Jumat, 27 Februari 2015

RANDANG UMA RANA - berita koran


‘Randang Uma Rana’ Ritual Membuka Lahan Baru

Ritual-adat-di-pusat-Lodok
Ritual adat di pusat Lodok
Sebuah ritual persembahan kepada leluhur digelar Masyarakat Adat Rangat saat membuka lahan kebun baru. Seperti apa?
JUMAT, 21 Nopember 2014 lalu boleh dibilang merupakan hari paling bersejarah bagi Komunitas Adat Kampung Rangat, Desa Wae Lolos, Kecamatan Mbeliling Kabupaten Manggarai Barat. Ratusan warga berkumpul dalam suasana penuh kebersamaan dan persaudaraan. Selama dua hari mereka melaksanakan serangkaian ritual adat yang mereka sebut randang uma rana atau  upacara pembukaan kebun baru di atas lingko atau tanah komunal masyarakat adat.
Sejak pagi ratusan warga telah berkumpul. Mereka menyiapkan berbagai perlengkapan ritual adat, peralatan tanam, serta bahan makanan. Tepat pukul 15.00 Wita warga bergerak menuju Lingko Randang yang berjarak sekitar 400 meter dari kampung. Lahan seluas 10 hektar tersebut terletak di atas gugusan perbukitan, berbatasan langsung dengan Hutan Mbeliling, sebuah kawasan hutan lindung terluas di Manggarai Barat.
Penulis beruntung karena berkesempatan mengikuti ritual adat yang penuh makna dan unik ini. Suasana ceria membaluti wajah penduduk kampung. Mereka terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Di puncak bukit sebuah compang (altar persembahan) telah dibangun. Demikian pula sebuah lodok (pusat pembagian tanah) sudah pula disiapkan. Bapak Anton, tetua adat yang dipercaya untuk memimpin ritual meminta warga untuk berdiri melingkar mengelilingi compang dan lodok. Beberapa saat kemudian, acara adat pun dilangsungkan.
Acara adat berjalan dalam beberapa babak. Dimulai dari lodok yang berjarak kurang dari satu meter dari compang. Warga kemudian duduk melingkar, sementara pemimpin upacara adat terus melafalkan doa-doa memohon berkat dan rahmat dari penguasa bumi dan langit demi kelancaran seluruh acara. Suasana tampak khusuk. Semua orang terdiam sejenak. Doa-doa permohonan dan harapan serta berkat perlindungan serta limpahan hasil panen yang memuaskan bagi penduduk kampung terus dilantunkan oleh sang pemimpin ritual. Acara dilanjutkan dengan penyembelihan seekor ayam jantan. Usai didoakan, ayam itu disembelih dan darah ayam tersebut diteteskan pada landuk atau tiang lodok serta tiga batu ceper yang terletak di bawah kaki lodok.
Usai ritual lodok, upacara adat dilakukan pada compang yang merupakan puncak dan pusat seluruh rangkaian kegiatan ritual. Di compang dilakukan upacara adat paki kaba atau acara penyembelihan seekor kerbau sebagai lambang pemersatu seluruh warga. Sekaligus persembahan bagi penguasa alam, langit dan bumi. Kerbau jantan diikat pada sebatang pohon. Penyembelian dilakukan oleh seorang tetua adat lainnya, diiringi doa. Leher kerbau digorok menggunakan parang hingga mengeluarkan darah segar. Darah kerbau ditampung dalam sebuah ember. Kemudian darah kerbau diteteskan pada mesbah compang dan lodok sebagai tanda materai sekaligus bukti bakti dan kesetiaan penduduk kampung terhadap Sang Maha Pencipta.
Darah kerbau diteteskan di atas batu compang dan landuk atau kayu utama lodok berbentuk runcing. Ini sebagai simbol kebenaran atas segala ucapan yang telah dilakukan dalam proses ritual adat serta memohon berkat dan perlindungan agar segala usaha penduduk kampung mendatangkan hasil yang berlimpah.
Simbol, Struktur, dan Komunikasi
Di tengah-tengah lodok dan compang, masing-masing didirikan tiang berupa bambu atau kayu yang dihiasi asesoris berupa daun kelapa. Di atas bambu atau kayu dibuatkan bale-bale kecil sebagai tempat penyimpanan bahan persembahan. Kedua tiang utama tersebut adalah simbol penguasa alam, langit, dan bumi. Selain kedua tiang utama, ada pula lance witu atau kayu runcing yang ditancap mengintari lodok dan compang. Lance Witu melambangkan struktur adat sekaligus sebagai simbol komunikasi dan relasi sosial antara pemimpin dengan yang dipimpin, serta antara pemimpin dengan para pembantu-pembatunya.
“Semua ritual dan alat perlengkapan memiliki makna yang mendalam. Jadi, bukan sekedar simbol semata,”jelas Anton. Lodok dan compang serta berbagai  alat kelengkapan merupakan simbol komunikasi dan jalinnan interaksi sosial dalam kehidupan bersama. Karena itu segala persoalan entah berkaitan dengan tanah atau pun kehidupan sosial lainnya mesti diselesaikan sesuai tata aturan adat istiadat yang berlaku.
Tetua adat Anton menjelaskan, bahwa jika ada masalah maka warga melaporkan kepada struktur adat yang ada seperti tua-tua mukang, tua-tua batu untuk diselesaikan secara damai. Namun jika masalah itu belum dapat diselesaikan maka bisa disampaikan kepada pemimpin tertinggi agar diselesaikan secara paripurna. Lebih lanjut Tetua Adat Anton menguraikan, dalam ritual adat randang uma rana dibutuhkan beberapa unsur pelengkap seperti daun pisang, siri pinang,  beras dan  lilin. Daun pisang digunakan sebagai wadah peyimpan sesajian, siri pinang sebagai simbol ikatan adat yang biasa digunakan dalam setiap urusan adat dan beras sebagai pangan untuk memberi makan bagi roh-roh alam.
Anton berkisah pula bahwa roh-roh halus penguasa alam patut diberi makan dan diajak untuk bersama-sama  berjuang dan berusaha agar bumi dapat memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya dia menjelaskan pula bahwa jarak antara setiap lance yang satu dengan yang lainnya harus sama sebagai simbol keadilan dan kesetaraan. Sedangkan pada compang, biasanya didirikan beberapa batu berbentuk lancip disesuaikan dengan jumlah klan atau suku di kampung tersebut. Di atas mesbah compang berdiri tegak sebuah tiang batu sebagai simbol wujud tertinggi.
Pacek Pepak
Usai ritus adat randang uma rana, dilanjutkan dengan kegiatan pacek pepak. Pacek pepak adalah cara dan alat tanam tradisional yang biasa dilakukan saat menanam secara bergotong royong. Pacek pepak adalah peralatan tradisional terbuat dari bambu dan kayu yang dilengkapi dengan tofa. Bambu dilubangi dan dibelah. Pada ujung paling bawah dipasangi tofa untuk menggali lubang pada tanah. Biasanya, menanam secara tradisional dengan alat tanam pacek pepak dilakukan secara bergotong royong dalam suasana penuh suka cita dan damai.
Kegiatan pacek pepak dilakukan secara bersama-sama dalam satu irama gerakan. Pada saat pacek menyentuh tanah seketika mengeluarkan bebunyian yang menyentakkan hati. Bunyi-bunyian dari batang-batang bambu itu sungguh mengasyikan layaknya orkestra yang  mengalun syahdu. Menurut penuturan Bertolomeus Agus, Tetua Adat Rangat, bunyi bambu bermakna selain sebagai hiburan sekaligus untuk mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman. Pacek pepak biasa dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan bertugas menaburkan benih tanaman ke dalam lubang tanah.
Acara pacek pepak biasanya berjalan sangat meriah karena diiringi dengan nyanyian khas oleh kaum perempuan dan laki-laki. Mereka saling berbalas pantun melalui bahasa-bahasa kiasan. Pantun berisikan sindiran, ajakan atau rayuan gombal. Dengan menyanyi dapat menghilangkan rasa capek sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Lahan yang luas bisa segera selesai ditanami berkat kebersamaan.
Kegiatan pacek pepak dapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya bila lahan belum selesai ditanami. Bila telah selesai ditanami maka seluruh warga kampung akan kembali berkumpul pada malam hari guna merayakan seluruh rangkaian aktivitas yang telah mereka lalui. Berbagai atraksi budaya dipentaskan seperti sanda, mbata, danding, landu atau tarian dan kesenian adat lainnya dalam nuansa kebersamaan dan persaudaraan sejati. (*)




Ritual Adat

Menghidupkan Kembali Ritual yang Hilang


Penulis : Kornelius Rahalaka
Editor: EC. Pudjiachirusanto
 Sumber:
 http://www.floresbangkit.com/2015/04/menghidupkan-kembali-ritual-yang-hilang/


Romo Benny Jaya, Pr sedang merayakan misa di depan Compang Lingko Randang di Kampung Rangat. Foto: Kornelius Rahakala/FBC
Romo Benny Jaya, Pr sedang merayakan misa di depan Compang Lingko Randang di Kampung Rangat. Foto: Kornelius Rahakala/FBC

Zaman yang terus bergerak telah menggerus kebiasaan lama. Sebuah komunitas budaya di Manggarai Barat berusaha menghidupkan kembali ritual-ritual yang telah hilang. Mereka berharap generasi muda dapat mengapresiasi sekaligus menyiapkan sajian bagi wisatawan
.
Sudah menjadi tradisi warisan turun temurun, ritus adat Randang Uma atau upacara adat pembukaan kebun baru yang bersifat lingko rana,tanah kolektif, dilakukan oleh warga Manggarai. Namun, karena perkembangan zaman perlahan-lahan tradisi unik itu mulai ditinggalkan.
Dahulu warga pasti patuh menjalani ritual Randang Uma tiap mereka berniat membuka kebun baru yang bakal dimanfaatkan secara kolektif atau lingko rana. Namun kebiasaan itu kini telah tergerus roda jaman.
Tradisi randang atau waes dengan segala ritualnya, kini hampir tidak pernah dibuat lagi. Demikian pula dengan peralatan tanam tradisional seperti pacek pepak juga mulai sulit dijumpai. Padahal, tradisi randang atau waes dan pacek pepak memiliki makna filosofis dan magis-spiritual yang bernilai tinggi.
Bernadus Barat Daya, seorang tokoh asal komunitas adat Kampung Rangat, Desa Wae Lolos, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat prihatin melihat gejala itu.
Pria yang biasa dipanggil Dus Barat ini menduga ritual itu menghilang lantaran beberapa sebab. Pertama, cara bertani dengan kebiasaan membuka kebun secara berpindah-pindah telah berubah menjadi berkebun tetap pada lahan milik pribadi atau individu. Kedua, banyak komunitas adat atau suku-suku di kampung-kampung tidak lagi memiliki persediaan tanah komunal atau tanah milik persekutuan adat. Di mana hampir semua tanah bekas lingko telah beralih status menjadi tanah milik individu sehingga pembagian tanah dalam bentuk lodok tidak dapat di lakukan lagi.
Ketiga, masyarakat yang hidup saat ini rata-rata adalah generasi berusia 60 tahun ke bawah sehingga banyak tradisi lama tidak dikenali dengan baik. Keempat, terbatasnya jumlah warga yang mengenal tradisi lama seperti haeng tae repeng pede yang telah ada sebelumnya.
Selain itu intervensi institusi dari luar seperti agama, secara sistematis telah menghilangkan jejak-jejak adat. Ritual adat di Compang misalnya, yang dahulu kala biasa dilakukan oleh masyarakat adat, perlahan-lahan diganti dengan simbol agama seperti salib. Alhasil, masyarakat adat enggan melaksanakan ritual adat lagi.
“Karena itu dibutuhkan kesadaran kolektif untuk menghadirkan kembali nilai-nilai kearifan lokal dengan saling menghargai otorita institusi masing-masing baik institusi agama maupun institusi masyarakat adat,”sarannya.
Kesadaran itu perlu dibangun dan kini sudah mulai dihidupkan kembali oleh komunitas adat Kampung Rangat, Desa Wae Lolos Kecamatan Mbeliling Kabupaten Manggarai Barat. Mereka berniat zaman lampau, memperkenalkan tradisi yang telah hilang. Tak cuma itu, kegiatan itu juga untuk mendokumentasikan sejumlah ritual budaya atau tradisi untuk keperluan pariwisata di masa depan. Dengan upaya itu generasi muda diharapkan bakal mengapresiasi. menghormati dan menghayati nilai-nilai budaya masa lampau.
Mesti Tetap Dibuat
Meskipun zaman terus berubah demikian pula tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal kian tergerus namun sebagai satu kesatuan komunitas, masyarakat adat harus eksis dan terus menjalankan segala ritual adatnya secara konsisten. Tanah misalnya, boleh dibagi-bagi menjadi hal milik pribasi atau individu bahkan boleh berpindah hak kepemilikannya lantaran jual beli. Namun demikian semua ritual adat mesti tetap dijalankan oleh masyarakat adat.
Pendapat itu disampaikan oleh Romo Benny Jaya, Pr, seorang rohaniwan Katolik dalam suatu ritual adat yang digelar oleh sebuah komunitas adat beberapa waktu lalu.
“Meskipun tanah-tanah sudah dibagi menjadi hak pribadi tetapi segala ritual adat harus tetap dipertahankan. Karena dengan ritual adat dan adanya rumah budaya akan mampu mempersatukan dan menghidupkan sebuah komunitas adat,”ujarnya.
Bagi Romo Benny, adanya rumah adat dengan ritual adat yang terus menerus dijalankan akan dapat mempertemukan dan mempersatukan seluruh masyarakat adat di suatu wilayah. Karena tanpa gendang (rumah adat) orang akan sulit bertemu dan berkumpul untuk merencanakan secara bersama-sama bagaimana membangun kampung atau menjalankan ritual-ritual adat yang diwariskan oleh nenek moyang dulu.
Tergerusnya kebudayaan lokal, hemat Romo Benny, tidak terlepas pula oleh adanya kepentingan politik. Komunitas masyarakat adat beserta struktur adat yang ada di kampung-kampung kerapkali dihadapkan pada situasi sulit lantaran diperalat untuk kepentingan politik jangka pendek dan fragmatis. Banyak masyarakat adat di kampung terpecah belah akibat adanya perbedaan pilihan politik atau pandangan politik tertentu. Meskipun demikian, menurut Romo Benny, segala persoalan akan dapat terselesaikan jika ada rumah budaya yang dapat mempersatukan semua perbedaan.

Penulis Kornelius Rahakala
Editor Donny Iswandono



Keti Kembung

Ketika Ruh Menyatu dengan Leluhur

ritual-keti-kembung
Sejumlah tetua adat sedang melakukan upacara adat Keti Kembung di jalan menuju ke pemakaman umum dengan mempersembahkan seekor ayam hitam.
Lewat ritual Keti Kembung, masyarakat Manggarai Barat meyakini orang yang telah mati akan memperoleh kehidupan di alam baka
SUASANA duka masih menyelimuti warga Kampung Nara, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Hari itu, merupakan hari ke-7 meninggalnya Yosef Stefen (33), seorang warga kampung. Sesuai tata adat Manggarai, hari tersebut adalah batas waktu terakhir relasi antara kita yang hidup di dunia ini dengan orang yang telah mati.
Melalui ritual adat keti kembung diyakini, orang yang telah mati akan memperoleh kehidupan di dunia alam baka dan mau menyatakan bahwa keadaan riil antara dunia orang mati dan dunia orang yang masih hidup sudah berbeda sehingga apa yang terjadi yakni kematian itu sendiri, tidak bakal terjadi pada orang yang masih mengembara di dunia ini.
Bagi masyarakat adat Manggarai pada umumnya dan warga Kempo khususnya, ritual adat keti kembung adalah upacara adat yang wajib dilakukan untuk seseorang yang meninggal dunia. Ritual keti kembung biasanya diadakan pada hari ketiga, kelima atau ketujuh setelah jenazah dikuburkan. Ketetapan waktu ritual adat ini disesuaikan dengan kesepakatan keluarga berduka atau kebiasaan pada masing-masing suku. Meskipun ada perbedaan waktu di beberapa suku, namun upacara yang satu ini tidak boleh dilupakan apalagi diabaikan begitu saja.
Karena, bagi orang Manggarai upacara keti kembung bukan sekedar simbol pemisahan hubungan semata antara orang hidup dengan orang mati tetapi sekaligus semacam suatu perjanjian abadi bahwa orang mati sudah masuk ke suatu situasi alam gaib atau dunia arwah, dunia yang sama sekali lain dengan dunia yang dihuni oleh orang-orang yang masih hidup. Pada umumnya, ritual adat tersebut dilakukan di luar kampung atau tepatnya di jalan utama menuju ke pemakaman umum.
Bulu Kuduk Merinding
Seperti dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Nara pada hari ketujuh kematian Yosef Stefen. Sore itu tepat pukul 17.00 Wita, sejumlah tetua adat keluar kampung melalui jalan utama menuju pemakaman umum, berjarak sekitar 250 meter. Para tetua adat lalu duduk bersimpuh di atas jalan yang sepi beralaskan daun pisang. Zakarias Satu (78) selaku pemimpin ritual adat keti kembung mulai mendaraskan doa-doa permohonan kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Beberapa saat kemudian, para arwah orang yang meninggal dunia dan semua arwah para leluhur disapa dan diundang untuk hadir bersama-sama mengikuti upacara adat.
Upacara adat teki kembung biasanya dilengkapi beberapa unsur berupa bahan makanan dan benda lainnya seperti daun pisang, beras berwarna hitam, putih dan kuning, telur rebus, kayu kole, sejenis pohon berdaun lancip, siri dan pinang, tembakau, benang berwarna merah, hitam dan putih sebagai simbol  pembatas atau pagar batas hubungan antara orang hidup dan orang mati serta seekor ayam berwarna hitam.
Semua benda atau bahan tersebut memiliki pesan makna dan fungsinya masing-masing. Daun pisang sebagai tempat untuk menyimpan hidangan, beras dan telur ayam merupakan bahan makanan, siri pinang biasa disuguhkan kepada para tamu undangan dan lambang ikatan relasi social, kayu kole atau pohon pemali sebagai larangan adanya relasi antara orang hidup dan mereka yang sudah mati dan ayam hitam sebagai ‘meterai kekal’ pemisahan hubungan antara orang hidup dan orang mati.
Suasana sakral tampak terasa saat tua adat  mendaraskan doa-doa permohonan dan pesan-pesan perpisahan akhir antara kita yang hidup dan mereka yang sudah mati. Suasana kian merindingkan bulu kuduk ketika memasuki detik-detik perpisahan yang ditandai dengan acara pemotongan ayam hitam. Ayam hitam digorok lehernya hingga darah muncrat dan membasahi wadah dedaunan yang tersedia. Sesudah itu ayam dibakar lalu dibawah ke pemimpin adat untuk dibagi-bagikan kepada para arwah leluhur serta orang yang meninggal itu seraya menyampaikan pesan-pesan perpisahan.
Ignasius Obat, salah seorang tetua adat mengaku upacara adat keti kembung merupakan puncak seluruh rangkaian ritual adat bagi orang yang meninggal dunia. Para tetua adat dan seluruh warga kampung menyakini bahwa arwah orang yang telah meninggal dunia tersebut saat ini tengah berdiam di tempat peristirahatannya yang kekal dan diyakini pula bahwa pada saat upacara adat itu dilakukan, orang yang telah meninggal itu sedang menangis sedih lantaran ia tidak mungkin bisa lagi berhubungan dengan orang-orang yang masih hidup.
Ritus adat keti kembung bagi masyarakat adat Manggarai merupakan upacara adat yang harus dijalankan oleh keluarga berduka maupun warga kampung. Karena dengan ritual ini, terjadi pemisahan hubungan antara kita yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal dunia. Meskipun demikian, bagi orang Manggarai, pemutusan hubungan tersebut bukan berarti sudah tidak ada hubungan sama sekali antara orang yang hidup dan orang yang telah mati. Karena orang Manggarai percaya, meskipun secara fisik berpisah tetapi jiwa orang-orang mati dipercaya masih tetap hidup di alam nyata. Makanya, orang Manggarai dalam setiap kesempatan upacara adat, senantiasa menjalankan acara teing hang  (memberi makan/sesajian) kepada para leluhur di Compang atau di rumah-rumah adat.
Lambang Keikhlasan
Sebelum jenazah seorang dimakamkan sesuai adat Manggarai, didahului dengan salah satu ritual adat sebagai simbol pelepasan jenazah. Ritus adat itu dilakukan dengan mengormankan seekor ayam berwarna putih. Sebelum jenazah dibawa ke luar dari rumah tinggal atau tempat persemayaman, ritus adat itu dilakukan persis di depan pintu keluar.
Upacara ini sebagai simbol perpisahan antara keluarga berduka dan seluruh warga kampung dengan orang yang meninggal dunia. Sementara itu, ayam putih melambangkan keikhlasan, ketulusan dan kesucian hati keluarga dan warga untuk melepaskan orang yang mereka cintai itu pergi untuk selama-lamanya.
Menurut penuturan Saferius Sani, tetua adat lainnya, ayam putih sekaligus juga melambangkan penyucian diri baik bagi mereka yang masih hidup maupun orang yang telah meninggal dunia. Bagi orang yang masih hidup, ayam putih adalah simbol hidup suci lahir dan batin dalam perjalanan ziarah kehidupan di dunia nyata sedangkan bagi orang yang meninggal dunia agar kepergian dia ke pangkuan Ilahi, tidak membawa serta noda dosa atau masalah-masalah yang dapat membebani keluarga serta seluruh warga kampung dalam perjalanan hidup di dunia fana.
Bagi masyarakat Manggarai masih ada satu fase yang biasa dilalui terkait dengan upacara adat orang mati yakni ke’las atau kenduri. Upacara adat ini biasa dilakukan pada hari ke-40. Acara adat ke’las atau kenduri ini bermakna sama dengan keti kembung yakni upacara perpisahan atau melepas-pergikan orang yang sudah meninggal dunia untuk hidup sesuai dengan keadaaanya yang baru dengan harapan bahwa ia akan mengalami kebahagiaan di alam baka.
Namun, ritus adat ke’las biasa diadakan di rumah keluarga berduka dalam suasana penuh syukur disertai acara teing hang (memberi makan atau persembahan)  yang biasa diadakan di Compang. Pada umumnya, ritual adat ke’las ini melibatkan keluarga besar terutama keluarga ata wina dan ata rona (pihak keluarga perempuan dan laki-laki) yang punya ikatan hubungan perkawinan. Ritual ke’las juga merupakan ajang silaturahmi antar anggota keluarga dan antar warga kampung demi mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Ritual adat ke’las atau kenduri dalam kenyataan kehidupan beragama khususnya Agama Katolik, biasa dipadukan atau diadopsi untuk inkulturasi ajaran Kristiani tentang kebangkitan dari alam maut dan kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke surga melalui perayaan Ekaristi sebagai pusat kehidupan keselamatan umat manusia. Biasanya pastor atau imam Gereja bertindak sebagai pemimpin ritual sesuai tata cara adat Gereja Katolik. (*)
Penulis : Kornelius Rahalaka
Editor: EC. Pudjiachirusanto

ACARA KENDURI MANGGARAI - berita dari koran


Paka Dia

Berharap Arwah Selamat dalam Perjalanan

Bagi masyarakat Manggarai, arwah orang yang meninggal dunia perlu didoakan dalam sebuah upacara adat khusus, agar selamat dalam perjalanan menuju keabadian 

LANTUNAN litani doa terus menggema saat saya memasuki rumah salah seorang warga Kampung Tenda di Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, belum lama ini. Keluarga ini beberapa waktu lalu memang dirundung duka, salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia.
Untuk mengantarkan arwah anggota keluarga yang meninggal dunia menuju keabadian, digelarlah ritual adat paka dia. Masyarakat Manggarai meyakini lewat ritual tersebut, keselamatan jiwa bagi arwah yang meninggal dunia akan didapat. Doa itu biasanya didaraskan oleh keluarga besar. Baik dari pihak Anak Rona (saudara), Ase Kae (keluarga), Pang Olo Ngaung Musi (keluarga besar dalam  satu kampung), dan Anak Wina (saudari).
Adapun puncak penyampaian doa atau tudak dalam bahasa Manggarai ditandai dengan renge ela (babi persembahan) yang disembelih di depan rumah duka.
“Inti dari ritual paka dia ini adalah doa untuk keselamatan jiwa bagi arwah alamarhum atau almarhumah yang meninggal dunia  dan memohon kepada E’ma Jari Mori Dedek (Tuhan)  perlindungan bagi keluarga yang ditinggalkan.  Baik itu keluarga besar Anak Rona ,Anak Wina, Ase Kae dan Pang Olo Ngaung Musi agar tidak terjadi lagi bencana kematian yang sama dalam satu keluarga,” kata Blasius Taut  tokoh adat Kampung Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
Acara penerimaan Anak Wina oleh Ase Kae. (Foto: FBC/Hironimus Dale)
Acara penerimaan Anak Wina oleh Ase Kae. (Foto: FBC/Hironimus Dale)
Rangkaian Ritual
Lebih lanjut dia menjelaskan, rangakaian acara dalam ritual paka dia di antaranya tura cai, kapu ase kae, rahi, renge ela, toto urat, dan hang helang

Tura cai yang dimaksudkan adalah penyambutan Anak Wina dan Anak Rona di rumah  duka dengan tuak kapu–moke penyambutan di rumah duka– bagi Anak Wina  yang disebut ris –ucapan selamat datang dari tuan rumah–.  Tuak kapu biasanya dijawab  oleh  pihak Anak Wina kemudian tuak diberikan kembali kepada tuan rumah dengan menggunakan  uang. Berapa besarnya, tergantung yang disiapkan Anak Wina. Uang tersebut kemudian  diberikan kepada tokoh adat yang dipercayakan  tuan rumah untuk menyambut Anak Wina. Sementara untuk Ana Rona sendiri  tuak kapu tidak diganti menggunakan uang.
Dalam acara ini Anak Rona membawa beras , moke, dan rokok. Sementara Anak Wina membawa ayam atau kambing dan uang yang jumlahnya sudah disepakati sebelumnya. Di akhir acara beras, rokok, dan moke menjadi  Wali atau  diganti oleh Anak Wina dalam rupa uang, sementara ayam atau kambing menjadi buah tangan dari Anak Wina kepada Anak Rona dalam rangka meminta rezeki dalam kehidupan.
Dalam tradisi Manggarai menghormati Anak Rona sama  halnya kita meminta rezeki dalam kehidupan Anak Wina. “Menghargai Anak Rona dalam tradisi Manggarai merupakan hal yang istimewa dalam rangka meminta berkat kehidupan bagi Anak Wina,“katanya.
Setelah acara penyambutan Anak Rona dan Anak Wina, tetamu disuguhi minuman dan makanan ringan. Kemudian dilanjutkan dengan karong (penuntunan) rumah untuk istirahat sambil menunggu acara inti rahi di rumah duka . Demikian pula  Anak Rona dituntun ke rumah yang sudah disiapkan oleh tuan rumah.
Di rumah istirahat Anak Wina diberi makan siang dengan menu daging babi sementara Anak Rona di rumah lainya makan siang dengan menu yang berbeda dengan Anak Wina. Para Anak Rona dengan menu daging ayam atau kambing atau pun daging anjing.
Setelah makan siang,  khusus bagi Anak Wina menyerahkan uang tadu lopa yakni uang untuk ibu-ibu  dan pelayan yang melayani para Anak Wina. Setelah itu moke dan rokok yang dibawa Anak Rona diserahkan oleh  pelayan kepada Anak Wina. Rokok dan moke diganti dengan menggunakan  uang di mana  uang pengantinya tentu lebih besar dari harga rokok dan moke.  “Kalau rokok suriah (Gudang Garam Surya, red) harganya Rp 13.000 pastinya Anak Wina mengantikannya dengan Rp 20.000. Demikian pula tuak kalau dalam rupa bir dengan harga Rp 30.000 pastinya akan diganti dengan uang Rp 50.000,”kata Blasius menjelaskan.
Setelah acara istirahat makan siang  selesai, para Anak Wina dan Anak Rona kembali ke rumah duka untuk mengikuti acara puncak yaitu rahi. Ini adalah acara inti  penyampaian dan penyatuan pesan dan doa adat  terakhir kepada almarhum atau almarhumah yang meninggal dunia. Seluruh tetamu memohon kepada Tuhan agar arwahnya diterima dan duduk di sebelah kanan Allah. Lewat doa ini juga meminta kepada Tuhan bagi perlidungan arwah nenek moyang maupun keluarga yang telah meninggal sebelumnya untuk melindungi segenap keluarga yang telah ditinggalkan.
Perlindungan Kehidupan
Blasius menuturkan, penyatuan doa dan pesan ini dilakukan dengan tudak (doa adat) oleh seorang torok –tokoh adat yang sudah dipercaya untuk membawakan doa adat. Doa dilantunkan torok sambil melakukan renge ela -menyembelih seekor babi di depan pintu  rumah duka-.
“Bahasa adat yang biasa digunakan adalah Denge le hau……(sebut nama jenazah), dion olo hau lako toe baro ngo toe tombo, kud wale benta de morin agu ngaran. Sengget wintuk agu gauk di’a de hau porong baa kamping morin. Kud bae le hau, hitu pe’ang ela, ai leso ho de hau adak ngasang pat mpulu wie/kelas. Porong hau kali di’a lako kamping mori, neka manga baa sanget rabo agu jogot ka’eng golo, neka poto hae lonto neka dade hae ka’eng. Neka manga nipu sangget po’ong agu pa’eng . Porong dopo ne hau sangget irus one isung agu lu’u one mata. Porong hau kali ga loko molor kamping morin agu teing sehat ami mu” kata Blasius lagi.
Artinya: alamarhum atau almarhumah telah dipanggil Tuhan semoga dosa-dosa yang dia perbuat selama hidup di dunia diampuni Tuhan. Jika alamarhum atau almarhumah ada dendam atau sakit hati  dengan sesama selama masa hidupnya,  janganlah engkau bawa serta dengan jiwamu dan beristirahatlah dengan kekal bersama dengan  Tuhan. Doa kami sebagai keluarga dalam acara paka dia atau kenduri ini dipersatukan di dalam persembahan seekor babi.
Renge Ela atau penyembelihan babi di depan rumah duka. (Foto: FBC/Hironimus Dale)
Renge Ela atau penyembelihan babi di depan rumah duka. (Foto: FBC/Hironimus Dale)
Ketika doa atau tudak selesai para Anak Wina menyerahkan Senga Pampang Wakar berupa uang untuk meminta keselamatan jiwa dari almarhum atau almarhumah  dan meminta perlindungan dalam kehidupan Anak Wina selanjutnya.
Sementara babi yang sudah disembelih tadi, diperlihatkan urat hatinya, kalau uratnya baik biasanya kehidupan bagi keluarga akan diberkati dan Anak Wina meminta rezeki dengan memberikan Seng Wali Urat Di’a –memberikan uang pengganti urat hati dari babi persembahan yang baik untuk memohon rezeki dalam hidup selanjutnya–. Setelah diperlihatkan uratnya, babi lantas dibakar. Daging  dan  hatinya dijadikan hang helang yakni makanan sesajian bagi almarhum atau almarhumah serta arwah nenek moyang yang telah meninggal sebelumnya.
Hang helang merupakan acara yang paling akhir.  Setelah itu para Anak Wina dan Anak Rona makan bersama di rumah duka. Anak Wina pulang ke rumah masing-masing dengan membawa dea agu nuru gatang berupa beras dan daging kenduri untuk dibawa pulang, sementara Anak Rona membawa ayam, kambing, dan uang.
Untuk diketahui, seiring dengan perkembangan zaman, dana dari Anak Wina dalam ritual ini tidak ada unsur paksaan. Jumlahnya tergantung dari dana yang disiapkan Anak Wina. Dana yang terkumpul dalam ritual paka dia ini untuk diberikan kepada Anak Rona sebagai pengganti ela panggal –babi persembahan dari Anak Rona pada saat hari almarhum atau almarhumah meninggal dunia–. Adapun sisa dana, pemanfaatannya tergantung musyawarah keluarga.(*)
Penulis: Hironimus Dale
Editor: EC. Pudjiachirusanto

Kamis, 19 Februari 2015

RANA KA dan Silsilah SUKU KULENG




RANA KA  dan  Silsilah  SUKU  KULENG

Sumber:https://www.facebook.com/photo.php?fbid=272588892763043&set=a.204745556214044.46894.100000358036360&type=1&permPage=1


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=272577919430807&set=a.204745556214044.46894.100000358036360&type=1&permPage=1


Ka = simbol de darat (makhluk halus / bidadari)







NUNDUK GOLO MORI

NUNDUK GOLO MORI

 Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=543501312338465&set=a.204745556214044.46894.100000358036360&type=1&theater



Golo Mori or God Hill. Golo Mori is a Manggarai language where the first man be created, come to this world. Golo or Hill, Mori or God. This place is a history place where according to the Golomorian, especially Ndewa clan, they were born from the Spirit, that be claimed a heaven Spirit. They are the source of Manggaraian history. And, they have an unique history about the man creation. The Ndewa clan can be claimed as a first man who come to this world, before Adam and Eva come to this world as of written in Old Statement. But this place not popular, just little man who know this place and their history.......If we come to there, we can feel a extraordinary strength or power of the mountain. If you don't believe....spend your time to know that place, please.

This is a Golomori picture...This place is located in Labuan Bajo, West Manggarai Regentcy, Flores Island, NTT - Indonesia country. And, this place not far from Rinca Island and Komodo Island....Just 3 kilometers from Lenteng beach...And Lenteng beach just one hour by boat from Labuan Bajo beach. You can flying by a plane from your country to Labuan Bajo airport. Thanks.

Sabtu, 14 Februari 2015

CACI - 4 - English edition



Caci Whip Fighting 

Source: http://www.florestourism.com/what-to-do/caci-whip-fighting

 

Caci – more than just a traditional Manggarai dance
Caci, a ritual whip fight, is a major element of Manggarai cultural identity. Being a unique and aesthetic delight for spectators, caci performances are an attraction to foreign as well as domestic visitors of Manggarai.
Caci is played out by two male adversaries, with one of them usually coming from another village to compete. Spectators support their favorite party by cheerfully shouting out their encouragement, making it a very lively event. Caci equipment, consisting of a whip, a shield, masks, and sticks, bursts with symbolism: the aggressor’s whip is made out of rattan, with a leather-covered handle. It symbolizes male, the phallic element, the father, and the sky. The defender’s round shield represents the female, the womb, and the earth. It is usually made out of bamboo, rattan, and covered with buffalo hide. As these meanings suggest, the male and the female elements are united whenever the whip hits the shield – symbolizing a  sexual unity as an essential premise in giving live. The players’ heads are covered with a wooden or leather mask wrapped with cloth and goat hair that hangs down at the back. The two horns of the mask represent the strength of the water buffalo. For additional protection from the ashes of the whip, the defender holds a stick in his left hand.
While fighting, the men wear a traditional songket (woven cloth) over a pair of regular pants. A belt of bells worn on the hip and a string of bells strapped on the ankles create a peculiar sound. The upper body remains bare and uncovered, leaving it exposed to the whips’ lashes.
After a starting signal, the whip and shield duel begins. The fighters shuffle their feet and raise spectators’ tension by running back and forth towards each other. The aggressor tries to hit his opponent’s body with the whip. However being hit does not automatically mean losing the game – it is more important which part of the body is hit in deciding the winner. A hit in the face or on the head means losing the game; a hit on the back, though, is a good sign, promising that next year’s harvest will be prosperous. The roles of aggressor and defender are reversed after every whip strike, and, after four trials, a new pair of opponents will take their chance. Even though it is a playful event, caci also has a sacrificial function: the blood that is shed from the wounds caused by the whips is an offering to the ancestors, who, in return, will ensure the fertility of the land.
Caci used to be performed frequently during Penti, a festival held after harvest to end the old agricultural year and begin the new one. Being part of the integral ceremonial and ritual context of Penti, caci was never performed as a stand-alone event. The performances lasted at least one day – more often two or three days – always accompanied by drum and gong music. The preparations for caci required many fixed ritual procedures accompanied by animal sacrifice. Other occasions for caci performances included marriages, births, and funerals. The functions of caci were manifold: besides being a social event and a way to fulfil obligations of offerings to the ancestors, it is also an opportunity for young men to prove their virility and – in the past – a means of conflict management for disputing villages.
With changing social and agricultural circumstances, and the increased interest of domestic and international tourists in this cultural attraction of Manggarai, caci performances have also turned into a business for local cultural cooperatives. As most visitors do not want to spend a whole day or more watching caci, the length of the performances is drastically reduced, showing only fragments of the process. Some people criticize that caci fights performed on demand are alienated from their original ritual and ceremonial context, and thus lose their authenticity.
However, the growing interest of foreign visitors has definitely increased the pride and self-consciousness of the Manggarai people in a fascinating element of their culture.
The best time to see caci in its original context is during Penti, which usually takes place in the dry season between July and November, depending on the region. Nowadays, most villages celebrate Penti at five-year intervals.
If you happen to be in Manggarai in the dry season, just ask the local people if there is an upcoming Penti festival. If you are lucky to be invited to a Manggaraian marriage ceremony, you might also get the chance to see caci.
If you do not have the chance to experience caci in its traditional ceremonial setting, there are several opportunities to see organized caci. Todo Village southwest of Ruteng offers caci performances to visitors. Please contact Pak Titus at least one day in advance for more information on +62 813 7984914.
Visitors also have the option of seeing a caci performance in Melo Village, located on the Transflores ‘highway’ about 20km on the road from Labuan Bajo to Ruteng. It can be reached by car, motorbike or public transport. Contact Pak Yoseph Ugis, the leader of the local cultural cooperative on +62 81353778858.

Note:
Whip= cambuk

PANCASILA DATA MANGGARAI

.
PANCASILA  DATA  MANGGARAI

1. Mbaru bate  kaeng
2. Compang bate  dari
3. Uma bate  duat
4. Wae Bate teku
5. Boa  bate boak


JPS , 14 Pebruari 2015.

ROKO MOLAS POCO



ROKO MOLAS POCO


ROKO MOLAS POCO GENDANG GONGGONG (10 AGUSTUS 2021)

https://www.youtube.com/watch?v=yzmOZ5I4Bds

S: Neka  pedeng  nggete, neka poong jogot  o  empo   hoo rokon molas  poco o tewung kole le
W: Kole  le...o  rewung  , kole  o rewung  hoo  roko molas poco  o  rewung  kole  le


S: Rame pala  sale: 
W:Iyo.....
S: Rewo pala (palang)  awo
W: Iyo.....




NB: Toe dim  polin, . JPS  26  Januari 2022




1. ROKO MOLAS  POCO  GENDANG TENDA RUTENG

https://www.youtube.com/watch?v=kLUHIAfkymM
https://www.youtube.com/watch?v=X7joJVzSYnc

Tenda Ruteng, Roko Molas Poco 01 september 2015


Renggas:

S:
W: Oe.....
S:
W:
S: O...Tenda  e...
W: Oe....

Dere  ROKO MOLAS POCO

S: Kole  le...kole le......e  lewung kole le...o  roko  molas  poco  kole  le.......
W: E roko  molas poco se e o ,  rewung kole le. (2x) 

S1: Baeng  koe  baeng  koe....e  empo  baeng  koe  o...roko  molas  poco   empo baeng  koe.....
W: E roko  molas poco se e o ,  rewung kole le.
      E...roko  molas poco  e...o   empo  ba'eng  koe......

S2: Senget le, senget le   Mori  senget le   o...roko  molas  poco   Mori  baeng  koe.....
W: E roko  molas poco se e o  Mori  ba'eng  koe......



Renggas:
S: U..... mai taung ga.......
W: U....
S: Naka.....
W: ya....
S: Riwu / Nipu.....
W: Ya.......
S: Ongko...
W: Ya....

S: Do....
WL Ya...
S: U....mai  taung ga.......
W: U.........


ADAK  LOCE MOLAS POCO AGU ANAK RONA

AW (Ata Wewa) ::......Gendang  Tenda
Woko  lonto  lite  loce  ga   . 
reweng de  kesa,  reweng de  to'a, reweng de anak

Mori  kapu  neho  wua  pau' lami  tite, naka neho  wua nangka 
Ndeng lobo bekek,  nggoling  loobo   toni, kapu  lobo paa, 
Toe  manga  caling  naig ami , toe  manga  woleng  go'et
Nai cama  laing  kapu  agu naka  ite
Toe  reweng  kanang  mori ga, ce  tis  tuak, 
hoo  tuak  kapu  de amang agu  de  inang, de  kesa  agu  de  weta 
ne nggitu  kole  ne nggitu  kole  ngasang  koa  agu  anak  ( wote) 
Ai lonto  dite  loce.
Toe  reweng  kanang  ite, Kepok  (teing  robo / tawu  tuak)

Ata Wale Wewa (Anak Rona): 
Yo....taed  sake, taed mbate, reweng  newes   ditet  mori 
Hoog  ami  anak  rona, 
Batu  agu tulur (?)  batu  ngaung (mbau) , 
Woko hoo cai  molas  poco le  mai 
Mori, hoo kole  leng ami, likang langkas, 
Ine  watu  cie, ame  watu  nare ite
Hoog  ami  anak Rona Ruteng  Bangka  Watu - Nekang  - 
Yo.... woko hoo kali kepok kali ditet  mori, Yo...Kepok  kali  itet mori, to manga  cial
Hoog  ami anak rona te  mbolek (ro'eng )  taka  one  , rumbung / kumbu   taka  peang
Kudut  cama-cama, lonto  torok- loce  neki, poe ngger  one , lemba  ngger  pe'ang
Ya...toe  manga  cial  agu  celan.......  Kepok  ite,,,,hooo kole  tuak (teing  robo / tawu  tuak)

Ho...kole  reweng  dami,  ite  hoo  wasen  ite (teing  seng  wase  ela), peang  tana  elan...... Kepok


Tebang  Gendang  agu  sae     NAKA  MOLAS  POCO: Ata  rona  agu  ine  wai

Rakang  Ela  ba  olo  mai  kema


Torok:  REIS MOLAS POCO 

 Ite  Molas Poco
Ai tara  sir  agu  pili ,   ite kali ende  ata ngalis  nai, ata  gerak  nuk , lembak
Nisang  keta naigm woko  cai  bo  ga
Landing  tae kali wo hoo  ende  ga 
cee  lejong de henda, lambu de hende , ai hoo keta di cumang  one  ranga, cai  one  sai' 


JPS, 7 April 2020

--------------------------------------------------------------

ROKO MOLAS POCO GENDANG WOANG
https://www.youtube.com/watch?v=6MrLlwibVnk

Roko Molas Poco Kampung Woang Kel.Pitak.,Manggarai


Faldy Senudin


Dere:  ROKO MOLAS POCO

S: E roko molas  poco lenggang  lau .....
W: E roko molas  poco  lengkang  lau



DERE  : TENDANG
S: Tendang o e tendang o 
W: Ai pola poco go Mori (?) 



_____

KOLE LE REWUNG KOLE LE

S:
W: O  roko  molas  poco  mai  taung




______________________________________________



1. Roko Molas Poco  di Lenteng, Beokina,  Rahong  Utara
https://www.youtube.com/watch?v=9_qZnjV01bI

Roko Molas poco di Lenteng-Beokina Manggarai// istilah istilah budaya

Roko molas poco itu acara budaya Manggarai dalam pembangunan rumah gendang(rumah adat). upacara ini biasanya perempuan duduk diatas kayu (siri) dan kayu itu dipikul laki lakisambil nyanyi. akan tetapi dalam video ini tidak ada wanita yang duduk diatas kayu, karena sudah dilakukan sebelumnya.

Dere Perarakan
S:
W:





_______________________________

1. Roko Molas Poco  di Wae  Buka, Ruteng, Kec. Langke   Rembong

Roko molas poco gendang wae buka


https://www.youtube.com/watch?v=UlpMPkE-jUg

Renggas
S: U...sampar  raja  wela
W: U.........
S:
W:
S:
W:


S:  Kole  le ......e  rewung  kole  le e  o  mai  o  roko  molas  poco ..
W: E  roko  molas  poco o  rewung  kole  le

S:  Kole  le ......e  rewung  kole  le e  o  mai  naa  niang  manga
W: E  roko  molas  poco o  rewung  kole  le

S:  Kole  le ......e  rewung  kole  le e  o  mai  tenung   niang  weru
W: E  roko  molas  poco o  rewung  kole  le

S:  Kole  le ......e  rewung  kole  le e  o  mai  tenung   niang  weru
W: E  roko  molas  poco o  rewung  kole  le

S: Pinga koe  ......e empo  pinga koe e  o  mai  o  roko  molas  poco ..u
W: E  roko  molas  poco o  rewung  kole  le




@@ Torok  Tiba



*** Toe  dim  polin


..........................


3. ROKO  MOLAS POCO   di  Wakel, Lelak


https://www.youtube.com/watch?v=1MxW626ifNc
https://www.youtube.com/watch?v=d4LvrGV4e9I&t=6s
https://www.youtube.com/watch?v=4OiSqj2OJYg


S: Mai taung  mai  taung
W:


*****

Kepok


______________________________________

4.  ROKO  MOLAS POCO   di  Coal, Kuwus



https://www.youtube.com/watch?v=gCCjwu7Woac

S:  Mai taung  mai  taung
W:

____________________________
5. ROKO MOLAS POCO di Colol

https://www.youtube.com/watch?v=ILIOOuDk90k

Roko molas poco merupakan suatu ritual adat dimana kayu yg di gotong bersama dari hutan atau kebun lalu di bawa ke rumah gendang untuk di jadikan siri bongkok( tiang utama dalam rumah gendang)

Torok  Cundung:

C:
W:


Dere  Ronda:

S: Mai  taung  weki  ai taung
W: E  roko  molas  poco de
S: Kole  le rewung  kole  le
W: E  roko  molas  poco de
S: Mai  taung  weki  ai taung
W: E  roko  molas  poco de
S: Kole  le rewung  kole  le
W: E  roko  molas  poco de
S: Mai  taung  weki  ai taung
W: E  roko  molas  poco de
S: Kole  le rewung  kole  le
W: E  roko  molas  poco de


Kepok  Reis  agu  Rencu  Pajung - Weras  Dea

Kepok-AR: Yo....yo.......
W:

Kepok-IW:







Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=kLUHIAfkymM
  
*********


warisan budaya adat manggarai


https://www.youtube.com/watch?v=4B1fXREeUUI


_______

Roko Molas Poco kampung Tenda Ruteng


https://www.youtube.com/watch?v=X7joJVzSYnc


_______


Roko Molas Poco: Gendang Ndieng

https://www.youtube.com/watch?v=-fklZlT55Ck


______

Ritus Adat Roko Molas Poco Mbaru Gendang Mentik

https://www.youtube.com/watch?v=vX_hf9HQMqA


______

Acara adat "Roko Molas Poco'' Gendang Kenda

https://www.youtube.com/watch?v=JnpdR97q4Ts



__________

Ritus roko molas poco di Colol,Flores NTT


https://www.youtube.com/watch?v=ILIOOuDk90k

KEPOK SUNDUNG

DERE ROKO MOLAS POCO

S: Mai  taung  weki mai taung...
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Kole le... e  rewung  kole  le
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Mai  taung  weki mai taung...
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Kole le... e  rewung  kole  le
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Mai o... o weki  mai  taung (o)  ...
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Mai  taung  weki mai taung...
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Kole le... e  rewung  kole  le
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Kole le... e  rewung  kole  le
W: E.... roko  molas poco e.......
S: Mai  taung  weki mai taung...
W: E.... roko  molas poco e.......







JPS, 13 Des. 2013



________

https://www.youtube.com/watch?v=t4Q53-IuOuE







______


https://www.youtube.com/watch?v=6xGO7_GJVlM



BUKU TUA' DARI MANGGARAI


BUKU TUA DARI MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

 Sumber:
 https://www.facebook.com/notes/10152351484099733/

diunduh pada 14 Pebruari 2015 pukul  14:32


Tanggal 20 April 2014, saya mendapat sebuah buku tua berbahasa Manggarai dari seorang temanku Hortensius Mandaru (Departemen Terjemahan LAI). Judulnya Epistola agu Indjil. Judul kecilnya: Ata Batja du Leso Minggu agu Leso Rame (Yang Dibaca pada Hari Minggu dan Hari Raya). Buku ini sudah tua karena sudah terbit 8 September 1959, beberapa tahun sebelum saya lahir, bahkan mungkin juga sebelum sebagian besar pembaca saya di sini belum direncanakan untuk ada di dunia ini dan bisa membaca tulisan ini. Buku ini terbit sebelum Ruteng menjadi keuskupan (sebab hal itu baru terjadi tahun 1961). Saat itu Pater Wilhelmus van Bekkum SVD masih menjabat sebagai Vicaris Apostolic Ruteng. Jadi, buku ini termasuk salah satu geliat awal dari perjalanan eksistensi keuskupan Ruteng itu. Buku ini, seperti juga buku lain yang sudah tua usianya yaitu Dere Serani, terbit sebelum Konsili Vatikan II (1962-1965). Bagi saya buku ini juga adalah bagian utuh dari gerakan inkulturasi Manggarai di bawah koordinasi van Bekkum, yaitu menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa daerah setempat. Seperti Dere Serani, buku ini juga ditata menurut tahun liturgi: mulai dengan Advent, lalu Natal, Puasa dan Paskah dst. Karena itu buku ini merupakan bagian utuh dari proses pembelajaran tata waktu dalam dan menurut dunia baru yang dibawa Kristianitas.

Menarik juga untuk disampaikan di sini bahwa bahasa Manggarai yang dipakai dalam buku ini ialah bahasa Manggarai Tengah. Dengan demikian buku ini menjadi salah satu alat bantu perluasan daya pengaruh bahasa Manggarai Tengah ke seluruh Manggarai. Saya katakan “salah satu” karena masih ada buku Dere Serani yang memainkan peranan dan fungsi yang sama. Sesungguhnya masih ada buku lain yang berperan dan berfungsi sama, yaitu Surak Ngaji Manggarai Eme Toe Manga Tuang Pastor (kira-kira begitu judulnya; tetapi sampai saat ini saya belum mendapat bukunya. Tentu ada penulis masa kini di Ruteng yang menulis hal serupa, misalnya Petrus Janggur yang sudah menulis beberapa buku serupa itu. Tetapi yang saya buru ialah buku lama itu; saya masih ingat beberapa refrein jawaban umat dalam buku lama itu: “bentas mori ga sangged ata becang”). Menurut kesaksian Tensi dan Sindu, mereka juga menemukan buku katekismus Manggarai di rumah mereka di Waerana ketika mereka pulang ke sana beberapa waktu yang lalu. Buku itu terbit awal tahun 50an. Tetapi sampai saat ini mereka belum memberikan fisiknya kepada saya.

Saya kembali lagi ke ide di atas tadi: buku ini, bersama dengan beberapa buku Manggarai yang lain yang sudah disebutkan di atas tadi, tentu menjadi salah satu alat bantu perluasan daya pengaruh bahasa Manggarai Tengah ke seluruh Manggarai. Mengapa sampai dikatakan demikian? Itu tidak lain karena teks-teks yang sudah disebutkan di atas dipakai di seluruh paroki Manggarai yang ada saat itu. Bahkan tidak hanya sampai ke tingkat paroki, melainkan juga sampai ke tingkat stasi di mana yang berperan ialah para guru agama. Saya masih ingat dengan sangat baik bahwa dulu ketika liburan panjang sekolah keluarga kami berlibur di Wol. Di sana kurang lebih dua kali hari Minggu kami berdoa bersama di kampung itu di bawah pimpinan guru agama di kampung itu. Dan teks yang dipakai pada saat itu ialah buku doa (surak ngaji) Manggarai berikut epistola dan injil yang juga sudah tersedia dalam bahasa Manggarai. Juga di Paroki Ketang/Rejeng; bila tidak ada pastor maka ibadatnya memakai buku surak ngaji Manggarai yang dipimpin bapak Lambertus Jerawan (guru Katekis), atau Bapa Frans Ebat, atau guru Feliks Mar. Bahkan sebelumnya ada juga Bapak Guru Alo Handuk, atau bapak Pit Darut, dan Pit Hanu (guru katekis), guru Gradus Rengka. Dengan cara itu, terjadilah transformasi bahasa secara besar-besaran di seluruh Manggarai. Orang lalu menjadi terbiasa dengan bahasa Manggarai Tengah, sehingga bahasa itu menjadi “lingua franca” dalam konteks mikro Manggarai. Ke mana saja dewasa ini anda pergi di seluruh Manggarai Raya, hampir dapat dipastikan bahwa orang bisa memahami bahasa Manggarai Tengah itu. Walaupun sebaliknya, tidak dapat dikatakan secara otomatis begitu saja. Terjadilah dominasi, supremasi bahasa dan budaya. Kita boleh menyebut hal ini sebagai bentuk keberpihakan gereja pada salah satu budaya dan bahasa, tentu dengan “mengorbankan” bahasa yang lain.

Salah satu ilustrasinya ialah pergeseran bahasa yang terjadi di Lembor. Dulu waktu saya kecil, awal tahun 70an sampai tahun 80an, orang di Lembor umumnya masih mengucapkan kata-kata tertentu dengan huruf S dan bukan C. Misalnya, asu dan bukan acu, sebagaimana yang lazim sekarang ini. Sa dan bukan ca. Se pisa (bahkan juga terdengar se piha) dan bukan ce pisa. Sampe (tolong, alat bantu tekek) dan bukan campe. So’o dan bukan co’o. Sihi (hutu) dan bukan cihi (hutu). Seak pake dan bukan ceak pake. Saling dan bukan caling. Songko dan bukan Congko. Saling dan bukan Caling. Sengka dan bukan Cengka. Contoh itu masih bisa diperpanjang lagi. Tetapi saya cukupkan sampai di sini. Begitu juga dengan beberapa kata yang dulu biasanya (sering) diucapkan dengan h dan bukan s. Misalnya, hang laho, yang kini menjadi hang leso. Wahe, kini menjadi wase, halang menjadi salang. Bahkan pengucapan huruf H juga mengandung perbedaan. Di dekat Rangga ada sebuah lingko yang oleh orang setempat disebut lingko Hehe. Tetapi H di sini jangan diucapkan seperti huruf H yang biasa kita dengar dalam bahasa Indonesia atau dalam pengucapan Manggarai Tengah (Ruteng). Melainkan harus disebut lingko (g)He(g)he. Sebagian besar kata yang dimulai huruf H umumnya diucapkan dengan cara seperti itu. Ya, memang rada sulit untuk melukiskan perbedaan itu secara verbal di sini. Paling mudah jika diucapkan secara langsung, barulah bisa ketahuan apa yang dimaksudkan.

Fenomena bertutur seperti itu menjadi semakin sempit cakupan luas wilayahnya; dalam pengamatan saya (juga pengamatan Aloysius Abel dari Kaca Lembor Selatan, dalam sebuah diskusi singkat di Bedono, Ambarawa Jawa Tengah, akhir April silam) cakupan wilayah dengan pemakaian fenomena bahasa seperti itu semakin sempit; kini gejala bertutur seperti itu masih bisa dirasakan di kampung-kampung di kecamatan Lembor Selatan, Kolang, Welak, Satar Mese (bagian barat, seperti Wae Rebo). Sedangkan di Lembor, terutama yang terletak di pinggir jalan raya, sudah terjadi transformasi secara besar-besaran.

Tentu selain daya pengaruh modernisasi Manggarai lewat buku tadi (bisa disebut revolusi buku, revolusi huruf), bisa juga disebut sebuah daya pengaruh transformasi lain yaitu melalui pembangunan jalan raya. Ketika jalan raya semakin bagus dengan transportasi yang semakin bagus dan lancar antara Ruteng-Lembor (dengan bis Kayu Manggarai-Indah), Ruteng-Rekas (dengan oto colt Molas Kempo), Ruteng-Labuan Bajo (belakangan) pada awal dan akhir tahun 80an, maka proses transformasi itu menjadi semakin kuat dan masif. Begitu juga dengan faktor banyak anak sekolah yang bersekolah ke Ruteng (sampai 80an kebanyakan sekolah masih terfokus di Ruteng; sesudah itu mulai muncul banyak sekolah baik SMP maupun SMU di pelbagai daerah di Manggarai). Setelah mereka sekolah di Ruteng maka terjadi juga sebuah transformasi lidah dan bahasa (the transformation of the tongue) mereka yang disesuaikan dengan bahasa Manggarai Tengah. Ketika mereka pulang berlibur, mereka memperlihatkan “modernitas” mereka dengan memakai bahasa sentrum modernitas Manggarai di Ruteng itu, di kampung tempat asal mereka. Itu adalah pertanda bahwa mereka adalah “pelajar” dari Ruteng, sebuah sebutan yang pada tahun 70-an dan 80an terasa cukup bergengsi dan disegani.

Setelah sejenak berputar ke mana-mana mari kita kembali ke buku tadi. Bagi saya buku ini termasuk salah satu tonggak historis dalam perjalanan budaya Manggarai: yakni transformasi budaya dari “budaya lisan” (oral tradition) ke “budaya tertulis.” (written tradition). Seperti sudah dikatakan tadi, buku ini terbit tahun 1959. Sebelumnya pasti ada langkah-langkah persiapan dan uji coba terjemahan; seperti eksperimen Dere Serani yang terbit akhir tahun 30an, tetapi derap eksperimen awal sudah ada dan terjadi pada awal tahun 20-an. Menurut Bonefasius Jehandut (2012), lagu “Mai Momang Maria” sudah dinyanyikan oleh anak-anak sekolah di Ruteng pada Mei 1923. Jadi, mungkin derap langkah persiapan itu bisa mencapai 10-15 tahunan. Dalam data Dere Serani (Fransiskus Borgias M 2010; Bonefasius Jehandut 2012), lagu paling tua diciptakan pada tahun 1936, yaitu lagu Doing koe ga (Sadarlah); itu adalah lagu dari bapa Filipus Manti.

Bagi saya buku-buku tua ini adalah sebuah gerakan budaya yang sangat besar. Saat ini saya membacanya dengan memperhatikan kata-kata yang saya anggap sudah mati (usang), yang sudah jarang dipakai lagi dewasa ini di kalangan orang-orang Manggarai (baik di Manggarai sendiri maupun di kalangan orang Manggarai di diaspora/perantauan). Untuk bisa melakukan hal ini saya harus berdiskusi dengan banyak pihak, terutama yang tua, tetapi juga dengan yang muda. Tidak lupa juga saya mengamati dan mencermati tulisan-tulisan singkat berbahasa manggarai yang muncul di sosial media seperti facebook. Kembali lagi ke buku tua yang saya sebut di awal tulisan ini. Terus terang saja bagi saya tidak mudah lagi membaca dan memahami buku ini. Misalnya, ketika membaca prolog injil Yohanes yang dipakai pada masa Advent, saya hanya bisa memahaminya bukan dengan bahasa Manggarai, melainkan melalui jalan melingkar yaitu pemahaman lewat bahasa Indonesia, atau sambil membayangkan pengertiannya dalam dan melalui bahasa Indonesia. Ketika mengalami hal ini, saya semakin sadar betapa terasingnya saya dengan bahasa Manggarai dari tahun 50an itu. Saya sungguh berharap semoga fenomena keterasingan seperti itu bisa diatasi oleh versi terjemahan baru yang diupayakan LAI (P.Tensi) dengan tim dari Komisi Kitab Suci Keuskupan Ruteng. Menurut informasi dari P.Tensi buku ini akan segera terbit pada tahun 2014 ini. Mari kita siap menyongsongnya dengan hati yang riang ria.

Akhirnya, di sini saya juga teringat tahun 2009 silam, di mana saya pergi ke Ruteng bersama tim LAI untuk meluncurkan kitab suci bergambar untuk anak-anak yang diterjemahkan sekelompok orang Manggarai: saya (koordinator, korektor, translator dari Bandung; latar belakang Manggarai dari Ketang/Lelak, Dempol/Lembor), Tensi (supervisor, control, dari Bogor; latar belakang Manggarai dari Waerana) menjadi anggota tim. Juga Fransiska Daima Mur (translator dari Tangerang; latar belakang Manggarai dari Dempol/Lembor) dan Arnoldus Dembo (dari Bandung/ latar belakang Manggarai sili mai daerah Todo). Saya menganggap hal itu sebagai sebuah proses transformasi budaya bagi Manggarai juga. Memang budaya selalu berubah, bertransformasi, selalu berproses. Ia tidak mati. Ia selalu dinamis, tidak statis. Budaya adalah lebih sebagai kata kerja daripada sebagai kata Benda. Dan itu benar. Dengan meminjam istilah dari kamus eklesiologi (teologi mengenai Gereja) saya bisa mengatakan bahwa Cultura semper reformanda. Budaya selalu mengalami proses pembaruan terus menerus. Mandek, tinggal diam di tempat, sama dengan kematian, kebekuan, bahkan kebusukan dan pembusukan. Budaya juga harus meng-hari ini, aggiornamento, meminjam istilah dari Konsili Vatikan II.


Yogyakarta 01 Mei 2014