Jumat, 16 Januari 2015

MBARU: INEWAI?

MBARU: INEWAI?

Simak dalam tulisan berikut:



GEREJA LAMA PAROKI RANGGA DALAM KENANGAN

Oleh: Ipran Fransiskus
 Sumber: https://www.facebook.com/notes/10152854717399733/


Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini saya mau bercerita tentang gereja Paroki Rangga yang lama, sebelum gereja yang sekarang ini ada di sana. Gedung gereja yang lama itu kiranya sudah dirobohkan pada awal tahun 70an sebab sejauh saya ingat pada tahun 70an sudah berdiri sebuah gereja baru yang bentuk dan ukurannya maupun gaya arsitekturnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan gedung gereja yang lama. Sebelum dirobohkan, gedung gereja lama itu berdiri dengan megah dengan arsitektur yang sangat unik dan menarik. Bangunan itu berbentuk bundar persegi, mungkin segi lima (Pentagon), dengan beberapa tiang besar penyangga di dalamnya. Sejauh saya ingat gedung itu sudah setengah tembok tetapi lantainya masih berupa tanah atau bebatuan yang dilekatkan dengan semen seperlunya. Ke atasnya dinding gereja itu adalah papan. Bahkan ada beberapa kaca jendela yang sudah berukiran indah walau saya tidak ingat lagi dengan tema yang diangkat di sana. Biasanya tentu saja pelbagai tema biblis seperti gembala yang baik, pokok anggur, keluarga kudus, ataupun beberapa tokoh penting dan terkenal dalam sejarah gereja atau dari kehidupan para santo santa, dll. Ada beberapa candi atau menara yang menjadi ciri khas gereja itu. Dan ada satu menara utama yang berukuran besar dan tinggi. Menara itu dikelilingi oleh empat menara yang berukuran lebih kecil dan lebih rendah dari menara utama tadi. Atap gereja itu sudah terbuat dari zink yang dicat merah tua. Di beberapa sisi dari masing-masing menara itu ada lubang yang berbentuk melingkar yang kiranya berfungsi sebagai ventilasi untuk membantu sirkulasi udara, tentu selain juga jendela-jendela lain yang terletak lebih rendah. Tetapi lubang-lubang besar melingkar itu kiranya juga berfungsi sebagai alat bantu penerangan agar gereja tidak terlalu gelap dan pengap di siang hari tatkala umat sedang memadati ruangan gereja itu.

Mungkin gereja itu sudah berdiri pada awal tahun 30an. Saya tidak tahu persis informasi tentang hal ini (semoga di lain kesempatan saya bisa menemukan informasi tentang hal itu). Tetapi mengenai proses awal pembangunannya saya ingin memberi sebuah catatan yang penting dan menarik.

Tahun lalu, persisnya akhir Agustus 2013, saya mendapat kesempatan yang sangat langka dan istimewa untuk mewawancarai bapak Mundus Rampak di kampung Dempol dan beberapa orang-orang tua yang lain di Dempol. Dalam wawancara itu ia mengatakan bahwa ia sudah menyaksikan proses pembangunan gereja itu walau ia rada lupa persis tahunnya. Ia bahkan bersaksi bahwa salah satu tiang utama dalam gereja itu, yang saat itu masih terbuat dari kayu, diambil dari gunung (poso Ponto Ara, yang terletak di Ulu Wae Lombur) dengan ritual “roko molas poso.” Hal inilah yang sangat menarik perhatian saya. Dengan cara itu berarti gereja diperlakukan sebagai sebuah rumah gendang, di mana rumah gendang (mbaru gendang atau mbaru tembong, biasanya berbentuk mbaru niang) Manggarai selalu mempunyai tiang utama, yang disebut siri bongkok dan yang bagian atasnya dilanjutkan dengan tiang ngando. Tiang siri bongkok inilah yang diambil dari gunung dengan ritual “roko molas poso” tadi. (Pada tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis tentang ritual roko molas poso ini). Karena tiang utama itu adalah perempuan, maka seluruh rumah itu juga adalah simbolisme perempuan. Hal itu juga berarti bahwa gereja lalu dianggap sebagai perempuan, terutama sebagai seorang ibu sebagaimana halnya juga mbaru gendang dan rumah pada umumnya adalah disimbolkan sebagai ibu dari dalam rahim siapa terlahir banyak kehidupan baru dan dengan itu ia menjamin sejarah dan kehidupan dan masa depan.

Dalam hal ini kiranya hal itu tidak melenceng sangat jauh dari tradisi gereja itu sendiri, sebab dalam tradisi Latin, gereja juga selalu diperlakukan sebagai ibu, sehingga ia disebut mater ecclesia, bunda gereja. Memang ungkapan ini tidak terutama mengacu kepada gedung fisik dari gereja tetapi kiranya gedung fisik itu juga tercakup di dalamnya karena gereja sebagai sebuah entitas rohani selalu mengandaikan sebuah perwujudan jasmani dalam rupa bangunan fisik yaitu gedung atau bangunan gereja. Sehingga tidak salah sama sekali jika sebutan mater ecclesia itu juga dilekatkan pada gedung bangunan fisik itu.

Sejak tahun 70 gedung gereja lama itu sudah tidak ada lagi. Lalu diganti dengan gedung gereja baru yang sekarang ini ada. Dibandingkan dengan gereja lama, gedung gereja baru ini sangat jauh lebih sederhana. Bentuknya sederhana saja, yaitu persegi panjang. Tanpa menara yang terpadu dalam gedung gereja itu sendiri. Paling-paling sekarang ini ada menara lonceng saja. Gaya arsitekturnya pun amat sederhana. Memang tidak mudah memelihara dan mempertahankan sebuah gedung lama apalagi dengan arsitektur yang rumit. Pasti memakan biaya yang besar. Sayang bahwa warisan lama itu tidak dapat dipertahankan sama sekali. Hilang begitu saja ditelan jaman. Gedung gereja baru ini sederhana. Gedung gereja lama itu sangat megah.

Sekali lagi, sayang bahwa hal itu sudah tidak ada lagi. Jika orang masih mau melihat bentuk asli gereja itu, maka orang bisa melihatnya dalam bentuk gereja Pagal atau gereja Lengko Ajang (bisa dilihat dalam foto ilustrasi yang juga dilampirkan di sini). Di kedua tempat itu bentuk bangunan gereja lama masih ada dan dipertahankan dengan baik.

Sekarang setelah bangunan gereja itu tidak ada lagi ia hanya tinggal menjadi sebuah kenangan belaka. Ia masih hidup dalam kenangan orang orang tua dulu dan juga angkatan yang dari jaman 60an. Sebab generasi sesudah itu tidak lagi dapat menyaksikannya. Jika dilihat dengan kilas balik seperti itu maka orang akan sadar bahwa dulu pernah ada gereja seperti itu di Rangga. Suatu saat orang akan sadar bahwa ia pernah menjadi pusat ziarah mudik orang-orang Lembor, karena ketika begitu melihatnya entah kenapa orang merasa seakan-akan sedang tiba padahal ia masih jauh dari rumahnya. Suatu penglihatan yang menipu: “Dekat di mata, jauh di kaki.” Suatu hal yang sangat biasa di Manggarai. Hal itu terjadi karena alamnya yang bergunung-gunung dan berbukit sehingga sebuah kampung yang terletak di atas bukit sudah akan kelihatan sangat dekat dari kejauhan padahal sesungguhnya masih sangat jauh jika ditempuh dengan berkaki sebab kita harus menuruni lembah dan menaiki lereng bukit sebelahnya.

Ada dua kenangan yang indah di Lembor dulu. Satu ialah candi gereja paroki Rangga. Yang lain ialah Salib di puncak golo Rutang di Wae Sesap (yang, kalau tidak salah, dibangun pada saat Bapa Titus Anggal menjadi Camat Lembor). Candi di Rangga dan salib di bukit golo Rutang itu memang penuh kenangan. Yang satu candi gereja, yang lain Golgotha Waenakeng, tepatnya di golo Rutang, dengan tiga salib tegak menjulang tinggi, tempat tiap mata memandang penuh lagi setelah berhasil menaklukkan Tuke Wae Bangka dan telah tiba di kampung Tuwa.

Jika kita memandang dari kejauhan, misalnya dari Besi atau dari Tonggong Golo Lajar, maka atap merah gereja itu dan kelima candinya tampak sangat indah dan mengagumkan. Ia menjadi tampak semakin indah karena warna merah tua atap zinc gereja itu dipadu dengan warna hijau tua dedaunan pohon langke rembong yang sudah berusia tua di pong Rangga. Akan semakin tampak indah lagi jika semuanya itu dilihat dengan latar belakang padang Lembor yang dulu masih banyak padangnya. Itu kondisi sebelum banyak petak sawah dicetak. Setelah banyak sawah dicetak, tentu pemandangan itu juga tidak kalah indahnya dengan latar belakang sawah yang indah permai itu. Pemandangan alam itu akan terasa semakin indah dan mengagumkan jika di sawah ada padi yang sedang menguning keemasan. Indah sekali. Sekarang semuanya tinggal kenangan. Terutama arsitektur gereja paroki Rangga yang indah itu, dan salib di Golgota Golo Rutang itu.


Medio November 2014,
Georgetown University, Washington DC, USA.


Gambar Mbaru Gendang  dengan Gendang

Sumber: 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4400010768798&set=a.1545835896210.2078472.1544422517&type=1&theater
diakses pada 13 Juni 2015, pkl 17:51


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar