http://voxntt.com/2018/02/11/mengupas-makna-neka-teing-tange-berit-jaga-jaja-lata-tana-manggarai/
Oleh : Cyprian Guntur*
Beberapa hari terakhir media sosial lokal di NTT khususnya di kabupaten Manggarai sedang ramai meributkan kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”.
Kalimat ini menjadi trending topic dalam berbagai level diskusi. Pro-kontra dan silang pendapat pun tak terhindarkan, bahkan di kalangan orang Manggarai sendiri.
Dalam berbagai diskusi pun baik para netizens dan warga net seperti facebook dan group-group WhatsApps
maupun dalam pertemuan-pertemuan kelompok di dunia nyata perang
argumentasi pun digelar. Masing-masing pihak teguh berpegang pada
kebenaran argumentatif menurut versinya.
Bagi kelompok kontra, kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”
merupakan bentuk kampanye rasis (baca primordialisme) dari pasangan
calon Gubernur/wakil gubernur tententu yang berasal dari Manggarai
(kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur yang kerapkali
disebut sebagai Manggarai Raya).
Bagi kelompok kontra, dengan
mengungkapkan kalimat ini, orang-orang yang berasal dari Manggarai
menutup diri terhadap kehadiran suku-suku lain dari luar mereka.
Jadi, dengan mengungkapkan kalimat ini, orang-orang Manggarai sedang menggaung-gemakan kesukuan dan ketertutupannya, extra Manggarai nulla benne – bahwa di luar Manggarai tidak ada kebaikan atau hal yang baik.
Sedangkan kelompok pro melihat kalimat ini bebas dari politic interest (kepentingan politik) dengan melihatnya secara obyektif dari sudut pandang budaya Manggarai in sic.
Menurut kelompok pro, generasi zaman now
Manggarai berkewajiban untuk melestarikan nilai-nilai kultural, sosial
dan moral yang telah dipatrikan para leluhur secara turun-temurun kepada
generasi Manggarai.
Generasi zaman now Manggarai telah dan secara pelan-pelan meninggalkan frase Tinu sangge’d papi agu toing data tu’a (melestarikan kiat-kiat dan wejangan-wejangan para leluhur).
Dari konteks ini jelas bahwa kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rasisme, primordialisme
atau arogansi kultural kemanggaraian. Justru sebaliknya dengan kalimat
ini orang Manggarai mengenal jati dirinya, mengetahui identitasnya,
siapa mereka dan darimana arkhe-nya (Yunani : asal-muasal).
Terinspirasi oleh polemik tak bertepi
ini, yang cenderung mengarah ke debat kusir, maka penulis merasa
terpanggil untuk mencoba menarasikannya.
Pertama-tama penulis mencoba ber-googling
untuk mendapatkan inspirasi guna memahami makna kalimat di atas.
Harapnnya akan mendapatkan inormasi dari tulisan-tulisan terkait budaya
Manggarai yang pernah ditulis para pendahulu.
Tujuannya untuk sekedar mendapatkan
referensi dan menguatkan argumentasi penulis terhadap makna kalimat ini.
Namun upaya itu nihil.
Karena kurangnya referensi tentang makna kalimat ini, maka penulis mencoba mengupasnya dari sudut pandang penulis sendiri (personal opinion) yang bisa saja subyektif dan mempribadi sifatnya.
Oleh karena itu, analisis lain dari para sahabat untuk saling memperkaya sangat dibutuhkan. Sebabnya? Karena walaupun variation est delectat (kepelbagaian itu menyenangkan), tetapi sangat menyenangkan jika kesepakatan itu menemukan titik jumpa (concensus est delectat).
Maka agar mendekati dapat
menemu-kenali konsensus bersama (walaupun itu cukup sulit hemat
penulis), penulis mencoba persuasive dengan nalar sendiri. Dan untuk
meredam makna bersayap yang kerapkali disangkut-pautkan dengan Pilgub
NTT penulis mencoba netral.
Jadi, nukilan berikut tak ada
sangkut pautnya dengan pesta demokrasi di NTT. Apalagi mengaitkannya
dengan pasangan calon (paslon) tertentu dari 4 Paslon yang akan
berjibaku pada Pilgub NTT 27 Juni 2018.
Penulis hanya mencoba mengupas makna quotation
itu dari sudut pandang budaya Manggarai. Penulis akan mencoba
menarasikannya dari beberapa sudut pandang antara lain : makna
linguistik, makna historis, makna cultural dan makna ekonimo-sosialnya.
Sudut pandang linguistik (gramatikal-leksikal-sintaksis dan morfologis)
Secara leksikal dan gramatikal Kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”, dapat dijelaskan sebagai berikut. Sekarang kita mengacu pada kalimat di atas. Jelaslah bahwa kalimat ini terdiri dari 9 kata.
Kata-kata ini tetap memiliki makna jika berdiri secara sendiri-sendiri. Kata Nèka diterjemahkan sebagai kata larangan ‘jangan’, tèing adalah memberi/membiarkan, tangè (bantal), bèrit (menyadar/ sandaran), ‘jaga’ (supaya / agar), jaja (menjajah/ menguasai), lata (merupakan kata jadian dari sub kata le dan ata. le artinya oleh dan ata artinya orang), tana (tanah/bumi), Manggarai (sebutan untuk 3 kabupaten di Provinsi NTT yaitu Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur).
Maka secara hurufiah atau literasi kalimat “nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” diterjemahkan
sebagai “Jangan memberikan atau membiarkan orang lain menempati bantal
sandaranmu, supaya mereka tidak menjajah Tanah/bumi Manggarai”.
Sedikit tentang frase tangè bèrit ini. Secara literasi arti dari frase tangè bèrit adalah
bantal sandaran yang ditempatkan dan merapat pada suatu obyek entah
dinding rumah, pohon atau kayu penopang/ tiang, semacam sandaran di
kursi.
Apa maknanya? Agar kita tetap aman dan nyaman saat bèrit (menyandarkan) punggung di bantal sandar itu tatkala kita duduk dalam durasi yang cukup lama ketika ada sèkèk (ritual adat atau semacamnya).
Tangè bèrit ini juga memberikan kita kesempatan, agar mengikuti acara yang tengah berlangsung dengan seksama. Karena jika kita duduk tanpa tangè bèrit besar kemungkinan kita mudah lelah atau capeh. Kita juga gampang gagal fokus karena bagian pantat dan belakang terasa sakit.
Hal itu yang menyebabkan kita tidak
nyaman untuk duduk dalam durasi waktu yang lama dan menjadi alasan bagi
kita untuk meninggalkan tempat duduk.
Landasan Historis (aspek Sejarah)
Bagi orang Manggarai yang pernah mendengarkan atau bahkan pernah mendendangkan lagu “Guru Ame Numpung” frase “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” merupakan penjabaran paci
tuan Petrus yang terkenal dengan nama pahlawan “Motang Rua” dengan nama
lain Guru Ame Numpung (sebagai salah satu pahlawan dari Manggarai).
Saat itu makna kalimat di atas
adalah keteguhan, ketangguhan dan keberanian Motang Rua dan
kawan-kawannya untuk tidak membiarkan “tana kuni agu kalo” atau “Osang momang Congka Saè” (sebutan lain untuk tanah Manggarai) kepada orang lain.
Konon, untuk mengusir musuh yaitu Belanda dan Jepang, Motang Rua dan pasukannya menggunakan pering lolo-harat (bambu runcing-tajam), korung/wokat (lembing) dan kopè lewè/banjar (parang panjang), juga cola (kampak).
Secara bergerilya entah dengan mbeko pèpot
(pakai dukun untuk menghilang) atau dengan bersembunyi di gua-gua dan
hutan-hutan. Dengan dukun dan benda-benda tajam itulah Motang Rua dan
pasukannya melibas siapapun musuh yang dijumpainya.
Dengan demikian Motang Rua, menantang orang Manggarai dengan kata “Eme ranim hau nana”
(Kalau Anda berani atau tangguh/jago maka janganlah Anda membiarkan
Tana Manggarai untuk dijajah orang lain). Atau dengan kata lain, jangan
sampai orang lain menguasai Tana Manggarai.
Konteks sejarahnya adalah pengusiran
para penjajah baik itu dari dalam negeri seperti Bima, Goa, Makasar
maupun dari musuh manca-negara seperti Holandia (Belanda) dan Nippon
(sebutan kala itu untuk Negara Jepang sekarang).
Tak selangkah pun Motang Rua mundur karena menyadar pada tangè bèrit (sandaran) yaitu nilai-nilai budaya yang sangat kuat. Jadi, makna frase tangè bèrit kala itu lebih bermakna sebagai benteng pertahanan untuk melawan musuh. Juga sebagai lambang ‘lalong tana” (jantanya orang Manggarai).
Dengan bersandarkan pada kepemilikan itu Morang Rua tidak mudah dipukul mundur oleh pasukkan musuh. Motang Rua deri wa’i agu menggi lime (tanam badan) pada tangè bèrit-nya untuk mengusir para pencuri tana Manggarai. Itu sedikit makna kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” dari konteks sejarah.
Landasan Kultural (dari perspektif budaya Manggarai)
Pada zaman dahulu, tangè bèrit ini
hanya boleh digunakan oleh tu’a golo atau tu’a adat (Kepala Kampung dan
Kepala Kebun). Juga untuk orang terhormat atau senior-senior di suatu
kampung.
Tidak etis dan tidak dibenarkan tangè bèrit ini digunakan oleh ata taki mendi (budak/jongos/opas atau pesuruh). Mengapa? Sebab tangè bèrit ini hanya boleh digunakan oleh seorang pemimpin kampung atau sesepuh yang dituakan di kampung.
Selain karena senioritas, yang menggunakan tangè bèrit ini juga merupakan lambang kebesaran seorang pemimpin kampung, kepala suku dan orang-orang yang dituakan di sebuah kampung.
Tangè bèrit ini
adalah lambang kebesaran, power atau kewibawaan kepala kampung atau
ketua suku. Itulah sebabnya tidak sembarang orang yang menyandarkan
dirinya pada tangè bèrit itu.
Konon, bagi orang-orang berpengaruh sebagaimana disebut di atas biasanya memiliki tiga buah bantal yaitu tangè lonto (bantal utuk duduk), tangè hang (bantal untuk makanan yang ditempatkan di depan), dan tangè bèrit (bantal untuk menyandar).
Landasan Sosial-Ekonomi
Lalu bagaimana kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”, dilihat dari kehidupan sosial dan ekonominya? Kita semua tahu bahwa tanah Manggarai itu adalah tanah subur.
Apa saja yang ditanam bisa bertumbuh
dengan suburnya. Ada begitu banyak tanaman perdagangan dan perkebunan
serta holtikultura yang bertumbuh subur. Bahkan tanpa dirawat secara
intensif pun.
Itulah sebabnya, zaman dahulu hasil
sawah dan perkebunan orang Manggarai selalu berlimpah. Demikian juga
manusianya. Selain tanah yang subur, para leluhur Manggarai juga
terkenal sebagai petani yang rajin dan pekerja keras.
Tidak ada yang mental instan. Mereka bukan pemalas. Mereka bukan hanya sebagai pengagum (sobit) hasil karya atau kekayaan orang lain. Tidak ada yang mencuri dan merampas.
Nilai kejujuran ini dinarasikan dalam sebuah kalimat : èmè data, de ata kèta, nèka data ngong data
(Jangan menjadikan milik orang lain sebagai milik pribadi). Mereka juga
gemar bergotong royong, bekerjasama dan membantu sesamanya.
Hal ini dikenal dengan istilah Manggarai dodo atau lèlès, bahkan masih berjalan sampai sekarang untuk beberapa kampung di Manggarai. Saat ini banyak generasi muda yang money oriented (uang dulu baru kerja)
Nah, bagaimana konteks kalimat “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai” dalam perspektif sosial ekonomi? Secara kasat mata, saat ini kebanyakkan generasi Manggarai menjadi bermental instan.
Banyak yang bermental konsumtif daripada menjadi manusia produktif. Mengharapkan bantuan pemerintah daripada sendiri berusaha (high dependence). Belum lagi dengan banyak dan beragamnya budaya pesta. Ditambah lagi dengan adanya kupon putih, lonto lèok (berjudi), miras, dll.
Tambah lagi begitu banyak melego-kan
tanahnya kepada orang lain untuk mempertahankan dirinya. Ah tambah
malas untuk bekerja. Sebagai contoh, banyak orang muda tidak lagi
bekerja di sawah atau kebun, apalagi menanam tanaman perdagangan. Lebih
banyak bermental proyek (project oriented) daripada bersandar pada tangè bèrit-nya untuk bisa survive.
Selain menunggu bantuan pemerintah,
kalau kita jalan-jalan ke pasar, kebanyakkan bahan sayur-sayuran serta
buah-buahan diimport dari tempat lain. Walaupun ada hasil dari tanah
Manggarai, jumlahnya sangat sedikit.
Dalam konteks inilah, kita generasi penerus Manggarai sedang meninggalkan tangè bèrit dan memberikannya kepada orang lain untuk ditempati.
Bersamaan dengan itu, kita sedang
membiarkan orang lain untuk menjajah tanah kita. Menjajah di sini bukan
lagi dalam arti fisis tetapi penguasaan orang lain terhadap harta
kekayaan kita dengan membeli tanah yang kita jual kepada mereka. Jadi
akhirnya, “Nèka teing tangè bèrit jaga jaja lata Tana Manggarai”. ***
*Penulis berminat pada e
kososbud dan politik, tinggal di Leda Ruteng-Kabupaten Manggarai, email : sipriguntur@gmail
298 views
http://www.floresa.co/wp-content/uploads/2015/01/Manggarai.jpg, diakses 9 Januari 2015, pkl 20:20
Oleh: RIKARDUS KERAF BASUKUR SMM
Kearifan Lokal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)
menyemburkan makna yang berlimpah-limpah. Makna itu jelas lahir dari
refleksi manusia Manggarai akan keberadaan mereka sebagai diri dan dalam
kaitan dengan berada bersama dengan yang lain. Artinya, refleksi
manusia Manggarai tentang kehidupan ini, dengan segala dinamika di
dalamnya membuahkan hasil berupa pemahaman yang benar akan diri sendiri
dan akan kehadirannya dalam kebersamaan dengan yang lain.
Kebersamaan yang humanis dalam refleksi filosofis orang Manggarai,
tidak hanya soal menghargai kemanusiaan manusia, yang memang niscaya,
tapi lebih kepada menelisik kebersamaan itu sebagai sesuatu yang
menjunjung tinggi kemanusiaan. Manusia tidak dapat berdiri sendiri. Ia
membutuhkan yang lain, ia selalu ditemukan berada bersama yang lain.
Di sini, manusia lain menjadi dasar untuk menemukan diri. Artinya,
selain dipahami bahwa “aku” membutuhkan “yang lain”, tapi juga, dengan
ada “yang lain”, “aku” dapat menyebut diriku “aku”. Tapi, menurut orang
Manggarai, semuanya tidak hanya berhenti pada hal ini. Ketika “aku” dan
“engkau” hadir dalam kebersamaan dan membentuk “kita”, di situlah “aku”
adalah manusia yang sesungguhnya. Kebersamaan jelas tidak hanya
memaksudkan ada bersama, atau kebetulan berdiri bersama di sebuah halte
bis, di kelas filsafat dan di tempat lainny. Tapi, kebersamaan yang
dimaksud dalam refleksi filosofis orang Manggarai adalah
padir wa’i rentu sa’i.
Ada ungkapan kearifan Lokal Manggarai yang mengemukakan soal kebersamaan yang humanis yaitu:
tinu,
toing,
titong, dan
teing (disingkat 4T). Apa yang termaktub dalam 4T ini bagi saya menggambarkan
pertama keindahan bunyi dan seni berbicara;
kedua menggambarkan kejelasan dan kejernihan refleksi;
ketiga
menggambarkan keluasan makna refleksi itu sendiri. Kalau
sungguh-sungguh dipahami, 4T ini selalu “berdiri” berdampingan. Refleksi
tentang salah satu T tidak pernah terlepas dari refleksi tentang T yang
lain.
Tinu, secara singkat ini berarti memelihara. Namun,
sesungguhnya, maknanya lebih dari sekadar memelihara. Kata ini biasa
dipahami dalam konteks orang tua memelihara anaknya. Orang yang dewasa
memelihara anak-anak muda generasi penerus.
Tinu dengan
demikian dekat dengan pemaknaan jasmaniah. Misalnya orang tua memberikan
pemeliharaan kepada anaknya dengan menyediakan kebutuhan hidupnya.
Jika kita menelisik lebih jauh, ternyata pemeliharaan jasmaniah, yang tersembul dari kata
tinu
tidak hanya berhenti di situ. Artinya, makna pemeliharaan itu
sungguh-sungguh mencuatkan nilai humanitas yang tinggi. Tindakan
memelihara dalam refleksi filosofis orang Manggarai lahir
sungguh-sungguh dari penghargaan akan kodrat kemanusiaan. Manusia lain
bagiku, dengan demikian, adalah dia yang perlu kupelihara. Bahkan
niscaya kupelihara. Itu adalah tugas kemanusiaan atau panggilan
kemanusiaan yang diemban oleh para orang tua, maupun juga para tua-tua
adat.
Hal ini terbukti dari usaha yang keras dari setiap orang tua untuk
bekerja keras agar dapat memberi pemeliharaan terhadap anak mereka.
Bukan hanya itu, bila sebuah keluarga dari sebuah kampung sedang
kehabisan beras atau sedang membutuhkan pinjaman, hal tersebut dengan
sendirinya menggerakkan orang-orang untuk bergerak, dan memberi, meski
sedikit. Di sini jugalah sebenarnya arti
tinu itu
berada. Semiskin-miskinnya orang Manggarai, mereka tidak pernah
menelantarkan anaknya atau tetangganya tanpa diberi (bantuan) makanan
dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Di sinilah nilai penghargaan akan
kemanusiaan itu mendapat maknanya yang luar biasa tinggi. Bandingkan
saja dengan realitas zaman ini, terutama di kota besar. Rasa kepedulian
dan tanggungjawab pemeliharaan seperti ini amat kurang. Orang menjadi
sedemikian individual, dan berpikir bahwa, segalanya adalah untuk aku,
dan aku adalah aku, kamu adalah kamu; kita berbeda.
Kedua, toing. Secara singkat,
toing bermaksud menasihati, memberitahu.
Toing
jelas merupakan tindakan kepedulian. Artinya dengan menasihati orang
lain, aku peduli dengan keadaannya dan aku ingin dia menjadi lebih baik
dan memiliki kebaikan itu dalam dirinya.
Dalam kearifan lokal Manggarai, jelas orang tua yang biasa melakukan
ini; juga seorang kakak kepada seorang adik. Tindakan memberi nasihat,
memberitahu sesuatu tentang kehidupan seseorang agar dia menjadi lebih
baik, jelas menampakkan wajah manusia-manusia yang punya hati untuk
orang lain. Artinya bahwa dalam kebersamaan itu, “aku” tidak hanya hadir
sebagai diriku yang berbeda dengan dirimu tetapi “aku” hadir sebagai
bagian dari dirimu dan dirimu sebagai bagian dari diriku. Sehingga hal
yang tidak patut bagiku perlu kau nasihati, sebaliknya apa yang tidak
patut bagimu perlu kunasihati.
Di sini tindakan nasehat tidak hanya berhenti pada mengingatkan dan
mewariskan nilai moral tetapi juga menampakkan bahwa “aku” dan “dia”
ada. Ketika dalam kebersamaan itu ada relasi saling menasihati dengan
tujuan kebaikan, di situlah makna kehadiran dan ke-ada-an itu mendapat
maknanya yang luar biasa. Seorang yang angkuh-sombong misalnya jatuh
miskin. Dan banyak orang yang mengumpat dan mengutuknya. Yang perlu
disesalkan di sini adalah bukan karena kutukan dan umpatan itu, tetapi
pertanyaan retoris, di manakah kalian saat kalian tahu bahwa jalan
hidupku ini tak benar. Dimanakah orang lain itu saat jalannya sesat
untuk sekadar memberi peringatan dan nasihat? Di situlah tindakan
menasihati itu menampakkan kehadiran orang. Dia menampilkan wajah. Dan
hidup bersama tanpa kepedulian dan saling nasihat tidak lain daripada
sekumpulan hewan.
Ketiga, Titong. Arti sederhana dari
Titong adalah mengarahkan atau menuntun ke hal-hal yang baik. Ada perbedaan dengan
toing. Toing lebih memaksudkan ucapan verbal, artinya tuntunan atau nasihat melalui omongan, ucapan, kata-kata bijaksana. Namun,
Titong lebih kepada relasi ketergantungan. Artinya di sana ada dua pelaku. Yang mengarahkan dan yang diarahkan. Kalau dalam
toing titik berat refleksi adalah orang yang menasihati dan motivasi nasihatnya, tapi, dalam
titong titik berat refleksinya pada kedua-duanya.
Titong
akan berhasil jika keduanya “bergerak” artinya mau diarahkan dan mau
memberi teladan dan tuntunan. Di sini bukan saja ucapan verbal, tapi
juga teladan hidup. Saya juga menambahkan belaskasihan dan kepedulian.
Satu lagi yang sungguh menurut saya ada dalam
titong
ini bahwa Tuhan Allah (Mori Kraeng) dikatakan sebagai Dia yang
mengarahkan hidup manusia. Sehingga dalam doa dan perkataan selalu
diucapkan: “
Mori, titong koe ami”. Dengan
mengucapkan ini sebenarnya manusia Manggarai menempatkan Allah sebagai
Pengarah tunggal hidup manusia. Dan lebih jauh lagi, predikat Allah
adalah Pengarah atau Penuntun. Jadi, jika seseorang mengarahkan atau
menuntun orang lain agar menjadi lebih baik, halnya menjadi begitu luar
biasa, sebab sesungguhnya orang itu telah mengambil bagian dalam
tindakan Allah. Dan bisa dikatakan bahwa tuntunan atau arahan Allah itu
diwujudkan dalam tuntunan dan arahan orang lain kepada saya dan saya
kepada orang lain. Di sini makna
titong begitu menemukan kedalaman refleksinya tatkala dia ditenggelamkan dalam tindakan ke-Allah-an.
Keempat, teing. Arti sederhana dari
teing
adalah memberi atau menyerahkan. Arti ini bisa menunjuk pada pemberian
hal jasmani, maupun rohani. Tindakan memberi ini dalam refleksi
filosofis orang Manggarai memiliki makna yang dalam. Pertama, bahwa
tindakan memberi merupakan tindakan yang pasti dalam kebersamaan.
Artinya kebersamaan tanpa saling memberi dan membagi bukanlah
kebersamaan. Kedua, tindakan memberi merupakan tindakan mulia. Dan
orang-orang dihargai bukan karena jabatannya, namun karena kemurahannya
dalam memberi. Namun, tidak boleh dianggap bahwa penghargaan terhadap
seseorang itu merupakan balasan dari tindakannya memberi. Justru
penghargaan itu memiliki alasannya yang paling rasional dan mutlak olah
tindakannya memberi. Memberi di sini jelas dalam artian tindakan tulus
untuk membantu yang kekurangan.
Makna kata
teing memiliki nilai metafisis dalam artian tindakan yang melampaui keterbatasan kodrat ketika dimaknai dalam upacara
Teing hang
(memberi sesaji kepada leluhur). Ketika upacara ini dilakukan, yang
sebenarnya terjadi adalah bahwa tindakan memberi itu telah menjembatani
jurang abadi antara dua dunia. Artinya jurang dua dunia itu terseberangi
oleh tindakan kasih yang mewujud dalam tindakan memberi.
Keempat T tersebut,
pertama, hadir dalam refleksi
orang Manggarai secara utuh. Keempatnya direfleksikan begitu menyatu.
Dalam memberi ada nilai tuntunan, ada tindakan pemeliharaan. Dan bisa
saja dibuat jejeran panjang contoh tentang bagaimana keempatnya berpadu
dalam tindakan salah satu dari keempatnya itu.
Kedua, bahwa
dari kearifan lokal Manggarai tersembul kuat keyakinan bahwa aku dan
engkau bukan sekadar manusia, tapi manusiawi. Kemanusiawian kita
terletak pada pemaknaan kita akan kemanusiaan kita dan kemanusiaan orang
lain. Ketika saya bertindak terhadap orang lain karena dia adalah
manusia yang sama seperti saya.
Dari kearifan lokal tersebut terlihat bahwa refleksi filosofis orang
Manggarai, mulai dari para leluhur hingga orang-orang zaman sekarang
begitu dalam dan luas maknanya. Jelas memang refleksinya berkembang
terus. Selain berkembang, nilai-nilai dasar humanis ini juga kadang
terseret oleh arus individualisme pada zaman yang membuat dunia yang
mahaluas ini menjadi hanya sebuah ‘kampung kecil’. Ada tantangan dari
luar, ketika nilai-nilai itu mendesak nilai-nilai lokal. Ada banyak
budaya yang telah terseret, dan jatuh. Ada banyak budaya yang telah
kehilangan “harga dirinya” karena semakin hari semakin mencintai apa pun
yang muncul dan datang dari Barat yang katanya “ras istimewa”.
Ada juga tantangan dari dalam, ketika nilai-nilai itu tidak
diwariskan secara kuat, maka, dia akan cepat “tercerabut” dan akhirnya
justru para generasi muda dan penerus itulah yang akan menolak
mempertahankan budaya yang dianggapnya kuno, lalu beralih pada budaya
dari luar. Maka, bagi saya, Ide merefleksikan kembali nilai budaya ini
merupakan ide yang bukan sekadar ide, tetapi dihidupkan dalam ruang
hidup.
Rikardus Keraf Basukur adalah calon imam SMM. Ia berasal dari Manggarai.
OLE, NEKA RABO TA!
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Setiap
bangsa dan suku bangsa di dunia ini mempunyai cara dan keunikan
tersendiri dalam cara dan pola bertutur dan berkomunikasi mereka. Jika
kita berjalan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, maka kita akan
dengan sangat mudah menemukan dan menyadari hal-hal unik seperti itu
dalam berexpresi dan dalam berkomunikasi. Orang Jawa berbeda cara
komunikasi dirinya dari orang Batak, orang Bali berbeda cara expresi
verbal dirinya dari orang Flores. Bahkan di antara orang-orang Flores
sendiripun terdapat pelbagai macam perbedaan dan keragaman. Demikian
juga halnya dengan orang-orang Manggarai; kelompok suku bangsa ini pun
mempunyai keunikan dalam pola bertutur dan berkomunikasi mereka.
Tentu
ada sangat banyak keunikan dalam cara bertutur orang Manggarai. Tetapi
dalam tulisan ini saya hanya mau memusatkan pada salah satu expresi
saja. Apa yang saya maksudkan ialah kenyataan berikut ini: Orang
Manggarai sering sekali memakai ungkapan “neka rabo” untuk
mengawali hampir semua pembicaraan atau penuturan mereka apalagi jika
berhadapan dengan orang yang baru dikenal, yang baru datang ke dalam
komunitas mereka. Seakan-akan tidak ada expresi verbal yang luput dari
ungkapan tsb. Ungkapan itu seakan-akan melekat kuat pada bibir dan lidah
kita orang-orang Manggarai, sehingga setiap saat bisa terlontar begitu
saja dari mulut kita. Bagi orang-orang Manggarai sendiri mungkin hal itu
sama sekali tidak terasa aneh. Tetapi untuk orang-orang yang bukan
Manggarai, yang kebetulan datang ke Manggarai atau menjadi suami atau
isteri orang Manggarai, hal itu langsung terasa aneh sekaligus menarik
juga. Atau setidak-tidaknya terasa lain sama sekali jika dibandingkan
dengan apa yang mereka alami dalam konteks praksis bertutur yang lain.
Mereka akan langsung merasakan bahwa kehadiran ungkapan “neka rabo” itu
terasa sangat kuat dan mencolok dalam konteks praksis bertutur orang
Manggarai. Sedikit-sedikit, orang Manggarai akan berkata, “ole, neka
rabo e....,” baru sesudah itu dilanjutkan dengan wacana yang lain. Yang
lebih menarik lagi ialah ketika kita berhadapan dengan orang yang kita
tahu bukan berasal dari Manggarai, maka kita menerjemahkan saja secara
harfiah ungkapan Neka Rabo itu, dengan ungkapan “Jangan marah.” Bagi
kita orang Manggarai, tidak ada yang aneh. Tetapi bagi orang luar yang
mendengarnya, terasa lain dan unik, bahkan aneh juga. Mari kita lihat
ilustrasi berikut ini.
Hal itulah yang sangat dirasakan
oleh isteri saya ketika datang ke Manggarai bulan Agustus dan Oktober
2013 silam. Tentu ini bukanlah kunjungan dia yang pertama ke Manggarai.
Ini kunjungan dia yang keempat kalinya. Ia sendiri berasal dari Kampung
Sawah, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Ketika di kampung Dempol kemarin
isteri saya bertanya kepada saya apa arti ungkapan “neka rabo”? Saya
mengatakan bahwa secara harfiah artinya “jangan marah.” Jawaban itu
tentu secara spontan memunculkan pertanyaan lain berikut ini dari dia:
mengapa mesti begitu? Lalu ia mengatakan sbb: “Kan saya tidak sedang
marah-marah tetapi kok diminta agar tidak marah?” Pertanyaan ini
mencerminkan fakta bahwa memang ada sesuatu yang unik dan menarik dengan
pola bertutur dan berkomunikasi seperti itu. Dengan kata lain di balik
pertanyaan itu, tersirat suatu pertanyaan yang jelas berikut ini:
mengapa orang Manggarai selalu mengawali pembicaraan mereka dengan
ungkapan seperti itu? Tentu ada cara berpikir tertentu yang
melatar-belakangi model komunikasi dan model cara bertutur seperti itu.
Dalam tulisan ini saya mencoba menjawab pertanyaan itu. Saya akan
mencoba mencari tahu jawaban dan cara berpikir itu dengan para tetua di
Manggarai. Sampai saat ini saya masih mencari penjelasan atas gejala
berbahasa dan berkomunikasi seperti itu.
Diskusi singkat
dengan isteri saya di atas tadi serta-merta mengingatkan saya akan
diskusi dan pertanyaan yang serupa dari suster Lisbeth CB kepada saya
ketika kami sama-sama belajar teologi di Belanda dulu. Beberapa tahun
lamanya suster Lisbeth bekerja di Ruteng lalu di sana ia berjumpa dengan
model bertutur kata dan berkomunikasi seperti itu. Bagi dia, seperti
halnya bagi isteri saya, hal itu terasa aneh sekali. Seperti halnya
istri saya, ia juga bertanya, saya tidak marah tetapi diminta untuk
tidak marah, neka rabo. Mengapa begitu? Berikut ini adalah beberapa
jawaban atau penjelasan hipotesis saya sendiri yang masih harus diuji
dalam riset di lapangan.
Pertama, mungkin hal itu
disebabkan oleh adanya satu pandangan filosofis tertentu di kalangan
orang-orang Manggarai, yaitu bahwa bagi orang Manggarai komunikasi
verbal itu sangat rentan (vulnerable), amat mudah menimbulkan
salah paham atau sangat mudah disalah-artikan. Sebelum salah paham itu
terlanjur menyakiti perasaan orang lain (mitra komunikasi) maka harus
didahului dengan permintaan agar tidak marah, neka rabo. Jadi, pemakaian
ungkapan "neka rabo" itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya salah
paham dalam komunikasi antar manusia. Memang komunikasi antar manusia
itu amat rapuh, mudah sekali menjadi rusak justru oleh kata-kata dan
perbuatan kita sendiri juga. Apalagi jika komunikasi itu terjadi antara
dua kubu yang berbeda status dan kelas sosialnya. Misalnya antara guru
dan murid, antara ro'eng (rakyat apalagi rakyat jelata, sebab pejabat hanya suka pada rakyat jelita) dan pejabat. Atau jika komunikasi itu terjadi di antara dua komunitas yang mempunyai sejarah “salah paham” yang panjang.
Kedua,
mungkin model komunikasi verbal seperti itu adalah sisa-sisa dari
sejarah feodalisme Manggarai dulu di mana orang harus menyajikan upeti
yang terbaik kepada para penguasa. Agar penguasa tersebut tidak marah
atau kecewa maka terlebih dahulu diminta maaf, neka rabo. Lalu perilaku
dan pola komunikasi seperti itu mengendap dan menjadi pola perilaku
sosial komunal. Misalnya, ketika orang mempersembahkan hasil bumi kepada
raja; agar raja itu tidak kecewa atau marah dengan mutu dan jumlah
persembahan tersebut, maka secara aktif rakyat meminta dengan sangat
agar dia tidak marah, neka rabo. Lama kelamaan pola komunikasi verbal
yang semula serba terbatas akhirnya menjadi pola relasi verbal
masyarakat secara luas juga. Jika penjelasan ini benar maka ungkapan
“neka rabo” itu merupakan endapan dari tahap feodalisme dalam sejarah
Manggarai. (Mungkin akan ada yang bertanya secara kritis: apakah memang
benar Manggarai sudah bebas dari feodalisme? Ini sebuah pertanyaan besar
yang tidak mungkin untuk dibahas dalam sebuah artikel yang ringan dan
sederhana ini).
Penjelasan ketiga juga bisa masuk akal:
ungkapan “neka rabo” itu hanyalah sebuah “excuse” saja, misalnya seperti
ungkapan “sorry” dalam bahasa Inggris atau “maaf” dalam bahasa
Indonesia. Sangat sering kita dengar orang mengawali tutur katanya dalam
komunikasi sosial inter personal dengan ungkapan maaf atau sorry tadi.
Penjelasan ini bisa masuk akal juga, sebab di Manggarai selain ungkapan
“neka rabo” itu sesungguhnya masih ada ungkapan excuse yang
lain. Misalnya: “besung laing dite ga,” atau “eta keta ulu ise....,”
atau “neka denge le dewa gong,” atau “neka denge lise,” atau ungkapan
lain seperti “tadu kaut tilu dise....dst.dst....” Jadi ungkapan “neka
rabo” itu mempunyai fungsi excuse seperti itu saja. Tidak lebih
dari itu. Jadi, ungkapan neka rabo itu hanya salah satu saja dari
pelbagai macam excuse yang ada dalam kosa kata komunikasi verbal
Manggarai.
Biarpun dengan tiga butir penjelasan seperti
ini, tetaplah tinggal fakta bahwa gejala pola bertutur seperti itu tetap
terasa unik dan menimbulkan pertanyaan dalam diri orang-orang yang
bukan Manggarai yang kebetulan berkomunikasi dengan kita. Hal yang jauh
lebih menarik lagi ialah bahwa bahkan ketika kita berbicara bahasa
Indonesia pun, kita hampir secara tidak sadar menerjemahkan ungkapan
“neka rabo” tadi ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu terjadi tidak hanya
di Manggarai melainkan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia,
seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Jadi, biarpun kita ini sudah
jauh dari Manggarai dalam artian physical space, namun ternyata keManggaraian itu tetap hadir dan mempengaruhi kita cara bertutur kita. Ia hadir sebagai spiritual and virtual space.
Saya
ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan berikut ini: Jangan marah,
mungkin tulisan saya ini tidak seluruhnya benar. (Neka rabo e, am toe
benarn sanggen taung apa ata poli tulis daku ho’o). Ataukah mungkin
masih ada penjelasan yang lain dari anda para pembaca Manggarai? Atau
para pembaca non Manggarai, mungkin anda menemukan fenomena seperti itu
juga di sekitar anda? Mari kita saling memperkaya dengan sharing dan
informasi kita. Memang tentang hal ini masih harus dicari dan digali
lagi nanti. Itu niat yang saya ungkapkan kepada diri saya sendiri.
Yogyakarta, 02 September 2013