteng. Lalu dari Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai, para wisatawan terus mengelilingi ke arah timur melalui jalan Transflores Labuan Bajo-Maumere sambil menikmati panorama alam yang masih original di Pulau Flores Bagian barat.
Sebelum ke air terjun tersebut yang berada di dalam kawasan hutan, wisatawan juga dapat mengunjungi Danau Ranamese yang terletak di pinggir jalan Transflores. Dari sini, wisatawan terus menuruni sejumlah kampung yang berada di kiri kanan jalan Transflores sampai di Kampung Paka. Setiba di Kampung Paka, wisatawan melintasi jalan perbukitan dan lereng yang bisa ditempuh dalam waktu dua jam karena jalannya masih rusak parah.
Namun, untuk mendekati air terjun tersebut tidak bisa menggunakan sepeda motor karena jalannya masih bebatuan alias belum diaspal. Pengunjung akan melintasi beberapa kampung sampai tiba di Kampung Ntaur. Dari Kampung Ntaur, wisatawan akan didampingi pemandu lokal untuk menuju ke lokasi Air Terjun Cunca Rede.
Sebelum tiba di air terjun itu, wisatawan melewati persawahan dan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro Waemusur dan melewati kali sebelum menuju hutan disekitar air terjun Cunca Rede. Ketika tiba di dekati air terjun, pengunjung mendengarkan bunyi air dari kejauhan dan begitu tiba dijamin rasa lelah dalam perjalanan segera hilang karena menikmati keindahan Air Terjun Cunca Rede.
Bagi pengunjung dari arah Timur, seperti dari Maumere, wisatawan melintasi beberapa kabupaten di Pulau Flores, yakni Kabupaten Ende, Nagekeo, Ngada dan tibalah di jembatan perbatasan antara Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Nama jembatan perbatasan itu adalah Jembatan Waemokel.
Saking penasarannya, Selasa (21/10/2014) pagi dengan modal nekat, Kompas.com bersama dengan seorang jurnalis lainnya mendatangi Cunca Rede. Kami diundang secara mendadak oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral Manggarai Timur untuk melihat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Kampung Ntaur. Nah, kesempatan itu kami manfaatkan untuk melihat dari dekat keindahan Cunca Rede bersama Camat Ranamese, Galus Ganggus.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / News
Semangat Perempuan Flores Menenun Songke...
Selasa, 25 November 2014 | 17:22 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/25/172200227/Semangat.Perempuan.Flores.Menenun.Songke.
Tenun songke merupakan kain khas adat orang Manggarai Raya yang diwariskan leluhur mereka. Berpuluh tahun yang lalu, secara tradisional leluhur orang Manggarai yang mungkin dimulai dari Kampung Todo menenun kain songke dari bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan modern dan Indonesia memasuki zaman orde baru membawa perubahan yang sangat drastis.
Salah satunya adalah masuk kain dari daerah lain yang dijual kepada masyarakat Manggarai Raya. Kain untuk dipakai kaum perempuan dan laki-laki di kampung-kampung bermotif modern atau hasil olahan pabrik dari daerah lain.
Bahkan manfaat ekonomi dari kain songke belum dirambah oleh masyarakat Manggarai Raya sehingga menenun kain songke sebagai kegiatan tambahan di rumah setelah mengolah pertanian.
Gencarnya perkembangan pariwisata yang ditandai kunjungan wisatawan asing dan domestik membuat warga mulai membangkitkan kembali usaha menenun kain songke. Ditambah lagi, orang asing dan domestik mencari keunikan-keunikan kain khas tiap daerah di Indonesia. Dampak dari menenun kain songke meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga.
Di Flores, masing-masing kabupaten memiliki motif kain tersendiri. Itulah keunikannya, seperti di wilayah Manggarai Barat, motif kain songke yang terkenal adalah motif kain songke mata manuk. Motif ini selalu dicari oleh warga lokal maupun orang-orang Manggarai yang berdomisili di Jakarta dan didaerah lainnya.
“Motif kain songke mata manuk selalu dibeli oleh orang lokal Manggarai Raya, orang asing, orang-orang Manggarai yang berdomisi di Jakarta dan di daerah lain di Indonesia. Mereka selalu memesan kain songke bermotif tersebut,” kata Leli Maria Goreti (42) kepada Kompas.com di Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Sabtu (22/11/2014) lalu.
"Saya memiliki kelompok penenun di Kampung Todo dan di beberapa kampung di wilayah Manggarai Raya. Saya sudah 12 tahun menekuni penjualan kain tradisional bermotif Nusa Tenggara Timur. Banyak turis membeli patung, topi, kain bermotif Nusa Tenggara Timur. Banyak orang di Jakarta yang selalu memesan ke saya. Saya sering mengikuti pameran, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun pihak swasta,” jelas perempuan asal Kampung Sita, Manggarai Timur yang bersuamikan orang Manggarai Barat dan tinggal di Labuan Bajo itu.
Leli menjelaskan, kain songke bermotif Mata Manuk dijual seharga Rp 500.000 karena cara pembuatannya sangat berbeda dan membutuhkan waktu lama dan ketelitian.
Setelah diinformasikan pada 2012, sebelum Sail Komodo, keduanya mengakui mulai memiliki gairah untuk menekuni kembali menenun songke. Hasilnya, tiga kali mereka mengikuti pameran di Kota Labuan Bajo. Hasil penjualan kain songke sangat bagus dan membantu membiayai pendidikan anak-anak di perguruan tinggi.
“Ke depan ini kami mulai fokus untuk mengembangkan tenun songke sebab kami sudah merasakan keuntungannya. Kami berharap program Sentra Kreatif Rakyat tidak boleh dihentikan melainkan program ini diteruskan. Kami merasakan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat,” jelas Katarina.
Koordinator program Sentra Kreatif Rakyat Kabupaten Manggarai Barat, Niniek Dhiniyanti memaparkan, daerah-daerah percontohan Program SKR antara lain Kabupaten Batang dan Kabupaten Magelang di Jawa Tengah, Kabupaten Pacitan di JawaTimur, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Manggarai Barat di Nusa Tenggara Timur.
Menurut Dhiniyanti, kegiatan Program Pengembangan SKR di Manggarai Barat antara lain penelitian dan pengembangan motif-motif tradisional produk kreatif, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas teknik dan desain produk Tenun Songke Manggarai Barat, Batik,dan Produk Kayu.
Pada pameran ini akan dipamerkan dan diperdagangkan produk-produk kreatif antara lain tas tenun songke, selendang tenun songke pewarna alam, tas dan kain batik pewarnaan alam dengan motif komodo dan biota laut, produk suvenir dari patung kayu, kain destar (ikat kepala) pewarna alam dengan motif rumah adat Manggarai dan sawah lodok serta inovasi-inovasi desain produk batik, tenun dan kayu lainnya hasil karya kelompok SKR.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Keunikan Ritual Kapu Agu Naka di Bumi Flores
Rabu, 12 November 2014 | 14:12 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/12/141200127/Keunikan.Ritual.Kapu.Agu.Naka.di.Bumi.Flores
Ada apa di Taman Nasional Komodo? Semua warga global sudah mengetahuinya. Ada binatang purba yang masih hidup di Taman Nasional Komodo. Nama binatang ajaib itu adalah binatang raksasa Komodo. Bahkan, pada September 2014 lalu digelar hajatan global yang disebut Sail Komodo.
Pada puncak Sail Komodo, ribuan wisatawan, baik wisatawan menggunakan kapal layar (yacht) dari berbagai dunia memadai laut Labuan Bajo. Bergemanya Sail Komodo yang secara khusus dipromosikan seluas-luasnya memberikan dampak pada perkembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat pada khususnya dan di Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
Selain Tari Caci yang sudah terkenal di kalangan masyarakat Manggarai Raya, ada tradisi-tradisi yang terus diupacarakan di rumah-rumah adat di seluruh Manggarai Raya. Salah satu tradisi itu adalah Tradisi “Kapu Agu Naka”.
Pada bulan Juli 2014, salah satu suku di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat menggelar ritual “Kapu Agu Naka”. Kapu artinya pangku dan Naka artinya, riang. Kapu agu Naka diartikan memangku seseorang dengan penuh riang atas berbagai keberhasilan, baik memberikan keturunan yang berkembang banyak maupun kesuksesan dalam menggarap sawah, kebun dan sekolah.
Ritual ini selalu ditunda-tunda karena kemampuan warga yang terbatas untuk membeli berbagai hewan, seperti kerbau, babi dan ayam serta menyiapkan berbagai kebutuhan dalam ucapara tersebut. Lalu ditunda-tunda acaranya maka leluhur memberikan teguran kepada keturunannya berupa sakit yang tidak pernah sembuh, tersendat-sendat keberhasilan dalam pendidikan perguruan tinggi.
Menganalisis tanda-tanda itu ditambah dengan mimpi dari sejumlah warga maka tetua adat Kampung Paang Lembor sepakat menggelar tradisi “Kapu Agu Naka”.
Benediktus menjelaskan, Empo Tok adalah anak tunggal dari keturunan Sor Mondong (ayahnya). Saat bertumbuh besar dan menjadi pemuda serta memiliki keluarga, Empo Tok menggelar ritual “Oke Lewang Leca Kando Lalo” artinya buang semua sial dan cukup dia saja yang menjadi anak tunggal.
Dalam ritual itu, Empok Tok mengambil seekor ayam jantan warna putih. Lalu dia “Wada” atau bersumpah: "Ini ayam putih. Karena saya hidup sendirian melalui ayam warna putih ini saya minta berkat dari Yang Maha Kuasa agar keturunan saya berkembang biak di kemudian hari. Cukup saya saja yang anak tunggal. Apabila permohonanku terwujud maka keturunan saya menggelar ritual Kapu Agu Naka sebagai ucapan terima kasih dan bersyukur atas rahmatMu dengan kerbau berwarna belang-belang."
Sesudah gelar ritual itu, sebagaimana dikisahkan nenek moyang, Benediktus menuturkan, Empo Tok memperistrikan Anos. Hasil perkawinannya lahirlah anak-anak mereka yakni Tonjong (anak sulung), Panjong (anak kedua), Koro (anak ketiga) dan Golo (anak bungsu).
Lalu Benediktus menjelaskan, keturunannya mulai lupa atas pesan leluhur mereka mengakibatkan “do Nangki” artinya, bermacam musibah sakit yang tak pernah disembuhkan. Kadang-kadang hadir dalam mimpi. Ada banyak warga Kampung Paang Lembor sakit dan berobat di Rumah Sakit di Manggarai Raya, namun, tidak pernah sembuh.
Lalu, warga mencari alternatif dengan meminta orang pintar dari kampung tetangga. Lalu, orang pintar melihat tanda-tanda itu bahwa warga Kampung Paang Lembor dari keturunan leluhur mereka lupa melaksanakan ritual “Kapu Agu Naka” atau ritual ucapan bersyukur sebagaimana yang dipesan leluhur zaman dulu.
Benediktus menjelaskan, berkat dari doa para leluhur itu, berbagai pekerjaan yang dilakukan keturunannya selalu berhasil dalam sekolah, sehat, usaha pertanian berjalan lancar dan hasil panen padi berlimpah. Bahkan, rahmat itu menghasilkan tujuh orang sudah doktor. “Kami bangga ritual ini disaksikan oleh seorang Konsulat Australia di Bali saat berkunjung ke Pulau Flores,” ucapnya.
Seorang putra Paang Lembor, Dr Agustinus Bandur kepada Kompas.com di Kampung itu pada Juli 2014 menjelaskan, ada pesan dari Empo Tok dengan kata-kata seperti ini: “Eme Beka agu Buar, neka Ghemong Naring mori agu ngaran kudut kapu agu naka” yang artinya: "Kalau keturunan berkembang biak, jangan lupa mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai pemberi hidup."
Pada ritual itu ada tahap-tahap yang dilalui di antaranya, berdoa di kuburan leluhur, Barong Wae, upacara adat di mata air sampai puncak pada Paki Kaba atau bunuh kerbau yang berwarna belang-belang.
Menurut Bandur, di Kecamatan Lembor memiliki tempat wisata yang menarik, di antara persawahan Lodok atau persawahan berbentuk Sarang Laba-Laba, Istana Ular, hamparan persawahan Lembor, serta ritual-ritual adat yang masih sangat unik.
“Banyak potensi wisata yang harus dikembangkan dan dipromosikan ke dunia luar sehingga wisatawan dapat menyaksikan ritual-ritual adat orang Manggarai Raya,” kata Bandur.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Unik, Tradisi "Poka Kaba" di Lembah Kampung Bumbu
Jumat, 7 November 2014 | 08:31 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/07/083116127/Unik.Tradisi.Poka.Kaba.di.Lembah.Kampung.Bumbu
Ratusan pengunjung dari kampung tetangga, seperti Kampung Ntaur, Torok Golo, Teber, Colol, Rengkam, Sita, bahkan kabupaten tetangga hadir ke kampung itu. Mereka yang semuanya dalam hubungan kekeluargaan datang dengan maksud sama: menghadiri ritual “Poka Kaba Congko Lokap” rumah Gendang Bumbu. Ritual ini wajib dilaksanakan dan selalu diupacarakan ketika pembangunan rumah adat gendang selesai dibangun oleh para pewarisnya.
Bumbu adalah salah satu anak kampung di Desa Rondowoing, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur. Daerah dengan kampung induk bernama Pupung, Bumbu adalah kampung yang berada di lembah yang diapit empat bukit. Keempat bukit itu adalah bukit Racang (Golo Racang), Colol, Teong Lewing, dan Bukit Pupung (Golo Pupung). Kampung itu berada di sebelah timur bagian selatan Kabupaten Manggarai Timur di Pulau Flores.
Kondisi jalan Ruteng-Borong-Ranamese sangat bagus. Jalan itu adalah bagian dari jalan lintas Transflores yang berstatus sebagai jalan negara. Namun, kondisi jalan selebihnya sangat kontra. Apalagi jalan ke kampung-kampung. Sejak lepas dari jalan Transflores dan memasuki tikungan menuju ke Bumbu, kendaraan roda empat, baik yang bermerk ford dan truk harus berjalan dengan penuh hati-hati. Dari satu persimpangan, persisnya di samping Kampung Paka hingga pusat Kampung Bumbu yang jaraknya sekitar 15 kilometer perjalanan dengan mobil membutuhkan waktu 1,5 jam.
Jalan itu selain sempit, juga hanya berlapiskan susunan batu yang sudah terkelupas dari Paka sampai di Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom. Dari Kampung Ntaur, kita berjalan melewati dua kali besar, yakni Kali Waemusur I dan II. Jalan tersebut berlubang-lubang karena sebagian susunan batu sudah terbongkar dan berserakan, membentuk onggokan liar di sana sini. Sedangkan dari tikungan Paka sampai di Kampung itu kita melewati lima kali besar. Satu jembatan sudah dibangun sejak masih bergabung dengan Kabupaten Induk, Manggarai dan duanya lagi sedang dikerjakan. Selain itu jalan rayanya berada disela-sela tebing batu. Jalan menurun dan mendaki sehingga sopir yang mengendarai kendaraan penuh dengan hati-hati.
Seperti dalam judul tulisan ini, setidaknya di kawasan Timur bagian selatan Manggarai Raya termasuk Bumbu-Pupung dan sekitarnya hingga di era teknologi dan global ini menyisakan ritual kuno yang berusia ribuan tahun yang dipercayai sangat sakral oleh para penghuni Manggarai Raya. Ritual itu sudah sering diketahui luas adalah “Poka Kaba Congko Lokap”, yakni sebuah upacara khusus sesudah rumah adat gendang di Manggarai Raya dibangun.
Masyarakat Manggarai Raya di Flores umumnya masih beranggapan bahwa “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membersihkan kampung dari berbagai kejahatan pasca rumah adat gendang dibangun dengan hewan kurban kerbau adalah upacara wajib sebagai penghormatan dan berterima kasih kepada lelulur dan Sang Pencipta.
Dalam ritual puncak “Poka Kaba Congko Lokap”, hewan kurban kerbau selalu dipadukan dengan sejumlah babi jantan besar dan kecil. Ritual ini diyakini sebagai upacara bersyukur dan berterima kasih kepada leluhur atas bantuan mereka sehingga rumah adat bisa dibangun sekaligus mengucapkan terimakasih kepada Sang Pencipta.
Gabriel Geo, tetua adat di Kampung Bumbu Pupung kepada Kompas.com di Kampung Bumbu, Kamis (30/10/2014) menjelaskan, warga kampung Suku Nembe berasal dari keturunan Minangkebau. Nama lelulur asal Minangkebau adalah ‘Durung’. Namun, warga suku di Manggarai Timur memanggilnya “Wangka Durung”. Mengapa, saat “Durung” berlayar dari Minangkebau dan bersandar di Pelabuhan Pota, Jangkar dari kapalnya ada di Pelabuhan Pota. Jadi orang memanggilnya “Wangka Durung”. Selanjutnya, “Wangka Durung” memperistrikan “Kodal” dari Kampung Watu Cie, di Colol, Kecamatan Pocoranaka.
“Dari Gunung Mandosawu dekat Gunung Ranaka, leluhur kami (Nembe) mencari daerah subur dan menemukan daerah subur di Lembah Bumbu-Pupung. Kuburan dari leluhur itu yang berusia ratusan tahun masih ada diatas bukit disekitar Lembah Bumbu-Pupung. Sejak kehadiran leluhur itu, warga masyarakat membangun rumah adat yang sederhana yang terbuat dari ijuk dan bertiangkan bambu. Lalu, penginisiatif, Hironimus Nawang, seorang putra keturunan Kampung Bumbu merencanakan pembangunan rumah adat gendang Bumbu. Maka, pembangunan sudah selesai dengan dilaksanakan ritual “Poka Kaba Congko Lokap,” jelasnya.
Tetua Gendang Kampung Bumbu, Marselinus Mantur, Karel Kalut dan Yakobus Tagang menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” yang harus dilalui diantaranya, ritual “Barong Lodok”, ritual di sudut persawahan dan perkebunan milik komunitas warga dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Kedua, ritual “Barong Wae”, ritual di mata air dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Ketiga, ritual “Teing Hang Ata Tua”, ritual memberikan sesajen kepada leluhur di kampung tersebut. Keempat, ritual “Tudak Ela Penti”, ritual berterima kasih dan bersyukur kepada leluhur sebagai perantara rahmat dari Sang Pencipta.
Selanjutnya, ritual Congko Laca, ritual membersihkan rumah adat dan halaman kampung dari berbagai kotoran hewan atau membersihkan sisa-sisa kotoran hewan yang ada di dalam rumah maupun di sekitar rumah. Ini merupakan ritual penutup dengan dilambangkan seekor ayam jantan berwarna putih.
Hironimus Nawang, Budayawan Manggarai Raya, menjelaskan, tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” merupakan tradisi yang diwariskan leluhur di Manggarai Raya dengan usia ribuan tahun dan masih dipertahankan dan diupacarakan di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya setelah rumah adat gendang selesai dibangun. Tradisi ini wajib dilaksanakan oleh warga suku, kampung dan komunitas sosial pasca rumah adat Gendang selesai dibangun.
“Orang Manggarai Raya sangat dekat alam dan Sang Pencipta. Bahasa lokal Manggarai “Gendang Onen Lingko Peang” sebagai persatuan antara alam dan manusia. Jadi tradisi Poka Kaba Congko Lokap wajib diupacarakan di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya,” jelasnya.
Pastor Servulus Isak, SVD yang berasal dari kampung itu, menjelaskan, rumah adat Gendang bagi masyarakat Manggarai Raya adalah rumah persatuan dan persaudaraan yang sangat mendalam. Banyak manfaat Rumah adat Gendang bagi warga Manggarai Raya, di antara rumah itu sebagai tempat menyelesaikan persoalan adat, persoalan sosial kemasyarakatan.
“Ritual Poka Kaba Congko Lokap tidak ada di tempat lain di seluruh dunia dan hanya adat di kebudayaan orang Manggarai Raya. Saya minta generasi muda yang lahir di zaman global ini harus mempelajari budaya yang terus dipertahankan sepanjang masa ini,” jelasnya.
Pastor Servulus menjelaskan, berkat dari berbagai upacara adat di Kampung Bumbu Pupung sudah melahirkan 17 pastor yang tersebar di Keuskupan Ruteng, di Jakarta maupun menjadi misionaris di luar negeri.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Yuk Jelajahi Tiga Danau Vulkanik di Flores...
Sabtu, 29 November 2014 | 10:52 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/29/105200927/Yuk.Jelajahi.Tiga.Danau.Vulkanik.di.Flores.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Pulau Flores sangat terkenal dengan pulau gunung berapi. Berbagai peristiwa letusan gunung berapi selalu terjadi di Pulau Flores, mulai dari Flores barat sampai ke Flores Timur. Akibatnya, berbagai "hano" atau danau dalam bahasa lokal warga masyarakat Manggarai Timur ditemukan. Danau vulkanik terbesar di Nusa Tenggara Timur adalah Danau atau Sano Nggoang. Sano dalam dialek masyarakat Kempo adalah danau sementara Nggoang artinya menyala. Sano Nggoang diartikan danau berapi atau danau yang sedang menyala.
Wisatawan dari berbagai negara biasanya selalu mengunjungi Laut Mati di Israel. Padahal, di Pulau Flores ada juga Laut Mati yakni Sano Nggoang. Di Sano Nggoang tidak ditemukan binatang-binatang air yang hidup, sebab danau itu adalah danau yang penuh dengan belerang.
Bahkan setiap bulan Februari, ada letusan berapi di tengah laut. Warga sekitar mendengar bunyi letusan. Dan apabila masyarakat sudah mendengarkan letusan Sano Nggoang, maka pada keesokan harinya warga berada di pinggir kali untuk memungut binatang air seperti katak, udang, ikan dan lain-lainnya.
Selain danaunya teduh, wisatawan juga bisa mandi air panas di ujung Danau. Bahkan, apabila masyarakat terkena penyakit kudis, warga pergi membersihkannya dengan mandi di air panas tersebut.
Saat api sudah tiba di rumah Si Buta, anjing kembali bermain. Ketika Si Buta hendak menyalakan api untuk memasak nasi, tiba-tiba muncul seseorang yang tidak diketahui asalnya bertanya kepada Si Buta, mau masak apa, apakah masak nasi bubur atau nasi kering. Si Buta menjawab mau masak Nasi bubur. Seketika itu mulai berubah nasi yang ada di periuk dan perlahan-lahan rumah Si Buta penuh dengan nasi bubur sampai akhirnya tenggelam. Dan mulai saat ini lokasi di sekitar berubah menjadi danau.
Marianus Samsung, staf Komunikasi dan relasi Media, LSM Burung Indonesia Program Mbeliling kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2014), menjelaskan, tinggi danau Sano Nggoang adalah 757 meter dari permukaan laut (DPL) dan luasnya 513 hektar dan ke dalamnnya 600 meter. Danau ini adalah danau vulkanik aktif terbesar di Nusa Tenggara Timur.
Cara Menjangkaunya
Wisatawan yang datang dari arah Bali menggunakan maskapai penerbangan turun di Bandara Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Dari Bandara Komodo, wisatawan domestik bisa menyewa kendaraan roda empat apabila mau langsung mengunjungi Danau Sano Nggoang. Dari Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat berjalan melintasi jalan Transflores menuju ke arah timur.
Nah, tibalah di Danau Sano Nggoang. Di sana wisatawan dapat mengeliling danau dengan dipandu warga lokal. Bahkan berjalan kaki menuju bukit untuk melihat keseluruhan danau tersebut. Siapa pun wisatawan pasti menggagumi keunikan danau tersebut yang tidak ada duanya di Nusa Tenggara Timur.
Danau Ranamese
Setelah itu kita mengendarai kendaraan balik ke Jalan Transflores menuju ke Danau Ranamese. Sebelum tiba di Danau Ranamese, kita dapat melihat keindahan alam di kiri kanan jalan dan bisa berwisata ke rumah adat bermotif Manggarai berkerucut ke atas di Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai.
Danau ini berada di wilayah hutan Taman Wisata Alam Ruteng dan berada di bawah Gunung Ranaka. Apa yang bisa dilihat di danau ini? Wisatawan bisa melihat keteduhan airnya, ada sejumlah ikan, serta danaunya bersih. Saat duduk di pinggir Danau Ranamese, wisatawan bisa menikmati suara burung-burung di sekitar danau.
Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam wilayah II Ruteng, Ora Yohanes, luas Danau Ranamese lima hektar dan kedalamannya mencapai 42 meter. Berbentuk corong, danau ini bekas kawah pada zaman letusan gunung berapi.
Danau Tiga Warna Kelimutu
Nama Danau Tiga Warna Kelimutu sudah terkenal di seluruh dunia. Danau ini berada di puncak Gunung Kelimutu. Bahkan, nama danau itu sudah tercantum dalam buku wisata dunia Lonely Planet yang terbit di Inggris.
Sebelum mengunjungi danau tersebut, wisatawan harus menginap di Kampung Moni. Pasalnya, kalau menginap di Kota Ende sangat jauh. Ada berbagai hotel di Kampung Moni yang disediakan kepada wisatawan dengan harga terjangkau.
Sebelum matahari terbit, wisatawan harus mulai berangkat dari Kampung Moni pada waktu subuh menggunakan mobil. Disarankan menyewa kendaraan roda empat untuk menuju ke bukit Kelimutu. Dari Kampung Moni ke kawah tiga warna Kelimutu ditempuh satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Food Story
Tapa Kolo, Makanan Khas Manggarai Timur
Minggu, 16 November 2014 | 09:06 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/16/090600227/Tapa.Kolo.Makanan.Khas.Manggarai.Timur?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Seperti di Kabupaten Lembata, wisatawan dapat menyaksikan penangkapan paus secara tradisional oleh para nelayan dari Kampung Lamaholot. Belum lagi keunikan danau tiga warna Kelimutu. Semua disuguhkan bagi pelancong yang mau mengenal dan belajar tentang alam Flores.
Setelah berwisata ke danau tiga warna Kelimutu, wisatawan melintasi keindahan pinggir pantai menuju ke Kabupaten Nagekeo untuk melihat bekas goa jepang, pulau berpasir putih, air panas Nangadhero, serta gunung berapi Ebu Lobo dan Etu, tinju adat di Kampung adat Boawae.
Nah, beristirahatlah dan bermalam lah di Kabupaten Manggarai Timur sambil menikmati makanan khas warga lokal. Salah satu makanan khas yang masih belum punah adalah Tapa Kolo. "Tapa" adalah bakar dan "Kolo" adalah nasi bambu. Jadi Tapa Kolo adalah membakar nasi dengan menggunakan bambu kecil. Biasanya, warga lokal Manggarai Timur memasak nasi dengan bambu pada acara syukuran tahunan atau “Penti” di rumah adat gendang. Di kebun untuk memulai tanam padi, juga di persawahan. Bahkan acara-acara besar di kampung-kampung.
Sesudah semuanya beres, warga lain menyediakan api untuk membakarnya. Kira-kira satu jam atau satu setengah jam untuk membakar banyak “Tapa Kolo”. Sementara kaum perempuan menyiapkan bumbu-bumbu serta memasak daging ayam atau daging babi. Masakan daging ayam dengan santan sehingga terasa nikmatnya menyantap “Tapa Kolo” dengan lauknya daging ayam yang sudah disantan.
Tetua adat Manggarai Timur, Fransiskus Ndolu kepada Kompas.com, Kamis (13/11/2014) menjelaskan, “Tapa Kolo” merupakan makanan khas warga Manggarai Timur yang diwariskan leluhur di berbagai kampung dan desa.
Selain itu, Ndolu menjelaskan, “Tapa Kolo” juga biasa dimasak pada pembukaan ladang baru serta sebelum panen padi atau tanaman lainnya seperti jagung. “Warga Manggarai Timur masih mempertahankan tradisi Tapa Kolo pada berbagai upacara adat di rumah gendang di berbagai kampung-kampung,” jelasnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / Travel Story
Geliat Ekowisata di Pulau Flores
Kamis, 13 November 2014 | 15:17 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/13/151700227/Geliat.Ekowisata.di.Pulau.Flores?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Di depan gerbang masuk Sanggar Riang Tanah Tiwa, seekor ayam jantan putih, simbol ketulusan dan kejujuran masyarakat menerima tamu, diberikan kepada Duta Besar Uni Eropa Olog Skoog, Kepala Bagian Kerja Sama Delegasi Uni Eropa Franck Viault, dan rombongan.
Sekitar 50 warga telah berkumpul di sanggar itu. Mereka adalah wakil dari Desa Liang Ndara, Waerebo, Wulan, Wae Sano, Tado, dan Bena. Desa-desa ini tersebar di Manggarai Barat, Ngada, dan Manggarai, di Pulau Flores.
Enam desa itu merupakan pusat pengembangan ekowisata dengan dana dari Uni Eropa, bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat, selama tahun 2013-2015. Total dana mencapai Rp 5,7 miliar.
Keenam desa itu memiliki kekhasan masing-masing. Desa Waerebo, misalnya, memiliki rumah tradisional yang berbentuk kerucut dengan bubungan menjulang ke langit. Desa Bena memiliki kekhasan rumah adat serta batu menhir yang diyakini sebagai tempat tinggal leluhur. Desa Tado memiliki tenun ikat Manggarai Barat yang unik.
Olog Skoog mengatakan, dana itu merupakan hibah untuk kegiatan ekowisata, kesehatan ibu dan anak, pendidikan dasar, pemberdayaan ekonomi perempuan, kelompok marjinal, dan untuk pengembangan tenun ikat. ”Kegiatan ekowisata di Flores difokuskan pada pengembangan ekonomi masyarakat lokal dengan memproduksi dan meningkatkan kualitas produk-produk lokal seperti tenun ikat, kopi flores, teh asli flores, beras flores, dan sejumlah potensi daerah lokal,” katanya.
Mereka juga mendorong pelestarian budaya lokal seperti tarian tradisional, kerajinan tenun ikat, dan songket Manggarai. Sebagian budaya lokal ini terancam punah, karena itu dihidupkan kembali, di bawah Yayasan INFEST (Inovative Indigenous Flores Ecoturism for Sustainable Trade), dan Indonesia Ecotourism Network (Indecom).
Perubahan ekonomi
Kepala Desa Liang Ndara Silvester Jehadu mengatakan, jumlah warga desanya sekitar 2.312 jiwa. Mata pencarian penduduk adalah petani lahan kering dan peternak. Kehadiran Sanggar Riang Tanah Tiwa (artinya, menjaga dan mempertahankan warisan leluhur) membawa perubahan di bidang ekonomi masyarakat.
Setiap hari selalu ada kunjungan wisatawan ke sanggar itu. Berbagai produk lokal seperti pisang, umbi-umbian, tenun ikat, kopi bubuk, topi khas manggarai, tas, dan emping pisang, dipajang di sanggar.
”Produk-produk itu milik kelompok tani dan anggota sanggar. Setiap bulan selalu dibayarkan kepada mereka yang terlibat langsung, setiap anggota kelompok mendapatkan Rp 300.000 hingga Rp 500.000, tergantung dari pemasukan. Namun, penari harian mendapatkan Rp 50.000-Rp 100.000 untuk sekali tampil,” kata Silvester.
Liang Ndara ditetapkan sebagai desa wisata sejak 2009, dan aktivitas kunjungan turis mulai terasa pada 2010. Rata-rata setiap tahun sekitar 4.000 turis (mancanegara dan dalam negeri) mengunjungi desa itu.
”Satu paket kunjungan turis ke sanggar ini dibayar Rp 1,3 juta, dengan jumlah turis yang tidak ditetapkan. Kami menyediakan berbagai atraksi budaya di pelataran sanggar,” kata Ketua Sanggar Riang Tanah Tiwa Kristo Nison.
Ny Martina Weki, salah satu anggota sanggar, mengatakan, dirinya menitipkan kain sal dan tenun ikat khas Manggarai di sanggar itu. Hasil jualan tenun ikat itu untuk membiayai pendidikan anak sekolah, kesehatan, dan membiayai hidup lima anggota keluarganya.
Sebelum kegiatan ekowisata, kata Martina, warga sangat terisolasi. Kendaraan jarang masuk-keluar desa, dan ekonomi warga sangat terpuruk. ”Sekarang, rata-rata setiap hari ada 10 turis asing masuk ke desa ini,” kata Martina.
Kedatangan turis berarti rezeki bagi warga. (Kornelis Kewa Ama)
Travel / News
Pantai Pede Diminta Tetap Jadi Ruang Publik
Minggu, 9 November 2014 | 14:33 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/09/143300027/Pantai.Pede.Diminta.Tetap.Jadi.Ruang.Publik
Pede, sebelum Labuan Bajo menjadi destinasi wisata, kawasan seluas 4,5 hektar itu menjadi ruang publik masyarakat Manggarai Raya. Tetapi, sejak awal 2013, pantai itu dialihkan ke PT Sarana Investama Manggabar (SIM). Sesuai rencana PT SIM akan membangun hotel bintang lima di situ. Penyerahan hak guna usaha (HGU) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada SIM, ditentang masyarakat setempat.
Ansel Jemaat, di Labuan Bajo, Selasa (4/11/2014), mengatakan, uang bukan segala-galanya untuk masyarakat Manggarai Raya. Penguasaan Pantai Pede oleh pengusaha, tidak berdampak positif bagi tata cara hidup, pola pikir, tradisi, adat, dan kebersamaan masyarakat Manggarai Raya. Tradisi dan pola hidup masyarakat Manggarai Raya antara lain terbentuk melalui kebersamaan di pantai itu.
”Anak-anak berolahraga di sini. Mereka membentuk karakter mereka sebagai generasi Manggarai yang dekat dengan alam. Persaudaraan dan kebersamaan kami sebagai warga Manggarai, terikat pada satu bahasa daerah, adat istiadat, dan tradisi lokal, terbentuk di sini,” kata Ansel.
Kepala Desa Gorontalo, Labuan Bajo Aladin Nahazar mengatakan, Pantai Pede selama ini menjadi ruang publik bagi masyarakat Manggarai Raya. Berbagai kegiatan massal diselenggarakan di pantai itu antara lain, arisan keluarga (suku), natal bersama, halalbihalal, temu pisah guru dan kepala sekolah, olahraga (berenang) siswa sekolah, kegiatan (rekreasi, olahraga tarik tambang, dan voli pantai) 17 Agustus, dan bahkan puncak Sail Komodo 2013 berlangsung di pantai itu.
Sebelum Labuan Bajo menjadi destinasi wisata nasional dan internasional, masyarakat Manggarai Raya setiap Sabtu, Minggu, dan hari-hari libur mendatangi pantai itu untuk berekreasi. Anak-anak sekolah yang melakukan latihan berenang, dan kegiatan olahraga lain pun berlangsung di pantai itu.
Pantai itu telah diapit hotel berbintang seperti La Prima, Bintang Flores, dan Hotel Jayakarta di bagian timur dan barat. Pede masih menyisakan semangat dan harapan bagi masyarakat lokal yang datang ke lokasi itu untuk berekreasi, dan nelayan masih sempat menambatkan perahu di sana.
Ia menilai, hampir 80 persen pesisir pantai di Labuan Bajo termasuk sejumlah kecamatan di Manggarai Barat sudah dikuasai pengusaha dari luar. Luas Manggarai Barat 10.000,47 km2, terdiri dari luas daratan hanya 2.947,50 km2, sedangkan luas lautan 7.052,97 km2. Jika kawasan daratan dikuasai pemodal 80 persen atau 2.358 km2, masyarakat asli Manggarai Barat semakin tersingkir.
”Pengalaman di daerah lain, ketika pemodal menguasai wilayah-wilayah strategis, masyarakat setempat akan tersingkir, dan menjadi penduduk paling marjinal di daerah itu. Masyarakat asli Labuan Bajo dan Manggarai Raya pun akan mengalami situasi seperti itu,” kata Aladin.
Sejumlah pulau kecil di sekitar Labuan Bajo, yang sudah dan sedang dalam proses negosiasi pemodal dengan penduduk lokal dan pemda setempat untuk dibangun hotel dan penginapan antara lain, Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Seraya Kecil, Bidadari, dan Pulau Longos. Pulau Komodo, sesuai informasi, telah dikuasai pengusaha yang dibuktikan dengan pemasangan patok batas di pulau itu.
Anggota Gerakan Masyarakat Selamatkan Pantai Pede dan Pulau-Pulau (Gemas P2) Manggarai Barat, Marianus Nuhan, menuntut Pemprov NTT dan PT SIM menghentikan kegiatan pembangunan fisik apa pun di Pantai Pede. Pantai itu merupakan satu-satunya pantai tersisa di Labuan Bajo yang dinilai stragetis sebagai ruang publik masyarakat.
”Saya minta Pede tetap menjadi ruang publik bagi masyarakat. Jangan sampai pemerintah mengalihkan pantai ini kepada pengusaha. Kalau sudah diserahkan, keputusan itu ditinjau lagi. Hargai aspirasi masyarakat Manggarai, jangan paksakan kehendak,” kata Nuhan.
Pantai ini merupakan pelengkap obyek wisata binatang Komodo di Pulau Komodo, dan Pantai Pink di Pulau Pink. Biasanya, usai menyaksikan Komodo di Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya, pengunjung kembali ke Labuan Bajo, kemudian melepas lelah di Pantai Pede.
”Bayangkan, kalau sepanjang garis pantai ini dibangun hotel, masyarakat terutama nelayan sulit akses ke pantai atau melaut. Padahal, mereka berdiam di sepanjang pesisir ini,” kata Jeane, yang mengaku sudah tiga kali ke Labuan Bajo melalui Denpasar dan Lombok itu.
Pejabat Pemprov NTT, Tadeus Tini, yang juga putra Manggarai mengatakan, ada sekelompok orang di Labuan Bajo yang merasa tidak puas atas kebijakan pemprov, menghasut masyarakat menolak pengelolaan pantai itu. Sebelum ada aktivitas dari PT SIM, tidak satu pun warga Labuan Bajo mengklaim pantai itu sebagai ruang publik, atau hak ulayat. (Kornelis Kewa Ama)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : Kompas Siang |
Travel / Travel Story
Caci Menari-nari di Pantai Pede Labuan Bajo
Jumat, 16 Mei 2014 | 08:03 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/05/16/0803450/Caci.Menari-nari.di.Pantai.Pede.Labuan.Bajo
Sore itu, pantai Pede menjadi ajang titik start para hasher berjalan kaki sekitar 5 kilometer dengan rute: Pantai Pede - Air Kemiri - Puncak Waringin - Kampung Ujung - Pelabuhan Pelni - Kampung Tengah - Pasar Lama dan kembali lagi ke Pantai Pede.
Apalagi kalau bukan caci! Caci hanya ada di Manggarai Barat, bahkan hanya ada satu di Indonesia. Caci dilakukan oleh dua pemain, di mana satu pemain mencambuk lawan. Cambuk dibuat dari kulit kerbau atau sapi yang sudah dikeringkan. Sementara lawannya berusaha untuk menangkis dengan menggunakan perisai atau tameng yang juga terbuat dari kulit kerbau. Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian para pendukung.
Topeng atau hiasan kepala dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.
"Cetar...!!!" suara cambuk menggelegar di tengah arena. Cambukan cuma sekali. Lantas mereka pun menari-nari di tengah lapangan. Selanjutnya mencambuk atau memukul dilakukan secara bergantian.
"Lepaskan cara-cara lama. Caci harus menjadi daya tarik. 'Caci lomes' atau caci yang menarik simpati. Kalau kita tidak tampilkan gaya lomes, sia-sia. Mari lestarikan caci dengan gaya simpatik," kata Sekda Manggarai Barat, Rofinus Mbon, saat membuka acara caci di Pantai Pede.
Acara caci di Pantai Pede berlangsung dari pagi sampai sore hari. Meskipun matahari bersinar terik, pengunjung semakin siang malah semakin bertambah. Berbagai barang kerajinan khas NTT juga tak luput menjadi daya tarik pengunjung pada acara tersebut.
Sementara pukul 15.30 di Pantai Pede, Gubernur NTT Frans Lebu Raya melepas peserta Wonderful Adventure Indonesia Asia Pacific Hash 2014. Para hasher sangat antusias berjalan kaki berkeliling Kota Labuan Bajo. Gubernur NTT pun sangat bangga Kota Labuan Bajo didatangi para hasher.
"Mereka datang sendiri tanpa saya ajak. Dampaknya sangat besar bagi pariwisata NTT, khususnya Labuan Bajo. Mereka nanti bisa cerita kepada keluarga, teman soal keindahan NTT," kata Frans Lebu Raya.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Editor | : I Made Asdhiana |
Travel / News
Desa Wisata di NTT Dapat Rp 2,5 Miliar
Jumat, 16 Mei 2014 | 21:01 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/05/16/2101596/Desa.Wisata.di.NTT.Dapat.Rp.2.5.Miliar
"Dana tersebut akan disalurkan kepada 50 desa wisata, masing-masing desa akan mendapat alokasi dana sebesar Rp 50 juta," kata Sekretaris Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Wely Rohimone, di Kupang, Jumat (16/5/2014).
Wely menjelaskan, dana yang dialokasikan untuk desa-desa wisata itu akan dimanfaatkan untuk mengairahkan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang bermukim di desa-desa wisata.
"Dananya akan dimanfaatkan untuk membantu kelompok masyarakat pada desa-desa wisata untuk pemberdayaan ekonomi, yang berhubungan langsung dengan sektor kepariwisataan," kata Wely Rohimone.
Dengan demikian, akan ada usaha tenun ikat dan cenderamata atau jenis usaha lain yang sasaran akhirnya adalah menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang bisa dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke daerah-daerah ini.
"Desa-desa yang menjadi sasaran program ini adalah desa-desa yang berada di kabupaten-kabupaten yang memiliki obyek wisata unggulan dan sering dikunjungi wisatawan," katanya.
Desa-desa wisata yang menjadi sasaran bantuan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2014 ini terdapat pada 46 kecamatan yang ada di 22 kabupaten/kota di NTT. Desa-desa sasaran itu antara lain, Desa Oebelo dengan obyek wisata pembuatan alat musik tradisional Sasando dan Oelnasi dengan obyek wisata agro dan pemancingan serta Desa Manusak dengan obyek wisata agro dan wisata alam di Kabupaten Kupang.
Selain itu ada empat desa wisata di Kabupaten Lembata yang juga mendapat dukungan program desa wisata yakni, Desa Atawai di Kecamatan Nagawutung dengan obyek wisata air terjun Lodowawo, Desa Atakore dengan dapur alam budaya, Desa Lamalera dengan obyek wisata penangkapan ikan paus secara tradisional dan Desa Laranwutun dengan wisata bahari.
Wely menambahkan, desa paling banyak yang menjadi sasaran program adalah di Kabupaten Ngada yakni enam desa. Keenam desa itu adalah Desa Tadho di Kecamatan Riung dengan obyek wisata alam dan budaya, Desa Turaloa di Kecamatan Wolomeze dengan obyek wisata wisata alam, Desa Ubedolomolo wisata alam, Desa Boba I dengan wisata alam dan budaya, Desa Ratogesa dan Desa Ragih dengan situs dan kampung tradisional.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : Antara |
Travel / Travel Story
Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
Sabtu, 12 Oktober 2013 | 08:37 WIB
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
Penasaran karena kata seorang teman, yang lebih dulu berkunjung ke sana, Wae Rebo sangat elok dengan keunikan budaya, adat istiadat, keramahan warganya, serta kearifan lokal yang terjaga dengan baik. Apalagi dari foto-foto yang dipublikasikan melalui internet, panorama Wae Rebo sungguh cantik. Yang menantang, tentu saja perjalanan ke kampung yang letaknya 1.100 meter di atas permukaan laut itu.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo, kami bermalam di penginapan milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo yang juga menjadi pemandu. Penginapan ini letaknya di Desa Dintor. Kami harus menginap karena perjalanan ke Wae Rebo kami rencanakan pukul 7 pagi. Pertimbangannya, udara pagi masih sejuk dan matahari belum bersinar terik. Selain itu, juga mempertimbangkan risiko turun hujan jika berangkat terlalu siang.
Setelah sarapan, Martin meminta kami berkumpul. Ia memberi tahu ”aturan main” selama berjalan menuju Wae Rebo.
”Tak perlu banyak tanya kapan sampai. Nikmati saja perjalanannya,” kata Martin sambil tersenyum. Pesan itu, tentu saja, membuat kami penasaran.
Esok paginya, kami masih harus naik mobil sekitar 6 kilometer dari Desa Dintor ke Desa Denger. Dari Denge, barulah kami berjalan kaki, mendaki, yang diawali dengan berdoa memohon kelancaran perjalanan dan keselamatan.
Di Denge, sinyal telepon seluler melemah. Bisa dipastikan, hingga kami turun lagi ke Denge, kami tidak bisa berkomunikasi dengan rekan atau keluarga melalui telepon seluler.
Semangat
Di awal perjalanan, semangat kami masih tinggi. Udara sejuk, hutan rimbun, dan suara air sungai bergemercik membuat pikiran tenang dan damai. Namun, setelah sekitar 3 kilometer berjalan, pinggang mulai pegal karena jalan tanah yang kami hadapi menanjak, berlumpur, dan berbatu.
Perjalanan dari Denge ke titik istirahat Wae Lumba membuat jantung berdetak kencang. Beberapa rekan ngos-ngosan melompati batu besar, berjalan menanjak tiada henti, sekaligus berhati-hati melewati jalan licin.
Selepas Wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Kondisinya sama saja, membuat kami harus pandai-pandai mengatur langkah dan napas agar tidak cepat lelah. Salah seorang rekan kami tak tahan untuk bertanya kapan kami akan tiba di Wae Rebo. Pertanyaan yang oleh para pemandu kami—yang juga warga Wae Rebo—dijawab dengan senyum.
Di jalur ini, kami menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat dalam. Kami bahkan juga berjalan di jalan setapak yang jarak pandangnya terbatas karena kabut yang mulai turun menyelimuti punggung gunung. Ada juga titik longsor tebing yang harus dilewati dengan hati-hati. Kami saling membantu untuk melintasi titik longsor itu.
Poco Roko merupakan titik tertinggi setelah menyusuri dan membelah hutan. Tak lama setelah kami tiba di titik itu, kabut tebal tersibak angin dan sinar matahari. Kami berpapasan dengan beberapa penduduk Wae Rebo yang hendak turun ke Desa Kombo.
Martin menjelaskan sebelumnya, Desa Kombo adalah ”kembaran” Desa Wae Rebo. Warga Wae Rebo memiliki rumah dan sawah di Desa Kombo. Umumnya, anak-anak yang bersekolah di Dintor atau Denge tinggal di Desa Kombo mulai Minggu sore sampai Sabtu siang. Selepas pulang sekolah Sabtu siang, mereka kembali ke rumah di Wae Rebo. Orangtua yang anak-anaknya sekolah di Denge atau Dintor biasanya mengikuti pola yang sama dengan anak-anak mereka.
Lebih baik
Salah satu portir kami dalam perjalanan ke Wae Rebo, Petrus, dengan nada enteng menyampaikan, ”Memikul beban 10 kilogram dan berjalan 2-4 jam tanpa akses jalan yang mulus serta tidak ada sinyal komunikasi bukan bagian dari budaya kami. Kami juga bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu.”
Kami tidak tahu, apakah kalimat itu diucapkan Petrus dengan serius atau bercanda. Faktanya, sepanjang perjalanan ke Wae Rebo, pemandangan orang memanggul atau memikul barang sangat biasa ditemui.
Infrastruktur jalan yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik lagi jika mencapai Wae Rebo, memang akan mempermudah akses. Penduduk Wae Rebo tidak perlu lagi memikul barang. Selain itu, wisatawan juga lebih mudah mengunjungi Wae Rebo.
Namun, apakah infrastruktur ini akan berdampak positif bagi Wae Rebo?
Kami berbincang dengan Patrick, konsultan keuangan perusahaan di Perancis, yang terkagum- kagum dengan Desa Wae Rebo yang, menurut dia, sangat natural dan orisinal. Patrick yang tinggal satu malam di Wae Rebo menikmati tantangan berjalan kaki menembus gunung dan hutan untuk mencapai Wae Rebo.
Wisatawan asal Swiss, Pelin Turgut, juga terpesona dengan keramahan masyarakat Wae Rebo yang, menurut dia, sangat tulus. Ia juga menyukai suasana Wae Rebo yang tenang, jauh dari keramaian, dan alami.
Keunikan Wae Rebo-lah yang memikat wisatawan. Berkat keunikannya pula, Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012, menyisihkan 42 negara lain.
Rumah kerucut
Setelah berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Wae Rebo. Energi membuncah, kelelahan sontak sirna saat melihat tujuh rumah kerucut. Tak sabar rasanya menuruni bukit untuk segera tiba di desa itu. Rasanya seperti pulang ke rumah.
Rumah kerucut mbaru niang ini sangat unik. Dari luar sepintas seperti rumah kerucut biasa. Namun, jika dilihat dari dalam, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Setiap lantai memiliki ruangan dengan fungsi berbeda-beda.
Lantai pertama yang disebut lutur atau tenda akan digunakan oleh si pemilik rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Lantai kedua yang disebut lobo adalah tempat menyimpan bahan makanan atau barang. Lantai ketiga yang disebut lentar adalah tempat menyimpan benih tanaman hasil bercocok tanam.
Lantai empat yang disebut lempa rae adalah tempat menyimpan stok cadangan makanan yang berguna saat hasil panen kurang banyak. Adapun lantai kelima yang terdapat di puncak rumah digunakan untuk menyimpan aneka sesajian pemilik rumah.
Kami menghormati upacara ini. Isidorus (84), salah satu tetua adat, memberi kami seekor ayam sebagai sebuah simbol. Doa pun dilafalkan. Inti doa itu, kami adalah anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang kampung. Kami sudah bukan lagi orang asing. Kami juga didoakan agar selalu terlindung dari bahaya dan selamat kembali ke rumah.
Keramahan dan kehangatan masyarakat Wae Rebo membuat kami merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Mungkin ini juga yang dirasakan wisatawan yang pernah datang ke Wae Rebo. Jatuh cinta dan ingin kembali lagi ke Wae Rebo, suatu hari nanti. (MKN/HAM/SEM/IDR/APO/OTW/MUK)
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Travel / Travel Story
Melestarikan Kearifan Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/09/30/1624108/Melestarikan.Kearifan.Wae.Rebo
Senin, 30 September 2013 | 16:24 WIB
Para wisatawan berlomba membuktikan keagungan mahakarya budaya bangsa Indonesia dan menimba kearifan hidup masyarakat Wae Rebo.
Kampung Wae Rebo terletak sekitar 1.100 meter dari permukaan laut, masuk wilayah Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, NTT.
Wae Rebo ”ditemukan” pertama kali tahun 1997 oleh antropolog Belanda, Catherine Allerton. Allerton mencari Wae Rebo untuk sebuah penelitian.
Tahun 2008, jejak Allerton diikuti arsitek Yori Antar. Yori berkunjung ke Wae Rebo dan menginisiasi pembangunan rumah adat yang saat itu rusak. Dana pembangunan digalang antara lain dari Yayasan Tirto Utomo, pengusaha Arifin Panigoro, dan Laksamana Soekardi.
Proses pembangunan rumah adat didokumentasikan sehingga warga menguasai kemampuan membangun rumah yang disebut mbaru niang. Upaya konservasi itu membuahkan Award of Excellence UNESCO dan melejitkan Wae Rebo ke dunia.
Dari tujuh rumah adat di Wae Rebo, saat ini tersisa dua rumah yang belum direvitalisasi. Dalam waktu dekat, kedua rumah akan direvitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dana yang dianggarkan Rp 500 juta.
Saat ini, 670 wisatawan baik lokal maupun asing telah berkunjung ke Wae Rebo. Wisatawan asing terbanyak dari Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat. Wisatawan lokal selain dari NTT, datang dari Surabaya dan Jakarta.
Untuk menuju Wae Rebo, perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 4,5 jam. Jarak Wae Rebo kurang lebih 9 kilometer dari desa terakhir di Denge lewat jalan setapak, mendaki dengan sudut 45 derajat di antara hutan lebat.
Kampung Wae Rebo berbentuk melingkar, bentuk rumahnya juga bulat dengan atap kerucut. Rumah adat utama disebut rumah gendang, berdiameter 15 meter dengan ukuran tinggi sama, dihuni 8 keluarga. Rumah lain, disebut niang gena, berdiameter 12 meter dengan tinggi kurang lebih sama, dihuni 6 keluarga. Rumah itu diturunkan oleh leluhur Wae Rebo bernama Maro yang disebutkan berasal dari Minangkabau.
Saat ini ada 44 keluarga yang tinggal di Wae Rebo. Mata pencarian utamanya berkebun. Mereka menanam kopi, cengkeh, dan umbi-umbian. Perempuan Wae Rebo, selain memasak, mengasuh anak, dan menenun, juga membantu kaum lelaki di kebun.
Titik pusat Kampung Wae Rebo berada di batu melingkar di depan rumah utama yang disebut compang. Pintu tiap rumah adat dibangun menghadap ke compang. Compang merupakan pusat aktivitas warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur, serta Tuhan. Penghormatan terhadap ketiga unsur diwujudkan dalam berbagai upacara adat yang sampai kini rutin dilakukan. Salah satunya upacara menyambut pergantian tahun dyang isebut penti.
”Di Wae Rebo, semua berbentuk bulat, mulai dari gunung tempat tinggal mereka, kampung yang melingkar, hingga rumah. Masyarakat Wae Rebo percaya, di dalam bulat ada keadilan,” kata Yosep Katop, Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Wae Rebo, pertengahan September 2013, di Wae Rebo.
Hak untuk menghuni rumah adat diperoleh melalui penunjukan oleh tetua masing-masing pewaris keturunan. Biasanya hak diberikan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. Namun, posisi itu dapat digantikan oleh anak lain melalui musyawarah adat.
Cermin keharmonisan
Dalam keseharian, masing- masing keluarga di rumah adat menempati ruang berukuran sekitar 4 x 3 meter di bagian rumah yang disebut tenda. Tenda adalah lantai utama di dalam mbaru niang, tempat warga melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, dan memasak. Untuk keperluan masak, masing-masing keluarga memiliki tungku perapian di bagian tengah rumah.
Laki-laki Wae Rebo biasanya turun ke Pasar Kombo di Denge di hari Minggu, membawa kopi hasil kebun. Hasil penjualan kopi digunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan lauk pauk.
Warga biasanya menyimpan hasil bumi, seperti kopi, jagung, ubi jalar atau talas, di bagian atap rumah yang disebut loteng. Loteng lapis pertama disebut lobo, lalu ada lentar, lemparae, dan hekang kode.
Titik pusat rumah berada di tiang bongkok atau tiang utama. Pintu-pintu kamar menghadap ke tiang bongkok yang melambangkan hak setiap penghuni rumah yang sama rata.
Meski nilai-nilai kekerabatan terus dilestarikan, tak ada catatan jelas mengenai waktu kedatangan Kakek Maro di Wae Rebo. Dari tuturan cerita, sebelum tinggal di Wae Rebo, Maro beberapa kali berpindah. Diperkirakan, usia Kampung Wae Rebo mencapai ribuan tahun.
”Kakek Maro tinggal di Wae Rebo setelah mendapat petunjuk melalui mimpinya. Lokasi yang dipilih diberi nama Wae Rebo, artinya mata air. Mata air itu berjarak sekitar 2 kilometer dari kampung,” kata Yosep.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Wae Rebo Fransiskus Mudir menyatakan, ”Kami menerima keterbukaan kampung ini dan sadar akan membawa dampak. Kami bertekad untuk membina generasi muda Wae Rebo agar budaya nenek moyang kami tetap lestari.”
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam kunjungan ke Wae Rebo mengatakan, program revitalisasi desa adat tak hanya dilakukan untuk memperbaiki fisik desa adat, tetapi yang lebih penting adalah menjaga adat budaya serta nilai-nilai kekerabatan yang menjadi kekhususan komunitas itu. (Dwi As Setianingsih)
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
News / Travel
Explore Indonesia
Mendaki Empat Jam Demi Pesona Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/02/25/19382128/Mendaki.Empat.Jam.Demi.Pesona.Wae.Rebo
Senin, 25 Februari 2013 | 19:38 WIB
Wae Rebo terletak di barat daya kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Untuk menuju ke Wae Rebo, butuh perjuangan ekstra, berjalan kaki selama 4,5 jam mendaki pegunungan.
Itu pula yang dijalani Kamga, pembawa acara program "Explore Indonesia" yang tayang di Kompas TV, ketika mengunjungi Wae Rebo. Di tengah pendakian, ada perisiwa yang membuat Kamga kaget.
Ia berpapasan dengan 3 bocah bule perempuan yang sedang turun dari Wae Rebo. Di belakangnya menyusul kedua orangtua mereka. Keluarga wisatawan asal Belanda ini yang baru saja menginap 2 malam di Wae Rebo.
“Lucu banget saya ketemu sama satu keluarga dari Belanda. Mereka membawa 3 anak perempuan, 1 masih kuat jalan, yang 2 udah nggak kuat lagi sampai harus digendong. Ini menjadi sebuah kenyataan yang lucu, apabila 3 anak dari Belanda tadi, justru lebih mengetahui Desa Wae Rebo ketimbang orang Indonesia sendiri,” kata Kamga.
Wae Rebo yang terpencil di pedalaman hutan, memang lebih banyak diminati wisatawan mancanegara ketimbang turis domestik. Tahun 2011, total sebanyak 330 turis berkunjung ke Wae Rebo, yang berasal dari 19 negara.
Akhirnya, rasa lelah trekking menembus hutan dengan medan menanjak, terbayar lunas setelah kaki berhasil menginjakkan kaki di Kampung Wae Rebo. Keindahan kampung adat Wae Rebo tersaji di depan mata.
Daya tarik utama Wae Rebo adalah rumah adatnya, yang disebut mbaru niang. Rumah niang berbentuk kerucut dengan atap terbuat dari daun lontar. Jumlahnya hanya ada 7, tidak boleh lebih.
Selama 3 hari di Wae Rebo, Kamga menyelami kehidupan masyarakatnya. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup dari berkebun kopi. Saat musim panen, warga menjemur biji-biji kopi di halaman di antara rumah-rumah niang. Kopi yang dibudidayakan jenis arabika.
“Sekarang kami juga sedang mencoba berkebun sayur brokoli organik sejak 2 bulan lalu. Ini tanaman brokoli pertama kami, 2 bulan lagi baru panen. Jadi warga masih penasaran seperti apa rasanya,” jelas Yos Katup, warga Wae Rebo.
Sementara ibu rumah tangga memiliki kerja sambilan membuat kerajinan kain tenun yang disebut kain cura. Kain cura bermotif khas Wae Rebo dengan ciri warna cerah.
Di Wae rebo tidak ada sekolahan. Oleh karena itu, anak-anak harus menuntut ilmu di kampung terdekat di Kampung Kombo.
“Anak-anak Wae Rebo menurut saya adalah anak-anak yang sangat hebat karena mereka harus merantau sejak usia 7 tahun. Mereka harus meninggalkan desa ini untuk tinggal bersama keluarga lain di kampung bawah, untuk bersekolah. Karena tidak mungkin mereka harus pulang pergi 3-4 jam setiap hari,” jelas Kamga kagum.
Tidak hanya anak-anak, para orangtua di Wae Rebo juga memiliki semangat belajar. Jumlah wisatawan yang terus bertambah, membuat mereka dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan pengunjung, khusus turis asing. Secara berkala, warga mengikuti kursus bahasa Inggris di dalam rumah niang dengan guru relawan dari sebuah LSM.
Meski terpencil di tengah pegunungan, bukan berarti warga Wae Rebo tidak mengenal olah raga. Untuk mengisi waktu luang, usai kembali dari ladang, kaum pria bermain sepak takraw.
Selain ke Wae Rebo, dalam episode ini, Kamga juga berkunjung ke Liang Bua dan Sawah Lodok di Cancar, Manggarai.
Kisah selengkapnya, saksikan program "Explore Indonesia" episode "Wae Rebo – Manggarai" yang akan tayang di Kompas TV pada Selasa (26/2/2013) pukul 21.00 WIB. (Kompas TV/Anjas Prawioko)
Ikuti twitter Kompas Travel di @KompasTravel
Editor | : kadek |
Sumber | : |
Yosef Katup, Menjaga Warisan Leluhur di Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/10/28/1117022/Yosef.Katup.Menjaga.Warisan.Leluhur.di.Wae.Rebo
Senin, 28 Oktober 2013 | 11:17 WIB
Yosef Katup (43), salah satu keturunan moyang Wae Rebo, dari generasi ke-18, dengan penuh semangat bercerita tentang leluhur dan keunikan budaya setempat. Ia juga pemandu wisata dari kampung yang menjadi salah satu warisan budaya dunia UNESCO sejak tahun 2012 itu.
Ia kerap menemani pengunjung berjalan kaki dari Kampung Denge ke Kampung Wae Rebo. Jarak antara Denge ke Wae Rebo sekitar 9 kilometer (km) dan ditempuh sekitar 4 jam berjalan kaki melewati tiga pos peristirahatan.
”Nenek moyang kami disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali,” kata Yosef.
Pria tamatan SMP ini tampak menguasai banyak hal, khususnya budaya masyarakat Wae Rebo. Yosef memang berusaha melestarikannya. Ia mampu bertutur tentang adat masyarakat Wae Rebo tanpa membaca catatan.
Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.
Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro.
”Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro,” kisah Yosef.
Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
”Itulah tempat kami, dari tempat ini tampak kota dengan gemerlap cahaya. Kami meyakini bahwa daerah yang kami tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Kami tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana.”
Ritual adat
Ritual adat itu antara lain kasawiang, yang biasa digelar pada bulan Mei, saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur. Adapun upacara Penti, sekitar November, adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam.
Pengetahuan Yosef itu diperoleh dengan bertanya kepada para tetua adat, seperti Tua Gendang Wae Rebo, Rafael Niwang (85), dan Rofinus Nompor (76).
Sebelum menetap di Wae Rebo, menjadi pemandu wisata dan petani, Yosef merantau ke Makassar pada tahun 1997-2000. Ia pernah tinggal di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, menggarap proyek irigasi. Ia juga merantau ke Malaysia tahun 2000-2003, sebelum kembali ke Wae Rebo dan menikah pada tahun 2005.
Kini, Yosef menjadi rujukan informasi tentang Wae Rebo bagi wisatawan ataupun anak muda setempat. Pengetahuan tentang adat Wae Rebo biasa dia sampaikan saat upacara adat digelar.
Tujuh ”niang”
Di Kampung adat Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Jumlah rumah adat tak boleh lebih dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga. Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun rumah baru, harus di luar kampung adat.
Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk.
Niang Gendang Maro, semacam rumah adat utama, diyakini merupakan tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi daripada 6 niang lainnya.
Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, yang disimbolkan kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar. Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini.
”Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat, jangan diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar,” katanya.
Ada pula molang, pada bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga. ”Saat bayi lahir didekatkan ke periuk di dapur, sebab ada nyala api yang menghangatkan tubuh bayi.”
Yosef bercerita, keinginannya menggali dan melestarikan adat Wae Rebo muncul saat merantau ke Malaysia. ”Entah mengapa saya ingin kembali ke Wae Rebo. Ada semacam panggilan untuk menjaga kelestarian budaya kami.” (Samuel Oktora)
Travel / News
Ritual Penti Digelar di Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/11/12/1305286/Ritual.Penti.Digelar.di.Wae.Rebo
Selasa, 12 November 2013 | 13:05 WIB
Ritual penti adalah ritual adat Manggarai yang digelar sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh selama setahun. Bagi masyarakat Manggarai, penti juga sekaligus merupakan peringatan untuk menyambut tahun baru.
Di Wae Rebo, penti digelar satu tahun sekali pada bulan November. Tamu yang hadir biasanya mencapai ribuan orang.
”Ritual penti melibatkan semua warga Wae Rebo, baik yang tinggal di Wae Rebo maupun di luar Wae Rebo,” kata Sekretaris Lembaga Adat Wae Rebo Yosep Katop. Oleh karena itu, penti sekaligus menjadi ajang berkumpul warga.
Ritual penti dimulai dengan adat barong wae dan barong oka. Warga beriringan menuju halaman di depan rumah utama atau rumah gendang diiringi gong dan gendang, membawa persembahan berupa ayam ke mata air. Tujuannya, mengundang roh leluhur penjaga mata air untuk menghadiri penti.
Penti juga dimeriahkan dengan caci, yaitu tarian yang dibawakan sepasang penari pria dengan gerakan saling mencambuk. Tidak ada yang kalah dan menang dalam caci karena yang diangkat adalah nilai-nilai persahabatan dan seni.
Sebelumnya arak-arakan menyinggahi batu pantas (watu pantas) sebagai simbol pertobatan bagi para pendosa, menyinggahi compang (altar batu) sebagai konklusi barong wae, barong oka, dan roi boa (bersih kubur).
Selama ritual penti berlangsung, sekelompok laki-laki dan perempuan membawakan nyanyian tradisional tanpa musik yang disebut sanda. Sanda dimulai dari tengah malam hingga pagi hari tanpa putus.
”Sanda harus terus dikumandangkan karena saat ritual penti berlangsung, suasana tidak boleh sepi untuk menghormati arwah para leluhur,” kata Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gendro Nurhadi, Rabu (8/11/2013), di Jakarta. (DOE)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Travel / Travel Story
Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
Sabtu, 12 Oktober 2013 | 08:37 WIB
Penasaran karena kata seorang teman, yang lebih dulu berkunjung ke sana, Wae Rebo sangat elok dengan keunikan budaya, adat istiadat, keramahan warganya, serta kearifan lokal yang terjaga dengan baik. Apalagi dari foto-foto yang dipublikasikan melalui internet, panorama Wae Rebo sungguh cantik. Yang menantang, tentu saja perjalanan ke kampung yang letaknya 1.100 meter di atas permukaan laut itu.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo, kami bermalam di penginapan milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo yang juga menjadi pemandu. Penginapan ini letaknya di Desa Dintor. Kami harus menginap karena perjalanan ke Wae Rebo kami rencanakan pukul 7 pagi. Pertimbangannya, udara pagi masih sejuk dan matahari belum bersinar terik. Selain itu, juga mempertimbangkan risiko turun hujan jika berangkat terlalu siang.
Setelah sarapan, Martin meminta kami berkumpul. Ia memberi tahu ”aturan main” selama berjalan menuju Wae Rebo.
”Tak perlu banyak tanya kapan sampai. Nikmati saja perjalanannya,” kata Martin sambil tersenyum. Pesan itu, tentu saja, membuat kami penasaran.
Esok paginya, kami masih harus naik mobil sekitar 6 kilometer dari Desa Dintor ke Desa Denger. Dari Denge, barulah kami berjalan kaki, mendaki, yang diawali dengan berdoa memohon kelancaran perjalanan dan keselamatan.
Di Denge, sinyal telepon seluler melemah. Bisa dipastikan, hingga kami turun lagi ke Denge, kami tidak bisa berkomunikasi dengan rekan atau keluarga melalui telepon seluler.
Semangat
Di awal perjalanan, semangat kami masih tinggi. Udara sejuk, hutan rimbun, dan suara air sungai bergemercik membuat pikiran tenang dan damai. Namun, setelah sekitar 3 kilometer berjalan, pinggang mulai pegal karena jalan tanah yang kami hadapi menanjak, berlumpur, dan berbatu.
Perjalanan dari Denge ke titik istirahat Wae Lumba membuat jantung berdetak kencang. Beberapa rekan ngos-ngosan melompati batu besar, berjalan menanjak tiada henti, sekaligus berhati-hati melewati jalan licin.
Selepas Wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Kondisinya sama saja, membuat kami harus pandai-pandai mengatur langkah dan napas agar tidak cepat lelah. Salah seorang rekan kami tak tahan untuk bertanya kapan kami akan tiba di Wae Rebo. Pertanyaan yang oleh para pemandu kami—yang juga warga Wae Rebo—dijawab dengan senyum.
Di jalur ini, kami menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat dalam. Kami bahkan juga berjalan di jalan setapak yang jarak pandangnya terbatas karena kabut yang mulai turun menyelimuti punggung gunung. Ada juga titik longsor tebing yang harus dilewati dengan hati-hati. Kami saling membantu untuk melintasi titik longsor itu.
Poco Roko merupakan titik tertinggi setelah menyusuri dan membelah hutan. Tak lama setelah kami tiba di titik itu, kabut tebal tersibak angin dan sinar matahari. Kami berpapasan dengan beberapa penduduk Wae Rebo yang hendak turun ke Desa Kombo.
Martin menjelaskan sebelumnya, Desa Kombo adalah ”kembaran” Desa Wae Rebo. Warga Wae Rebo memiliki rumah dan sawah di Desa Kombo. Umumnya, anak-anak yang bersekolah di Dintor atau Denge tinggal di Desa Kombo mulai Minggu sore sampai Sabtu siang. Selepas pulang sekolah Sabtu siang, mereka kembali ke rumah di Wae Rebo. Orangtua yang anak-anaknya sekolah di Denge atau Dintor biasanya mengikuti pola yang sama dengan anak-anak mereka.
Lebih baik
Salah satu portir kami dalam perjalanan ke Wae Rebo, Petrus, dengan nada enteng menyampaikan, ”Memikul beban 10 kilogram dan berjalan 2-4 jam tanpa akses jalan yang mulus serta tidak ada sinyal komunikasi bukan bagian dari budaya kami. Kami juga bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu.”
Kami tidak tahu, apakah kalimat itu diucapkan Petrus dengan serius atau bercanda. Faktanya, sepanjang perjalanan ke Wae Rebo, pemandangan orang memanggul atau memikul barang sangat biasa ditemui.
Infrastruktur jalan yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik lagi jika mencapai Wae Rebo, memang akan mempermudah akses. Penduduk Wae Rebo tidak perlu lagi memikul barang. Selain itu, wisatawan juga lebih mudah mengunjungi Wae Rebo.
Namun, apakah infrastruktur ini akan berdampak positif bagi Wae Rebo?
Kami berbincang dengan Patrick, konsultan keuangan perusahaan di Perancis, yang terkagum- kagum dengan Desa Wae Rebo yang, menurut dia, sangat natural dan orisinal. Patrick yang tinggal satu malam di Wae Rebo menikmati tantangan berjalan kaki menembus gunung dan hutan untuk mencapai Wae Rebo.
Wisatawan asal Swiss, Pelin Turgut, juga terpesona dengan keramahan masyarakat Wae Rebo yang, menurut dia, sangat tulus. Ia juga menyukai suasana Wae Rebo yang tenang, jauh dari keramaian, dan alami.
Keunikan Wae Rebo-lah yang memikat wisatawan. Berkat keunikannya pula, Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012, menyisihkan 42 negara lain.
Rumah kerucut
Setelah berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Wae Rebo. Energi membuncah, kelelahan sontak sirna saat melihat tujuh rumah kerucut. Tak sabar rasanya menuruni bukit untuk segera tiba di desa itu. Rasanya seperti pulang ke rumah.
Rumah kerucut mbaru niang ini sangat unik. Dari luar sepintas seperti rumah kerucut biasa. Namun, jika dilihat dari dalam, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Setiap lantai memiliki ruangan dengan fungsi berbeda-beda.
Lantai pertama yang disebut lutur atau tenda akan digunakan oleh si pemilik rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Lantai kedua yang disebut lobo adalah tempat menyimpan bahan makanan atau barang. Lantai ketiga yang disebut lentar adalah tempat menyimpan benih tanaman hasil bercocok tanam.
Lantai empat yang disebut lempa rae adalah tempat menyimpan stok cadangan makanan yang berguna saat hasil panen kurang banyak. Adapun lantai kelima yang terdapat di puncak rumah digunakan untuk menyimpan aneka sesajian pemilik rumah.
Kami menghormati upacara ini. Isidorus (84), salah satu tetua adat, memberi kami seekor ayam sebagai sebuah simbol. Doa pun dilafalkan. Inti doa itu, kami adalah anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang kampung. Kami sudah bukan lagi orang asing. Kami juga didoakan agar selalu terlindung dari bahaya dan selamat kembali ke rumah.
Keramahan dan kehangatan masyarakat Wae Rebo membuat kami merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Mungkin ini juga yang dirasakan wisatawan yang pernah datang ke Wae Rebo. Jatuh cinta dan ingin kembali lagi ke Wae Rebo, suatu hari nanti. (MKN/HAM/SEM/IDR/APO/OTW/MUK)
Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat
Kompas.com - 16/11/2017, 08:04 WIB
Kampung ini merupakan pusat perkampungan tradisional di Kabupaten Manggarai sebelum ada kampung- kampung adat lainnya.
(Baca juga : Semalam di Wae Rebo, Desa di Atas Awan...)
Pertengahan Juli lalu, KompasTravel, Selasa (18/7/2017) meliput kampung tradisional Ruteng Puu.
(Baca juga : Mengejar Senja di Kampung Wajur Flores)
Kampung ini sebagai ikon destinasi pariwisata budaya di Kabupaten Manggarai. Dua rumah Mbaru Gendang berdiri kokoh dengan atapnya dari ijuk.
Jika wisatawan datang dari arah Labuan Bajo, Manggarai Barat, mereka berhenti di kota Ruteng. Dari sana, wisatawan berwisata ke arah Kampung Tulung dan berakhir di pintu masuk kampung itu.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Travel / Travel Story
Warisan Luhur dari Manggarai
http://travel.kompas.com/read/2014/09/15/173600027/Warisan.Luhur.dari.Manggarai.
Senin, 15 September 2014 | 17:36 WIB
Kronika manusia kerdil di Liang Bua
Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama dari Ruteng, tibalah saya di Liang Bua. Sebuah situs, yang sempat menggemparkan dunia arkeologi dengan penemuan fosil yang masih menuai kontroversi hingga sekarang. Fosil LB1 yang ditemukan di Liang Bua memiliki ciri-ciri orang dewasa namun dengan tinggi badan yang diperkirakan hanya sekitar 105 cm.
Kelompok-kelompok peneliti lalu muncul dengan hipotesa masing-masing. Ada yang berpendapat fosil LB1 adalah spesies yang berbeda dengan homo erectus maupun homo sapiens dan kemudian menamakannya dengan nama Homo Floresiensis serta menyatakannya sebagai mata rantai yang hilang (missing link) dari teori evolusi yang dicetuskan Charles Darwin. Ada pula kelompok yang beranggapan fosil LB1 adalah homo sapiens atau manusia moderen yang mengalami kelainan.
Terlepas dari debat dan kontroversi para ilmuwan, situs ini menarik perhatian saya karena letaknya yang berdekatan dengan desa Rampasasa, sebuah desa yang sebagian warganya memiliki tinggi badan kurang dari 140 cm dan menganggap mereka adalah keturunan dari manusia yang dulu hidup di Liang Bua. Tentunya kemungkinan tersebut layak dipertimbangkan mengingat letaknya yang berdekatan.
Tentunya pola makan yang sederhana tersebut mempengaruhi bentuk tubuh dan tinggi badan mereka. Komponen gizi yang mereka butuhkan saat tumbuh kembang, kemungkinan besar tidak terpenuhi, sehingga rata-rata memiliki tinggi badan dibawah rata-rata.
Saya meninggalkan Rampasasa dan Liang Bua sore itu sebagai salah seorang saksi akan sebuah ironi. Ironi akan sebuah tempat yang menggemparkan dunia, ternyata sekaligus tempat yang sangat jauh dari sejahtera.
Bila ditempat ini merupakan titik penting cerita peradaban manusia, lantas bagaimana kelanjutan peradaban mereka kedepan dalam berbagai keterbatasan? Akankah beberapa puluh mungkin ratus tahun yang akan datang, generasi penerus kita menemukan fosil masyarakat Rampasasa yang bertinggi tubuh dibawah rata-rata, kemudian mempertanyakan spesies mereka, tanpa mengetahui kelainan tinggi tubuh mereka kemungkinan disebabkan oleh tidak terpenuhinya gizi yang dibutuhkan akibat kondisi ekonomi mereka ?
Surga kecil bernama Wae Rebo
Udara yang jauh dari polusi membuat langit malam itu terlihat bak hamparan permadani bertabur permata bagi mata saya yang lelah. Jutaan bintang bersinar dalam keheningan malam yang dingin. Bayangan tujuh Niang yang gagah menambah pesona malam negeri di atas awan, Wae Rebo, yang akan saya tinggalkan esok setelah beberapa hari merasakan indahnya kehidupan bersama masyarakat di sini.
Udara pegunungan yang segar, sumber air bersih yang berlimpah dan tanah yang subur memenuhi sebuah kebutuhan pokok manusia untuk hidup dan bertahan disini. Adat istiadat yang terjaga turun temurun sebagai struktur kehidupan, melengkapi harmoni manusia dengan alam tempat mereka tinggal.
Struktur bangunan Niang yang memiliki tungku untuk memasak di dalam dan cenderung gelap awalnya sempat menarik perhatian saya. Segera terbersit kemungkinan kurang baiknya ventilasi udara di dalam Niang dan lingkungan yang lembab karena jarang terkena sinar matahari, dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Namun ternyata kebiasaan masyarakat mengimbangi keadaan ini.
Tungku untuk memasak yang awalnya mengkhawatirkan saya karena asapnya mungkin mempengaruhi kesehatan pernafasan, ternyata berfungsi ganda untuk mengasapi kayu dan atap Niang sehingga tidak lembab dan rapuh. Untuk menghindari asap mengumpul dalam Niang, jendela-jendela dibuka selama memasak. Kekhawatiran saya mereda. Sebuah gambaran yang ideal akan keseimbangan lingkungan dan perilaku kesehatan.
Ketiadaan fasilitas kesehatan di Wae Rebo, sedikit meresahkan saya. Namun setelah bercengkrama dan memeriksa masyarakat, saya sedikit lega. Kondisi kesehatan mereka bisa dibilang cukup baik. Meskipun demikian, menurut saya keberadaan fasilitas kesehatan tentu akan membuat kualitas kesehatan lebih baik lagi. Malam semakin larut, saya pun menyerah pada kantuk berbalut rasa enggan meninggalkan tempat ini esok hari.
Sebuah senyum mengembang, bersama sebuah harapan. Harapan akan berlanjutnya harmoni indah antara manusia dan alam. Sebuah paduan yang indah dalam kesederhanaan, dan bisik hati yang selalu meruap ketika melihat warna hidup warga, adalah kualitas kesehatan dan kehidupan yang semakin baik dari waktu ke waktu. Doctors Go Wild episode Manggarai ditayangkan di Kompas TV, Senin (15/9/2014) pukul 20.00 WIB.
(Ratih Citra Sari)
Editor | : I Made Asdhiana |
rudy satria