Minggu, 22 Mei 2016

HOMO SAPIENS BERPERAN DALAM KEMUSNAHAN HOMO FLORENSIENSIS ?

Kamis 31 Mar 2016, 13:32 WIB

Manusia Mungkin Berperan dalam Kemusnahan Manusia Kerdil Flores

BBC Magazine - detikNews
 http://news.detik.com/bbc-world/3176606/manusia-mungkin-berperan-dalam-kemusnahan-manusia-kerdil-flores
Manusia Mungkin Berperan dalam Kemusnahan Manusia Kerdil Flores Foto: BBC Magazine
Jakarta - Spesies manusia yang sudah punah yang dijuluki "Hobbit" sudah lenyap dari Pulau Flores jauh lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Para ilmuwan juga menduga, spesies kita bahkan mungkin memiliki andil dalam kemusnahan orang-orang berukuran kecil ini.
Para peneliti, Rabu (30/3) kemarin mengatakan, mereka mengkalkulasi ulang usia tulang dari spesies Homo floresiensis yang ditemukan di dalam sebuah gua Flores, dan menyimpulkan bahwa mahluk itu musnah sekitar 50.000 tahun lalu, bukan 12.000 tahun lalu sebagai mana perkiraan sebelumnya.
Penemuan Hobbit pada tahun 2003 menciptakan suatu sensasi di dunia ilmiah. Homo floresiensis tingginya 106 cm, memiliki otak ukuran kecil yang sebanding dengan otak simpanse, menggunakan alat-alat batu dan mungkin berburu gajah kerdil.
Para peneliti mengatakan belum ada bukti langsung bahwa orang-orang kerdil itu bertemu Homo sapiens -spesies kita, tapi catatan menunjukkan nenek moyang kita sudah mendiami pulau-pulau lain di sekitarnya pada waktu itu, dan mencapai Australia sekitar 50.000 tahun lalu.
Seorang geokronologis dari University of Wollongong, Australia, Bert Roberts mengatakan, bisa jadi Homo sapiens turut berperan dalam kepunahan Hobbit, dan hal ini akan merupakan fokus utama dalam penelitian lebih lanjut.
"Bagi saya, pertanyaannya adalah, Apakah para hobbit akan punah jika manusia tidak pernah mendarat di Flores? Dan jawabannya adalah 'tidak.' Kita kemungkinan besar faktor penentu dalam kepunahan mereka, tapi kita masih harus mencari bukti kuat untuk mendukung taksiran ini," kata Roberts.
Selain hobbit, banyak hewan punah di Flores pada saat yang sama, kata ahli paleoantropologi Matt Tocheri dari Lakehead University, Kanada, dan Program Asal Muasal Manusia Smithsonian Institution.
Hewan-hewan yang lenyap itu antara lain gajah kecil, bangau marabou raksasa, burung Nazar, dan komodo.
homo floresiensisPerbandingan ukuran tengkorak homo floresiensis dengan kita, homo sapiens.
Setelah penggalian 2007-2014 yang meningkatkan pemahaman tentang situs gua, para ilmuwan mengevaluasi lagi usia tulang Homo floresiensis dan sedimen yang mengandung fosil itu.
Sisa-sisa kerangka Hobbit berasal dari 60.000 hingga 100.000 tahun lalu, sementara peralatan batu mereka berusia 50.000 sampai 190.000 tahun, kata arkeolog Thomas Sutikna dari Universitas Wollongong Australia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Republik Indonesia.
Homo sapiens pertama kali muncul di Afrika sekitar 200.000 tahun lalu dan kemudian bergerak ke bagian lain dunia, berjumpa spesies manusia lain seperti Neanderthal yang punah tidak lama kemudian.
Perkiran sebelumnya bahwa hobbit hidup 12.000 tahun lalu mengindikasikan mereka mungkin telah bertahan selama 40.000 tahun setelah spesies kita mencapai wilayah itu. Tapi hasil penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature, menunjukkan bahwa kenyataannya tidak begitu.

(nwk/nwk)

Jumat, 06 Mei 2016

RITUAL POKA KABA DI BUMBU PUPUNG


Unik, Tradisi "Poka Kaba" di Lembah Kampung Bumbu

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.

Berita Terkait

PERJALANAN menuju perkampungan di perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kampung Bumbu Pupung, Desa Rondo Woing tak mudah seperti yang diungkapkan dalam kata-kata lisan. Walaupun tergolong kampung yang berada di lembah dan terpencil juga tak mudah dijangkau kendaraan bermotor, Bumbu Pupung, akhir Oktober 2014 tiba-tiba meriah.

Ratusan pengunjung dari kampung tetangga, seperti Kampung Ntaur, Torok Golo, Teber, Colol, Rengkam, Sita, bahkan kabupaten tetangga hadir ke kampung  itu. Mereka yang semuanya dalam hubungan kekeluargaan datang dengan maksud sama: menghadiri ritual “Poka Kaba Congko Lokap” rumah Gendang Bumbu. Ritual ini wajib dilaksanakan dan selalu diupacarakan ketika pembangunan rumah adat gendang selesai dibangun oleh para pewarisnya.

Bumbu adalah salah satu anak kampung di Desa Rondowoing, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur. Daerah dengan kampung induk bernama Pupung, Bumbu adalah kampung yang berada di lembah yang diapit empat bukit. Keempat bukit itu adalah bukit Racang (Golo Racang), Colol, Teong Lewing, dan Bukit Pupung (Golo Pupung). Kampung itu berada di sebelah timur bagian selatan Kabupaten Manggarai Timur di Pulau Flores.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual ayam putih dalam tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bumbu di Desa Rondowoing letaknya sekitar 20 kilometer dari Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, atau 50 kilometer dari arah Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai. Manggarai sendiri yang kini berubah nama menjadi Manggarai Raya, sejak awal tahun 2000-an mengalami pemekaran dan kini menjadi tiga kabupaten. Selain Kabupaten Induk, Manggarai, dua lainnya adalah Manggarai Barat (2003) dan Manggarai Timur (2007).

Kondisi jalan Ruteng-Borong-Ranamese sangat bagus. Jalan itu adalah bagian dari jalan lintas Transflores yang berstatus sebagai jalan negara. Namun, kondisi jalan selebihnya sangat kontra. Apalagi jalan ke kampung-kampung. Sejak lepas dari jalan Transflores dan memasuki tikungan menuju ke Bumbu, kendaraan roda empat, baik yang bermerk ford dan truk harus berjalan dengan penuh hati-hati. Dari satu persimpangan, persisnya di samping Kampung Paka hingga pusat Kampung Bumbu yang jaraknya sekitar 15 kilometer perjalanan dengan mobil membutuhkan waktu 1,5 jam.

Jalan itu selain sempit, juga hanya berlapiskan susunan batu yang sudah terkelupas dari Paka sampai di Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom. Dari Kampung Ntaur, kita berjalan melewati dua kali besar, yakni Kali Waemusur I dan II. Jalan tersebut berlubang-lubang karena sebagian susunan batu sudah terbongkar dan berserakan, membentuk onggokan liar di sana sini. Sedangkan dari tikungan Paka sampai di Kampung itu kita melewati lima kali besar. Satu jembatan sudah dibangun sejak masih bergabung dengan Kabupaten Induk, Manggarai dan duanya lagi sedang dikerjakan. Selain itu jalan rayanya berada disela-sela tebing batu. Jalan menurun dan mendaki sehingga sopir yang mengendarai kendaraan penuh dengan hati-hati.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tari Congka Sae yang dibawakan kaum perempuan dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Meski sempat lelah dan letih akibat guncangan kendaraan saat melewati jalan yang rusak dan belum beraspal itu, rasa kelelahan hilang saat bersamaan menikmati pemandangan persawahan di Lembah kampung itu serta memandangi empat bukit yang masih sangat hijau.

Seperti dalam judul tulisan ini, setidaknya di kawasan Timur bagian selatan Manggarai Raya termasuk Bumbu-Pupung dan sekitarnya hingga di era teknologi dan global ini menyisakan ritual kuno yang berusia ribuan tahun yang dipercayai sangat sakral oleh para penghuni Manggarai Raya. Ritual itu sudah sering diketahui luas adalah “Poka Kaba Congko Lokap”, yakni sebuah upacara khusus sesudah rumah adat gendang di Manggarai Raya dibangun.

Masyarakat Manggarai Raya di Flores umumnya masih beranggapan bahwa “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membersihkan kampung dari berbagai kejahatan pasca rumah adat gendang dibangun dengan hewan kurban kerbau adalah upacara wajib sebagai penghormatan dan berterima kasih kepada lelulur dan Sang Pencipta.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tetua adat menyerahkan alat tari Caci pada acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Ritual “Poka Kaba Congko Lokap” di Bumbu, Rabu-Kamis, 29-30 Oktober 2014, penyelenggaranya adalah turunan dari Suku Nembe yang rumah adat induknya berpusat di kampung tersebut. Tradisi ini harus dilaksanakan pasca pembangunan rumah adat Gendang yang didirikan ditengah kampung. Poka (bunuh), Kaba (kerbau), Congko (pungut) dan Lokap (kotoran atau sisa-sisa kotoran). Jadi tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” diartikan sebuah tradisi membunuh kerbau untuk membersihkan sebuah kampung pasca rumah adat Gendang dibangun.

Dalam ritual puncak “Poka Kaba Congko Lokap”, hewan kurban kerbau selalu dipadukan dengan sejumlah babi jantan besar dan kecil. Ritual ini diyakini sebagai upacara bersyukur dan berterima kasih kepada leluhur atas bantuan mereka sehingga rumah adat bisa dibangun sekaligus mengucapkan terimakasih kepada Sang Pencipta.

Gabriel Geo, tetua adat di Kampung Bumbu Pupung kepada Kompas.com di Kampung Bumbu, Kamis (30/10/2014) menjelaskan, warga kampung Suku Nembe berasal dari keturunan Minangkebau. Nama lelulur asal Minangkebau adalah ‘Durung’. Namun, warga suku di Manggarai Timur memanggilnya “Wangka Durung”. Mengapa, saat “Durung”  berlayar dari Minangkebau dan bersandar di Pelabuhan Pota, Jangkar dari kapalnya ada di Pelabuhan Pota. Jadi orang memanggilnya “Wangka Durung”. Selanjutnya, “Wangka Durung” memperistrikan “Kodal” dari Kampung Watu Cie, di Colol, Kecamatan Pocoranaka.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Para tetua adat menari Congka Sae dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Gabriel menjelaskan, hasil perkawinan “Wangka Durung dan Kodal” lahirlah Hende (sulung), Nembe (anak kedua), Koko (anak ketiga) dan Wintuk (anak bungsu). Lalu, Hende, karena rajin memelihara anjing maka ia bermigrasi ke wilayah Lambaleda. Nembe adalah seorang yang tekun menanam berbagai jenis tanamanan holtikultura seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi dan sejenisnya sehingga Ia mencari daerah subur di wilayah pegunungan Mandosawu dekat dengan Gunung Ranaka.

“Dari Gunung Mandosawu dekat Gunung Ranaka, leluhur kami (Nembe) mencari daerah subur dan menemukan daerah subur di Lembah Bumbu-Pupung. Kuburan dari leluhur itu yang berusia ratusan tahun masih ada diatas bukit disekitar Lembah Bumbu-Pupung. Sejak kehadiran leluhur itu, warga masyarakat membangun rumah adat yang sederhana yang terbuat dari ijuk dan bertiangkan bambu. Lalu, penginisiatif, Hironimus Nawang, seorang putra keturunan Kampung Bumbu merencanakan pembangunan rumah adat gendang Bumbu. Maka, pembangunan sudah selesai dengan dilaksanakan ritual “Poka Kaba Congko Lokap,” jelasnya.

Tetua Gendang Kampung Bumbu, Marselinus Mantur, Karel Kalut dan Yakobus Tagang menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” yang harus dilalui diantaranya, ritual “Barong Lodok”, ritual di sudut persawahan dan perkebunan milik komunitas warga dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Kedua, ritual “Barong Wae”, ritual di mata air dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Ketiga, ritual “Teing Hang Ata Tua”, ritual memberikan sesajen kepada leluhur di kampung tersebut. Keempat, ritual “Tudak Ela Penti”, ritual berterima kasih dan bersyukur kepada leluhur sebagai perantara rahmat dari Sang Pencipta.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Para tetua menabuh gendang dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kelima, ritual” Ela Pantek”, ritual mengundang leluhur untuk masuk di rumah adat gendang. Keenam, ritual “Barong Rapu”, ritual meminta leluhur di pekuburan untuk sama-sama menyaksikan upacara adat di kampung tersebut dan dilaksanakan pada malam hari. Ketujuh, ritual Ela Wee, ritual mengundang seluruh warga Kampung dan sekitarnya untuk sama-sama menyaksikan dan memeriahkan ritual “Poka Kaba Congko Lokap” pada esok harinya. Lalu, kedelapan, puncaknya dari berbagai rangkaian upacara adalah Ritual “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membunuh seekor hewan kurban kerbau di tengah-tengah kampung.

Selanjutnya, ritual Congko Laca, ritual membersihkan rumah adat dan halaman kampung dari berbagai kotoran hewan atau membersihkan sisa-sisa kotoran hewan yang ada di dalam rumah maupun di sekitar rumah. Ini merupakan ritual penutup dengan dilambangkan seekor ayam jantan berwarna putih.

Hironimus Nawang, Budayawan Manggarai Raya, menjelaskan, tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” merupakan tradisi yang diwariskan leluhur di Manggarai Raya dengan usia ribuan tahun dan masih dipertahankan dan diupacarakan di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya setelah rumah adat gendang selesai dibangun. Tradisi ini wajib dilaksanakan oleh warga suku, kampung dan komunitas sosial pasca rumah adat Gendang selesai dibangun.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bahkan, upacara ini juga dilaksanakan saat meresmikan Kantor Bupati Manggarai Timur 2013 lalu. Dan juga pada peresmian Kantor Bupati Manggarai dan Manggarai Barat beberapa tahun lalu. Apabila rumah adat gendang sudah selesai dibangun dan tidak melaksanakannya maka leluhur akan memberikan teguran kepada warga suku dan warga kampung dengan berbagai bentuk. Bahkan, tandanya dalam mimpi, dalam pekerjaan dan dalam sekolah.

“Orang Manggarai Raya sangat dekat alam dan Sang Pencipta. Bahasa lokal Manggarai “Gendang Onen Lingko Peang” sebagai persatuan antara alam dan manusia. Jadi tradisi Poka Kaba Congko Lokap wajib diupacarakan di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya,” jelasnya.

Pastor Servulus Isak, SVD yang berasal dari kampung itu, menjelaskan, rumah adat Gendang bagi masyarakat Manggarai Raya adalah rumah persatuan dan persaudaraan yang sangat mendalam. Banyak manfaat Rumah adat Gendang bagi warga Manggarai Raya, di antara rumah itu sebagai tempat menyelesaikan persoalan adat, persoalan sosial kemasyarakatan.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual memberi makan leluhur pada tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pastor Servulus, mengatakan, sesama warga masyarakat saling mendidik berkaitan dengan kebijaksanaan dan kearifan-kearifan budaya yang positif yang diwariskan leluhur yang sudah meninggal dunia. Bahkan nilai-nilai budaya masyarakat Manggarai Raya dapat dipelajari dalam rumah adat gendang seperti tatacara ritual “Poka Kaba Congko Lokap” dan ritual-ritual lainnya.

“Ritual Poka Kaba Congko Lokap tidak ada di tempat lain di seluruh dunia dan hanya adat di kebudayaan orang Manggarai Raya. Saya minta generasi muda yang lahir di zaman global ini harus mempelajari budaya yang terus dipertahankan sepanjang masa ini,” jelasnya.

Pastor Servulus menjelaskan, berkat dari berbagai upacara adat di Kampung Bumbu Pupung sudah melahirkan 17 pastor yang tersebar di Keuskupan Ruteng, di Jakarta maupun menjadi misionaris di luar negeri.
Penulis : Kontributor Manggarai, Markus Makur
Editor : I Made Asdhiana