KULINER MANGGAARAI
KUE:
- Lemet (https://www.youtube.com/watch?v=u59whUGZSQ4&t=1051s)
- Sobol (cobol)
- Rebok
Makanan:
- Kolo (Tapa Kolo)
Nikmatnya "Kolo" dari Kampung Sambikoe Flores...
Jumat, 2 Oktober 2015
http://travel.kompas.com/read/2015/10/02/103600627/Nikmatnya.Kolo.dari.Kampung.Sambikoe.Flores.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Berita Terkait
SETIAP daerah di bumi Nusantara memiliki makanan
khas masing-masing. Bahkan, cara memasaknya pun berbeda. Itulah
keunikan yang dimiliki bangsa Indonesia. Berbeda-beda dalam berbagai
jenis makanan khas Indonesia, tetapi tetap bersatu. Orang Papua dalam
tradisinya selalu melaksanakan ritual bakar batu ketika melaksanakan
sebuah upacara khas
daerah itu.
Lain lagi di Nusa Tanah Terjanji Flores, Nusa Tenggara Timur beraneka makanan khas yang diwariskan leluhurnya. Gencarnya promosi pariwisata di wilayah Pulau Flores memberikan dampak positif bagi masyarakat di kampung-kampung.
Sekarang Nusa Tenggara Timur disebut 'Nusa Tanah Terjanji'. Pengakuan itu disampaikan oleh wisatawan asing dan domestik yang menikmati keindahan alam Pulau Flores, baik yang dilihat dari udara maupun saat berpetualangan melihat langsung binatang Komodo serta kawah bekas letusan gunung berapi yang setiap tahun berganti warna. Kawah itu disebut Kawah Kelimutu.
Geliat
pariwisata Flores setelah Sail Komodo September 2013 lalu di Manggarai
Barat sangat terasa dengan membangkitkan kembali berbagai makanan khas
orang Flores yang sudah mereka tinggalkan akibat masuknya pengaruh
beras.
Beras dimasukkan ke dalam bambu dalam acara 'Tapa Kolo' yakni memasak
nasi dengan bambu dengan cara dibakar oleh tetua adat Kampung Sambikoe,
Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Nusa
Tenggara Timur.
Wisatawan yang berkunjung ke pulau Flores bukan hanya menikmati keindahan alamnya, melainkan juga ingin menikmati makanan unik yang dimiliki masyarakat di sembilan Kabupaten yang diapit oleh laut Flores dan Laut Sawu itu.
Salah satu daya tarik wisatawan asing dan Nusantara saat berkunjung ke Pulau Flores adalah menikmati aneka makanan khas orang Flores pada umumnya dan Manggarai Raya pada khususnya.
Salah
satu makanan khas orang Flores ada di Kabupaten Manggarai Timur. Orang
Manggarai Timur menyebutnya ‘Tapa Kolo’. Tapa diartikan bakar serta kolo
artinya masak sesuatu dengan bambu. Jadi ‘Tapa Kolo’ diterjemahkan
memasak nasi dengan bambu dengan cara dibakar.
Memasak 'Tapa Kolo' yakni memasak nasi dengan bambu dengan cara dibakar
oleh warga Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan Kota
Komba, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Tapa Kolo merupakan cara memasak nasi orang Manggarai Timur di kampung-kampung. Diceritakan warga masyarakat Kampung Sambikoe bahwa orang Manggarai Timur di zaman dulu belum mengenal masak umbi-umbian serta nasi dengan menggunakan kompor melainkan memasak umbi-umbian dan nasi dengan cara membakar.
Mengapa demikian? Orang Manggarai Raya pada umumnya memasak sesuatu dengan cara membakar. Bahkan umbi-umbian juga dibakar, seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi, serta Uwi. Ini merupakan kearifan lokal yang diwariskan leluhur orang Manggarai Raya pada umumnya dan juga orang Manggarai Timur pada khususnya.
Pada
zaman dulu bahan-bahan untuk memasak sesuatu diambil dari alam. Salah
satunya adalah bambu yang tumbuh di hutan-hutan. Jadi orang Flores itu
sangat dekat dengan alam dilihat dari kearifan lokalnya. Sebagian
kebiasaan yang diwariskan itu sudah punah dengan pengaruh modern dengan
memasak menggunakan alat-alat modern.
Memasak 'Tapa Kolo' yakni memasak nasi dengan bambu dengan cara dibakar
oleh warga Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan Kota
Komba, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Alat-alat modern itu seperti periuk, Kuali dan lain-lainnya hasil dari olahan pabrik. Salah satu yang masih dipertahankan hingga di era digital ini adalah cara memasak dengan ‘Tapa Kolo’.
Ritual dan ‘Tapa Kolo’
Cara memasak ini dipertahankan karena apabila ada ritual adat di kampung-kampung di wilayah Manggarai Timur selalu ada ‘Tapa Kolo’. Bahkan sebelum dimasak dilaksanakan ritual adat oleh tetua adat. Biji beras yang akan dimasukkan di dalam bambu terlebih dahulu diritualkan untuk memberikan makanan kepada alam dan leluhur.
KompasTravel pada Senin (14/9/2015) lalu diundang warga masyarakat Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur untuk menyaksikan ritual Sundung Wae sekaligus mengolah masakan dengan menggunakan bambu.
Saat
diamati sebelum mulai masak, Angelus Enggong, tetua adat kampung
Sambikoe melaksanakan ritual memberikan makanan kepada alam dan leluhur
dengan menyiram biji beras di tanah.
Nasi yang sudah dimasak dengan dibakar dalam bambu yang dinamakan 'Tapa
Kolo' oleh warga Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan
Kota Komba, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
‘Tapa Kolo’ kali ini dilakukan untuk mensyukuri air minum yang sudah masuk di bak penampung. Bukan hanya saat syukuran menerima air minum bersih masuk di bak penampung. Tradisi ‘Tapa Kolo’ juga dilaksanakan saat membuka ladang baru yang akan ditanami padi. Sebelum benih padi ditanam, terlebih dahulu tetua adat meminta restu alam dan leluhur dengan ritual adat.
Ketua Organisasi Proyek Air Kampung Sambikoe, Rafael Rae kepada KompasTravel belum lama ini mengatakan, “Tapa Kolo’ merupakan cara orang dari Kampung Sambikoe untuk memasak nasi. ‘Tapa Kolo’ dilaksanakan saat upacara-upacara adat, baik di tengah kampung maupun di kebun-kebun. ‘Tapa Kolo’ tidak bisa dilaksanakan dalam masakan harian di rumah keluarga-keluarga.
“Sebelum biji beras dimasukkan dalam bambu, terlebih dahulu dilangsungkan ritual adat oleh tetua adat di kampung-kampung,” katanya.
Rafael
menjelaskan, ‘Tapa Kolo’ dilakukan oleh kaum laki-laki karena membakar
bambu dengan menggunakan api yang besar serta kerja sangat berat.
Bambu dibelah untuk mendapatkan nasi yang telah dibakar dalam acara
'Tapa Kolo' oleh warga Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene,
Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Rafael, biasanya makan ‘Tapa Kolo’ dicampur dengan kuah ayam. Kalau bukan kuah ayam, kuah daging babi yang sudah diolah kaum perempuan. Mengapa dicampur dengan kuah? Karena nasi yang dimasak dengan cara dibakar hasilnya agak keras.
“Yang beda dengan masakan menggunakan periuk adalah rasanya. Rasa saat kita makan nasi ‘Kolo’ lebih enak dibanding dengan nasi yang dimasak menggunakan periuk. Itulah keunikan dan kenikmatannya,” tambah Rafael.
daerah itu.
Lain lagi di Nusa Tanah Terjanji Flores, Nusa Tenggara Timur beraneka makanan khas yang diwariskan leluhurnya. Gencarnya promosi pariwisata di wilayah Pulau Flores memberikan dampak positif bagi masyarakat di kampung-kampung.
Sekarang Nusa Tenggara Timur disebut 'Nusa Tanah Terjanji'. Pengakuan itu disampaikan oleh wisatawan asing dan domestik yang menikmati keindahan alam Pulau Flores, baik yang dilihat dari udara maupun saat berpetualangan melihat langsung binatang Komodo serta kawah bekas letusan gunung berapi yang setiap tahun berganti warna. Kawah itu disebut Kawah Kelimutu.
Wisatawan yang berkunjung ke pulau Flores bukan hanya menikmati keindahan alamnya, melainkan juga ingin menikmati makanan unik yang dimiliki masyarakat di sembilan Kabupaten yang diapit oleh laut Flores dan Laut Sawu itu.
Salah satu daya tarik wisatawan asing dan Nusantara saat berkunjung ke Pulau Flores adalah menikmati aneka makanan khas orang Flores pada umumnya dan Manggarai Raya pada khususnya.
Tapa Kolo merupakan cara memasak nasi orang Manggarai Timur di kampung-kampung. Diceritakan warga masyarakat Kampung Sambikoe bahwa orang Manggarai Timur di zaman dulu belum mengenal masak umbi-umbian serta nasi dengan menggunakan kompor melainkan memasak umbi-umbian dan nasi dengan cara membakar.
Mengapa demikian? Orang Manggarai Raya pada umumnya memasak sesuatu dengan cara membakar. Bahkan umbi-umbian juga dibakar, seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi, serta Uwi. Ini merupakan kearifan lokal yang diwariskan leluhur orang Manggarai Raya pada umumnya dan juga orang Manggarai Timur pada khususnya.
Alat-alat modern itu seperti periuk, Kuali dan lain-lainnya hasil dari olahan pabrik. Salah satu yang masih dipertahankan hingga di era digital ini adalah cara memasak dengan ‘Tapa Kolo’.
Ritual dan ‘Tapa Kolo’
Cara memasak ini dipertahankan karena apabila ada ritual adat di kampung-kampung di wilayah Manggarai Timur selalu ada ‘Tapa Kolo’. Bahkan sebelum dimasak dilaksanakan ritual adat oleh tetua adat. Biji beras yang akan dimasukkan di dalam bambu terlebih dahulu diritualkan untuk memberikan makanan kepada alam dan leluhur.
KompasTravel pada Senin (14/9/2015) lalu diundang warga masyarakat Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur untuk menyaksikan ritual Sundung Wae sekaligus mengolah masakan dengan menggunakan bambu.
‘Tapa Kolo’ kali ini dilakukan untuk mensyukuri air minum yang sudah masuk di bak penampung. Bukan hanya saat syukuran menerima air minum bersih masuk di bak penampung. Tradisi ‘Tapa Kolo’ juga dilaksanakan saat membuka ladang baru yang akan ditanami padi. Sebelum benih padi ditanam, terlebih dahulu tetua adat meminta restu alam dan leluhur dengan ritual adat.
Ketua Organisasi Proyek Air Kampung Sambikoe, Rafael Rae kepada KompasTravel belum lama ini mengatakan, “Tapa Kolo’ merupakan cara orang dari Kampung Sambikoe untuk memasak nasi. ‘Tapa Kolo’ dilaksanakan saat upacara-upacara adat, baik di tengah kampung maupun di kebun-kebun. ‘Tapa Kolo’ tidak bisa dilaksanakan dalam masakan harian di rumah keluarga-keluarga.
“Sebelum biji beras dimasukkan dalam bambu, terlebih dahulu dilangsungkan ritual adat oleh tetua adat di kampung-kampung,” katanya.
Menurut Rafael, biasanya makan ‘Tapa Kolo’ dicampur dengan kuah ayam. Kalau bukan kuah ayam, kuah daging babi yang sudah diolah kaum perempuan. Mengapa dicampur dengan kuah? Karena nasi yang dimasak dengan cara dibakar hasilnya agak keras.
“Yang beda dengan masakan menggunakan periuk adalah rasanya. Rasa saat kita makan nasi ‘Kolo’ lebih enak dibanding dengan nasi yang dimasak menggunakan periuk. Itulah keunikan dan kenikmatannya,” tambah Rafael.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar