Ilustrasi (Foto: RONY MUHARRMAN/ANTARA)
Kupang, Vox NTT-Jumat, 20 November 1761. Dalam kesengitan arus musim barat, sebanyak 27 buah perahu asal Bima meninggalkan Warloka, Manggarai Barat menuju negeri Todo di Manggarai.
Perahu yang mengangkut sekitar 500-an pasukan siap tempur Bima itu dipimpin oleh Tureli Bolo bernama Ismail.
Selain pemimpin pasukan, Ismail juga diutus sebagai wali sultan Bima, Abdul Kadim untuk bertemu dengan pemimpin Adak (kerajaan) Todo.
Seminggu berlayar, mereka akhirnya tiba di pelabuhan Ramut yang terletak di pantai selatan Adak Todo.
Ramut atau yang dikenal Wae Ramut berada di bawah pengawasan langsung fungsionaris bangsawan Todo.
Jarak dari ibu kota negeri Todo masih cukup jauh sekitar 20-an kilo meter ke pedalaman.
Kehadiran 27 perahu itu, bukan untuk melakukan invasi ke Manggarai sebagaimana yang ditulis dalam Naskah Bima.
Bima sesungguhnya datang demi menepati permintaan utusan Todo yang diantar dan dijurubicarai ‘Dalu Bajo’.
Delegasi Todo yang ke Bima terdiri dari Prera Ame Keka, Klaru, Cebut Ame Ncerum, Gura Ame Undam dan Tandang Ame Tondong (Wakil adak Bajo yang menjadi pengantar jalan dan penerjemah).
Adak Bajo dimintai Todo karena mengenal bahasa Bima dan mempunyai hubungan baik secara turun temurun.
“Kehadiran delegasi resmi Todo kepada Sultan Bima sebenarnya kejadian teramat penting sebab memiliki nilai sah secara yuridis menghalalkan kehadiran Bima di wilayah Adak Todo,” demikian jelas Dami N Toda dalam bukunya Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi.
Pengiriman bantuan Todo ke Bima berhubungan dengan serangan Cibal terakhir yang didukung perwakilan Goa di Reok dan Adak Lambaleda. Serangan mematikan sekaligus memalukan itu dikenal dengan sebutan Purak (sergap).
Koalisi pasukan Cibal melancarkan purak untuk membalas kekalahan sebelumnya di perang Weol.
Perang di Benteng Weol
Sebelum bantuan Bima itu tiba, perang besar dengan pasukan adak Cibal menjadi sejarah yang tak terlupakan di Manggarai.
Cerita perang ini bahkan masih terekam jelas di benak generasi tua Manggarai.
Pasukan Todo di bawah pimpinan Kraeng Ilang Randut, sementara pihak Cibal dipimpin Nggaeng Dapang Lando Kakor Nalo Holes, putra Nggaeng Pangge Tande.
Serangan Todo dipersiapkan dari Benteng Golo Nawang terhadap kosentrasi pasukan Cibal di Benteng Weol (Rahong Selatan).
Benteng Weol merupakan salah satu pusat kekuatan rakyat Cibal bersama para dalu dan gelarang di bawahnya.
Perang yang berkepanjangan selama lima tahun tanpa menjatuhkan benteng Weol mengakibatkan kekurangan makanan serta sakit penyakit di pihak Adak Todo.
Melihat situasi yang kian terjepit, datanglah usulan taktik perang dari Reno Ame Rembong (dari Gelarang Popo) yang memiliki mbeko (ilmu gaib).
Usulan yang disampaikan ke Kraeng Ilang Randut yakni mendandani si Monis (sebutan untuk istri Kraeng).
Monis dinaikan ke atas kuda dengan memakai payung berwarna kuning untuk berpura-pura dipersembahkan kepada Nggaeng Dapang di dalam benteng Weol.
Saat kuda si putri bersama pengiringnya berarak menuju benteng, mbeko Rebo Ame Rembong mengirimkan kabut rendah yang tebal dari belakang. Di bawah kabut itu, merayap pasukan Todo maju menuju benteng Cibal.
Pasukan Cibal tercengang melihat putri yang cantik duduk berpayung kuning di atas kuda berhias itu. Sementara para pengiring laki dan perempuan membawa bendera putih tanda penyerahan diri.
Nggaeng Cibal kemudian bertanya, di mana gerangan Kraeng Ilang Randut? Pengiring menjawab “Sudah balik ke Todo Mori”.
Dia pun berkata, “Hoi, kali toe ata rona hi Randut hitu ta” (Wah, padahal bukan laki-laki si Randut itu).
Nggaeng Dapang kemudian memerintahkan penjaga membuka pintu benteng untuk memasukan putri persembahan Todo ke perkemahaan di dalam benteng.
Sementara pasukan Cibal bersuka cita dengan pintu benteng yang terbuka, pasukan Todo meyergap pasukan Cibal hingga lari terberai.
Hasil dari kemenangan itu kemudian mengubah perbatasan baru wilayah Cibal dan Todo.
Adak Todo mendapat alihan kekuasaan atas 4 kedaluan bawahan Cibal: Dalu Rahong, Dalu Ndoso, Dalu Ruteng dan Dalu Ndehes.
Serangan Balasan Cibal
Beberapa waktu kedua Adak memang hidup secara damai. Namun dendam atas kekalahan akibat tipu muslihat Todo serta penyempitan wilayah Adak Cibal menimbulkan perang babak baru.
Cibal kemudian meminta bantuan bala tentara kerajaan Goa (Makasar) yang bermarkas di Reok.
Tak cukup dengan bantuan Goa, Adak Cibal juga meminta bantuan Adak Lamba Leda untuk menyerang langsung atau purak ke pusat Adak Todo. Waktu yang paling tepat untuk menyerang mulai dipikirkan.
Sementara, kemenangan Todo di benteng Weol bagaikan api penyemangat untuk melancarkan invasi ke daerah lain di Flores Barat.
Todo terus melancarakan ekspansi ke wilayah bagian timur Manggarai dengan menggempur Adak Tana Dena.
Saat perhatian Todo fokus ke timur, pihak Cibal yang kala itu dipimpin Nggaeng Gande Ame Rambe, berhasil menggagas strategi purak ke jantung ‘beo’ Todo.
Serangan ini dilancarkan melalui benteng Wae Kukur yang dijaga oleh Kraeng Janggok, putra Kraeng Re bersama gelarang Ling.
Benteng Wae Kukur pun berhasil ditaklukan Cibal. Dari arah bukit Kebe Gego, pasukan Cibal dapat melihat benteng Pongkor di seberang Wae Mese menyala dengan polesan warna kapur putih dan dentuman ancaman tembakan meriam Laro Bajo.
Ancaman itu, tak membuat nyali pasukan Cibal ciut. Siasat Cibal bukan serangan ke benteng Wae Mese, tetapi ke jantung Beo Todo.
Pasukan Cibal kembali pulang ke benteng Wae Kukur untuk memasuki Todo dari arah belakang, melewati punggung gunung.
Dengan menyogok penjaga benteng Wae Kukur sebanyak 20 orang hamba, pasukan Cibal mendapat jalan rahasia lewat punggung gunung Todo melewati Ndajang-Lia-Repok-Desu dan akhirnya memasuki Todo dari belakang tanpa terjaga.
Sementara kosentrasi pasukan Todo berada di dua benteng di sebelah utara, agak jauh di depan.
Pasukan purak Cibal yang terpimpin rapi dalam waktu sekejap membakar rumah-rumah orang Todo yang beratap ijuk. Dalam sekejap pula, kampung pusat peradaban itu menjadi lautan api.
Pasukan Todo yang berada di benteng terdekat kaget melihat kepulan asap yang membubung ke langit. Mereka membutuhkan waktu satu jam untuk sampai ke pusat kampung.
Dami N Toda, dari sumber lisan mengisahkan, meski rumah-rumah lain terbakar, namun rumah induk atau yang biasa disebut Niang Dangka Todo (rumah bercabang) tidak bisa terbakar karena dilindungi ilmu gaib.
Sementara bagi Cibal, rumah itu adalah simbol Adak Todo yang harus dilenyapkan. Maka dalam waktu singkat dipikirkan cara membakarnya sebelum pasukan terdekat Todo tiba.
Nggaeng Ponjung tak hilang akal. Ia memaksa seorang nenek tua lumpuh bernama Ntomang (ibu Kraeng Ilang Randut) untuk membuka rahasia sakti rumah itu dengan jaminan tidak akan membunuhnya.
Nenek Ntomang sepakat namun punya persyaratan: mengembalikan padanya barang yang tersimpan di dalam rumah itu.
Syarat diterima. Pasukan Cibal pun disuruh naik ke atas bubungan niang, membuka sembilan depa kain putih yang melilit ngando (tiang bubungan) dan mengambil emas gumpalan dari dalamnya. Emas itu harus diserahkan kepadanya.
Setelah petunjuk itu dilakukan, pasukan Cibal membakar rumah itu hingga rata dengan tanah. Namun Nggaeng Ponjung mengingkari janjinya.
Nenek tua itu dilemparkannya ke dalam amukan api Niang Dangka.
Sebelum tubuhnya hangus terbakar, sang nenek mengucapkan sumpah serapah atau dalam bahasa Manggarai disebut Wada yang berbunyi demikian:
Cing teke sili/wela teke pea’ng/neho aku taung o’om tai/toe le uwa dise anakg ho’o/lise empo teke wan tai/kudut kawe rangga
Selain Niang Dangka, target lain pasukan Cibal adalah batu Todo yang berbentuk seperti tugu. Namun, batu tersebut tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.
Setelah merampas apa saja yang bisa dibawa, pasukan purak Cibal kembali melalui jalan rahasia dengan aman.
Terhina oleh purak itulah, maka Adak Todo mencari dukungan ke Bima dan Adak Bajo untuk serangan balasan.
Menurut, Dami N Toda, cerita lisan yang merupakan ciri khas sumber asli Manggarai ini, merupakan bukti bahwa Bima tidak pernah meginvasi Manggarai secara langsung.
Kehadiran 27 perahu yang masuk ke Todo bukan untuk berperang seperti yang tertulis dalam Naskah Bima tulisan H. Ahmad/Held.
Sebaliknya, Bima hadir karena diminta oleh Adak Todo untuk membalas serang purak mengingat keterlibatan Goa dan Adak Lamba Leda di belakang Cibal.
Lalu, bagaimana sampai Kesultanan Bima mengklaim Manggarai sebagai daerah jajahan dan meminta upeti berupa budak?
Simak kisah selanjutnya….
Penulis: Irvan K
Sumber utama: Dami N Toda dalam bukunya “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi”