Jumat, 29 Januari 2016

Legenda Loké Nggérang

Kamis, 26 Mei 2016

Sejarah Loke nggerang Versi Ndoso Asli, flores NTT

http://hagungsipri.blogspot.com/2016/05/sejarah-loke-nggerang-versi-ndoso-asli.html?m=1







Kamis, 26 Mei 2016


Sejarah Loke nggerang Versi Ndoso Asli, flores NTT



ASAL MUASAL;  LOKE NGGERANG
Aslinya dari Kampung Ndoso kec. Ndoso Kab. Mabar

(Hagung sipry , 1980, lanjut ke….2016)
Perkiraan Pada tahun 1700 an   disebuah dusun kecil bernama Ndoso, hiduplah seorang inewai Molas/gadis cantik bernama Nggérang. Dinamakan Nggerang karena kulitnya putih serta berambut pirang. Nggerang lahir sebagai hasil dari perkawinan antara kakak dan adik, alias “Jurak” sehingga dia dibuang disebuah sungai , dan informasi selanjutnya Nggerang dipelihara oleh makhluk halus, Bahasa  Manggarai “Jing /darat/kakartana” akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya .
Dugaan sementara kehidupan awal dialam bumi ini, hubungan antara manusia dengan kakartana atau Jing/Darat sangat dekat, artinya ada permasalah disuatu lokasi yang kadang-kadang benar menurut manusia tapi merupakan pelanggaran oleh darat/kakartana yang mendiami lokasi tersebut, sehingga terjadilah upacara persembahan /Takung untuk tuan tanah yang mendiami tempat tersebut, Berupa penyembelihan hewan kurban seperti ayam, kambing, bahkan kerbau, dan itu diakui keberadaan hewan tersebut atas permintaan darat atau kakartana melalui mimpi atau via  paranormal alias “ATA JINOK MATA”
Dari wawancara dengan waldus dkk asli putera Ndoso, Mei 2016,
Ayah Nggerang bernama Awang dan ibunya bernama Hendang. Hendang ibunda Nggerang, sebenarnya terjadi perkawinan yang tidak semestinya(alias JURAK) , jadi kelahiran Nggerang tidak direstui akhirnya dia semasa bayinya dibuang disebuah kali yang ada air terjunnya yang bernama “WAE NAMO” terletak antara Ndoso dengan kampong Pajo, dalam lanjutan ceriteranya anak ini dibesarkan oleh Kakartana sehingga tumbuh menjadi gadis cantik dan putih bersih, karena ke jernihannya itu sehingga orang sebut Nggera (Nggerang) , Item ini yang berbeda dengan analisis Pongkal/wontong/Rego
Dimana Awang memiliki Kebun di Pongkor rangat dan terjadi pertemuan dengan Hendang melalui pencurian tebu delapan Ambo (Rumpun)
Pada Point ini hampir sama dengan analisis Pongkal/wontong/rego Pada saat Putri Nggerang menginjak usia remaja, kecantikannya semakin terlihat dan sangat memikat banyak hati para pemuda. Karena kecantikannya yang tiada taranya itu, banyak raja raja ingin meminangnya: diantara Mori Reok atau Raja Reok dan raja Cibal.Meskipun banyak raja raja yang meminangnya yang tidak hanya kaya tapi juga berparas menawan Nggerang menolaknya tanpa syarat.Tak satupun diantaranya dapat memikat hatinya.  Bahkan raja Bima dari pulau lain yang sedang berkuasa kala itu yang terletak diujung Timur pulau Sumbawa.
Nggerang gadis cantik nan aneh ini memang memiliki sesuatu yang ajaib dalam dirinya. Ini memang sangat mungkin karena memang dia dipelihara atau dibesarkan oleh  Darat atau  kakartana
Tentang raja Bima, , konon ceritanya ia selalu melihat cahaya yang terpancar dilangit yang berasal dari daerah Manggarai.Cahaya tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggérang yang tumbuh pada punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata gung.
Sultan Bimapun mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke Manggarai yang terletak diujung barat pulau Flores guna melacak cahaya tersebut.Setelah dilacak dan yakin cahaya tersebut dimiliki oleh seorang putri cantik dan masih remaja bernama Nggérang yang tinggal di dusun Ndoso.Selanjutnya Sultan Bima mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manggarai untuk meminang putri Nggérang. Ketika Sultan Bima tiba di Ndoso, meskipun  masyarakat menerimanya dengan baik. Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya untuk meminang putri Nggérang yang cantik dan masih remaja itu, Nggerang menolaknya tanpa syarat.
Raja Bima menjadi sakit hati dan dendam kepada Nggerang Lantaran Cintanya ditolak oleh Putri Nggerang tanpa syarat. Raja Bima lalu mengancam dengan mengirimkan magic magic ke dusun Ndoso.dan sekitarnya bahkan seluruh manggarai akan ditenggelamkan oleh laut (air pasang) ini yang berbeda dengan simon samu pongkal , yang dikatakan diselimuti awan tebal kehitam-hitaman. Fenemona inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebutan rewung taki tana ,memang secara pribadi saya sebagai putera Ndoso ulasan simon samu 70 % benar dikaitkan dengan informasi kami sebagai tuan rumah atau pemilik warisan leluhur nggerang, karena sampai saat ini di ndoso dan sekitarnya selalu tiap pagi di selimuti awal tebal yang meratap diatas tanah antara 1-10 meter, biasanya berhenti dan hilang dengan sendirinya sekitar jam 9 pagi , hal ini hampir sama dengan kejadian di sekitar Trowulan Mojokerto jawa timur, yang eks istana kerajaan majapahit setiap pagi kalau lewat disitu selalu di selimuti awan tebal yang mengganggu pengguna jalan,pada akhirnya akan berdampak pada kecelakaan lalu lintas, dan jalur ini rawan dengan kecelakaan arah Surabaya-madiun
“Selanjutnya Jika Nggerang tidak juga bersedia menerima pinanganku,kata mori Dima(Raja Bima)  Laut ini tak akan berhenti.”Ancam Mori Dima.
Bagi orang setempat fenomena tacik  yang menenggelamkan  sangatlah membahayakan segala aspek kehidupan. Karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi bencana alam  seperti itu.
“ oe…Molas Nggerang tiba kaut lamaran/ terima saja lamaran itu supaya laut ini segera hilang dan kami bisa bekerja lagi seperti biasa ucap masyarakat(ase kae  ndoso sekitar ketika terjadi kejadian itu.
Namun bagi Nggerang, laut/tacik itu bukanlah apa-apanya. Di Ancaman seperti apapun tidak diperhatikan oleh Putri Nggerang hingga akhirnya raja Bima tak sabar lagi ingin membunuh Putri Nggerang.Dengan berbekal sebagai raja berkuasa atas tanah manggarai termasuk Ndoso saat itu, Sultan Bima menyuruh orang tua Nggerang membunuh Putri Nggerang dan kulitnya dibuatkan genderang.Satu genderang di bawa ke Bima dan satu genderang disimpan di Ndoso.
Bagi Orang tua Nggerang meskipun permintaan Sultan Bima tersebut terasa sangat berat.Namun, karena ini permintaan Sultan Bima yang juga sebagai Raja yang berkuasa di daerah Manggarai ketika itu, maka orang tua putri Nggérang pun tidak bisa menolak.
Berbagai usaha dilakukan oleh orang tua putri Nggérang, seperti memotong kerbau, kemudian kambing, dan kulitnya dibuatkan genderang, tetapi tidak mengeluarkan bunyi seperti yang diinginkan dan cahaya yang memancar ke langit pun tidak hilang; tetap kelihatan dari kerajaan Bima.Karena terus-menerus dipaksa oleh Sultan Bima, akhirnya pada suatu hari orang tua Nggerang yang bernama Awang mengajak putri Nggérang mencari kutu rambutnya dan Nggerang menyetujui niat ayahnya tanpa menyangka  bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Bersamaan dengan itu Awang mencabut beberapa helai rambutnya dan disimpan dalam tabung kecil, dan hal tersebut tidak menimbulkan efek atau pengaruh apa-apa. Kemudian ia mencungkil kulit emas yang berbentuk bulat sebesar mata gung dipunggungnya agar tidak memancarkan cahaya lagi, namun seketika itu putri Nggérang meninggal.(dari beberapa paragraph ini hampir sama dengan analisis pongkal dan sekitarnya).
Sadar bahwa Putrinya telah meninggal, maka Awang mencungkil sekalian kulit punggung bersama kulit emas dan kulit perutnya untuk dibuatkan genderang. Jadi, sesungguhnya ada dua gendrang yang dihasilkan dari kulit tubuh Putri Nggerang; Satu yang dibuat dari kulit emas di punggung Ngerang dikirim ke Bima.tetapi para pembawa, bukanya mereka bawa ke bima melainkan ke Sumbawa dikarenakan arus deras si selat Gili Banta. Jadi, gendrang terbuat dari kulit emas itu keberadaanya bukan di Bima melainkan di Sumbawa hingga saat ini, bahkan versi lain Genderang ini bukan di Sumbawa tetapi Di Sumba, karena derasnya Arus selat Sape yg dikenal dengan GILI BANTA , maka pembawa Genderang ini terdampar di Sumba Utara, (menurut wawancara kami dengan Agus Malano dari SUMBA memang ada genderang dari kulit manusia di sumba, tetapi dia tahu jelas asalnya…)  Sementara satunya lagi yang  terbuat dari kulit perut disimpan di Ndoso. Namun, selang beberapa hari setelah Nggerang meninggal, beberapa pemuda dari Todo dengan rombongan yang cukup banyak datang ke Ndoso meminta gendrang dari kulit Nggerang , dengan akal Licik dari orang-orang todo ketika itu, mereka memberi saran kepada Orang-orang tua di Ndoso supaya kulit alias Loke Nggerang jangan di simpan dalam rumah, kalau kulit ini disimpan dalam rumah maka akan membawa bencana bagi penghuninya bahkan seluruh kampong Ndoso, cara mereka waktu itu membawa Tuak dan minum sebanyak mungkin supaya orang-orangtua di ndoso terhanyut dalam pesta dan mabuk ,dan sebelumnya telah disuruh beberapa orang untuk memindahkan tempat penyimpanan kulit nggerang ke luar dari rumah yaitu di Liang(gua) Pongkor Rangat(hampir sama dengan Simon samu dan Nico got, versi Legenda Nggerang dkk dari Pongkal)   ketika orang-orangtua di Ndoso mabuk maka pada saat itulah digunakan oleh orang-orang todo mengambil Loke Nggerang di Liang/Pongkor rangat di bawa Lari Ke Todo.,
Selang beberapa hari Kemudian, baru orang-orangtua di Ndoso setelah pulih dari Mabuk karena diberi minuman sopi/arak/tuak  yang berlimpah oleh orang-orang todo, mereka lihat kulit nggerang di Pongkor Rangat hilang tanpa bekas, baru mereka sadar bahwa mereka tertipu oleh rayuan dan kebohongan orang-orang todo,karena itu mereka berkumpul untuk kejar /mencari ke Todo, mereka siap berperang membawa senjata tradisional ketika itu, tetapi sampai di todo lagi-lagi mereka tidak tahan terhadap strategi dari orang todo”dimana orang todo  tidak mau perang, malah mereka ajak berdamai dengan melakukan perkawinan antar suku mereka serahkan anak-anak gadis kepada orang-orang-ndoso sehingga rencana semula kesana untuk mengambil kembali Loke Nggerang , karena acara berubah menjadi acara seremonial perkawinan terpaksa yang mereka bawa pulang bukan lagi loke Nggerang tapi beberapa anak gadis Todo yang diperistrikan , wajib hukumnya kalau sudah bawa anak gadis dan melakukan perkawinan maka anak Rona harus menghormati anak wina , sehingga hubungan perkerabatan yang terjadi, dan selanjutnya, ketika itu Raja Bima mau menunjukan tempat untuk menjadi kota kerajaan di Manggarai karena ketika  mori dima berkuasa atas Tanah Manggarai alias Nuca lale ketika itu,Persyaratan oleh raja Bima, Pusat kerajaan di tanah manggarai yaitu tempat dimana  Nggerang dilahirkan, karena itu Raja Bima mengirim utusan ke Tanah manggarai, sesampai di manggarai belum sampai di ndoso dicegat oleh orang-orang todo ketika itu di sekitar werloka boleng , karena orang-orang todo ketika itu terkenal sebagai pedagang bisa dilihat sampai saat ini bapak Wajong (ayah dari Lambertus Wajong, mantan anggota DPRD Prov. Jatim dua .Periode sekaligus Ketua Fraksi Golkar DPRD Jatim, sedangkan Gaba/Tody  Wajong Kabag Intel Polda Jatim ) pak Wajong ini memiliki Perahu yang harus berlayar dari Iteng Pongkor menuju Bima Via selat sape/Gili Banta, untuk berdagang, disekitar bima dan flores ketika itu, dan konon perahunya dengan beberapa ABK terdampar di selat sape, ketika beliau pulang dari Bima untuk ambil perahu besar spt kapal kecil yang ketika itu di ambil alih hak kepemilikannya oleh orang Bugis makasar.
Utusan Raja Bima(mori dima), Karena di cegat oleh Orang-orang Todo di werloka, mereka mengatakan bahwa Loke Nggerang ada di Todo, Utusan Raja Bima bertanya lagi ada Kuburnya atau tidak? , mereka jawab ada pak, terus ada Genderang yang dibuat dari Loke Nggerang? jawab mereka ada pak, kalau begitu kalian antar kami ke tempat tersebut, maka orang-orang todo yang berdagang ke Bima ketika itu rame-rame antar Utusan Mori Dima ke Todo, 
Sesampai di todo sedapat mungkin disiapkan strategi untuk menyakinkan mori Dima , begitu utusan Mori dima sampai di todo , langsung sidak atau periksa tempat penguburan, mereka udah siap tempat kuburnya, lalu pertanyaan berikutnya mana Rambut nggerang yang begitu panjang, org todo menjawab ada pak lalu ditunjukan, terus mana Genderang dari Kulit nggerang, mereka ambil tutung dan ditunjukan kehadapan utusan raja Bima, dengan demikian maka Raja Bima melalui utusannya mengesahkan Pusat Kerajaan Nuca lale tanah manggarai di Todo , andai kan waktu itu ada orang-orang Ndoso yang berdagang dengan orang-orang Todo pasti hasilnya lain, dipastikan ketika Utusan raja Bima ke tanah Manggarai di arahkan ke tanah ndoso dan Istana Pongkor Rangat tempat pesemaian Kulit nggerang sebelum di bawa lari oleh orang Todo,dan Kubur dari nggerang pun sampai saat ini tetap ada dan terawat, di depan hulu kampong Ndoso (Watu Tere’e),  dahulu kala Watu Tere’e ini pada musim tertentu selalu ada udang kecil atau kuse Sora, yang muncul dengan sendiri dan hilang dengan sendiri. Saya belum konfirmasi lebih lanjut kepada penjaga atau pemilik rumah yang ada di sekitar pekuburan nggerang alias watu tere’e kapan munculnya udang kecil atau kuse sora tsb.
Dari Hasil uraian diatas kalau orang Ndoso ketika itu ada yang berdagang ke Bima maka sudah dapat dipastikan pusat kerjaan bukan di Negeri Todo tetapi di Istana Pongkor Rangat  alias watu tere’e di Kampung Ndoso /Dalu Ndoso,  


Versi Pongkal yang mirip sama, dengan Versi Ndoso di paragraph berikut ini,
Keberadaan legenda Nggérang, kegiatan Rutin  dilakukan Hendang sebagai seorang istri ketika tinggal bersama dengan suami dan anaknya di dusun Ndoso. selain mengurusi suami dan anaknya, juga memasak, dan Ketika Hendang pergi timba air,Nggérang yang masih bayi dijaga dan digendong bapaknya Awang. Hendang memberi pesan kepada Awang, jika anaknya menangis tidak boleh mendendangkan lagu sebagai berikut : ipung setiwu, paké sewaé, téu sa ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun). Namun ketika Hendang sedang pergi timba air di Sosa (letak sebelah selatan kampong Ndoso saat ini) yang cukup jauh dari rumah, Nggérang pun menangis. Awang berupaya menghentikan tangisan anaknya Nggérang dengan mendendangkan banyak lagu namun tidak membuat ia berhenti menangis. Banyak lagu didendangkan namun Nggérang terus dan terus menangis, dan baru berhenti menangis ketika mendendangkan lagu ipung setiwu, paké se waétéu se ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun). Lagu tersebut memang dilarang dan menjadi pantangan bagi Hendang, namun suaminya Awang tidak gubris (kembelis) sedikitpun larangan tersebut.
Sesungguhnya lagu tersebut bagi Hendang memiliki makna, ipung (ikan kecil) simbol dari Hendang, dan pake (katak) simbol dari Awang, dan teu (tebu) simbol kisah percintaan antara Hendang dengan Awang, namun suaminya Awang tidak memahami sedikitpun. Hendang melarang mendendangkan lagu tersebut, karena keduanya sudah berstatus sebagai suami-istri yang berada di tengah-tengah masyarakat manusia pada komunitas di Ndoso. Ketika Awang mendendangkan lagu tersebut, tujuannya hanya satu, agar anaknya Nggérang berhenti menangis. Namun bagi Hendang dengan mendendangkan lagu tersebut seakan-akan keduanya dipaksakan untuk kembali kepada habitannya masing-masing, dan memisahkan keduanya, tetapi Awang tidak pernah terlintas dalam bayangannya akan hal tersebut. Dengan demikian lagu tersebut merupakan simbol yang mempertemukan dan mempersatukan mereka berdua yang berasal dari alam yang berbeda namun bisa bersatu melalui perkawinan, dan simbol tersebut tidak dipahami Awang suaminya.
Lagu tersebut dilarang oleh Hendang agar ia dapat hidup dengan tenang ditengah-tengah komunitas masyarakat di Ndoso, dan secara perlahan-lahan ia melupakan asal usulnya dan berperan sebagai manusia biasa. Namun dengan mendendangkan lagu tersebut, seakan-akan mengingatkan Hendang tentang asal usulnya, dan lagu tersebut menjadi pemicu retaknya kelangsungan hidup keluarga mereka sebagai suami-istri di dusun Ndoso.
            Pelanggaran pertama, dan kedua bagi Hendang mendendangkan lagu tersebut kendatipun sudah diingatkan, namun masihdapat dimaafkan. Pelanggaran yang ketiga-kalinya justru berakibat fatal, yaitu Hendang (ibunda putri Nggérang) pergi meninggalkan Awang bersama anaknya Nggérang di dusun Ndoso untuk selamanya. Lagu yang menjadi pantangan dan tetap didendangkan untuk yang ketigakali, begitu Hendang pulang dari timba air, bambu yang berisi air diletakkan pada tempat gantungannya, dan langsung berpamitan kepada Awang. Hendang berpesan dan diiringi dengan suara isyak tangis,  sekarang tidak ada maaf lagi, kita berduaterpaksa harus berpisah, Hendang akan pulang ke rumah orang tua, dan Nggérang anakmu sebagai buah dari paca (mas kawin) atas diri saya (Hendang), harap dipelihara dengan baik. Mendengar pesan tersebut, Awang tidak bisa menjawab dan tidak berdaya, karena seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor népa (ular sawah), dan ketika di pegang sangat licin, sehingga dengan mudah ia pergi meninggalkan dusun Ndoso, untuk selamanya, karena setelah itu ia tidak pernah muncul lagi. Namun demikian Awang suaminya masih berusaha untuk membawanya kembali dan mencarinya hingga ke istana Pongkar rangat. Ketika Awang sampai di istana Pongkor rangat, yang dilihat hanyalah pongkor (batu bersusun dalam onggokan besar) yang tidak bisa dibongkar.   
            Sejak kepulangan Hendang kepada orang tuanya, maka sejak itu pula Nggérang yang masih bayi dipelihara dan dibesarkan oleh keempat kakaknya, yaitu Para saudara laki-laki, Hendang dan dua kakak wanita lainnya. Putri Nggérang makin lama makin besar menjadi seorang gadis yang sangat cantik, tidak ada tandingannya dengan gadis tercantik di dusun Ndoso dan sekitarnya ketika itu. Ketika putri Nggérang mencapai usia dewasa banyak pemuda yang tertarik kepadanya, dan ketika ia dicari oleh pemuda yang ingin melamarnya, ia berubah wujud, antara lain menjadi seekor kucing atau binatang lain atau benda lain seperti kulit pinang, sehingga sulit dijumpai (Lasa Tongong, Pongkal, 2005). Setelah putri Nggérang semakin dewasa, maka kulit emas berbentuk bulat sebesar mata gung, yang tumbuh pada punggungnya memancarkan cahaya ke langit hingga kelihatan dari kerajaan Bima. Melihat hal tersebut, Sultan Bima ingin meminangnya. Kemungkinan Sultan Bima yang meminang putri Nggérang bukan Sultan Abdul Kadim, karena ia ke Manggarai pada tahun 1760 hanya untuk suatu tugas melakukan perang dan menaklukkan Manggarai. Karena itu besar kemungkinan Sultan Abdul Hamid yang meminang putri Nggérang, karena ia ke Reo pada tahun 1792 untuk tugas pemerintahan kerajaan Bima dalam mengurusi taki (upeti).
 Karena putri Nggérang selalu menolak pinangan dari banyak pemuda termasuk  Sultan Bima, maka Awang menjadi gelisah dan takut, karena ia diancam akan dibunuh. Pesan dari Sultan Bima jika putri Nggérang menolak pinangannya maka ia harus di bunuh dan kulitnya dibuatkan genderang dan di bawa ke Bima untuk disimpan di Istana Kerajaan Bima. Untuk mengatasi kegelisahan dan ketakutan tersebut, Awang pada suatu hari memotong seekor kerbau dan kulitnya dibuatkan genderang, gunamenghapus cahaya yang memancar ke langit yang kelihatan hingga ke kerajaan Bima. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karena cahaya yang memancar ke langit tetap kelihatan dari kerajaan Bima, dan tidak menghasilkan bunyi tertentu sebagai tanda kulit putri Nggérang sudah dibuatkan genderang. Pada hari berikutnya Awang memotong seekor kambing, dan kulitnya ditempelkan pada genderang, namun bunyinya tetap tidak terdengar dari kerajaan Bima, dan cahaya yang memancar ke langit tetap kelihatan.
Ulasan ini di copy dari tulisan simon samu dkk pongkal karena kemiripan yang sama , ….Segala daya upaya telah dilakukan namun semuanya sia-sia, dan satu-satunya cara terakhir yang bisa dilakukan Awang adalah mengajak putri Nggérang untuk sighi ghutu (mencari kutu rambut). Sementara proses sighi ghutu (mencari kutu rambut) berjalan, maka pada saat yang bersamaan Awang mencabut beberapa helai rambut putri Nggérang yang panjangnya hingga betis dan disimpan dalam sebuah tabung kecil,
------------------------------------------------------------------------------------------------------Paragraph ini yang ada korelasi waktu utusan raja Bima ke todo ditanya mana rambut putri nggerang  yang panjang, orang todo ketika itu ditunjukan untuk meyakinkan mori dima, namun hal itu tidak menimbulkan dampak yang tidak merisaukan. Kemudian Awang mencungkil kulit emas yang tumbuh pada punggungnya yang memancarkan cahaya ke langit. Tujuan utama bapak Awang untuk mempertahankan putri Nggérang tetap hidup, dengan mencabut beberapa helai rambut dan selanjutnya mencungkil kulit emasnya sebagai bukti bahwa Nggérang seakan-akan sudah dibunuh, namun kenyataannya justru nyawa putri Nggérang tidak tertolong. Niat untuk menyelamatkan nyawa putriNggerang dari ancaman pembunuhan Sultan Bima malahan menjadi fatal, yaitu putri Nggérang meninggal.
Melihat kejadian tersebut, selanjutnya Awang mengambil kulit perutnya. Baik kulit emas dari punggung maupun kulit perut, masing-masing dibuatkan dua buah genderang kecil yang berbeda. Sedangkan badannya yang lain  putri Nggérang sebelum dibuatkan genderang,  dikuburkan di watu Tere’e . Genderang yang terbuat dari kulit emas kemudian dipukul, dan mengeluarkanbunyi yang bernada sebuah lagu dengan syair sebagai berikut:

                                                   5    5   5    5  /     ì   .  2      î       î   0  /

                                                  SI SIK LO KE     Nggé rang  tit... tit….


Ketika genderang dibunyikan dengan nada syair tersebut di atas, maka seketika itu hujan pelangi yang oleh sebagian besar orang ndoso sekitar bahkan manggarai disebut DIMAR (turun hujan gerimis yang disertai pantulan sinar matahari) di Istana Kerajaan Bima, dan bunyi genderang tersebut terdengar hingga ke kerajaan Bima, dan seketika itu juga cahaya yang memancar ke langit tidak kelihatan dari kerajaan Bima. Selanjutnya Sultan Bima yang merupakan cucu dari kerajaan Majapahit, baru yakin dan percaya bahwa putri Nggérang sudah meninggal.
Awang membuat dua buah genderang sesuai dengan perintah Sultan Bima, genderang yang terbuat dari kulit emas dibawa ke Sultan Bima, dan genderang yang terbuat dari kulit perut disimpan di Ndoso (Dion Pangul, Yogyakarta, 2006)Orang yang ditunjuk membawa genderang ke Sultan Bima, karena tidak dikehendaki leluhur Nggérang sebagaimana ketika ia masih hidup, dia dihadang di Selat Gili Banta yaitu selat antara pulau pulau sumbawa dan pulau Komodo flores,  sehingga tidak mampu melewati selat tersebut, sebelum masuk selat Sape. Selat Gili banta sangat terkenal dengan arusnya yang berputar keliling membentuk lingkaran yang memusat. Arus tersebut sangat kelihatan pada saat air laut surut, dan ketika air laut pasang tidak begitu kelihatan namun tetap ada arus, yang selalu ditakuti banyak orang ketika melewati selat tersebut. Karena ia tidak mampu melewati selat tersebut maka ia berbelok arah ke selatan, melalui selat sape dan akhirnya hanyut menuju ke pulau Sumba dan tinggal disana hingga sekarang.(lihat ulasan sebelumnya)
Setelah putri Nggérang meninggal, mayatnya dimakamkan di pintu masuk di dusun Ndoso(Watu Tere’e), dengan bukti batu besar yang masih tertanam kokoh pada kepala dan kakinya.
Ini murni versi pongkal …saya kutip karena episode ini samar-samar penjelasan dari beberapa narasumber di kampong Ndoso,  selanjutnya rencana untuk mengadakan kelas (kenduri) putri Nggérang cukup dengan memotong kerbau biasa. Namun atas permintaan leluhur Nggérang melalui pencerahan, bukan kerbau biasa, tetapi “KABA PADA” (kerbau besar pendek). Lihat gambar




Kerbau tersebut dicari di seluruh wilayah Manggarai, namun tidak berhasil. Karena itu nara (saudara) yang bernama Para berinisiatif untuk meminta bantuan weta (saudari) yang sudah menikah dengan suami dari Wontong. Pihak weta (saudari) di Wontong menyanggupi, namun hal itu terlebih dahulu melakukan suatu upacara takung (memberi sesajian) di hano (telaga) yang bernama Ndoéng sebelah selatan dusun Wontong, dengan media ela rae (babi berbulu merah), mbe kondo (kambing berbulu kombinasi merah-putih), dan lalong sepang (ayam jantan berbulu merah) masing-masing satu ekor. Setelah melakukan upacaratakung (memberi sesajian), kemudian kerbau tersebut dicari dan berselang kira-kira tiga bulan kemudian, kerbau tersebut berhasil ditemukan di temek (rawa-rawa) Pateng sebelah barat Leong. Sebelum kaba pada (kerbau besar pendek) di bawa ke Ndoso, terlebih dahulu dilakukan upacara takung (memberi sesajian) sebagai ungkapan terima kasih kepada leluhur di hano (telaga) yang bernama Ndoeng. Media yang dipakai sama dengan yang pertama, yaitu ela rae (babi berbulu merah), mbe kondo (kambing berbulu kombinasi merah-putih) dan lalong sepang (ayam jantan berbulu merah) masing-masing satu ekor. Setelah upacara takung(memberi sesajian) kemudian kerbau tersebut di bawa turun menuju wae mese (kali besar) dan beristirahat di sebuah tempat yang diberi nama  “WATU PADA” agak turun dari dusun Rado. Tempat tersebut dinamakan Watu Pada, karena di sana terdapat sebuah batu besar padas berwarna hitam seperti gumpalan cirit kerbau, yang diyakini berasal dari cirit atau kotoran kerbau tersebut. Pada hari berikutnya kerbau tersebut di bawa turun menyeberang wae mese (kali besar) dan naik melalui lumpung leleh (anak kampung yang bernama Leleh). Daerah tersebut dinamakan leleh, karena di sana kerbau tersebut mengeluarkan kencing sangat banyak.(Posisi Kerbau saat mengeluarkan kencing yang banyak)  

Dari tempat tersebut berjalan mendaki menuju dusun Ndoso melewati ngalor (kali kecil), dan baru tiba di dusun Ndoso membutuhkan waktu perjalanan ± satu bulan.   

Secara epistemologi, kaba pada (kerbau besar pendek) tidak ada di Manggarai dan di seluruh daratan Flores.  Namun secaraontologi (realitas) kaba pada (kerbau besar pendek) bisa ditemukan, namun dengan meminta bantuan weta (saudari) yang sudah bersuami dari dusun Wontong. Weta (saudari) yang bernama Hendang di dusun Wontong, sama persis dengan nama ibunda putri Nggérang, juga tidak memiliki kerbau yang dimaksud. Namun ia menyanggupi untuk mencarinya, dengan berinisiatif terlebih dahulu memberikan takung (sesajian) di sano (telaga) Ndoéng, dan pada akhirnya mendapatkan kerbau yang dimaksud. Berdasarkan pencerahan yang diterima, kerbau yang dimaksud adalah badak Nill. Mengapa badak Nill? Badak Nill, juga disebut kuda Nill, babi Nill, dan kerbau Nill. Hewan tersebut bisa hidup di dua alam, yaitu di dalam air, dan di darat untuk mencari makan. Kerbau Nill pada umumnya berbadan besar dan panjang, kaki pendek, kulit berwarna merah, tidak bertanduk. Jadi kaba pada (kerbau besar pendek) yang dimaksud leluhur Nggérang adalah kerbau Nill karena berasal dari sungai Nill. Hewan tersebut menjadi kebanggaan rakyat Mesir, karena selain sebagai simbol Kemahakuasaan raja Firaun di Mesir, juga sebagai penghuni sungai Nill satu-satunya yang ada di dunia. Dengan demikian putri Nggérang yang secara ontologi (realitas) berasal dari istana Pongkor Rangat, dekat temek waemata alo (rawa-rawa bermata air delapan) dekat dengan  dusun Ndoso, merupakan titisan dari raja Firaun di Mesir.
Ketika kerbau tersebut tiba di dusun Ndoso, kemudian diserahkan kepada pihak keluarga besar di Ndoso untuk melakukan pesta kelas (kenduri). Setelah selesai pesta kelas (kenduri) pihak keluarga Para, meminta kepada keluarga besar di dusun Ndoso untuk membayar bersama oleh keluarga besar di dusun Ndoso. Namun respon keluarga besar di dusun Ndoso menyatakan tidak mampu. Karena itu maka pihak weta (saudari) dari Wontong, meminta kepada keluarga besar di dusun Ndoso untuk merelakan nara(saudara) tinggal bersama di dusun Wontong. Kepindahan nara (saudara) yang bernama Para dari dusun Ndoso ke dusun Wontong, juga diikuti oleh seorang weta (saudari) bersama suaminya dari klan Kuleh. Pada mulanya tinggal di dusun Wontong untuk beberapa saat, namun kemudian pindah ke dusun Pongkal hingga sekarang. Material untuk membayar kaba pada (kerbau besar pendek) dari pihak nara (saudara) yang bernama Para kepada weta (saudari) yang bernama Hendang di dusun Wontong, sebagai pengganti mata uang adalah emah ba’o (emas dalam bentuk serbuk). Tidak lama kemudian klan Pateng yaitu weta(saudari) ketiga atau bungsu dari klan Pongkal, juga tinggal bersama di Pongkal.


Aksiologi dapat diartikan sebagai nilai yang memberikan kesejahteraan. Aksiologi atau nilai yang memberikan kesejahteraan dari legenda Nggérang menurut keterangan para ahli waris diwujudkan berupa kesehatan fisik, dan pemenuhan kebutuhan bahan makanan.  Hal tersebut mendorong pihak ahli waris yang setelah sekian lama tinggal di dusun Pongkal dan tidak pernah kembali ke dusun Ndoso, untuk melakukan kegiatan titi watu boa de empo Nggérang (mengangkat batu kubur leluhur Nggérang), dari dusun Ndoso ke dusun Pongkal. Hal tersebut dilakukan atas prakarsa Andreas Jeha (alm.) dari panga (klan) KulehProsesi titi watu boa de empo Nggérang (mengangkat batu kubur leluhur Nggérang) dari dusun Ndoso ke dusun Pongkal pada tahun 1968, menempuh perjalanan dua hari pergi pulang. Ketika watu boa de empo Nggérang (batu kubur leluhur Nggérang) tiba di dusun Pongkal,dimasukkan ke rumah genderang dan disemayamkan di dekat hiri bongkok (tiang induk) selama tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga dilakukan upacara weri watu de empo Nggérang (menanam batu leluhur Nggérang), dengan media memotong seekor kerbau berbulu merah (kaba rae) sebagai hewan korban di sompang (tempat memberi sesajian bagi roh para leluhur) di dusun Pongkal.
Pengaruh dari hal tersebut, semua keluarga keturunan leluhur Nggérang, yaitu panga (klan) Pongkal terjadi perubahan pada fisik, nampak sehat, tidak ditimpa hukuman karena kesalahan dalam perbuatan, tidak ditimpa kondisi wajah yang layu dan pucat, dan kemudian mendapatkan anakSelain itu perubahan yang terjadi dalam panga (klan) Pongkal sendiri adalah kondisi ekonomi mereka mulai membaik dan dalam bidang pendidikan ada yang sudah mencapai strata 1 (S-1), dan ada yang mencapai strata 2 (S-2). Perubahan yang sama juga terjadi dalam panga (klan) Kuleh di Pongkal dan Pateng, yaitu ekonomi semakin membaik, dan dalam bidang pendidikan ada yang sudah mencapai strata 1 (S-1),  strata 2 (S-2) bahkan strata 3 (S-3) atau Doktor. Dengan demikian pelestarian terhadap legenda Nggérang telah melahirkan banyak hal, antara lain dalam hal kondisi fisikpada cucunya selalu energik, baik pada panga (klan) Pongkal dan Kuleh, maupun panga (klan) Pateng 
Menurut data versi Adak Todo yang ditulis van Bekkum (1946) dalam  Dami N. Toda (1999) rumah adak Niang Wowang Todo sebagai bangunan terbesar dan tertinggi memiliki dekorasi lambang tanduk kerbau di pangkal lingga Ngando (bubungan) yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya 13 Dalu dan 11 Gelarang, karena di dalamnya tersimpan Gong/Gendang lambang kesatuan kedaulatan wilayah tanah. Di rumah Adak tersebut tersimpan genderang ritual, genderang kecil mistis bernama Gendang Wela Loe yang bagian dalamnya terbuat dari kulit manusia seorang gadis cantik bernama Nggérang (data ini sesuai dengan data yang dimiliki para ahli warisnya di Pongkal). Menurut van Bekkum (1946) dalam Dami N. Toda (1999), gadis cantik yang bernama Nggérang hanya mau menikah dengan Kraeng Adak Todo atau Pongkor, sehingga dikurbankan dibunuh untuk upacara pengukuh tanah ulayat randang lingko sembong Todo-Pongkor. Ia dinikah secara spiritual dengan lembaga Adak. Kulit perut dan punggungnya dibuatkan dua gendang Wela Loe upacara tersimpan di rumah induk Niang Wowang Todo dan Niang Wowang Pongkortetapi di Pongkor sudah terbakar bersama Niang Wowang Pongkor, sedangkan di Todo masih tersimpan hingga kini (data ini tidak sesuai dengan data yang dimiliki para ahli warisnya di Ndoso dan juga  di Pongkal).

Genderang  leluhur Nggérang ada dua, yang satu ada di Todo yang berasal dari kulit perut, yang diambil/dicuri  dari PONGKOR RANGAT dan satunya lagi berada di Sumba yang berasal dari kulit punggung (Dion Pangul, Yogyakarta, 2006). Genderang yang berasal dari kulit punggung memiliki keistimewaan, jika dipukul semua orang terdiam serentak dan menghentikan semua aktivitasnya. Gendang yang ada di Sumba itu diakui keberadaannya oleh Frans Medu dari Golo Momol (saya luruskan informasi ini,  wawancara saya langsung dengan frans Medu yang saat ini tinggal di Labuan bajo tanggal 5 Mei 2016, dia tidak pernah ke sumba, seperti apa yang disampaikan oleh versi pongkal, hanya dia mendengar informasi seperti yang saya pernah sampaikan diatas hasil wawancara saya dgn agus Malano dari sumba). Sedangkan genderang yang ada di Todo yang berasal dari kulit perut leluhur Nggérang tidak memiliki keistimewaan seperti genderang yang ada di Sumba, kecuali sebagai simbol joreng(keranjang besar menyimpan padi), dan Adak Todo tidak memberikan apresiasi yang seharusnya. Dengan demikian data versi adak Todo yang ditulis Van Bekkum (1946) dalam Dami N. Toda (1999) tidak sesuai dengan data asli yang dimiliki ahli waris yang ada di Kampung Ndoso dan hal ini, dibenarkan oleh versi Pongkal.
Dan di wilayah pongkal dan rego. Pada akhir tahun 2006 atas prakarsa pater Yustinus OFM., menyampaikan rencanamendirikan rumah genderang yang baru dengan model Niang (rumah berbentuk kerucut, mirip payung setengah terbuka), dengan delapan sudut (simbol delapan rumpun tebu di temek wae mata Alo). Rencana tersebut terwujud ketika pekerjaan membangunrumah tersebut diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, sekitar empat bulan, yaitu pada bulan April 2007 sudah selesai seratus persen. Dari sebab itu maka rencana untuk pesta peresmian pemakaian rumah genderang baru dilaksanakan pada bulan Juli 2007. Pada acara tersebut cucu leluhur Awang dan Honggomenyarankan pestanya memotong seekor kerbau berbuluh merah. Hal ini sebagai salah satu jawaban atas pesan leluhur Awang dan jaminan leluhur Honggo untuk mengambil genderang di Todo.  

KESIMPULAN  
(berdasarkan rangkuman dari setiap naras umber)
1.    Genderang  leluhur Nggérang ada dua, yang satu ada di Todo yang berasal dari kulit perut, dan satunya lagi berada di Sumba yang berasal dari kulit punggung (Dion Pangul, Yogyakarta, 2006). Genderang yang berasal dari kulit punggung memiliki keistimewaan, jika dipukul semua orang terdiam serentak dan menghentikan semua aktivitasnya. Gendang yang ada di Sumba itu diakui keberadaannya oleh Frans Medu dari Golo Momol ketika ia menjual barang dagangannya ke Sumba pada tahun 2005.(saya luruskan informasi ini setelah saya konfirmasi dengan frans Medu secara lsg di Labuan bajo tgl 5 mei 2016, dia tidak pernah ke sumba tetapi dia mendengar cerita bahwa di sumba ada genderang dibuat dari kulit manusia yang identic dengan nggerang, hal ini senada dengan wawancara kami dgn agus Malano dari sumba barat bahwa  di sumba ada Genderang yang dibuat dari kulit manusia tetapi dia tahu asal usulnya dari mana , sedang dia konfirmasi ke daerah asalnya di sumba barat,
2.    Sedangkan genderang yang ada di Todo yang berasal dari kulit perut leluhur Nggérang tidak memiliki keistimewaan seperti genderang yang ada di Sumba, kecuali sebagai simbol joreng (keranjang besar menyimpan padi), dan Adak Todo tidak memberikan apresiasi yang seharusnya. Dengan demikian data versi adak Todo yang ditulis Van Bekkum (1946) dalam Dami N. Toda (1999) tidak sesuai dengan data asli yang dimiliki ahli waris yang ada di ndoso maupun di  dusun Pongkal.
3.              Legenda Nggérang diwujudkan berupa dua buah genderang, yang satu berasal
dari kulit emas pada punggungya yang memiliki kharisma dalam bidang akademis, dan sekarang berada di pulau Sumba, dan yang satunya lagi berasal dari kulit perutnya juga memiliki kharisma dalam bidang ekonomi, dan sekarang berada di Todo.
Pelestarian legenda Nggérang di Manggarai Barat dalam perspektif ekowisata sudah dilakukan dan terus dilakukan, karena ia merupakan icon bagi perkembangan budaya sebagai bagian integral dalam pengembangan pariwisata. PembangunanRumah adat yang disebut Niangdan dilestarikan sebagai bagian dari ekowisata yaitu pariwisata yang berwawasan lingkungan. Pariwisata perlu dibangun melalui konsep sadar wisata, dan konsep tersebut diimplementasikan melalui ekowsiata. Ekowisata adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan. Ekowisata selain yang berkaitan dengan alam (nature) juga yang berkaitan dengan hasil-hasil budaya, seperti warisan para leluhur
.
4.    Rumah adat Niang, merupakan duplikasi dari rumah adat Minangkabau dengan ngando (lingga) tunggal, melambangkan hubungan vertikal dengan Tuhan. Rumah adat dibangun dengan dasar tiang utama yang disebut hiri bongkok (tiang induk) hingga ngando(lingga) melambangkan hubungan vertikal antara manusia yang menempati bumi dengan Tuhan yang menempati Surga.
5.    Rumah adat di dusun Pongkal yang disebut Niangdiapiti oleh pilar (tiang penyangga) dengan sudut delapan, melambangkan asal usul putri Nggérang dari legenda di temek waé mata alo (rawa-rawa mata air delapan) dan tebu delapan rumpun. Dengan gayatersebut penulis banyak mendapat pencerahan langsung dari leluhur Nggérang.
6.    Genderang kecil (Tembong) dari putri Nggérang bagian yang ditutup bermakna sebagai titik tolak memberi jalan bagi para ahli warisnya dan bagian yang terbuka bermakna sebagai koridor menjalankan profesi untuk memperoleh kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan, dan mau membagikannya kepada semua orang disekitarnya yang memang sangat membutuhkan uluran tangan.

7.    Mengetahui bahwa lamarannya ditolak maka marah dan dendam karena malu sang Raja Bima. Dia akhirnya mengirimkan magic-magic ke daerah Ndoso dengan tujuan untuk meluluhkan hati dan menghilangkan kekuatan sihir yang melekat dalam diri Nggerang. Seketika itu juga air laut naik akan menenggelamkan dusun Ndoso  dalam bahasa daerah Manggarai disebut 'tuke tacik/air pasang' yang akan menenggelamkan dusun Ndoso dan sekitarnya termasuk wilayah pongkal yang menurut versi wontong awan hitam menyelimuti seluruh kampung Ndoso menyebabkan seluruh penduduk tidak bisa keluar rumah untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. 
8.    Itulah kisah singkat Loke Nggerang, sang gadis cantik mempesona dari desa Ndoso. Jika kamu penasaran dan ingin melihat langsung genderang ini, bisa datang dan kunjungi Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, kalau mau melihat bukti pekuburan asli dari  nggerang datang lah di dusun Ndoso kabupaten manggarai barat Flores NTT, . Biasanya genderang ini akan dikeluarkan pada acara-acara adat melalui upacara takung, tapi khusus orang-orang ndoso kalau ke todo ambil itu genderang tanpa dibuat upacara takungpun tidak ada masalah( bukti nyata yang telah dilakukan oleh guru Paulus Pangul dari Ndoso waktu mengajar di Todo dia menurunkan genderang tersebut dan melakukan test memukul genderang pengganti, dan tidak terjadi apa-apa, bahkan beliau umur panjang hingga 90 an tahun) .


Dalam wawancara kami sebagai ahli waris group Dalu Ndoso,
1.    Menurut waldus dkk  atau yang dikatakan turun temurun dari Awang ayah dari nggerang, Bahwa Awang adalah seorang petani yang memiliki kebun di sekitar Pongkor Rangat letaknya diapiti sebelah Timur Kampung Raja dan sebelah selatan Kampung Ndoso, serta di bagian Barat dan Utara Barat Laut diapiti oleh Kampung waning dan Kampung Deru, serta Lumpung Leles/leleh versi waning dan pongkal,
Sedangkan dibawah ini kami copy versi pongkal yang memang urutan ceriteranya runtut, dan memiliki korelasi yang cukup kuat dengan lokasi Pongkor Rangat tempat dimana Loke Nggerang diambil /dicuri oleh orang todo

 Awang seorang Petani dari kampong Ndoso, memiliki kebun disekitar pongkor rangat yg disebut ISTANA PONGKOR RANGAT, ( simon Samu pongkal)-. Bersama instri yang bernama Tana,  (istri dari manusia biasa) menanam tebu di kebunyang bernama temek wae mata Alo (rawa-rawa dengan mata air delapan) dekat dengan dusun Ndoso, sebanyak 8 (delapan) rumpun  menggugah  setiap orang yang lewat di situ untuk mengambilnya.bahkan mencuri,  Demikian juga dengan makhluk yang berasal dari alam yang lain, juga mengundang minatnya untuk mengambil tebu tersebut. Pada suatu ketika, pada hari Jumat tengah hari, dari 8 (delapan) rumpun tebu tersebut masing-masing hilang satu batang, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya. Demikian juga pada hari Jumat kedua, dari 8 (delapan) rumpun tebu tersebut masing-masing hilang satu batang. Karena itu Awang pemilik tebu tersebut, ngo nggé (pergi menanyakan) kepada orang-orang di dusun Ndoso, namun tidak satu orang pun yang mengaku. Karena itu Awang pada hari Jumat ketiga, tengah hari mengintip mungkin ada orang yang akan mengambil tebunya lagi. Ternyata benar pada hari Jumat ketiga, tengah hari datanglah seorang gadis yang kelihatan hanya bayang-bayangnya saja, mengambil tebu satu per satu setiap rumpun, dan seketika itu juga Awang maju mendekat. Ketika gadis yang kelihatan hanya bayang-bayangnya saja, hendak mengambil tebu pada rumpun ke-8, makaseketika itu Awang hanya spekulasi merangkul bayang-bayang tersebut, dan ternyata bayang-bayang tersebut adalah sosok seorang gadis cantik jelita, yang tidak bisa menghindar. Ketika Awang menuntut pada gadis tersebut yang kondisinya sudah dalam wujud seorang wanita cantik jelita untuk membayar tebu tersebut, malahan sang gadis mengajak Awang untuk menghadap orang tuanya di istana Pongkor Rangat (bukit yang terdiri dari batu-batu yang bernama Rangat) dekat dengankebun tersebut. Awangpun tidak keberatan dan dari situ mereka berdua berjalan bersama-sama menghadap orang tua sang gadis cantik jelita di istana Pongkar Rangat Ketika keduanya sampai di rumah orang tua gadis cantik jelita di istana PongkorRangat, di hadapan orang tua sang gadis, Awang menanyakan kepada bapak dari gadis tersebut, benarkah gadis jelita ini anakmu? Malah orang tua sang gadis balik menjawab, gadis itu adalah istrimu yang bernama Hendang. Pongkor Rangatsehari-hari dilihat sebagai bukit yang terdiri dari tumpukan batu-batu besar yang tidak beraturan dan sangat sulit untuk dibongkar. Namun bagi Awang ketika itu dalam penglihatannya masuk ke sebuah istana.   
 Berdasarkan jawaban dari Ayah sang gadis jelita tersebut, Awang diterima dengan baik dan diberi bantal duduk, namun bantal untuk duduk tersebut adalah seekor népa (ular sawah). Orang tua Hendang meminta Awang untuk menikah dengan anaknya, dan untuk pasa (mas kawin), harus membawa, manuk lalong sepang (ayam jantan berbulu merah), ela raé (babi berbulu merah), dan mbé kondo (kambing berbulu merah putih), masing-masing satu ekor. Setelah pasa (mas kawin) berupa tiga jenis hewan tersebut di atas diserahkan, maka seketika itu juga Awang tinggal bersama dan hidup sebagai suami-istri diPongkor RangatAwang sejak saat itu menghilang dari komunitas masyarakat Ndoso untuk beberapa bulan hingga istrinya melahirkan anak pertama, dan diberi nama Nggérang.
 Setelah orang tuanya tahu bahwa Hendang telah melahirkan anak pertamanya, maka  kemudian orang tuanya menyuruh mereka (Hendang, Awang, dan anaknya) untuk kembali tinggal di dusun Ndoso bersama komunitas masyarakat Ndoso.
Paragraph ini yang berbeda dengan versi ndoso yang perkawinan JURAK
Hendang KAWIN dengan  Awang yang masih bersaudara ,
****************************************************************************************************

 komentar:


  1. Terimakasih atas tulisannya om, memberikan referensi yang cukup untuk kisah Loke Nggerang. Saya berasal dari Satarmese dan belum mendapatkan kisah yg lengkap seperti ini. Sya penasaran jga versi lengkap dari Todo yg menghubungkannya selain Ndoso, tpi jga Bima.....Sampai sekarang saya belum mengerti arti pentingnya gendang saat itu terutama bagi Bima. Tapi ini mungkin ditelusuri ke Bima atau sumbawa. Sementara alasan Todo merebut Nggerang sarat kepentingan politik. Todo memang diuntungkan oleh akses informasi ttg niat Bima mendirikan pusat kekuasaan di tmpt Nggerang dilahirkan. Akses informasi ini yg membuat ia mudah menyiasati untuk mendapatkan Nggerang. Ndoso tdk menyadari niat Todo merebut Nggerang, ternyata demi kepentingan kekuasaan.

    Saya sebagai org biasa yang bermukim di wilayah Pantai Selatan, perlu mencari pembenaran apakah orang todo saat itu (1700-an) sudah mempunyai akses ke dunia luar melalui laut mengingat ahli waris suku ini tidak ada pelaut (selain bukti yg disebutkan itu)..setidaknya kita melihat siapa saja yg menghuni sepanjang pesisir pantai Satarmese saat ini? Suku Todo mungkin benar berdagang, tetapi apakah benar saat itu sudah menyebrangi lautan, perlu mencari referensi tambahan akan hal ini, untuk menemukan alasan kuat bhwa memang Todo menginginkan Nggerang itu demi merebut pusat kekuasaan. Sekali lgi, terimakasih atas tulisan yg sgt berharga ini om...
**********************************************************************************************





LOKE NGGERANG

https://www.facebook.com/search/top/?q=manggarai%20post.%20-%20ntt&epa=SEARCH_BOX
LOKE NGGERANG
( Tombo Turuk)
Dahulu disebuah dusun kecil bernama Ndoso, hiduplah seorang gadis cantik jelita bernama Nggérang. Dinamakan Nggerang karena kulitnya putih serta berambut pirang. Nggerang dipercayakan sebagai hasil dari perkawinan silang resmi antara manusia dengan makhluk halus dari alam lain, dalam bahasa setempat dinamakan kakartana atau darat atau juga disebut ata pelsina.
Ayah Nggerang bernama Awang dan ibunya bernama Hendang. Hedang ibunda Nggerang dipercayakan berasal dari alam lain atau darat atau kakartana dalam bahasa setempat. Namun, Putri Nggerang ditinggalkan ibunya semasa dia masih balita bukan karena meninggal secara jasmaniah melainkan karena ayah Nggerang, Awang telah melanggar pantangan sebanyak sebanyak tiga kali. Bagi Hendang itu adalah jumlah yang tidak lumrah lagi.
Kisah ini terjadi ketika Hendang pergi timba air, Nggérang yang masih bagi bayi dijaga dan digendong bapaknya Awang.Hendang memberi pesan kepada Awang.
“jika anak ini menangis janganlah kau dendangkan lagu ini : ipung setiwu, paké sewaé, téu sa ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun).
Namun ketika Hendang sedang pergi timba air yang cukup jauh dari rumah, Nggérang pun menangis. Lalu, Awang berupaya menghentikan tangisan anaknya Nggérang dengan mendendangkan banyak lagu namun tidak membuat ia berhenti menangis. Bahkan tangisannya menjadi semakin keras dank keras.
Banyak sudah lagu didendangkan oleh Awang namun, Nggérang tak juga berhenti menangis, dan baru berhenti menangis ketika mendendangkan lagu ipung setiwu, paké se waé, téu se ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun); lagu terlarang tersebut memang dilarang dan menjadi pantangan bagi Hendang, namun suaminya Awang tidak memahami sedikitpun larangan tersebut. Awang sama sekali tidak memahami larang untuk tidak menyanyikan lagu itu. Sebenarnya arti dari lagu itu adalah bahwa, mereka berasal dari dua alam berbeda yang dipersatukan melalui perkawinan.
Pelanggaran pertama, dan kedua bagi Hendang masih dapat dimaafkan.Kendatipun diingatkan berulang kali, Awang masih juga melanggarnya untuk yang ketiga kalinya.Pelanggaran yang ketiga-kalinya, tiada lagi kata maaf.Perpisahanpun terjadi.Hendang (ibunda putri Nggérang) pergi meninggalkan kedua orang terkasihnya Awang suaminya sertaNggérang anaknya di dusun Ndoso. Perpisahan ini bukanlah perpisahan untuk sesaat, namun selama-lamanya.Hendang meninggalkan sumai serta Putri tercintanya yang masih bayi dengan tetesan airmata menggalir dipipinya.
“Kau telah melanggar pantangan kita, meskipun aku telah mengingatkan kau berulang kali. Sekarang tidak ada maaf lagi, kita berdua terpaksa harus berpisah” kata Hendang.
“Aku kembali ke rumah orang tuaku, sementara Nggérang sebagai buah hati kita tinggal bersamamu sebagai paca (mas kawin) atas diri saya, harap dipelihara dengan baik.”begitulah pesan hendang kepada suaminya deiringi isak tangis yang sedih.Tangisan itu juga merupkan tangisan untuk yang teraklhir kali baginya.
Mendengar pesan tersebut, Awang tidak bisa menjawab dan tidak berdaya, karena seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor népa (ular sawah), dan ketika di pegang sangat licin, sehingga dengan mudah ia pergi meninggalkan dusun Ndoso, untuk selamanya, karena setelah itu ia tidak pernah muncul lagi.
Sepeninggal ibunya Hendang, Putri Nggerang diasuh oleh empat saudaranya; satu laki-laki dtiga wanita, anak dari istri ayanhanya yang pertama bernama Tana. Ayahnya beristri dua yaitu Hendang yang berasal dari alam seberang dan Tana manusia biasa.
Pada saat Putri Nggerang menginjak usia remaja, kecantikannya semakin terlihat dan sangat memikat banyak hati para pemuda. Karena kecantikannya yang tiada taranya itu, banyak raja raja ingin meminangnya: diantara Mori Reok atau Raja Reok dan raja Cibal.Meskipun banyak raja raja yang meminangnya yang tidak hanya kaya tapi juga berparas menawan Nggerang menolaknya tanpa syarat.Tak satupun diantaranya dapat memikat hatinya. Bahkan raja Bima dari pulau lain yang sedang berkuasa kala itu yang terletak diujung Timur pulau Sumbawa. Pulau berbeda dengan Nggerang.
Nggerang gadis cantik nan aneh ini memang memiliki sesuatu yang ajaib dalam dirinya. Ini memang sangat mungkin karena memang dia adalah hasil dari perkawinan
Tentang raja Bima, konon ceritanya ia selalu melihat cahaya yang terpancar ke langit yang berasal dari daerah Manggarai.Cahaya tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggérang yang tumbuh pada punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata gung.
Sultan Bimapun mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke Manggarai yang terletak diujung barat pulau Flores guna melacak cahaya tersebut.Setelah dilacak dan yakin cahaya tersebut dimiliki oleh seorang putri cantik dan masih remaja bernama Nggérang yang tinggal di dusun Ndoso.Selanjutnya Sultan Bima mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manggarai untuk meminang putri Nggérang. Ketika Sultan Bima tiba di Ndoso, meskipun masyarakat menerimanya dengan baik. Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya untuk meminang putri Nggérang yang cantik dan masih remaja itu, Nggerang menolaknya tanpa syarat.
Raja Bima menjadi sakit hati dan dendam kepada Nggerang Lantaran Cintanya ditolak Putri oleh Nggerang tanpa syarat. Raja Bima lalu mengancam dengan mengirimkan magic magic ke dusun Ndoso. Seluruh dusun Ndoso diselimuti awan tebal kehitam-himan. Fenemona inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebuta rewung taki tana literally
“Jika Nggerang tidak juga sedia menerima pinanganku, awam ini tak akan berhenti.”Ancam Mori Dima atau Raja Bima.
Bagi orang setempat fenomena awan tebal yang meyentuh tanah itu sangatlah membahayakan kehidupan mereka. Karena mereka tidak bisa berbuat apaapa dalam kondisi salam seperti itu.
“ Oh…Molas Nggerang terimalah saja lamaran itu supaya awan ini segera hilang dan kami bisa bekerja lagi” jeritan penduduk setempat.
Namun bagi Nggerang, awan tebal itu bukanlah apa-apanya.Ancaman demi ancaman tak digubris oleh Putri Nggerang hingga akhirnya raja Bima tak sabar lagi ingin membunuh Putri Nggerang.Dengan berbekal sebagai raja berkuasa atas tanah manggarai termasuk Ndoso saat itu, Sultan Bima menyuruh orang tua Nggerangmembunh Putri Nggerang dan kulitnya dibuatkan genderang.Satu genderang di bawa ke Bima dan satu genderang disimpan di Ndoso.
Bagi Orang tua Nggerang meskipun permintaan Sultan Bima tersebut terasa sangat berat.Namun, karena ini permintaan Sultan Bima yang juga sebagai Raja yang berkuasa di daerah Manggarai ketika itu, maka orang tua putri Nggérang pun tidak bisa menolak.
Berbagai usaha dilakukan oleh orang tua putri Nggérang, seperti memotong kerbau, kemudian kambing, dan kulitnya dibuatkan genderang, tetapi tidak mengeluarkan bunyi seperti yang diinginkan dan cahaya yang memancar ke langit pun tidak hilang; tetap kelihatan dari kerajaan Bima.Karena terus-menerus dipaksa oleh Sultan Bima, akhirnya pada suatu hari orang tua Nggerang yang bernama Awang mengajak putri Nggérang mencari kutu rambutnya dan Nggerang menyetujui niat ayahnya tanpa menyangka bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Bersamaan dengan itu Awang mencabut beberapa helai rambutnya dan disimpan dalam tabung kecil, dan hal tersebut tidak menimbulkan efek atau pengaruh apa-apa. Kemudian ia mencungkil kulit emas yang berbentuk bulat sebesar mata gung dipunggungnya agar tidak memancarkan cahaya lagi, namun seketika itu putri Nggérang meninggal.
Sadar bahwa Putrinya telah meninggal, maka Awang mencungkil sekalian kulit punggung bersama kulit emas dan kulit perutnya untuk dibuatkan genderang. Jadi, sesungguhnya ada dua gendrang yang dihasilkan dari kulit tubuh Putri Nggerang; Satu yang dibuat dari kulit emas di punggung Ngerang dikirim ke Bima.tetapi para pembawa, bukanya mereka bawa ke bima melainkan ke Sumbawa dikarenakan arus deras si selat Gili Banta. Jadi, gengrang tang terbuat dari kulit emas keberadaanya bukan di Bima melainkan di Sumbawa hingga saat ini. Sementara satunya lagi yang terbuat dari kulit perut disimpan di Ndoso. Namun, selang beberapa hari setelah Nggerang meninggal, beberapa pemuda dari Todo dengan rombongan yang cukup banyak datang ke Ndoso meminta gendrang tersisa itu dengan paksa.Dan sebagian kulit emas dari punggung ditanamkan di bukit Tengku Romot dekat Reo.(Copas)



Tanggapan:


Ino Pangul Sebut Beo Ndoso bukan Ndoso...Ndoso itu sendiri luas...Yg saya pernah dengar ceritanya Nggerang dibunuh bukan atas suruhan Raja Bima...tetapi dibunuh karena awan gelap yg menyelimuti Beo Ndoso tidak hilang2 maka syarat supaya awan gelap itu hilang maka Nggerang harus dibunuh...Dan ada lagunya syairnya : sisik loke de Nggerang tit tit tit...lalu awang gelap itu pelan2 hilang...dan kembali terang setelah kulit aslinya Nggerang dikuliti...Kulitnya di jadikan gendang dan sekarang adanya di TODO...sedangkan Kepalanya Nggerang dikuburkan di Beo Ndoso sampe sekarang msih ada dan kuburnya bentuk lingkaran....sedangkan tubuhnya antara 2 ada di Bima atau.di Todo...awan gelap itu dikirim.dari Raja ( Mori) Dima....Saya Asli Ndoso udh berapa kali saya mengunjungi makamnya di Ndoso



Rituz Djeharut Jngan asal ngarang ceritanya.....

Alexius Tugis Sy suka komennya pa Rituz Djeharut,,Dongeng bukanlah bukti sejarah,lalu yg nulis buku dia gali dg siapa,dimana dn thn berapa




Frans Jelata Seingat saya Dr. Niko Got pernah melakukan penelitian ttg kisah ini. Dr. Niko masih berkerabat dengan Nggerang. Dr. Niko Got asli Regho, Manggarai Barat. Beliau tinggal di Yogya sekarang. Mereka pernah mengadakan syukuran Kel. Nggerang di Pongkal Regho.Keturunan Keluarga Nggerang - anak anak istri pertamanya Awang - tinggal di Pongkal Regho.

Frans Jelata Kisah Nggerang ini ada juga versi Bimanya. Hemat saya dari Segi Publikasi Manggarai masih kalah gesit daripada Orang Bima. Cukup banyak orang mengetahui bhw kisah Nggerang ini dari daerah Bima. Ini salah satu bukti bahwa Manggarai pernah dijajah oleh Bima, meski almarhum Dami Toda membantahnya sbgmn kita baca dalam bukunya :Manggarai Mencari Pencerahan Histografi




Edo Santono Masa ada di tengku romot jg sih?? Kok km g tau ya..



Frans Jelata Edo Santono: Ada hubungan antara Nggerang dengan Tengku Romot di Reo. Hubungannya adalah ketika Nggerang meninggal, Mori Dima (Raja Bima) memerintahkan agar kulit tubuhnya dibuatkan genderang (gendang) dan gendang itu harus dikirim ke Bima. Keluarganya melakukan hal itu. Genderang dibuat lalu lalu dirapihkan. Serpihan -serpihan bulu dan kulit tubuh (punggung) itu dikumpulkan lalu dimakamkan di Tengku Romot Reo. Serpihan -serpihan bulu dan kulit tubuh memiliki daya mitis yang menguntungkan Reo, terutama kawasan sekitar Tengku Romot, yakni wilayah itu relatif aman ketika banjir bandang melannda di musim hujan. Selanjutnya Genderang (gendang) itu dibawa ke Bima melalui pelabuhan Reo. Saat itu Reo sebagai pelabuhan andalan menuju Bima.


Vian Ragung Mana yang benar cerita loke nggerang ini, dia di pinang oleh Mori Todo atau sultan Bima? Sy baru dengar yg versi ini.

Frans Jelata Nggerang itu gadis cantik yang memesona. Adak Cibal, Adak Todo dan Mori Dima (Raja Bima) kepincut padanya. Semuanya dia tolak. Todo dan Bima pakai kekuatan gaib untuk menaklukan Nggerang, yakni mengirim kabut tebal (rewung taki tana) ke Ndoso. Strategi ini membuat warga Ndoso kalang kabut, lalu meminta Nggerang menyerahkan diri. Nggerang meninggal  ditangan ayahnya. Saat itu Bima menjajah Manggarai. Sebagi penguasa, Raja Bima memerintahkan agar kulit tubuh Nggerang dibuatkan genderang (gendang). Perintah itu dilaksanakan. Di tingkat lokal, Ndoso di bawah kekuasaan Todo. Kita tahu, pada momen  itu Bima bersekutu dengan Todo. Dengan kekuasaan yang mereka miliki mereka berhasil memaksa Ndoso menyerahkan genderang istimewa Nggerang. Gendang kulit punggung (toni) dibawa ke Bima, namun perahu pengantarnya diseret ombak di Gili Banta hingga mereka terdampar di Pulau Sumba. Menurut kisah orang Ndoso, ada orang Ndoso - Manggarai di Sumba. Sedangkan genderang yang satunya , kulit perut (loke tuka / bara) itu diambil oleh Raja Todo. Genderang (Gendang) kulit perut inilah yang sekarang ada di Niang Todo.



JPS   10 Januari 2019 

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>




Legenda Loké Nggérang: Legenda seo0rang gadis cantik dari Daerah manggarai

Legenda Loké Nggérang: Gadis Cantik manggaraiLoke Nggerang, Gadis cantik Manggarai
Dahulu disebuah dusun kecil bernama Ndoso, hiduplah seorang gadis cantik jelita bernama Nggérang. Dinamakan Nggerang karena kulitnya putih serta berambut pirang. Nggerang dipercayakan sebagai hasil dari perkawinan silang resmi antara manusia dengan makhluk halus dari alam lain, dalam bahasa setempat dinamakan kakartana atau darat atau juga disebut ata pelsina.
Ayah Nggerang bernama Awang dan ibunya bernama Hendang. Hnedang ibunda Nggerang dipercayakan berasal dari alam lain atau darat atau kakartana dalam bahsa setempat. Namun, Putri Nggerang ditinggalkan ibunya semasa dia masih balita bukan karena meninggal secara jasmaniah melainkan karena ayah Nggerang, Awang telah melanggar pantangan sebanyak sebanyak tiga kali. Bagi Hendang itu adalah jumlah ayng tidak lumrah lagi.
Kisah ini terjadi ketika Hendang pergi timba air, Nggérang yang masih bagi bayi dijaga dan digendong bapaknya Awang.Hendang memberi pesan kepada Awang.
“jika anak  ini  menangis janganlah kau dendangkan lagu ini : ipung setiwu, paké sewaé, téu sa ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun).
Namun ketika Hendang sedang pergi timba air yang cukup jauh dari rumah, Nggérang pun menangis. Lalu, Awang berupaya menghentikan tangisan anaknya Nggérang dengan mendendangkan banyak lagu namun tidak membuat ia berhenti menangis. Bahkan tangisannya menjadi semakin keras dank keras.
Banyak sudah lagu didendangkan oleh Awang namun, Nggérang tak juga berhenti menangis, dan baru berhenti menangis ketika mendendangkan lagu ipung setiwu, paké se waé, téu se ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun); lagu terlarang tersebut memang dilarang dan menjadi pantangan bagi Hendang, namun suaminya Awang tidak memahami sedikitpun larangan tersebut. Awang sama sekali tidak memahami larang untuk tidak menyanyikan lagu itu. Sebenarnya arti dari lagu itu adalah bahwa, mereka berasal dari dua alam berbeda yang dipersatukan melalui perkawinan.
Pelanggaran pertama, dan kedua bagi Hendang masih dapat dimaafkan.Kendatipun diingatkan berulang kali, Awang masih juga melanggarnya untuk yang ketiga kalinya.Pelanggaran yang ketiga-kalinya, tiada lagi kata maaf.Perpisahanpun terjadi.Hendang (ibunda putri Nggérang) pergi meninggalkan kedua orang terkasihnya Awang suaminya sertaNggérang anaknya di dusun Ndoso. Perpisahan ini bukanlah perpisahan untuk sesaat, namun selama-lamanya.Hendang meninggalkan sumai serta Putri tercintanya yang masih bayi dengan tetesan airmata menggalir dipipinya.
“Kau telah melanggar pantangan kita, meskipun aku telah mengingatkan kau berulang kali. Sekarang tidak ada maaf lagi, kita berdua terpaksa harus berpisah” kata Hendang.
“Aku kembali ke rumah orang tuaku, sementara Nggérang sebagai buah hati  kita tinggal bersamamu sebagai paca (mas kawin) atas diri saya, harap dipelihara dengan baik.”begitulah pesan hendang kepada suaminya deiringi isak tangis yang sedih.Tangisan itu juga merupkan tangisan untuk yang teraklhir kali baginya.
Mendengar pesan tersebut, Awang tidak bisa menjawab dan tidak berdaya, karena seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor népa (ular sawah), dan ketika di pegang sangat licin, sehingga dengan mudah ia pergi meninggalkan dusun Ndoso, untuk selamanya, karena setelah itu ia tidak pernah muncul lagi.
Sepeninggal ibunya Hendang, Putri Nggerang diasuh oleh empat saudaranya; satu  laki-laki dtiga wanita, anak dari istri ayanhanya yang pertama bernama Tana. Ayahnya beristri dua yaitu Hendang yang berasal dari alam seberang dan Tana manusia biasa.
Pada saat Putri Nggerang menginjak usia remaja, kecantikannya semakin terlihat dan sangat memikat banyak hati para pemuda. Karena kecantikannya yang tiada taranya itu, banyak raja raja ingin meminangnya: diantara Mori Reok atau Raja Reok dan raja Cibal.Meskipun banyak raja raja yang meminangnya yang tidak hanya kaya tapi juga berparas menawan Nggerang menolaknya tanpa syarat.Tak satupun diantaranya dapat memikat hatinya.  Bahkan raja Bima dari pulau lain yang sedang berkuasa kala itu yang terletak diujung Timur pulau Sumbawa. Pulau berbeda dengan Nggerang.
Nggerang gadis cantik nan aneh ini memang memiliki sesuatu yang ajaib dalam dirinya. Ini memang sangat mungkin karena memang dia adalah hasil dari perkawinan
Tentang raja Bima,  konon ceritanya ia selalu melihat cahaya yang terpancar ke langit yang berasal dari daerah Manggarai.Cahaya tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggérang yang tumbuh pada punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata gung.
Sultan Bimapun mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke Manggarai yang terletak diujung barat pulau Flores guna melacak cahaya tersebut.Setelah dilacak dan yakin cahaya tersebut dimiliki oleh seorang putri cantik dan masih remaja bernama Nggérang yang tinggal di dusun Ndoso.Selanjutnya Sultan Bima mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manggarai untuk meminang putri Nggérang. Ketika Sultan Bima tiba di Ndoso, meskipun  masyarakat menerimanya dengan baik. Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya untuk meminang putri Nggérang yang cantik dan masih remaja itu, Nggerang menolaknya tanpa syarat.
Raja Bima menjadi sakit hati dan dendam kepada Nggerang Lantaran Cintanya ditolak Putri oleh Nggerang tanpa syarat. Raja Bima lalu mengancam dengan mengirimkan magic magic ke dusun Ndoso. Seluruh dusun Ndoso diselimuti awan tebal kehitam-himan. Fenemona inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebuta rewung taki tana literally
“Jika Nggerang tidak juga sedia menerima pinanganku, awam ini tak akan berhenti.”Ancam Mori Dima atau Raja Bima.
Bagi orang setempat fenomena awan tebal yang meyentuh tanah itu sangatlah membahayakan kehidupan mereka. Karena mereka tidak bisa berbuat apaapa dalam kondisi salam seperti itu.
“ Oh…Molas Nggerang terimalah saja lamaran itu supaya awan ini segera hilang dan kami bisa bekerja lagi” jeritan penduduk setempat.
Namun bagi Nggerang, awan tebal itu bukanlah apa-apanya.Ancaman demi ancaman tak digubris oleh Putri Nggerang hingga akhirnya raja Bima tak sabar lagi ingin membunuh Putri Nggerang.Dengan berbekal sebagai raja berkuasa atas tanah manggarai termasuk Ndoso saat itu, Sultan Bima menyuruh orang tua Nggerangmembunh Putri Nggerang dan kulitnya dibuatkan genderang.Satu genderang di bawa ke Bima dan satu genderang disimpan di Ndoso.
Bagi Orang tua Nggerang meskipun permintaan Sultan Bima tersebut terasa sangat berat.Namun, karena ini permintaan Sultan Bima yang juga sebagai Raja yang berkuasa di daerah Manggarai ketika itu, maka orang tua putri Nggérang pun tidak bisa menolak.
Berbagai usaha dilakukan oleh orang tua putri Nggérang, seperti memotong kerbau, kemudian kambing, dan kulitnya dibuatkan genderang, tetapi tidak mengeluarkan bunyi seperti yang diinginkan dan cahaya yang memancar ke langit pun tidak hilang; tetap kelihatan dari kerajaan Bima.Karena terus-menerus dpaksa oleh Sultan Bima, akhirnya pada suatu hari orang tua Nggerang yang bernama Awang mengajak putri Nggérang mencari kutu rambutnya dan Nggerang menyetujui niat ayahnya tanpa menyangka  bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Bersamaan dengan itu Awang mencabut beberapa helai rambutnya dan disimpan dalam tabung kecil, dan hal tersebut tidak menimbulkan efek atau pengaruh apa-apa. Kemudian ia mencungkil kulit emas yang berbentuk bulat sebesar mata gung dipunggungnya agar tidak memancarkan cahaya lagi, namun seketika itu putri Nggérang meninggal.
Sadar bahwa Putrinya telah meninggal, maka Awang mencungkil sekalian kulit punggung bersama kulit emas dan kulit perutnya untuk dibuatkan genderang. Jadi, sesungguhnya ada dua gendrang yang dihasilkan dari kulit tubuh Putri Nggerang; Satu yang dibuat dari kulit emas di punggung Ngerang dikirim ke Bima.tetapi para pembawa, bukanya mereka bawa ke bima melainkan ke Sumbawa dikarenakan arus deras si selat Gili Banta. Jadi, gengrang tang terbuat dari kulit emas it keberadaanya bukan di Bima melainkan di Sumbawa hingga saat ini. Sementara satunya lagi yang  terbuatdari kulit perut disimpan di Ndoso. Namun, selang beberapa hari setelah Nggerang meninggal, beberapa pemuda dari Todo dengan rombongan yang cukup banyak datang ke Ndoso meminta gendrang tersisa itu dengan paksa.Dan sebagian kulit emas dari punggung ditanamkan di bukit Tingku Romot dekat Reo.
_________________________________________________________________________







 LOKE NGGERANG
Sumber:  https://nusantaralogin.blogspot.co.id/2013/07/kumpulan-cerita-daerah-nusa-tenggara.htm
            Danong one ca beo manga ata ine wai molas, mose diha leso-leso duat one uma kudut manga hang diha lete bari, ine wai molas ho’o danong ledong le ende agu eman ga ine wai molas ho,o ngasang na hia RUENG. Hia kaaaeang one mbaru uma,mose diha sengsara keta. Manga ca leso one beo dise hitu manga mai meka, meka hitu raja, tujuan mai de raja ho,o ga kudut mai kawe ine wai ata cocok jadi wina diha, leso hitu tu’a adat one beo hitu  kumpul taung lawa one beo hitu kudut cumang agu raja, kudut nganceng lelo ine wai ata cocok jadi wina diha, tapi leso hitu hia Rueng toe manga mai tau cumang hi raja, main le raja ho,o ga jera tu’a adat one beo hitu kudut benta inewai molas hitu, leso nu diang ga hitu di mai  hi Rueng cumang agu raja , du ita le raja ho,o Rueng ga pa’u nai de raja agu Rueng. Pas janji le raja ho,o ga kudut cumang one mbaru ngendang kudut lamar hia Rueng ,nu diang ga hia Rueng ngo one mbaru gendang cai nitu ga mai le raja  lamar hia Ruenng toe tiba liha Rueng ai menurut hia toe cocok jadi rona diha,laing toe tiba lamaran le Rueng beti nai de raja mai le raja benta pengawl de raja kudut mbele hia Rueng,mai le pengawal mbele hia Rueng bolo mai mbaru tembong mata hia Rueng ga mai lise loke diha Rueng pande tembong ngasang tembong hitu ga loke nggerang sampi denkir ho,o tembong hitu manga kin sale manggarai

Bahasa indonesia
Dahulu kala di sebuah desa  hiduplah seorang gadis yang bernama Rueng,dia seorang anak yatim piatu,orang tuanya telah lama meninggal,untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari dia bekerja di kebun peninggalan orang tuanya,makin hari hidupnya tambah sengsara. Pada suatu hari di desa itu ada tamu yang datang yaitu seorang raja yang sangat kejam, tujuan kedatangan dari raja tersebut untuk mencari seorang gadis untuk menjadi istrinya yang cocok menurutnyaa, maka dengan itu tua-tua adat di desa itu menyuruh semua warga desa itu untuk berkumpul supaya sang raja dengan mudah memilih calon istri yang cocok menurutnya, tapi hari itu Rueng tidak sempat hadir ,besok harinya sang gadis tadi yang bernama Rueng itu hadir maka pada gadis inilah sang raja jatuh cinta, sang raja langsung memberitahukan hal ini kepada tua adat agar tua adat yang omong langsung dengan Rueng, besok harinya sang raja melamar Rueng di rumah gendang tapi sayangnya lamaran sang raja tersebut di tolak maka emosilah sang raja dia menyuruh pengawalnya untuk menangkap dan membunuh sang gadis tersebut, maka di bunuhlah sang gadis tersebut dan mati dan kulitnya di buat gendang, sampai sekarang gendang tersebut masih ada di manggarai khususnya di manggarai barat.

Klasifikasinya
Bentuknya berupa legenda karena ceritanya nyata dan bendanya masih ada sampai sekarang masih dna masyarakat manggarai khususnya manggarai barat berbondong-bondong untuk melihat gendang tersebut.