Simak dalam tulisan berikut:
GEREJA LAMA PAROKI RANGGA DALAM KENANGAN
Sumber: https://www.facebook.com/notes/10152854717399733/
Dalam
tulisan yang singkat dan sederhana ini saya mau bercerita tentang
gereja Paroki Rangga yang lama, sebelum gereja yang sekarang ini ada di
sana. Gedung gereja yang lama itu kiranya sudah dirobohkan pada awal
tahun 70an sebab sejauh saya ingat pada tahun 70an sudah berdiri sebuah
gereja baru yang bentuk dan ukurannya maupun gaya arsitekturnya jauh
lebih sederhana dibandingkan dengan gedung gereja yang lama. Sebelum
dirobohkan, gedung gereja lama itu berdiri dengan megah dengan
arsitektur yang sangat unik dan menarik. Bangunan itu berbentuk bundar
persegi, mungkin segi lima (Pentagon), dengan beberapa tiang besar
penyangga di dalamnya. Sejauh saya ingat gedung itu sudah setengah
tembok tetapi lantainya masih berupa tanah atau bebatuan yang dilekatkan
dengan semen seperlunya. Ke atasnya dinding gereja itu adalah papan.
Bahkan ada beberapa kaca jendela yang sudah berukiran indah walau saya
tidak ingat lagi dengan tema yang diangkat di sana. Biasanya tentu saja
pelbagai tema biblis seperti gembala yang baik, pokok anggur, keluarga
kudus, ataupun beberapa tokoh penting dan terkenal dalam sejarah gereja
atau dari kehidupan para santo santa, dll. Ada beberapa candi atau
menara yang menjadi ciri khas gereja itu. Dan ada satu menara utama yang
berukuran besar dan tinggi. Menara itu dikelilingi oleh empat menara
yang berukuran lebih kecil dan lebih rendah dari menara utama tadi. Atap
gereja itu sudah terbuat dari zink yang dicat merah tua. Di beberapa
sisi dari masing-masing menara itu ada lubang yang berbentuk melingkar
yang kiranya berfungsi sebagai ventilasi untuk membantu sirkulasi udara,
tentu selain juga jendela-jendela lain yang terletak lebih rendah.
Tetapi lubang-lubang besar melingkar itu kiranya juga berfungsi sebagai
alat bantu penerangan agar gereja tidak terlalu gelap dan pengap di
siang hari tatkala umat sedang memadati ruangan gereja itu.
Mungkin
gereja itu sudah berdiri pada awal tahun 30an. Saya tidak tahu persis
informasi tentang hal ini (semoga di lain kesempatan saya bisa menemukan
informasi tentang hal itu). Tetapi mengenai proses awal pembangunannya
saya ingin memberi sebuah catatan yang penting dan menarik.
Tahun
lalu, persisnya akhir Agustus 2013, saya mendapat kesempatan yang
sangat langka dan istimewa untuk mewawancarai bapak Mundus Rampak di
kampung Dempol dan beberapa orang-orang tua yang lain di Dempol. Dalam
wawancara itu ia mengatakan bahwa ia sudah menyaksikan proses
pembangunan gereja itu walau ia rada lupa persis tahunnya. Ia bahkan
bersaksi bahwa salah satu tiang utama dalam gereja itu, yang saat itu
masih terbuat dari kayu, diambil dari gunung (poso Ponto Ara, yang
terletak di Ulu Wae Lombur) dengan ritual “roko molas poso.”
Hal inilah yang sangat menarik perhatian saya. Dengan cara itu berarti
gereja diperlakukan sebagai sebuah rumah gendang, di mana rumah gendang (mbaru gendang atau mbaru tembong, biasanya berbentuk mbaru niang) Manggarai selalu mempunyai tiang utama, yang disebut siri bongkok dan yang bagian atasnya dilanjutkan dengan tiang ngando. Tiang siri bongkok inilah yang diambil dari gunung dengan ritual “roko molas poso” tadi. (Pada tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis tentang ritual roko molas poso
ini). Karena tiang utama itu adalah perempuan, maka seluruh rumah itu
juga adalah simbolisme perempuan. Hal itu juga berarti bahwa gereja lalu
dianggap sebagai perempuan, terutama sebagai seorang ibu sebagaimana
halnya juga mbaru gendang dan rumah pada umumnya adalah
disimbolkan sebagai ibu dari dalam rahim siapa terlahir banyak kehidupan
baru dan dengan itu ia menjamin sejarah dan kehidupan dan masa depan.
Dalam
hal ini kiranya hal itu tidak melenceng sangat jauh dari tradisi gereja
itu sendiri, sebab dalam tradisi Latin, gereja juga selalu diperlakukan
sebagai ibu, sehingga ia disebut mater ecclesia, bunda gereja.
Memang ungkapan ini tidak terutama mengacu kepada gedung fisik dari
gereja tetapi kiranya gedung fisik itu juga tercakup di dalamnya karena
gereja sebagai sebuah entitas rohani selalu mengandaikan sebuah
perwujudan jasmani dalam rupa bangunan fisik yaitu gedung atau bangunan
gereja. Sehingga tidak salah sama sekali jika sebutan mater ecclesia itu juga dilekatkan pada gedung bangunan fisik itu.
Sejak
tahun 70 gedung gereja lama itu sudah tidak ada lagi. Lalu diganti
dengan gedung gereja baru yang sekarang ini ada. Dibandingkan dengan
gereja lama, gedung gereja baru ini sangat jauh lebih sederhana.
Bentuknya sederhana saja, yaitu persegi panjang. Tanpa menara yang
terpadu dalam gedung gereja itu sendiri. Paling-paling sekarang ini ada
menara lonceng saja. Gaya arsitekturnya pun amat sederhana. Memang tidak
mudah memelihara dan mempertahankan sebuah gedung lama apalagi dengan
arsitektur yang rumit. Pasti memakan biaya yang besar. Sayang bahwa
warisan lama itu tidak dapat dipertahankan sama sekali. Hilang begitu
saja ditelan jaman. Gedung gereja baru ini sederhana. Gedung gereja lama
itu sangat megah.
Sekali lagi, sayang bahwa hal itu sudah
tidak ada lagi. Jika orang masih mau melihat bentuk asli gereja itu,
maka orang bisa melihatnya dalam bentuk gereja Pagal atau gereja Lengko
Ajang (bisa dilihat dalam foto ilustrasi yang juga dilampirkan di sini).
Di kedua tempat itu bentuk bangunan gereja lama masih ada dan
dipertahankan dengan baik.
Sekarang setelah bangunan
gereja itu tidak ada lagi ia hanya tinggal menjadi sebuah kenangan
belaka. Ia masih hidup dalam kenangan orang orang tua dulu dan juga
angkatan yang dari jaman 60an. Sebab generasi sesudah itu tidak lagi
dapat menyaksikannya. Jika dilihat dengan kilas balik seperti itu maka
orang akan sadar bahwa dulu pernah ada gereja seperti itu di Rangga.
Suatu saat orang akan sadar bahwa ia pernah menjadi pusat ziarah mudik
orang-orang Lembor, karena ketika begitu melihatnya entah kenapa orang
merasa seakan-akan sedang tiba padahal ia masih jauh dari rumahnya.
Suatu penglihatan yang menipu: “Dekat di mata, jauh di kaki.” Suatu hal
yang sangat biasa di Manggarai. Hal itu terjadi karena alamnya yang
bergunung-gunung dan berbukit sehingga sebuah kampung yang terletak di
atas bukit sudah akan kelihatan sangat dekat dari kejauhan padahal
sesungguhnya masih sangat jauh jika ditempuh dengan berkaki sebab kita
harus menuruni lembah dan menaiki lereng bukit sebelahnya.
Ada
dua kenangan yang indah di Lembor dulu. Satu ialah candi gereja paroki
Rangga. Yang lain ialah Salib di puncak golo Rutang di Wae Sesap (yang,
kalau tidak salah, dibangun pada saat Bapa Titus Anggal menjadi Camat
Lembor). Candi di Rangga dan salib di bukit golo Rutang itu memang penuh
kenangan. Yang satu candi gereja, yang lain Golgotha Waenakeng,
tepatnya di golo Rutang, dengan tiga salib tegak menjulang tinggi,
tempat tiap mata memandang penuh lagi setelah berhasil menaklukkan Tuke
Wae Bangka dan telah tiba di kampung Tuwa.
Jika kita
memandang dari kejauhan, misalnya dari Besi atau dari Tonggong Golo
Lajar, maka atap merah gereja itu dan kelima candinya tampak sangat
indah dan mengagumkan. Ia menjadi tampak semakin indah karena warna
merah tua atap zinc gereja itu dipadu dengan warna hijau tua dedaunan
pohon langke rembong yang sudah berusia tua di pong Rangga. Akan semakin
tampak indah lagi jika semuanya itu dilihat dengan latar belakang
padang Lembor yang dulu masih banyak padangnya. Itu kondisi sebelum
banyak petak sawah dicetak. Setelah banyak sawah dicetak, tentu
pemandangan itu juga tidak kalah indahnya dengan latar belakang sawah
yang indah permai itu. Pemandangan alam itu akan terasa semakin indah
dan mengagumkan jika di sawah ada padi yang sedang menguning keemasan.
Indah sekali. Sekarang semuanya tinggal kenangan. Terutama arsitektur
gereja paroki Rangga yang indah itu, dan salib di Golgota Golo Rutang
itu.
Medio November 2014,
Georgetown University, Washington DC, USA.
Gambar Mbaru Gendang dengan Gendang
Sumber:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4400010768798&set=a.1545835896210.2078472.1544422517&type=1&theater
diakses pada 13 Juni 2015, pkl 17:51
Gambar Mbaru Gendang dengan Gendang
Sumber:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4400010768798&set=a.1545835896210.2078472.1544422517&type=1&theater
diakses pada 13 Juni 2015, pkl 17:51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar