3 ENG MANGGARAI - MENURUT USMAN DE GANGGANG
https://www.youtube.com/watch?v=XVAasqO-avw
Sejarah dan Kebudayaan Manggarai Oleh Pak Usman De Ganggang
- Ubahlah cara pikir anda maka dunia anda akan berubah.
- Jangan membangun istana megah di atas kebohongan indah
- Ciri-ciri orang cerdas: 6 M: Mengamati, Menanyakan, Menggali, Menyimpulkan, Mengkomunikasikan, Menciptakan.
Apa tujuan kita sekolah agar menjadi orang pintar dan cerdas.
Pintar itu dekat dengan bohong, licik,
Cerdas
Menurt Usman G. Ganggang, Budaya adalah suatu upaya dari masyarakat setempat untuk mengkristalkan pengalaman.
Apa pengalaman orang Manggarai?
- Bunyi burung tertentu, misalnya hantu sebanyak 3 x, Po, Po, Po... itu artinya ada orang yang meninggal dunia.
1. Undang (Kewit)
2.Indang (Nasihat)
3.Ondang (Membiarkan)
Kalau jatuh cinta, jatuhlah ke belakang. (?)
_______
Menyenggol Ungkapan “Neka nu-na”
Usman D. Ganggang
(Warisan Leluhur Manggarai - NTT)
Warga masyarakat Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) , kaya dengan ungkapan yang bernilai positif. Salah satunya, adalah “neka
nu-na”. Artinya “jangan seperti”. Dulu, ketika kami kecil,ungkapan ini, sering
diajarkan orangtua kami, saat menjelang makan malam atau sesudah makan dan
menjelang tidur. Kemudian sering kami simak ketika ada kerabat atau handaitolan
yang berpergian jauh, biasanya diadakan pencerahan oleh tetua adat atau yang
dituakan dalam ca batu ( satu rumpun) keluarga yang terkecil sebelum keluarga
suami- isteri. Neka nu-na, diungkapan sebagai tanda kebersamaan. Artinya
masing-masing ca batu itu berusaha untuk menjaga nama baiknya.
Ketika pulang kampong belakangan ini, petuah-petuah seperti
itu, sudah jarang diungkapkan oleh masyarakat di sana. Tetua adat atau orang
tua hanya memberi nasihat atau wejangan kepada anggota masyarakatnya atau
kepada sanak saudaranya jika diminta. Misalnya, ketika ada pesta pernikahan.
Itupun lebih ditekankan pada persoalan kehidupan biasa-biasa saja. Pencerahan
berupa antisipatif terhadap permasalahan yang terjadi di kemudian hari malah
dilupakan.Padahal dalam masyarakat Manggarai sudah jauh hari mengenal filsafat
3 “ng”, yakni undang, indang, dan ondang Artinya, merupakan sebuah keniscayaan
bagi ca batu (satu rumpun kecil) untuk menjaga nama baik keluarganya dengan melakukan
undang (mengadakan undangan untuk rapat); dalam rapat itu diadakan indang
(nasihat),kemudian kalau semuanya selesai, maka boleh ondang (biarkan).
Dalam indang itu mulailahpemimpin rapat (biasanya tetua
adat)melakukan pencerahan berupa indang (nasihat) : Oe ome dia n senang da,
neka undang na susah ( Oe, kalau senang masih kita rasakan, jangan lagi
diundang susah). Neka nu-na Emkoja, “Aku ho oda Emkoja, kebal, konem ca karung
rasung toe mata aku laing e ( Jangan seperti Bapaknya Koja,”Aku ini Bapaknya
Koja, kebal, biar satu karung mantra mematikan, aku tak akan mati.”) Contoh
neka nu-na yang laintertera pada uraian selanjutnya.
Sayang sekali, fakta riil yang ada saat ini di sana
(Manggarai) , filsafat 3 ng ini sudah di balik menjadi. Ondang, undang,
kemudianindang. Akhirnya, berdampak juga dalam kehidupan keseharian. Artinya,
kalau ada perilaku yang kurang, ya diondang (dibiarkan), nanti kalau terjadi
masalah, baru diundang untuk diindangkan. Padahal sejatinya, susunan filsafat
itu, harga mati, tidak boleh dibalik-bolak seperti dimulai dari belakang :
ondang, undang , indang.
Neka nu-na sepertinya bukan lagi merupakan keharusan dalam
pencerahan. Kini, kalau warga masyarakatnya berpergian jauh ke daerah lain atau
katakan saja merantau jarang diadakan pencerahan dengan ungkapan neka nu-na.
Ungkapan seperti itu, dilupakan karena terlalu sibuk ataukah mungkin dianggap
kedaluwarsa atau kuno.
“Neka nu-na”, adalah sebuah ungkapan sangat sederhana. Tapi
kalau diaplikasikan dalam keseharian, betapa tidak sesederhana itu maknanya,
malah lebih luas dan dalam. Bagaimana tidak,betapakentara kalaudalam
berkomunikasi, orang yang pernah dicerahkan dengan “neka nu-na” dengan yang
tidak pernah. Biasanya jauh bedanya.Perilaku dalam keseharian, bagi mereka yang
pernah menerima pencerahan neka nu-na” biasanya sopan (berperilaku baik)
dibanding dengan yang tidak pernah.Bagi yang pernah,mereka merasakan banyak
manfaatnya demi menambah wawasan dalam keseharian..Iya, biasanya bagi mereka
yang berperilaku tidak baik dijuluki dengan“nu-na”…. , maka tidak usahlah heran
kalau kemudian dengan pasti, orang lain menyebutnya”nu-na” ( seperti). Oleh
karena itu, disarankan kalau kita mau diterima orang lain dalam berkomunikasi,
mestinya, harus selalu ingat akan ungkapan “neka nu-na”. Kalau tidak, sebentar
lagi kita akan dijulukui orang lain dengan ungkapan “nu-na”atau “seperti…”.
Iya, seperti terurai di atas tadi, sayang sekali dalam
kondisi yang serba carut-marut ini, masyarakat penganut ungkapan ini sudah
mulai lupa untuk memperhatikan manfaat-gunanya. Iya, barangkali oleh karena
kseibukannya, atau karena memang tua adat atau orangtua sudah berpikir maju,
sehingga semua nilai budaya positif di daerahnya sudah dianggap kuno.Inilah
persoalan yang dihadapi saat ini terutama para penganut budaya “neka nu-na”
tersebut.
Sejatinya, nilai budaya suatu daerah harus dipertahankan
sekaligus dilestarikan oleh penganutnya. Apa pun alasannya, tidak semua budaya
lama itu dianggap kuno atau kedalu warsa. Di antara sekian budaya dalam sebuah
daerah, tentu ada yang positifnya. Nah, mengapa nilai positif itu dilupakan?
Bukankah, selalu kita katakan, “Lain daerah lain pula adat-istiadatnya?”Dan
ketika kita salah dalam berpola tingkah laku, orang lain selalu mengatakan
“pantas, atau dalam bahasa Manggarainya adalah “nu-na”……(seperti).
Untuk tidak sekedar diangkat, maka di bawah ini, akan
diberikan contoh “neka nu-na”, sehingga jelas maksudnya.
1)Neka nu-na (jangan seperti):
a.Neka nu-na kaba nggami-nggemes = Jangan seperti kerbau
pelan lagi bodoh (dicocok hidung)
b.Neka nu kaba, running tekek eng, running lako piang hau
nditu aku nditu = Jangan seperti kerbau disuruh memikul beban, ya; disuruh
jalan ya, keluar engkau di situ ya, aku di situ ya (ikut saja, meski perintah
untuk yang tidak baik, tidak ditolak, semuanya ya saja)
c.Neka nu tuna, nggali-nggelek = Jangan seperti belut,
sangat licin (licik).
d.Neka nu kaka lelap, ca haju ca haju = Jangan seperti
burung, dari satu pohon ke pohon lain (suka berpindah-pindah)
e.Neka nu acu, ca ngaung ca ngaung = Jangan seperti anjing
dari satu kolong ke kolong lain (suka pindah mencari kotoran tai).
f.Neka nu kode tako mole toe cenger = Jangan seperti monyet
melakukan mencuri tidak tahu malu.
g.Neka nu ka, benggat ngasang ru = Jangan seperti burung
gagak selalu menyebut nama sendiri.
h.dll.
Mencermati contoh-contoh di atas, terbersit suatu kesimpulan
bahwa neka nu-na, adalah ungkapan yang terbentuk dari kata “neka” dan “nu-na”.
Kalau berdiri sendiri maka “neka” (jangan) adalah “kata”, sedangkan
“nu-na”(seperti) adalah ungkapan.Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh di
bawah ini:
1)Neka = jangan
a)Neka undang na susah ome dia n senang = Jangan undang
susah kalau memang sedang senang.(peribahasa)
b)Neka jaong na haen pake toe nuk n rukus = Jangan bicara
tentang katak, ingat juga dirimu ketam (jangan bicara kejelekan orang lain,
ingat juga kejelekan diri sendiri): peribahasa
c)Neka kengko rengkok = Jangan bangunkan musibah (jangan
menginginkan musibah datang) : peribahasa
d)Neka purak mukang wajo kampong = jangan hajar dusun,
berkelahi kampong (jangan membuat onar) : peribahasa
e)dll.
2)Nu-na = seperti
a)Nu-na acu = seperti anjing
b)Nu-na kode = seperti monyet (kera)
c)Nu-na ndaot = seperti rusa
d)Nu-na pake = seperti katak
e)Nu-na ka = seperti burung gagak
f)dll.
Ungkapan nu-na boleh disingkat menjadi nu saja. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini contohnya.
a)Nu acu …= seperti anjing…
b)Nu kode …= seperti kera (monyet)…
c)Nu ndaot …= seperti rusa…
d)Nu pake …= seperti katak…
e)Nu ka…….. =seperti gagak…
f)dll.
Ungkapan neka nu-na merupakan warisan leluhur warga
masyarakat Manggarai. Ia akan bisa hidup manakala penggunanya selalu
memanfaatkannya dalam keseharian. Katakan saja, menjelang makan malam, orang
tua memberikan nasihat seperti:
1)bertingkah yang bermacam, anak: kalau masih ada senang,
jangan diundang susah.
2)Anak, neka kapi-kopet lime agu neka gaku ngu data = Anak,
jangan mencuri dan jadikan milik sendiri kalau memang itu milik orang lain.
3)Anak, pota tunin laing mon, pota rangan tau kole = Anak,
tunjukkan belakangmu kalau pergi, tunjukkan wajahmu kalau datang.
4)dll.
Secercah uraian sekaligus contoh-contoh di atas, kiranya
bermanfaat buat pembaca, terutama warga masyarakat Manggarai - Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT).Iya, ungkapan neka nu-na ini akan hidup terus manakala
warga masyarakat penganutnya memanfaatkannya. Kata mantan Gubernur NTT, dr.Ben
Mboi, “ Kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi?”
(***).
JPS, 28 Maret 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar