Kamis, 22 Juni 2023

Ensiklopedi Manggarai (Kata Pengantar)

 

Ensiklopedi Manggarai (Kata Pengantar)

https://www.suluhdesa.com/budaya/5489233060/ensiklopedi-manggarai-kata-pengantar

Penulis: Bernard Raho (IFTK Ledalero - Maumere)

 

 

"Judul-judul ini diambil dari doa dan harapan orang-orang Manggarai untuk memperoleh kesehatan, kesuburan, kesejahteraan rohani dan jasmani, keberhasilan dalam hidup, dan kebahagiaan. Mudah-mudahan beberapa catatan pengantar ini berguna bagi para pembaca untuk menjelajahi isi Ensiklopedi ini."

 

 

SuluhDesa.com | Nama Manggarai yang digunakan dalam judul Ensiklopedi ini merujuk pada kelompok etnis yang mendiami wilayah yang terbentang dari Selat Sape di bagian barat dan Wae Mokel di sebelah timur.

Sebagai satu kelompok etnis suku bangsa Manggarai merupakan satu kolektivitas yang bisa dibedakan dari suku-suku lain di Flores karena memiliki ciri-ciri budaya berbeda yang diwariskan secara turun-tumurun.

Ensiklopedi ini diberi judul Manggarai karena di dalamnya terkandung ribuan entri tentang kebudayaan Manggarai yakni kebiasaan-kebiasaan, tradisi perkawinan dan hidup berkeluarga, ritus-ritus kelahiran sampai kematian, dan folklor tentang Manggarai. Selain itu Ensiklopedi ini juga memuat entri tentang flora dan fauna serta tentang alam Manggarai.

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Sedangkan flora, fauna, dan alam merupakan anugerah yang terberi oleh Allah Pencipta. Tetapi sikap atau kepercayaan manusia terhadap flora, fauna, dan alam itu adalah bagian dari kebudayaan.

 

Dalam kepercayaan orang Manggarai, manusia sebagai pencipta kebudayaan tidak cuma berhubungan dengan kebudayaan yang diciptakannya melainkan juga mempunyai hubungan persaudaraan dengan tumbuhan (flora) dan binatang (fauna).

Di satu pihak, manusia berasal dari tumbuhan tetapi di pihak lain, tumbuhan dan hewan juga juga berasal dari manusia. Hal itu dapat ditunjukkan oleh sebuah mitologi tentang asal-usul kehidupan menurut orang-orang Manggarai sebagaimana dikisahkan berikut ini:

Pada awal mula, di bumi ini belum ada apa-apanya. Karena itu orang Manggarai menyebut bumi dengan sebutan tana lino yang berarti tanah atau bumi yang kosong (empty world).

Seturut mitologi itu manusia merupakan hasil perkawinan antara langit (Amѐ/Ema Ĕta) dan bumi (Inѐ/Ende Wa) yang tercipta melalui sinar matahari yang memancarkan sinarnya ke arah rumpun bambu di atas sebuah gunung dan dari rumpun bambu itu keluarlah dua orang manusia (bo one mai belang) yakni seorang laki-laki dan perempuan.

Kedua orang itu manjadikan buah-buahan di hutan sebagai makanan dan mengenakan kulit kayu Lale (Artocarpus Elastica) sebagai pakaian. Mereka menggosok belahan bambu kering untuk membuat api yang lazim disebut pande kѐlo api.

Kemudian kedua orang itu kawin dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika anak itu berumur kurang lebih lima tahun ayah anak itu bermimpi. Dalam mimpi itu muncullah seorang tua yang menyuruh ayah anak itu untuk membunuh anaknya sendiri.

Orang tua itu memperkenalkan diri sebagai Morin agu Ngaran (Pemilik) atau Jari agu Dedek (Pencipta), yang tidak lain adalah sebutan untuk Wujud Tertinggi bagi orang Manggarai.

 

Ayah anak itu disuruh untuk menyiapkan sebuah ladang supaya ditanami tanaman-tanaman. Setelah ladang disiapkan, Morin agu Ngaran memerintahkan sang ayah untuk membunuh anak dan memotong-motong daging anak itu lalu disiram di seluruh kebun yang telah disiapkan.

Dengan membohongi sang isteri, ayah anak itu akhirnya membunuh puteranya sendiri. Dia mengambil darah dan daging anak itu untuk disiram di seluruh kebun yang telah disiapkan. Kemudian dia kembali ke rumah dan menceritakan isterinya bahwa anak mereka diculik oleh roh-roh jahat.

Tiga hari kemudian darah dan daging anak itu bertumbuh menjadi padi, jagung, mentimun, kestela, dan semua tanaman yang bisa dimakan. Beberapa bulan kemudian ayah itu kembali ke kebun dan melihat bahwa darah dan daging yang disiramnya telah berubah menjadi tanaman-taman itu dan sudah mulai berbuah.

Dia pun mulai memetik salah satu buah tanaman itu yakni jagung. Ketika jagung itu sudah berisi, tidak ada suara keluar dari pohonnya. Tetapi ketika jagung yang akan dipetik belum berisi tiba-tiba pohon jagung itu berkata: “Ema… Aku hoo (Bapa, ini adalah saya”.

Demikianpun pun ketika dia mendekati buah-buah lainnya. Ayah itu terkejut karena ternyata semua tanaman yang ada dalam kebun itu adalah darah dan daging anaknya sendiri. Dia pun memetik jagung yang sudah berisi dan membawanya ke rumah untuk dimakan.

Ketika isterinya bertanya tentang jagung-jagung itu, suaminya menceritakan semuanya apa yang telah terjadi. Pada mulanya mereka menangis, tetapi kemudian senang juga karena mereka telah memiliki sesuatu untuk dimakan.

Selain tanam-tanaman untuk dimakan dari darah dan daging anak itu mucul juga bermacam-macam hewan yang dipelihara manusia seperti kerbau, kuda, kambing, dan ayam.

Mitologi yang diceritakan dengan versi yang berbeda-beda ini di seluruh wilayah Manggarai menggaris-bawahi satu prinsip fundamental dalam kehidupan orang Manggarai yakni tentang pentingnya pengorbanan yakni darah yang menghasilkan kehidupan. Darah adalah simbol pengorbanan.

Hidup lahir dari pengorbanan. Anak dalam cerita tadi berkorban supaya ayah, ibu, dan adik-adik yang lahir sesudah dia bisa hidup melalui dirinya yang sudah menjelma dalam bentuk padi, jagung, ubi dan bahan-bahan makanan lain serta hewan-hewan yang dipiara manusia.

Falsafah “hidup lahir dari pengorbanan” ini tercermin juga dalam filsafat hidup orang Manggarai: “Olo lait pait, detak nggera, tela toni dempul wuku itu po ita dia” yang berarti orang harus merasakan pahit dan asinnya hidup dan bekerja sampai punggung terbakar karena panas matahari dan kuku melepu karena mengerjakan tanah barulah seseorang bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Pengorbanan itu harus dilakukan secara terus menerus di dalam kehidupan supaya orang dapat memperoleh keberhasilan. Tetapi pengorbanan itu tidak harus dilakukan lagi dalam bentuk pengorbanan manusia melainkan hewan. Itulah sebabnya di dalam setiap ritual adat di Manggarai baik ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan mulai dari ketika anak berada dalam kandungan ibu sampai dengan kematian maupun dalam ritus berladang mulai dengan pembukaan kebun baru sampai dengan ritual penti dan ritus-ritus lainnya harus selalu ada darah yang ditumpahkan.

Dengan kata lain pada setiap ritual adat di Manggarai pasti ada hewan yang dikorbankan. Tujuan dari ritual-ritual itu adalah untuk memperoleh keberhasilan, kesehatan, dan kesejahteraan. Tetapi supaya tujuan ritual-ritual adat itu tercapai maka darah harus ditumpahkan karena ada kepercayaan bahwa darah menghasilkan kehidupan.

Pada masa dulu pada pesta pembukaan kebun komunal (uma randang) yang baru diselenggarakan pentasan tarian caci.

Ada semacam kepercayaan bahwa apabila dalam permainan caci itu ada yang bekѐ atau rowa menurut dialek Kolang di mana ada darah yang keluar dari luka akibat kena pukulan, maka hal itu menunjukkan bahwa kebun baru itu akan membawa hasil berlimpah.

Alasannya adalah karena darah menghasilkan kehidupan. Tetapi apabila dalam permainan caci itu tidak ada yang bekѐ atau rowa maka hal itu merupakan pratanda bahwa kebun baru (uma randang) itu tidak akan membawa hasil berlimpah.

 

 

 

Pesan penting kedua dari mitologi tersebut di atas adalah bahwa hidup itu terinterkoneksi atau berhubungan satu sama lain.

Di satu pihak, manusia berasal dari bambu (bo one mai belang), tetapi di pihak lain tumbuh-tumbuhan seperti padi, jagung, ubi, dan lain-lain serta hewan piaraan seperti kerbau, kuda, kambing, dan ayam berasal dari manusia yakni dari darah dan daging anak yang dicincang oleh bapanya dan disiram di seluruh kebun.

Kenyataan bahwa tumbuhan seperti padi, misalnya, diperlakukan sebagai manusia sangat terasa pada waktu mengetam padi. Ketika orang mengetam padi — terutama pada masa lalu — ditemukan banyak larangan agar kanak-kanak yakni padi itu tidak ketakutan karena kalau jiwa bayi-padi padi ketakutan dan lari maka dipercayai bahwa panen akan gagal.

Orang — misalnya — tidak boleh berlaku kasar atau berteriak agar kanak-kanak padi itu tidak takut. Orang juga tidak boleh menyebut kata kerbau (kaba) dan menggantikannya dengan iko wokok (ekor pendek) agar anak itu tidak ketakutan. Orang juga tidak boleh menyebut kuda (jarang) dan menggantikannya dengan iko lewe agar anak atau padi itu tidak ketakutan.

Kenyataan bahwa manusia itu bersaudara dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan ditunjukkan juga kepercayaan terhadap totemisme. Totem adalah tumbuhan atau hewan yang dianggap sakral oleh suatu suku karena atas cara tertentu binatang atau tumbuhan totem itu berasal dari manusia atau sekurang-kurangnya pernah membantu manusia.

Ada suku yang misalnya tidak boleh makan daging babi landak karena pada masa lalu babi landak pernah menolong nenek moyang suku tersebut. Kemudian ada juga suku yang tidak boleh makan daging kera karena dipercayai bahwa kera berasal dari anak yang ngambek sebab kedua orangtuanya menolak permintaannya untuk mendapatkan makanan.

Bagi Edward Burnett Tylor dan Albertus Christian Wilkens sebagaimana dikutip oleh Bernard Raho totemisme berkaitan dengan pemujaan leluhur yang sudah menjelma ke dalam tumbuhan atau hewan.

Menurut mereka setelah seseorang meninggal, jiwanya tidak lagi kembali kepada jasadnya melainkan masuk ke dalam tumbuhan atau hewan yang kemudian menjadi binatang atau tumbuhan totem.

Karena itu hewan dan tumbuhan dipercayai sebagai penjelmaan roh-roh leluhur dan berubah menjadi sesuatu yang luhur. Di Sumatra dan Jawa atau di Timor buaya dipercayai sebagai inkarnasi jiwa para leluhur dan karena itu harus disembah dan dihormati.

Di wilayah Melanesia seseorang yang berpengaruh — pada saat ajalnya — bisa meminta supaya dia berinkarnasi menjadi binatang atau tumbuhan yang diinginkannya.

Pada masa lalu di Manggarai sebelum orang memotong kayu yang digunakan sebagai tiang utama rumah adat dibuat ritual. Kayu yang akan digunakan sebagai tiang utama itu dianggap sebagai gadis gunung (molas poco) yang biasanya diarak masuk ke kampung sebagaimana layaknya seorang isteri diarak memasuki kampung suaminya untuk pertama kalinya.

Ketika manusia memperlakukan tumbuhan atau hewan sebagai saudara maka peluang untuk terciptanya sebuah dunia yang nyaman terbuka.

Orang tidak akan memotong pohon atau memburu hewan sesuka hati karena dipercayai bahwa mereka itu adalah saudara-saudarinya. Dengan kepercayaan seperti ini ekologi terpelihara dengan baik dan pemanasan global tidak akan terjadi. Hutan akan meluas dan emisi carbon akan terserap. Mboas waѐ woang — kѐmbus wae tѐku.

****

Elemen penting lainnya dari kebudayaan - selain ritual, kebiasaan, dan kehidupan sehari-hari - adalah folklor yang merupakan salah satu entri yang paling banyak di dalam Ensiklopedi ini.

 

 

 

 

 

Kata folklor merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris folklore. Kata folklore sendiri terdiri dari dua kata yakni folk dan lore. Folk berarti kolektivitas atau sekumpulan orang yang memiliki ciri-ciri pengenal yang sama baik dari segi fisik (ras) maupun kebudayaan (etnik).

Sedangkan lore adalah tradisi yakni sebagian kebudayaan yang diwariskan turun temurun secara lisan. Berdasarkan penjelasan tersebut, folklor adalah sebagian kebudayaan satu kolektivitas atau masyarakat yang diwariskan turun temurun dalam bentuk apa saja baik secara lisan maupun dalam bentuk gerak-gerak seperti tari-tarian.

Adapun ciri-ciri folklor adalah sebagai berikut:

Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan melalui tutur kata dari mulut ke mulut. Tetapi dewasa ini sudah banyak legenda atau bentuk folklor lain seperti mite dan dongeng yang ditulis dalam bentuk buku.

Bersifat tradisional karena disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap di antara anggota-anggota masyarakat.

Folklor biasa tersebar dalam versi yang berbeda-beda karena penyebarannya dilakukan secara lisan yakni dari mulut ke mulut. Itulah sebabnya bisa terjadi tema cerita bisa satu dan sama tetapi versinya bisa berbeda-beda.

Bersifat anonim karena tidak seorang pun yang tahu nama pengarang dari ceritera tersebut. Kadang-kadang setiap penceritera bisa menambah di sini untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Folklor mempunyai kegunaan atau fungsi bagi hidup masyarakat seperti fungsi pendidikan, pelipur lara, atau sebagai bentuk protes sosial.

Folklor bersifat pralogis yakni memiliki logika tersendiri yang berbeda atau tidak sesuai dengan logika umum. Contoh di dalam dongeng, binatang bisa berbicara atau bernanyi.

Folklor biasanya menjadi milik bersama masyarakat setempat karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga semua anggota masyarakat tersebut menjadi pemiliki folklor bersangkutan.

Folklor memiliki banyak bentuk seperti bahasa rakyat, ungkapan-ungkapan tradisonal, teka-teki, sajak atau puisi rakyat, dan ceritera prosa rakyat yang substansinya dijelaskan berikut ini.

Bahasa rakyat sebagai bagian dari folklor adalah logat atau dialek. Logat atau dialek adalah cara mengucapkan kata (aksen) atau lekuk lidah yang khas menurut konteks wilayah tertentu. Misalnya, dialek orang Kempo berbeda dari dialek orang Boleng walaupun ada banyak kemiripan. Demikian pun dialek orang Kolang berbeda dari dialek orang Rego walaupun ada banyak kemiripan.

Ungkapan-ungkapan tradisional adalah peribahasa-peribahasa yang mengandung pesan-pesan tertentu. Contoh: Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa atau pepatah mengandung arti segala sesuatu berbeda berdasarkan konteksnya.

Teka-teki adalah pertanyaan tradisional yang memiliki jawaban tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikan rupa sehingga jawabannya sulit ditemukan.

Orang memutar otak untuk mencari analogi-analogi yang mirip dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam teka-teki. Misalnya: Dua baris kuda putih berbaris di atas bukit merah. Apakah itu? Jawabannya adalah sederet gigi yang ada di atas gusi. Kuda putih adalah analogi untuk gigi, sedangkan bukit merah adalah analogi untuk gusi.

 

 

Sajak atau puisi rakyat adalah kesusteraan rakyat yang bentuknya sudah tetap dan biasanya terdiri dari beberapa kalimat.

Puisi rakyat bisa berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), teka-teki, dan kepercayaan rakyat mantra-mantra. Dalam konteks kebudayaan Manggarai sajak atau puisi rakyat itu bisa ditemukan dalam doa-doa torok di dalam berbagai ritual adat.

Ceritera prosa rakyat: Ceritera prosa rakyat mengambil bermacam-macam bentuk seperti ceritera tentang perjuangan tokoh-tokoh yang akhirnya mencapai kebahagiaan setelah mengalami banya kesulitan; legenda yakni ceritera-ceritera yang berusaha menjelaskan asal-usul tempat tertentu, nama, atau benda-benda tertentu; epos yakni ceritera-ceritera kepahlawanan, perjuangan, dan keberanian; fabel yakni ceritera tentang binatang-binatang di mana mereka bisa bertingkah-laku dan berinterkasi dengan manusia; mite yakni ceritera tentang sihir, setan, arwah atau hantu.

Tetapi menurut William R. Balcom, sebagaimana dijelaskan oleh James Danandjaja, ceritera rakyat umumnya dikelompokkan atas tiga saja yakni mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale).

Mite adalah ceritera rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh tokoh yang empunya cerita. Mite biasa ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa dan terjadi di dunia yang lain sama sekali. Peristiwa yang diceriterakan terjadi di dunia lain atau bukan seperti yang dikenal sekarang dan terjadi jauh di masa lampau.

Mite umumnya mengisahkan asal-usul alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya perkawinan, kematian, atau bentuk topografi tertentu. Contohnya adalah ceritera tentang asal-usul kehidupan menurut orang Manggarai sebagaimana telah diceritakan dalam bagian terdahulu.

Dongeng adalah ceritera prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang empunya ceritera dan dongeng tidak terikat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, dongeng diartikan sebagai ceritera yang dikarang-karang saja.

Ceritera dongeng merupakan cerita fiksi dan bersifat metaforis. Umumnya ceritera-ceritera dongeng tidak masuk akal, misalnya, binatang bisa berbicara atau bertingkah laku seperti manusia.

Tujuan dari ceritera dongeng adalah untuk memberikan hiburan atau sindiran kepada anggota masyarakat. Salah satu contoh dari cerita dongeng adalah ceritera binatang atau fabel di dalamnya binatang bisa bertingkah laku seperti manusia.

Jenis terakhir dari ceritera prosa rakyat adalah legenda. Legenda adalah ceritera-ceritera semi-historis yang biasanya dianggap mempunyai hubungan dengan masa lampau dari sebuah suku atau kolektivitas.

Pada masa lampau atau bahkan sampai saat ini ada banyak cerita legenda yang tidak tertulis dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi serta sering kali dianggap oleh banyak orang sebagai benar-benar terjadi. Legenda umumnya berbeda dari mite karena di dalam mite tokoh-tokohnya dianggap suci, sedangkan tokoh-tokoh di dalam legenda adalah orang-orang biasa.

Legenda bersifat migratoris dalam pengertian bahwa dia seolah-olah bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena legenda terkenal luas di daerah yang berbeda-beda. Kisah yang sama atau mirip bisa ditemukan pada tempat yang berbeda-beda untuk lokasi yang berbeda-beda pula.

Menurut ahli folklor Amerika Serikat Allan Dundes sebagaimana dijelaskan oleh Ensiklopedia Nasional Indonesia, legenda di setiap kebudayaan jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang mite atau dongeng.

Alasannya adalah kalau mite mempunyai tipe cerita dasar yang terbatas seperti asal-usulnya roh-roh halus atau asal-usulnya kehidupan, maka legenda mempunyai tipe ceritera yang tidak terbatas.

Hal ini khususnya berlaku untuk legenda-legenda setempat. Setiap kampung mungkin mempunyai legenda tentang asal-usul berbagai tempat yang ada di wilayahnya dan karena itu kalau dikumpul-kumpulkan, jumlahnya bisa sangat banyak.

Kata folklor merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris folklore. Kata folklore sendiri terdiri dari dua kata yakni folk dan lore. Folk berarti kolektivitas atau sekumpulan orang yang memiliki ciri-ciri pengenal yang sama baik dari segi fisik (ras) maupun kebudayaan (etnik).

Sedangkan lore adalah tradisi yakni sebagian kebudayaan yang diwariskan turun temurun secara lisan. Berdasarkan penjelasan tersebut, folklor adalah sebagian kebudayaan satu kolektivitas atau masyarakat yang diwariskan turun temurun dalam bentuk apa saja baik secara lisan maupun dalam bentuk gerak-gerak seperti tari-tarian.

Adapun ciri-ciri folklor adalah sebagai berikut:

Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan melalui tutur kata dari mulut ke mulut. Tetapi dewasa ini sudah banyak legenda atau bentuk folklor lain seperti mite dan dongeng yang ditulis dalam bentuk buku.

Bersifat tradisional karena disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap di antara anggota-anggota masyarakat.

Folklor biasa tersebar dalam versi yang berbeda-beda karena penyebarannya dilakukan secara lisan yakni dari mulut ke mulut. Itulah sebabnya bisa terjadi tema cerita bisa satu dan sama tetapi versinya bisa berbeda-beda.

 

 

 

 

Peristiwa itu terjadi kira-kira jam 10.00 atau 11.00 pagi ketika kami semua masih berada di dalam kelas. Tiba-tiba langit menjadi mendung dan gelap tetapi tidak ada hujan. Karena hari semakin gelap, maka guru-guru memulangkan kami ke rumah masing-masing.

Setiba di rumah situasi menjadi malam gelap dan tinggal saja di dalam rumah. Pada waktu tidak ada orang yang bisa menjelaskan apa yang terjadi sehingga kami tinggal dalam kecemasan dan ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi.

Ada seorang kakak yang coba menjelaskan bahwa itu adalah gerhana matahari, tetapi tidak ada yang paham apa artinya gerhana matahari. Satu-satunya interpretasi yang bisa diterima akal sehat waktu itu adalah bahwa dunia akan kiamat.

Karena dunia akan kiamat, maka banyak orang yang menangis dan membunuh beberapa hewan untuk makan perpisahan. Setelah tinggal dalam kegelapan dan ketidak pastian, tiba-tiba dunia menjadi terang kembali sekitar jam tiga sore. Pada waktu keluar rumah, kami melihat pohon-pohon dan tanah dipenuhi dengan abu yang berasal dari gunung api.

Kisah itu menunjukkan bahwa betapa susahnya kalau orang tidak bisa menjelaskan sebuah peristiwa atau kejadian yang tengah dialami.

Dalam masyarakat sederhana, orang menggunakan bermacam-macam cara untuk menjelaskan sesuatu (gempa bumi, misalnya) agar sesuatu (gempa bumi itu) bisa dipahami atau intelligible sehingga mereka bisa hidup di dalam keseimbangan.

Dalam tahap teologis yakni salah tahap dari tahap-tahap perkembangan intelektual manusia menurut Auguste Comte (1798-1853), manusia menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya secara teologis atau mengaitkannya dengan kekuatan dewa-dewi atau theos (tuhan). Misalnya, gempa bumi ditafsirkan atau dijelaskan sebagai cara dewa mencaritahu entah di bumi masih ada manusia atau tidak. Karena itu, apabila gempa bumi terjadi, maka orang-orang berteriak: “Kami ada, kami ada!”.

Pada umumnya setelah berteriak demikian, gempa bumi berhenti karena memang gempa bumi biasanya tidak berlangsung lama. Dengan begitu keyakinan mereka diperkuat atau diteguhkan bahwa melalui gempa bumi dewa-dewi mencari tahu apakah di bumi masih ada penduduk atau tidak.

Akibatnya, orang-orang itu tetap hidup dalam keseimbangan dan tidak merasa tertekan atau gelisah karena persoalan gempa bumi bisa dijelaskan. Hal yang sama bisa dikatakan tentang petir, hujan lebat, letusan gunung, dan lain-lain.

Masyarakat sederhana mempunyai cara tersendiri untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam yang luar biasa itu sehingga intelligible atu bisa dipahami.

Kebutuhan akan penjelasan terhadap sesuatu yang sulit dipahami adalah sangat penting agar orang bisa hidup secara normal dan tidak hidup dalam keadaan gelisah atau tertekan. Itulah sebabnya kalau ada fenomena-fenomena alam atau kejadian-kejadian luar biasa, masyarakat berusaha menjelaskannya dengan bermacam-macam cara antara lain dengan menciptakan ceritera-ceritera dalam bentuk mite atau legenda.

Mite atau legenda adalah cara atau instrumen yang digunakan oleh masyarakat untuk memaknai fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya agar bisa dipahami atau inteligigble.

Masalah pemaknaan adalah sangat penting dalam kehidupan manusia dan merupakan satu tema yang menarik dalam teori interaksionisme simbolik. Bahkan menurut teori interaksionisme simbolik, hal yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi adalah kemampuannya untuk memberikan makna terhadap interaksi yang dilakukannya terhadap orang-orang lain.

Tanpa kemampuan memberikan makna kepada apa yang terjadi di sekitarnya, manusia tidak lebih baik dari hewan karena hewan pada umumnya melakukan interaksi dengan melewati dua tahap saja yaki aksi dan reaksi tanpa melibat pikiran atau pemaknaan. Sebaliknya seturut interaksionisme simbolik, dalam berinteraksi manusia umumnya melewati tiga tahap yakni aksi-interpretasi dan tanggapan atau response.

Salah satu cabang dari teori interaksionisme simbolik adalah ethnometodologi. Menurut Harold Garfinkel, pencetus teori ethnometodologi, masyarakat mempunyai cara tersendiri untuk memaknai kehidupanya yang sehari-hari.

Hal yang sama berlaku untuk dongeng. Jika dibandingkan dengan legenda, dongeng juga bersifat terbatas. Alasannya adalah karena kebanyakan dongeng tetap sama dan hampir tidak ada dongeng yang baru.

Dongeng yang sama diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sedangkan di dalam legenda bisa tercipta legenda baru apabila ada tempat, kejadian, tokoh baru yang dianggap oleh masyarakat atau kelompok patut diabadikan di dalam legenda.

Legenda dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok yakni legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perorangan, dan legenda setempat. Uraian terperinci dari masing-masing legenda adalah berikut ini.

Legenda Keagamaan adalah kisah-kisah mengenai orang-orang suci atau orang-orang Kudus. Misalnya legenda tentang St. Theresia dari Avila. Seturut legenda itu, tidak ada waktu yang tidak digunakan oleh Theresia untuk berdoa, Bahkan ketika di toilet iapun berdoa. Karena itu setan menggoda Theresia dari Avila: “Ah Theresia, terlalu engkau! Mana bisa di toilet pun engkau berdoa”. Lalu Theresia menjawab: “Tidak apa-apa setan! Yang keluar dari mulut untuk Tuhan Allah, sedangkan yang keluar di belakang itu untuk engkau”.

Di dalam agama Islam juga ada banyak legenda tentang orang-orang suci.

Legenda Alam Gaib adalah kisah-kisahnya yang biasa dianggap pernah terjadi dan benar-benar dialami oleh seseorang.

Tujuan dari legenda seperti ini adalah meneguhkan kepercayaan akan suatu tahyul atau kepercayaan-kepercayaan yang telah dihidupi oleh warga masyarakat. Hal-hal yang termasuk ke dalam legenda alam gaib adalah kisah tentang makhluk gaib, hantu, siluman, gejala alam, dan tempat gaib. Contoh: Legenda tentang danau Kelimutu di Kabubapten Ende.

Legenda perorangan adalah kisah mengenai tokoh tertentu yang oleh empunya cerita (pencerita) benar-benar terjadi. Contoh dari gende perorangan dalam konteks masyarakat Manggarai adalah kisah tentang si Pondik, seorang licik dan cerdas.

Dia banyak kali mengibuli raja atau orang-orang lain dan bahkan teman-temannya.
Legenda setempat adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan nama satu tempat. Contoh dari Legenda ini adalah nama sebuah tempat di kampung Ngalo — Kolang yang bernama Molot Molah. Molot berarti terbenam atau tenggelam, sedangkan molah berarti gadis. Legenda itu berceritera tentang dua sejoli yang sepakat bertemu untuk “rono”.

Rono adalah model berpacaran orang Manggarai tempoe doeloe di mana sang gadis bertemu dengan pemuda pujaan hatinya pada tempat yang dijanjikan dan mencuci/rono rambut pemuda itu dan sebagai imbalannya pemuda memberikan oleh-oleh kepada si gadis.

Kebetulan kedua sejoli itu sepakat bertemu di suatu tempat dekat rawa-rawa. Perhatian gadis itu terpusat pada si pemuda yang sedang menunggu sehingga dia tidak sadar bahwa dia melewati rawa-rawa dan ketika berjalan di atasnya, kakinya terbenam di dalam rawa-rawa.

Dia berteriak-teriak minta tolong, tetapi tidak bisa tertolong dan akhirnya tenggelam di dalam lumpur rawa-rawa itu. Karena itu, tempat tersebut dinamakan Molot Molah yang berarti gadis tenggelam.

Tentu saja pembagian ceritera rakyat ke dalam tiga kategori yakni mite, dongeng, dan legenda merupakan tipe-tpe yang ideal. Dalam kenyataannya, ada ceritera-ceritera yang tidak bisa dimasukkan ke dalam ketiga kategori tersebut di atas sebagaimana nampak di dalam kategori terdahulu yang membagi ceritera rakyat atas ceritera tentang tokoh-tokoh tertentu, epos, fabel, legende, dan mite.

Bagaimana menginterpretasi ceritera rakyat yang terdiri dari mite, dongeng, dan legende?

Penulis teringat akan sebuah pengalaman ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada tahun 1969 terjadi letusan Gunung Ia di Ende. Abu hasil letusan gunung itu sampai ke Manggarai Barat.

Secara harafiah ethnometdologi berarti metode orang awam dalam membangun dunia sosialnya. “Ethnomethodology proposes to investigate how people (members of society) construct their world”.

Para pendukung teori ini berpendapat bahwa bukan cuma para ilmuan atau ahli yang bisa memberi arti pada apa yang terjadi di dalam masyarakat atau fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat, tetapi juga anggota masyarakat biasa bisa memberikan arti kepada dunia sosialnya.

Dalam pandangan teori ini, masyarakat sendiri dapat memaknai dunia sosialnya dengan bermacam-macam cara termasuk dengan ceritera-ceritera rakyat yang mereka ciptakan.

Oleh sebab itu mite, legenda, dongeng, atau bentuk-bentuk folklor lainnya merupakan cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk memaknai dunianya termasuk fenomena-fenomena alam yang tidak biasa agar bisa dipahami atau inteligible dan anggota masyarakat bisa hidup secara normal atau hidup di dalam keseimbangan.

*****

Mengapa ada Ensiklopedi ManggaraiEnsiklopedi Manggarai pada dasarnya disusun untuk mendokumentasikan karya anak-anak Manggarai yang tersebar di seantero jagad tentang Manggarai dan karya para misionaris terdahulu terutama yang berasal dari Pater Jilis A.J. Verheijen, SVD khususnya karya-karya yang termuat dalam Manggarai Texts yang belum sempat dipublikasikan.

Sebagai dokumentasi, ensiklopedi ini tentu mengandung banyak kekurangan yang boleh disempurnakan oleh generasi berikutnya. Karena itu langkah pertama yang diambil adalah mengumpulkan bahan-bahan yang tercecer di mana-mana dan menerbitkannya dalam bentuk buku-buku sehingga bisa digunakan oleh orang-orang berikutnya untuk studi-studi lebih lanjut dan penggunaan-penggunaan lainnya.

Sayang sekali, misalnya, kalau karya-karya dari Pater Jilis A.J. Verheijen, SVD yang belum diterbitkan hilang begitu saja.


Langkah berikut yang bisa dipikirkan adalah bagaimana menggunakan bahan-bahan yang ada di dalam Ensiklopedi ini supaya digunakan sebagai bahan dasar untuk menyusun bahan pelajaran yang bermuatan pendidikan kearifan setempat untuk tingkat SD, SMP, dan SMA di Manggarai.

Ensiklopedi ini menyiapkan bahan-bahan dasar yang cukup luas untuk menyusun kurikulum berkaitan dengan kearifan setempat. Diharapkan bahwa pendidikan yang memperhatikan kearifan setempat akan mampu menciptakan keberakaran di dalam hidup.

Kami percaya bahwa kemajuan yang dibangun di atas dasar tradisi yang berakar akan kokoh kuat sebagaimana telah ditunjukkan oleh bangsa Cina dan Jepang atau Korrea Selatan yang selain maju tetapi juga tetap kuat mempertahankan tradisinya. Mudah-mudahan Ensiklopedi ini berkontribusi dalam menciptakan keberakaran sebagai orang-orang Manggarai di tengah gempuran arus globalisasi yang tak terbendung.

Ensiklopedi Manggarai ini terdiri dari 10 jilid dan masing-masing jilid memiliki judul. Judul-judul tersebut tidak punya kaitan langsung dengan entri dalam jilid bersangkutan.

Sebaliknya judul-judul itu mengungkapkan harapan dan doa setiap orang Manggarai. Adapun pesan-pesan yang terkandung di balik judul-judul itu adalah sebagai berikut;

1. Amé Rinding Mané — Iné Rinding Wié: Secara harafiah ungkapan ini berarti bapa yang menjadi penjaga waktu senja dan ibu yang menjadi pelindung waktu malam. Tetapi ungkapan ini sesungguhnya disematkan untuk Wujud Tertinggi atau Tuhan sebagai Pelindung siang dan malam.

Ungkapan yang sama juga bisa digunakan untuk menyebut anak rona atau anak rona ulu karena menurut orang Manggarai anak rona atau anak rona ulu dipercayai sebagai Tuhan Allah yang kelihatan. Anak rona atau anak rona ulu dianggap sebagai Tuhan yang kelihatan karena mereka adalah pemberi kehidupan atau sumber ketutunan bagi suami-isteri.

Kalau sepasang suami-isteri tidak memiliki keturunan atau anak, maka dibuatlah ritus yang disebut kaér ulu waé yang bertujuan meminta kepada anak rona atau anak rona ulu untuk memberikan air kehidupan/keturunan kepada suami-isteri yang tidak punya anak itu.

2. Lalong Bakok Du Lakon - Lalong Rombéng Du Kolén: Lalong bakok berarti ayam jantan yang berwarna putih. Sedangkan lalong rombéng berarti ayam jantan yang berwarna-warni (wulu telu - tiga warna) seperti merah, hitam, dan putih. Istilah ini dikenakan untuk anak yang pergi sekolah atau pergi merantau untuk mencari rejeki.

Waktu berangkat (du lakon) dia tidak memiliki apa-apa seperti pengetahuan dan pengalaman yang dianalogikan dengan ayam putih. Diharapkan waktu kembali (du kolen) dia membawa banyak pengetahuan, banyak pengalaman, banyak kekayaan atau rejeki yang diibaratkan dengan ayam jantan yang berwarna banyak (lalong rombéng).

3. Mboas Waé Woang - Kémbus Waé Téku: Woang adalah sejenis tumbuhan yang batangnya berair dan kalau batang woang itu direndam di dalam air panas maka air itu bisa digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit dalam.

Tanaman woang biasanya tumbuh di tanah yang subur dan basah seperti di mata air. Tetapi kata woang sebetulnya berasal dari kata worang yang berarti menyiram. Mboas berarti meluap, sedangkan wae berarti air atau sungai.

Mboas wae woang berarti meluap-luaplah air yang digunakan untuk menyiram tanaman woang. Sementara itu kémbus waé téku berarti air yang ditimba berlimpah atau tumpah ruah. Kedua istilah ini lasimnya digunakan sebagai doa atau harapan agar kehidupan seseorang memiliki rejeki yang berlimpah sama seperti sumber mata air yang tidak pernah berhenti mengalir di dalam kehidupan.

4. Wake Celer Ngger Wan — Saung Bembang Ngger Ĕtan: Wake celer ngger wan, saung bembang ngger étan berarti akar tunggang yang masuk jauh ke dalam tanah sehingga kokoh dan tidak tergoyahkan.

Sedangkan saung bémbang ngger étan berarti daun rimbun yang bertumbuh ke atas dan yang memberi perlindungan kepada manusia atau makhluk lain yang bernaung di bawahnya. Istilah ini digunakan sebagai doa atau harapan agar kehidupan seseorang berakar kuat dan tidak goyah serta berkembang dan berguna bagi kehidupan diri sendiri dan orang-orang lain.

5. Kimpur Néhu Kiwung - Cimar Néhu Rimang: Kiwung adalah batang enau yang sudah tua dan sangat keras. Kimpur néhu kiwung brarti tebal dan keras seperti batang enau yang sudah tua.

Rimang berarti tulang lidi ijuk enau. Cimar néhu rimang berarti keras seperti tulang lidi ijuk dari pohon enau yang belum disadap. Guna menekankan kerasnya kiwung dan rimang, maka di wilayah Kolang ungkapan dilengkapi dengan kiwung lopo dan rimang rana sehingga menjadi kimpur néhu kiwung cama kiwung lopo dan cimar nehu rimang cama rimang rana.

Istilah lasimnya digunakan sebagai doa dan harapan agar kehidupan seseorang kokoh, kuat, tegar, teguh, sehat jiwa dan raga serta bertahan dan tidak tergoyahkan dalam menghadapi kesulitan atau tantangan di dalam hidup.

6. Kete Api One — Tela Galang Peang: Keté api oné berarti api di dalam rumah tetap hidup dan menyala. Sedangkan téla galang péang berarti palungan (wadah tempat makanan babi) di luar rumah selalu terbuka.

Istilah ini digunakan sebagai harapan atau doa agar usaha atau pekerjaan seseorang mendatangkan hasil yang berkecukupan dan hewan piaraan berkembang pesat atau tidak kena musibah. Hidup diharapkan untuk selalu sehat, makmur, dan sejahtera.

7. Wiko Le Ulun — Jengok Lau Wain: Wiko adalah sejenis tumbuhan yang memberikan keksejukan atau kesegaran. Lé ulun berarti di mata air. Sementara itu jéngok atau kaliraga adalah sejenis tumbuhan yang bertumbuh subur di sekitar aliran sungai atau rawa-rawa.

Tumbuhan ini sering digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit dalam. Istilah ini biasanya dikenakan pada iné-amé atau anak rona yang berfungsi melindungi dan menjaga kehidupan anak-anak dan cucu-cecenya serta menjadi sumber aneka rejeki kehidupan.

8. Uwa Haeng Wulang — Langkas Haeng Ntala: Uwa haéng wulang berarti bertumbuh hingga menyentuh bulan. Sedangkan langkah haéng ntala berarti menjulang tinggi sampai menyentuh bantang di langit.

Istilah sering kali digunakan sebagai nasehat untuk anak-anak atau cucu-cucu agar mereka dapat meraih cita-cita setinggi-tingginya dan mendatangkan hasil yang berguna bagi dirinya dan bagi orang-orang lain.

9. Néka Oké Kuni Agu Kalo: Kuni adalah tali pusat dan placenta yang dalam Bahasa Inggris disebut umbilical cord atau afterbirth. Kuni agu kalo adalah dua istilah yang berasal dari ritus kelahiran orang Manggarai. Apa yang terjadi pada waktu kelahiran?

Di beberapa tempat, setelah seorang anak dilahirkan tali pusat dan placenta (Kaé - kakak) dibungkus dengan pelepah pinang (lungkung) dan digantung pada batang aur (gurung) yang dipancan di belakang rumah. Di samping batang aur ditanam pohon dadap (kalo).

Aur adalah lambang kematian karena pada masa lalu orang menggunakan aur untuk menggotong jenasah ke pemakaman dan digunakan untuk menggali kubur. Sementara itu dadap (kalo) adalah lambang kehidupan karena pohon dadap gampang hidup. Karena itu sejak kelahirannya, seorang Manggarai tahu bahwa pada satu waktu anak yang dilahirkan akan mati.

Selanjutnya tali pusat dan placenta (umbilical cord) yang digantung pada aur dipercayai sebagai kakak (Kaé) dari bayi yang baru dilahirkan. Sebagaimana kakak dalam mitologi tentang asal mula kehidupan menurut orang Manggarai berkorban (dicincang) supaya adik bisa hidup, demikian juga Kaé (placenta dan tali pusat) berkorban supaya adik bisa hidup.

Karena itu hubungannya antara keduanya sangat erat. Apabila Kaé (tali pusat dan placenta) digigit semut maka adiknya yang ada di dalam rumah (bayi) pasti menangis. Itu makanya Kaé (tali pusat dan placenta) itu selalu disiram dengan air panas. Kesimpulan dari semua ini adalah bahwa setiap orang yang dilahirkan pasti memiliki Kae dan Kae itu tergantung di belakang rumah atau dikuburkan.

Neka oké kuni agu kalo berarti jangan lupa kakak-mu (tali pusat dan placenta) di kampung halaman yang selalu menantikan engkau kembali. Ingatlah bahwa dia telah berkorban supaya engkau hidup. Kuni agu kalo ini kemudian diasosiasikan dengan homeland — tanah tumpah darah. Neka oke kuni agu kalo berarti jangan melupakan tanah tumpah darahmu.

10. Uwa Gula Bok Leso: Uwa dan bok memiliki arti yang sama yakni bertumbuh. Uwa gula bok leso atau dalam dialek Kolang uwa gula bok loho berarti bertumbuh subur dan berkembang segar.

Istilah ini digunakan sebagai doa atau harapan untuk anak-anak atau orang-orang dewasa dalam berbagai ritual adat seperti upacara cear cumpe, ritual potong gigi, atau upacara perkawinan. Di dalam doa ini diharapkan seseorang bisa hidup sehat dan sejahtera secara rohani dan jasmani.

Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa judul-judul masing-masing Ensiklopedi tidak mencerminkan isi dari masing-masing buku.

Judul-judul ini diambil dari doa dan harapan orang-orang Manggarai untuk memperoleh kesehatan, kesuburan, kesejahteraan rohani dan jasmani, keberhasilan dalam hidup, dan kebahagiaan. Mudah-mudahan beberapa catatan pengantar ini berguna bagi para pembaca untuk menjelajahi isi Ensiklopedi ini. 

Daftar Pustaka

Abercombie, Nicholas et. el. Dictionary of Sociology. London: Penguinbook, 1984.
Badudu. S. dan Sutan Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Danandjaya, James. Folklore Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Grafiti Pers, 1984.
Erb, Maribeth. The Manggaraians A Guide to Traditonal Life Style. Singapore: Times
Edition Pre.Ltd., 1999.
Hynson, Helen (editor). The American Peoples Encyclopedia. New York: Grolier Incorporated, 1968.
Luruk, Klaudius Heronimus. “Penggunaan Ceritera Rakyat dalam Katekese Umat di
Manggarai “. Skripsi Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2019.
Raho, Bernard. Sosiologi, cet. 5. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.
-----------------. Sosiologi Agama. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019
-----------------. Teori Sosiologi Modern. Maumere: Penerbit Ledalero, 2020.
Ritzer, George. Contemporary Sociological Theory. New York: Mcgraw-Hill Publishing
Company, 1988.
Setiawan, Boenjamin cs. Ensiklpedia Nasional Indonesia. Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004.
Verheijen, Jilis A.J. Kamus Manggarai. S. Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1967.
https://en.wikipedia.org/wiki/Folklore_of_Indonesia#List_of_Indonesian_folklore, diakses 4 Maret 2019
www.manusialembah.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2021. Hekong, Kletus, Diskusi 21 Juni 2023. ***

________________________________________________________