Selasa, 16 Februari 2016

MENELUSURI HUBUNGAN SULSEL (BOSOSWA) DENGAN MANGGARAI

MENELUSURI HUBUNGAN SULSEL (BOSOSWA) DENGAN MANGGARAI

Ada yang mengklaim bahwa  ada leluhur orang Manggarai yang berasal dari  Sulawesi Selatan (Bone, Sopeng, Wajo). Apa benar demikian? Apa buktinya?

 Bahasa:
Mungkin bahasa bisa dijadikan salah satu bukti.
Beberapa kata yang  sama, misalnya:
  1. Karaeng (Makasar) = Kraeng (Manggarai)
  2. Palumara (M) = Pelmara (Manggarai)
  3. Leang (M) = Liang (Manggarai).
  4. Lipa (Makasar) = Lipa (= Kain, Manggarai)
  5. Tabe (Selayar, SULSEL)  + Tabe Manggarai (https://www.youtube.com/watch?v=pQ4QVRgUITY). 


Selain kata, juga nama tempat ada yang mirip, misalnya:

Kalumpang (Mamuju, SulBar) = Kelumpang (di Rahong Utara, Manggarai), http://regional.kompas.com/read/2013/09/03/1719576/Siswa.SD.Sabung.Nyawa.Seberangi.Sungai.demi.Bersekolah?utm_campaign=related&utm_medium=bp&utm_source=news&


Sabtu, 13 Februari 2016

LIANG BUA

Warga Curigai Tujuan Penelitian Bertahun-tahun di Liang Bua




4157
 http://www.floresa.co/2016/02/07/warga-curigai-tujuan-penelitian-bertahun-tahun-di-liang-bua/





Lokasi wisata Liang Bua (Foto: Ist)
Ruteng, Floresa.co – Sudah belasan tahun, terhitung sejak 2001 sejumlah ahli melakukan penelitian di Gua Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai- Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada September 2003, memang ada penemuan homo floresiensis, manusia purba Flores oleh sejumlah pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia.
Terkait penemuan manusia purba itu, belakangan, tim gabungan Australia dan Indonesia kemudian menyimpulkan bahwa itu merupakan fosil yang berasal dari spesies bukan manusia.
Kesimpulan itu dikritik oleh peneliti lain yang dimotori oleh Teuku Jacob, ahli dari Universitas Gajah Madah (UGM). Menurut dia, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan.
Itu sebabnya, pada 2007 lalu tim peneliti dari UGM melakukan penggalian ulang.
Keberadaan peneliti yang hampir 10 tahun di lokasi itu tersebut membuat tanda tanya besar bagi warga sekitar.
Lantaran para peneliti tertutup dengan masyarakat sekitar, mereka menduga, ada yang tidak beres dengan kegiatan penelitian di lokasi yang berjarak kurang lebih 13 km arah utara kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai itu.
“Patut kami duga para peneliti hanya mengambil kekayaan alam di Liang Bua untuk keuntungan pribadi mereka. Peneliti juga sangat tertutup dengan masyarakat,” ujar Fidelis Randut, warga Desa Liang Bua kepada Floresa.co, Sabtu (6/2/2016).
Ia mengaku, selama penelitian, tampak tidak ada pendampingan intens dari dinas terkait di Kabupaten Manggarai.
Menurutnya, jika peneliti melakukan pencurian barang tertentu dari dalam Gua Liang Bua pasti bakal tak satu yang bisa mengetahuinya.
”Kalau saya amati, masyarakat Liang Bua sudah tertipu dengan adanya fosil homo hloresiensis. Masa sudah puluhan tahun belum ada hasilnya. Sejauh ini kita belum tahu persis Sumber Daya Alam apalagi di Gua Liang Bua,” katanya mencurigai.
Dihubungi terpisah, Minggu (7/2), Petrus Rabu, Sekretaris Desa Liang Bua mengaku, memang tidak ada pendampingan dari pemerintah setempat sejak tahun 2007 lalu.
Ia mengaku pernah memang pernah ikut dalam proses penggalian dan yang ditemukan adalah tulang-tulang yang berserakan di bawah tanah.
“Sepengetahuan saya, tulang-tulang yang didapatkan dalam tanah itu di bawah ke Jakarta,” katanya.
Penggalian, kata dia, dilakukan di banyak tempat, dengan kedalaman sekitar 11 meter.
“Kami tidak tahu persis di kampung ini. Selama ini kami hanya anggap mereka sebagai peneliti saja,” ujarnya.
Floresa.co sudah berupaya meminta tanggapan dari pejabat di lingkup Setda Manggarai terkait hal ini.
Hingga berita ini diturunkan, kami belum berhasil mendapat respon mereka. (Ardy Abba/ARL/Floresa)






Kecurigaan Terhadap Penelitian di Liang Bua

2020
 http://www.floresa.co/2016/02/10/kecurigaan-terhadap-penelitian-di-liang-bua/






Alfan Manah (kanan) saat mengunjungi Gua Liang Bua pada 2012. (Foto: dok pribadi)
Oleh: ALFAN MANAH
Pada 7 Februari lalu, Floresa.co mempublikasi berita berjudul “Warga Curigai Penelitian Bertahun-tahun di Liang Bua.” Dalam berita itu, dijelaskan bahwa warga bernama Fidelis Randut menduga para peneliti hanya mengambil kekayaan alam di Liang Bua untuk keuntungan pribadi mereka, lantaran para peneliti tertutup dengan masyarakat sekitar. Ia juga mengatakan, penelitian yang dilakukan puluhan tahun itu tak ada hasilnya.
Usai menyimak berita tersebut, saya merasa tergerak untuk menyampaikan beberapa pokok pikiran berdasarkan cacatan selama melakukan kegiatan peliputan di Situs Liang Bua pada tahun 2012.
Sebelum lebih jauh saya menanggapi pendapat Fidelis Randut yang termuat pada berita tersebut, mari kita simak gambaran sepintas tentang Situs Liang Bua.
Liang Bua adalah sebuah gua kuno yang menjadi tempat tinggal manusia purba yang hidup pada 94.000 tahun silam. Gua itu merupakan cekungan berukuran besar, dengan mulut selebar lebih dari 15 meter dan kedalaman sekitar 7 meter. Langit-langit berupa batu dengan ujung menggelantung.
Situs Liang Bua terletak di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Gua ini terlihat bersih dan bekas-bekas galian fosil masih terlihat.
Menurut Lorens Hena, salah seorang yang dipekerjakan para ahli arkeologi asal Museum Arkeologi Nasional dan para ahli arkeologi asal Australia pada penggalian situs tersebut, bahwa tempat tersebut merupakan tempat tinggal nenek moyang manusia Flores zaman dulu.
Hemat saya, mencurigai tujuan penggalian Situs Liang Bua untuk penelitian dan sampai menilai bahwa penelitian tersebut tidak ada hasilnya adalah tidaklah berdasar.
Apalagi, tim penggalian situs purbakala di bawah pimpinan ilmuwan Australia dan Indonesia telah menemukan sisa-sisa kerangka delapan manusia dengan ukuran tubuh agak pendek dan volume otak kecil di dalam gua Liang Bua. Fosil-fosil tersebut kemudian diberi nama Homo Floresiensis (Manusia Flores), yang diambil dari nama pulau tempat ditemukannya fosil tersebut.
Salah satu kerangka yang diperkirakan seorang perempuan berusia 30-an tahun dan meninggal sekitar 18.000 tahun lalu, tingginya hanya 1 meter. Volume otak wanita itu hanya 380 cc. Informasi ini penting, sebab ukuran otak tersebut boleh dikatakan kecil, bahkan untuk seekor simpanse sekalipun.
Penyelidikan atas penemuan itu, yang diperkirakan berlaku paling tidak bagi 8 kerangka tersebut, menunjukkan bahwa Homo Floresiensis hidup di dalam gua ini antara 95.000 dan 12.000 tahun yang lalu.
Pendapat bersama dari para ilmuwan yang meneliti perkakas dan tulang-belulang hewan yang berhasil ditemukan dalam penggalian di dalam gua tersebut adalah bahwa individu-individu Homo Floresiensis memperlihatkan perilaku kompleks yang memerlukan kemampuan berbicara, dengan kata lain mereka adalah manusia cerdas yang hidup bermasyarakat dan memiliki keterampilan (kemampuan berkarya).
Batu-batu yang dipahat dan diasah tajam untuk keperluan tertentu ditemukan di dalam gua itu, dan keberadaan kerangka hewan memperlihatkan bahwa mereka adalah para pemburu yang berhasil, yang mampu menangkap binatang-binatang yang lebih besar dari tubuh mereka sendiri.
Penggalian lanjutan di Situs Liang Bua pada tahun 2012 yang lalu dilakukan dalam rangka menemukan kedelapan temuan yang terfragmentaris itu. Hal ini juga dilakukan untuk menjawab keraguan dari sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa Homo Floresiensis adalah spesies manusia modern atau Homo Sapiens yang kerdil.
Jatmiko, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di sela-sela kegiatan penelitian di Liang Bua ketika itu mengakui bahwa ada pendapat yang mengatakan Homo Floresiensis adalah manusia kerdil yang masuk dalam spesies Homo Sapiens atau manusia modern. Karena itu, pihaknya melakukan penelitian lanjutan untuk menjawab semua keraguan itu.
Tim penggalian tahun 2012 itu terdiri dari Thomas Sutikno, Jatmiko, Sri Warsito, Rokus Awe Due dari Puslit Arkenas, Matthew Tocheri, Mike Morwood. Dan tim peneliti ini dibantu oleh 41 orang lokal terlatih yang sudah bergabung dalam tim penggalian di Liang Bua sejak tahun 1979.
Terkait punahnya spesies Homo Floresiensis, Jatmiko menjelaskan pihaknya juga sedang meneliti tentang penyebab punahnya spesies ini. “Ada dugaan sementara punahnya spesies ini akibat letusan gunung berapi yang sangat dahsyat terjadi pada sekitar 13.000 tahun yang lalu.
Diduga, letusan Gunung Tambora, atau Gunung Berapi yang kini menjadi Danau Toba ataukah Gunung Berapi di Flores yang kini menjadi Danau Rana Mese,” terang Jatmiko. Dikatakannya, dugaan itu didasarkan atas struktur lapisan tanah vulkanik setebal 80 cm yang ditemukan berada tepat diatas kerangka tulang Homo Floresiensis ditemukan.
Salah seorang tim local penggailian Liang Bua 2012, Hendrikus Bandar (72) yang bertugas sebagai seorang pencatat tanah yang sudah ditimbang mengatakan bahwa dirinya telah bergabung dalam tim ini sejak tahun 1979. “Tim penggalian menggunakan tenaga warga sekitar Liang Bua yang terlatih sejak tahun 1979,” ujarnya.
Masyarakat setempat meyakini manusia purba itu berukuran pendek, setinggi 80 cm-100 cm. Penampilan mendekati bentuk monyet, tetapi sudah punya kemampuan berburu. Mereka makan binatang, seperti tikus atau kelelawar.
Lorens Hena termasuk salah satu warga yang diajak para peneliti arkeologi untuk menggali fosil manusia purba di dalam goa tersebut sejak awal tahun 2000-an.
Menurut Hena, sebelum digali untuk penelitian, gua besar ini pernah dipakai untuk tempat sekolah, yaitu mulai tahun 1960-an sampai 1970-an. Sekolah Rakyat, tempat anak-anak kampung belajar. Kadang, gua ini dipakai untuk upacara adat dan persembahan sesaji untuk leluhur.
Untuk diketahui bahwa Homo Floresiensis atau “Manusia Purba dari Flores”, dijuluki “hobbit” dan “llo” adalah spesies yang kini sudah punah, dalam genus Homo. Sisa-sisa fosilnya ditemukan pada tahun 2003 di Liang Bua, Manggarai. Kerangka parsial dari sembilan orang telah ditemukan, termasuk satu tengkorak lengkap. Bekas-bekas inilah yang menjadi subyek penelitian intensif untuk menentukan apakah mereka merupakan spesies yang berbeda dari manusia modern, dan kemajuan ini menimbulkan kontroversi ilmiah.
Hominin ini adalah luar biasa bagi tubuh yang kecil dan otak dan untuk bertahan hidup sampai waktu yang relatif baru pada sekitar 18.000 hingga 13.000 tahun yang lalu. Dipulihkan bersama sisa-sisa kerangka adalah alat-alat batu dari wawasan arkeologi mulai dari 94.000 sampai 13.000 tahun yang lalu.
Dua penelitian ortopedi diterbitkan pada tahun 2007 keduanya melaporkan bukti yang mendukung status spesies untuk Homo Floresiensis. Sebuah studi dari tiga token dari karpal (pergelangan tangan) tulang menyimpulkan ada kesamaan dengan tulang-tulang karpal dari seekor simpanse atau hominin awal seperti Australopithecus dan juga perbedaan dari tulang manusia modern. Sebuah studi tentang tulang dan sendi pada lengan, bahu, dan anggota tubuh bagian bawah juga menyimpulkan bahwa Homo Floresiensis lebih mirip dengan manusia purba dan kera daripada manusia modern.
Pada tahun 2009, penerbitan analisis cladistic dan studi pengukuran tubuh komparatif  memberikan dukungan lebih lanjut untuk hipotesis bahwa Homo Floresiensis dan Homo Sapiens adalah spesies terpisah.
Untuk menjawab keraguan sejumlah warga seperti Fidelis Randut, saya sarankan Pemerintah Kabupaten Manggarai perlu membuat Museum Sejarah dan Budaya Manggarai yang juga turut memajang duplikat tulang belulang Homo Floresiensis agar warga mudah memperoleh informasi yang tepat.
Penulis berasal dari Ruteng, sekarang bekerja di Yayasan Senyum Bali. Ia juga masih aktif menulis di beberapa media.





GEREJA DAN ADAT


Adat dan Gereja bersinggungan pada manusia dan alam. 

Adat dan gereja melayani manusia. Manusia membutuhkan lingkungan yang baik supaya hidup baik.  Ketika  adat dan gereja peduli lingkungan, berarti peduli manusia, sebaliknya, ketika adat dan gereja peduli manusia berarti peduli lingkungan.

 

 

Inilah Alasan Keuskupan Ruteng Desak Pencabutan IUP

840

Aksi tolak tambang para imam di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (13/10/2014)

Aksi tolak tambang para imam di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (13/10/2014)
Aksi tolak tambang para imam di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (13/10/2014)

Floresa.co – Keuskupan Ruteng-Flores, Nusa Tenggara Timur menggelar aksi unjuk rasa menolak kehadiran tambang pada hari Senin (13/10/2014).
Aksi ini yang digelar secara simulatn di tiga tempat, yakni di Ruteng, Labuan Bajo dan Borong, ibukota masing-masing kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur diikuti ratusan pastor dan ribuan umat.
Keuskupan Ruteng memang sudah secara tegas menyatakan sikap menolak tambang dalam Sinode yang digelar di Ruteng, September lalu.
Dalam dokumen hasil Sinode, mereka menyatakan secara tegas alasan mereka menolak kehadiran tambang. Hal itu dikatakan, sebagai hasil dari “refleksi kritis dan diskusi mendalam dalam terang Iman Katolik”.
Bagi Keuskupan Ruteng, tidak ada sikap lain, selain menuntut agar para bupati mencabut semua Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Berikut merupakan dokumen lengkap hasil sinode yang sudah diunggah di situs milik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mirifica.net.
Setelah melakukan refleksi kritis dan diskusi mendalam dalam terang Iman Katolik tentang persoalan tambang mineral dan dampak destruktifnya di Manggarai Raya, Kami, Uskup, Para Pastor, Suster, Bruder, Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Bapak/ibu awam peserta Sinode III yang mewakili umat Keuskupan Ruteng, pada hari ini, Kamis, 25 September 2014, mengungkapkan solidaritas yang  sangat mendalam  dengan para korban tambang. Sekaligus kami menuntut pencabutan semua izin usaha pertambangan mineral yang diterbitkan Pemerintah daerah di seluruh wilayah Keuskupan Ruteng yang mencakup tiga wilayah administratif pemerintahan, yakni Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai Timur.
Dasar Tuntutan
Pertambangan mineral (mangan, emas, pasir besi, batu bara, dll) mengakibatkan kerusakan ekologis yang sangat masif dan radikal. Entah model terbuka atau tertutup, kegiatan pertambangan merusak ekosistem kehidupan. Bukan hanya tanah, hutan dan sumber-sumber air yang dihancurkan oleh pertambangan mineral tetapi juga kestabilan iklim yang menjamin kehidupan manusia dan eksistensi planet bumi. Pelepasan masif karbon ke udara akibat kegiatan tambang merupakan pemicu perubahan iklim serta pemanasan global dewasa ini.
Dengan demikian dampak pertambangan mineral tidak hanya merusak alam lingkungan tetapi juga kehidupan manusia. Pencemaran tanah, air, udara oleh zat-zat beracun akibat kegiatan pertambangan menimbulkan pertama-tama bahaya kerusakan kesehatan manusia khususnya para pekerja maupun warga sekitar lingkar tambang berupa  penyakit kulit, pernafasan (ISPA), dan pencernaan. Penyakit-penyakit ini selanjutnya mengakibatkan kerusakan fungsi alat-alat vital tubuh seperti paru-paru, jantung dan hati.
Lebih dari itu kegiatan pertambangan mengakibatkan proses pemiskinan dan pemelaratan yang sistematis dan masif bagi masyarakat. Wilayah isin usaha  pertambangan yang meliputi puluhan ribu hektar ternyata  mencakup juga wilayah sumber mata air, wilayah hutan, perkebunan, pertanian serta pusat pemukiman masyarakat. Hal Ini mencaplok sumber-sumber kehidupan orang banyak dan generasi selanjutnya. Maka yang terjadi perusakan kehidupan ekonomi masyarakat. Argumen Pemerintah tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat oleh usaha pertambangan juga tidak terbukti. Pertambangan ternyata tidak membawa dampak ekonomis yang sangat signifikan baik bagi masyarakat setempat maupun terhadap struktur APBD Pemerintah Daerah. Sebaliknya keuntungan kecil dari kegiatan pertambangan tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki atau recoverylingkungan hidup yang rusak. Uang sebanyak apapun tidak mampu memulihkan kembali tanah, lembah, dan bukit yang telah dirusakkan oleh usaha pertambangan.
Yang paling merisaukan akhir-akhir ini adalah konflik sosial yang diakibatkan oleh pertambangan. Masyarakat lingkar tambang dipecahbelahkan antara yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahan tambang. Hal ini membawa konflik horizontal dan rusaknya keharmonisan, persaudaraan, persatuan dan perdamaian baik dikampung-kampung atau komunitas adat di daerah lingkaran tambang maupun dalam skala yang lebih luas antara warga (umat) di desa, kecamatan atau seluruh wilayah Manggarai Raya.
Selain itu kegiatan pertambangan juga merusak budaya. Tanah adat atau lingko adalah unsur penting dalam budaya Manggarai sebagaimana terlihat dalam ungkapan gendang one, lingkon pe’ang (rumah adat didalam, lingko di luar). Rumah adat/kampung dan tanah adat/lingko adalah unsur dwitunggal yang hakiki dalam budaya Manggarai; kehilanggan salah satunya adalah kepincangan budaya dan kehidupan masyarakat Manggarai. Perusahan tambang sering berdalih bahwa mereka telah membangun rumah adat (Mbaru Gendang/Mbaru Tembong), anehnya pada saat yang sama mereka merusak lingko, padahal gendang tanpa lingko tak bermakna.
Secara iuridis kegiatan pertambangan yang dilakukan diatas tanah masyarakat wajib hukumnya untuk mendapat izin penggunaan hak atas tanah dari pemiliknya. UU Pertambangan Minerba No.4 Tahun 2009, Pasal 136 dengan tegas menyebutkan bahwa   izin usaha pertambangan bukan bukti izin penguasaan hak atas tanah. Pemegang izin kuasa pertambangan sebelum melakukan kegiatan pertambangan wajib mendapat persetujuan dari masyrakat sebagai pemilik hak tas tanah tersebut.  De facto, pemerintah daerah dan perusahan-perusahan tambang telah melakukan upaya-upaya manipulatif  untuk mendapat izin masyarakat dengan cara membuat tanda tangan palsu, rekayasa tokoh adat, melibatkan masyarakat adat lain untuk membuat pernyataan dukungan.
Investasi kegiatan pertambangan selalu melibatkan aparat keamanan baik Polri maupun TNI untuk menjaga keamanan tetapi juga menjadi alat penindas investor terhadap masyarakat. Beberapa kenyataan sudah membuktikan bahwa banyak masyarakat yang mengalami penindasan fisik dan penindasan mental melalui kriminalisasi hak-hak dasar masyarakat. Kasus Tumbak, Sabtu 13 September 2014 bukan hanya menjadi tragedi ekologis tetapi juga tragedi kemanusiaan. Pater Simon Suban, SVD dan masyarakat mengalami perlakuan kasar yang dilakukan secara teroganisir oleh pihak perusahan dan aparat keamanan. Selain itu, aparat pemerintah (Bupati, Dinas, Camat, Kepala Desa) juga turut membela perusahaan tambang dan dengan cara memanipulasi dan mengintimidasi  masyarakat lingkar tambang. Yang terjadi adalah kolaborasi mutualistis tetapi membahayakan antara investor tambang, aparat pemerintah dan aparat keamanan dalam menindas dan mengeksploitasi warga.
Panggilan dan Kewajiban Iman Katolik
Gereja Katolik memahami lingkungan hidup sebagai hal tak terpisahkan dari kehidupan beriman. Allah telah menciptakan alam semesta baik adanya (Kej 1). Karena itu perusakan terhadap lingkungan hidup merupakan tindakan yang melawan sang Pencipta. Iman Katolik menuntut seluruh warga Gereja untuk memperjuangkan keutuhan ciptaan (integritas) dan melestarikan lingkungan hidup.
Lebih dari itu iman Katolik mengakui peran kunci Yesus Kristus dalam tata penciptaan. Sebab “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:3; bdk. 1 Kor 8:6). Kristus adalah sumber segala sesuatu dan pemersatu dari segala sesuatu yang diciptakan oleh BapaNya. Dia adalah “yang sulung dari segala yang diciptkana. Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu” (Kol 1:15-16). Maka perjuangan menegakan keutuhan dan kelestarian lingkungan hidup dan penolakan terhadap pertambangan mineral berakar dalam panggilan dan tuntutan iman Katolik yang ingin menemukan wajah Kristus dalam keharmonisan, keindahan dan kelestarian ciptaan.
Oleh sebab itu perjuangan untuk menolak pertambangan mineral bukan sekedar perjuangan ekologis dan sosial tetapi juga perjuangan yang bersumber dari panggilan dan tuntutan iman Katolik. Perjuangan ini mengalir dari komitmen untuk meneledani dan berpartisipasi dalam pelayanan Yesus, sang Nabi dan Pembebas, yang memperhatikan dan menolong orang-orang miskin dan korban-korban penindasan sosial serta yang mengkritik situasi ketidakadilan sosial akibat hilangnya kesetaraan dan keadilan dalam akses terhadap sumber-sumber alam yang disediakan oleh bumi, Ibu Pertiwi. Gereja Katollik dipanggil dan dituntut untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan umum dan integritas ciptaan (bdk. GS 27; CA 37)
Tuntutan-tuntutan
Bertolak dari hal-hal di atas, maka kami, peserta Sinode yang mewakili seluruh umat Keuskupan Ruteng menuntut kepada:
  1. Bapak Bupati Manggarai Timur, Bapak Bupati Manggarai, dan Bapak Bupati Manggarai Barat pimpinan wilayah administratip Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mencabut segera izin tambangyang telah diberikan, membatalkan  pemberian izin tambang yang masih dalam proses dan selanjutnya tidak mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru. Peraturan harus melindungi masyarakat dan menjamin hak-haknya. Peraturan adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk peraturan. Karena itu peraturan yang menindas manusia dan merusak hak dan martabatnya harus dikoreksi atau bahkan dicabut.
  2. Seluruh aparat pemerintah dari Kabupaten, Kecamatan sampai Desa di seluruh Wilayah Administratif Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, terutama masyarakat lingkar tambang dan menjamin hak-hak dan martabat Kami mengecam keras dan melawan semua tindakan aparat Pemerintah yang memanipulasi, mengintimidasi dan mengancam masyarakat.
  3. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun DPD Dapil NTT untuk melakukan fungsi kontrolnya dan legislasinya dengan mengawasi dan meminta pertanggungjawaban Pemerintah Daerah di tiga kabupaten dalam wilayah Keuskupan Ruteng berkaitan dengan aktivitas pertambangan di wilayahnya masing-masing serta membuat peraturan daerah yang membebaskan wilayah Manggarai Raya dan NTT pada umumnya dari investasi pertambangan mineral.
  4. Aparat keamanan dalam hal ini Polri dan TNI di seluruh Wilayah Administratif Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mewujudkan fungsi penjamin keamanan, kenyamanan dan kedamaian bagi seluruh warga masyarakat serta tidak memihak investor tambang apalagi memprovokasi pihak manapun dalam konflik pertambangan dan lingkungan hidup.
  5. Lembaga-lembaga peradilan yang menanggani perkara yang berkaitan dengan pertambangan untuk menegakkan keadilan dan kepastian hokum, menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar masyarakat dan mengutamakan keutuhan ciptaan dan keadilan bagi warga.
  6. Seluruh umat Katolik Keuskupan Ruteng di tiga wilayah Kabupaten Manggarai Raya untuk terlibat aktif, konstruktif dan berkelanjutan dalam gerakan bersama tolak tambang melalui doa, katekese, publikasi dan penyadaran sosial kritis serta demonstrasi damai sampai seluruh ijin pertambangan di Manggarai Raya dicabut.

Ruteng, 25 September 2014
Dalam persaudaraan Sinodal,
Uskup Ruteng
Mgr. Hubertus  Leteng

PAKI KABA BAKOK SEBAGAI WUJUD SYUKUR

http://www.floresa.co/2015/08/23/acara-baro-bola-ema-cebo-wujud-syukur-di-kampung-sampar/

Acara ‘Baro Bola Ema Cebo’, Wujud Syukur di Kampung Sampar

303

Acara penyembelian kerbau, bagian dari rangkaian upacara adat Baro Bola Ema Cebo (Foto: Dinan/ARL/Floresa)
Acara penyembelian kerbau, bagian dari rangkaian upacara adat Baro Bola Ema Cebo (Foto: Dinan/ARL/Floresa)

Floresa.co – Ada banyak alasan untuk bersyukur dalam hidup. Selain misalnya karena mendapat harta berlimpah, umur panjang, juga bisa karena banyaknya ketururunan.
Perihal banyaknya keturuan itu menjadi alasan bagi keluarga keturuan Petrus Nembok, yang populer disebut Ema Cebo di Kampung Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng merayakan syukur pada 14-18 Agustus lalu.
Mereka menggelar acara yang disebut Baro Bola Ema Cebo. Pada perayaan adat itu, keturuanan Ema Cebo  mempersembakan kerbau putih. Ini merupakan wujud terima kasih kepada Tuhan atas terkabulnya permohonan Ema Cebo dahulu kala, yaitu agar keturanannya beka agu buar (berkembang biak).
Menurut Romo Karolus Jande Pr, putra bungsu Ema Cebo, dahulu saat masih hidup, ayahnya itu berjanji kepada anak-anaknya bahwa ia akan mempersembahkan acara syukur jika doanya dikabulkan oleh Tuhan.
Mori, eme beka agu buar kilog, kaba laing laku tai, demikian janji Ema Cebo, yang berarti, Tuhan jika  keluargaku berkembang biak, nanti saya mempersembahkan kerbau.
Ema Cebo mempunyai sepuluh orang anak yang terdiri dari lima laki-laki dan lima perempuan.
Keluarganya berkembang pesat menjadi hampir lima puluh orang cucu dan cece. Salah satu cucunya adalah Romo Charles Suwendi Pr yang kini bertugas sebagai Pastor Paroki Timung, Kecamatan Wae Ri’i.
Kesepuluh anak Ema Cebo menyadari bahwa keturunan yang banyak jumlahnya itu adalah bukti terkabulnya Bola de Ema Cebo.
Menurut Romo Karolus, ayahnya itu yang meninggal pada tahun 1990 merupakan perintis Kampung Sampar. Ia juga ditugaskan oleh Gelarang Ndung dan Dalu Rahong serta Raja Manggarai sebagai penjaga perbatasan wilayah kedaulatan.
Rangkaian acara adat Baro Bola Ema Cebo diawali dengan acara adat tura ndekok (pengakuan dosa) di jalan raya pertigaan kampung Sampar (Ruas jalan Cancar Golo Welu), doa di pemakaman Ema Cebo, teing hang kolang (pemberian sesajian) di mbaru gendang (rumah adat) Sampar.
Hari kedua dilanjutkan acara pantek (acara adat menetapkan waktu penyembelian kerbau) dengan mempersembahkan seekor babi. Acara ini diikuti oleh warga keturunan Ema Cebo serta warga Kampung Sampar dan dari rumah adat lainnya.
Menyusul kemudian ritual adat barong boa Ema Cebo (acara adat di kuburan Ema Cabo), barong wae (acara di mata air warga Sampar) dan barong compang (acara di tugu adat).
Selanjutnya, acara adat kina we’e yang artinya seluruh keluarga ikut hadir dalam prosesi tersebut.
Setelah prosesi acara tersebut, mempersiapkan diri wa’u wa tana (turun ke tanah) saat mentari terbit, sembari mengumandangkan lagu adat mengiring acara persembahan kaba bakok, ela bakok dan ayam putih
Pada penyembelihan kerbau, juga ikut dipersembahkan satu ekor babi (ela laca) yang menunjukan rangkaian acara persembahan kerbau sudah selesai.
Sore harinya juga berlangsung acara adat congko laca dengan menyembeli ayam  jantan, untuk membersihkan sisa kotoran dan darah kerbau yang tersisa saat disembeli.
Setelah itu, di rumah adat berlangsung acara caca sélek, dengan menyembelih ayam putih sebagai tanda sẻluruh prosesi adat berakhir. (Dinan/ARL/Floresa)


Nb: Bola = nasar.