Rabu, 26 Agustus 2015

DURIT NGASANG DATA


DURIT NGASANG  DATA  

Uku   Wangkung  one Wela - Langkas
  1.  Kako - Agos  - Agot - 
  2. Makung  - Patut - Jewaru - Jelalu - Abu
  3. Padur - Kenau -  Gantur - Rasul (Wartol) - Babur - Pangku
  4. Lagam - Pamar - 
  5. .........
 JPS,  28 Agustus 2015.

Uku  Welo
  1. Ngabu - Sawul - Kanu -  Abut - Naul - Dajus - Nganul - Abu - Hangul - Habun -Manggu (Minggu? -  Gambar ?
  2. Ngabu - Kanu - Jamun - Abut - Mamu (Maria) - Alus (Bibiana) 
  3. Jaling  - Aji - Talis - Andi -  Maji - Panis -  Jaling - Nami - Bahadi -
  4. Jangu - Jalu -  Jeharut - - Mandu - Jemabut - Harus - Jebabun - Jebarus - 
  5. Hutal - 
  6. Epong -Emol -  Beong -
  7. Bidan - Jiman -
  8.  
  9.  
    Uku Karot:
    1. Gagul - Barus - Gagut - 
    2. Legem - Gem - 
    3. Mamu - Dagu - Jehadut - 
    4. Tanuk - Ngapuk - Jaru - Waru - Marut - Jemanu - Jebaru - Gandur - Tagur -  
    5. Ngapuk - Jemanu - Matul - Jelau - 
    Uku Nua1
    1. Namal  - Hatal  - Bakal -
    2. Hatal - Maman - Jahan - 
    3. Laho - Ambor - 
    4. Kaso  - Aron - 
    5. Ambok - Banor - 
    6. Naru  - Jehabur -Papu - Nadur - Magung - 
    7. Bakal - Jeramat -  Nam - 
    Uku Nua 2
    1. Baduk - Garu - Ngganggu - Ngatul - Habut - Babur
    2. Garu - Balu - Jebaru
    3. Ngganggu - Jenaut - Jelahut - 
    4. Ngatul - Ngalut -
    5. Habut - Gawut - Daut - Mamut - Dangur - Ndarung - Banut - Pandu
    6. Babur: Jeramu
    7. Balu - Ratu -
    8. * Jelata - Rama  - Jana - 
     JPS,  31 Agustus 2015

     
     


     

Sabtu, 22 Agustus 2015

KOSA KATA

Kosa kata

Kosa kata MT (Manggarai Tengah)  - MT - Indonesia

1. Perewang = kentau = peralatan
2. Nggelis = helit = mulus
3. Rurap = sara nai = sesuka hati
4. Nggoko = rega = nggeka (?) = kagetin
5. Midos = mados = duduk anteng
6. Metes = retes = betah
7. Penggong = mangkong = menuduh


http://kupang.tribunnews.com/2014/06/28/bet-loo-gula-kaling-ko-wae-cio
JPS, 22 Agustus 2015

1. Tipek = idep (?) = camkan
2. Mbili mbolot = mbali - mbolot  = tidak karuan
3. Tasang = pake = pakai
4. celap = ................= silau
5. Gul = koing = panggilan untuk memberitahu / meminta izin apa boleh lewat  atau tidak.

 http://kupang.tribunnews.com/2014/06/08/pande-de-riben-neni

JPS, 22 Agustus 2015


Kamus mini( kamus koe di meget) (Sumber Yul Lahu,: https://www.facebook.com/yul.lahu?fref=ts
Leken suken: lewen susa
Seringan : tempat nasi
Garis : pemantik
Dulang : nampan
Mangko : piring
Regel : apa gi?? (Kerok sai)

Regel = balok (menurut saya (Frans Jelata)
JPS, 21 Nov. 2015



Rabu, 19 Agustus 2015

NGASANG BEO : BETONG, teno, kalo, langke, ka'ung = manusia ?

NGASANG BETONG = manusia ?

Manga  pisa  ngasang  beo  one Manggarai

Haju / po'ng:
  1. Betong  - wa  Boleng , Manggarai Barat
  2. Pering - eta  desa Gelong,  Lelak , Manggarai
  3. Pering - wa Rura - Reok
  4. Gurung - lau Cibal  (?) - Gurung -Welak /  Lembor ; gurung (Lambaleda / Poco Ranaka).
  5. Helung - Pacar, Manggarai Barat
  6. Desa Gurung Liwut  - Borong, Manggarai Timur
  7. Desa Wae Belang - Cancar - Manggarai
  8. Belang - Waling - Borong - Manggarai Timur
  9. Teong - Wukir - Elar
  10. Teko - Terang, Boleng - Manggarai  Barat
  11. Wunis - Terang  dan  Lamba Leda
  12. Laja - Meler - Rahong
  13. War - Ndoso
  14. Bilas -  Kolang n Ruteng

Apa   hubungan ngasang  beo so' agu  nunduk mensia, bengkar  one  mai  belang, bok one  mai  betong?

JPS, 19 Agustus 2015

Po'ng:
1. Teno - Kolang- Kuwus
2. Kalo - Lelak )?)  dan Ndoso
3. Kaweng  - Wae Ri'
4. Karot
5. Langke - Rahong  Utara
6. Sita / Hita
7. Comu
8. Lale
9. Latung _ Pacar  dan  Cibal
10. Nio - Balus - Riwu - Manggarai Timur
11. Welu - Lelak   agu Ndoso
12.Mbako
13. Latung



JPS, 23 Agustus 2015

1. 



Minggu, 16 Agustus 2015

ASAL USUL ORANG MANGGARAI


 Evolusi  manusia
Orang Manggarai sekarang merupakan hasil perkawinan beragam etnis. Dari beragam etnis itu, bisa disederhanakan dalam dua kategori tempat tinggal, yakni gunung dan pantai. Maka dikenallah dua kelompok manusia, yakni  orang gunung (ata golo) dan orang pantai   (ata wae). Atau  ada juga istilah orang asli ( ata  isi tana)  dengan  pendatang   (ata  long).

Dari pelbagai sumber yang dikumpulkan diketahui  bahwa nenek moyang orang Manggarai berasal dari berbagai benua yakni Eropa, Afrika dan Asia.

Dari Eropa, disinyalir berasal dari Turki. Konon  seorang tokoh di Nanga Rawa, Tanah Rata Borong, Manggarai Timur. Tokoh itu adalah Temelo (Tamelo).   Tamelo  datang dari Turki bersama rombongan pasukan teknis pembuatan kapal perang untuk membantu perang Aceh yang diserang oleh Portugis. Namun pasukan itu tak semua tiba  kembali ke Turki. Ada yang  pesiar menuju kawasan lain, termasuk yang  mendarat di Nanga Rawa - Kisol - Borong, Manggarai Timur. Katanya, perahunya kini menjadi batu di sana. Tamelo menyisakan7 potong tebu dan 12 bilah parang. Itu yang dia bawa memasuki kawasan Manggarai. Dia memasuki Poco Ndeki lalu menuju ke Riwu, masuk kawasan Biting - Bangga Rangga  lalu menuju Mandosawu. Di Mandosawu dia berkebun.Gunung  Mandosawu berdekatan dengan Gunung Ranaka. (Ranaka, bahasa Manggarai: Rana = danau; Ka = Burung Gagak. Ranaka = danau yang sering dikunjungi oneh burung gagak). Tamelo berkebun juga  di dekat  Ranaka (Danau  Burung Gagak) itu. Berbagai tanamannya tumbuh subur. Buahnya bagus-bagus. Suatu  waktu  kebunnya didatangi sejumlah perempuan cantik. Siapakah mereka itu? Setelah diamatinya mereka ternyata  peri yang berasal dari dunia khayangan. Mereka bisa  berubah rupa menjadi  manusia, namun dalam sekejam bisa mengenakan kembali mantel dan parasut untuk bisa terbang kembali ke khayangan. Tamelo penasaran dengan  para perempuan itu. Muncul niat dalam hati untuk meminang salah satunya. Dia mencari akal. Suatu malam di bulan purnama, dia bersembunyi di rimbunnya dedaunan tanamannya. Para gagak datang. Mereka melepaskan mantel dan parasut. Mereka menjadi  manusia. Tampak cantik. Salah seorang menyembunyikan mantel dan parasutnya di dekat persembunyian Tamelo. Tamelo mengambilnya dan menyembunyikannya.  Ketika  hendak pulang, mereka mengambil kembali mantel dan parasutnya lalu terbang menuju dunia khayangan. Seorang tidak bisa terbang karena tak menemukan parasut dan mantelnya. Dia mencari dan mencari tapi tak dapat. Saat dia mencari dalam suasana  sedih hati  dia bertemu dengan Temelo. Temelo senang bukan kepalang. Mereka sepakat untuk  kawin  lalu melahirkan Jermelo  dan  adiknya. Jermelo dan adiknya  merengek. Hal ini memusingkan ibu. Ibu kewalahan mengatasinya. Dalam situasi galau dia mencorek-coret pada  abu  tungku dapur. Tanpa sengaja  dia menemukan kembali  mantel dan parasutnya. Dia kembali  ke  khayangan  sambil  membawa  anaknya yang  masih kecil. Jermelo menikah. Namun perempuannya tak disebutkan siapa dan  dari mana. Hasil perkawinan mereka menurunkan  Teke Le (Sang Utara) dan Teke Lau (Sang Selatan). Teke Lau (Sang Selatan) kawin dengan  Nggae Sawu. Teke Le kawin  lalu melahirkan Sesawu. Namun  tak dikisahkan siapa   dan  dari mana  istri Teke Lau. Sesawu kawin  lalu menurunkan  Rendong Mataleso (Si Matahari). Istri Sesawu tak diketahui  nama  dan  asalnya. Rendong Mataleso menurunkan  Mbula, Ingkal, Paju, Longko, Wucur, Poca, Kamping dan Maja. Mbula  menuju Lambaleda. Ingkal menuju Riwu. Paju ke Cibal. Longko ke Poka - Cakep,  Wucur ke Ngaker, Poca ke Desu, Kamping ke Sita, Ingkal ke Kolang, Torok Golo. Keturunan mereka  ini kemudian menyebar ke hampir seluruh wilayah Manggarai.

Kedua  dari  Sulawesi Selatan, simak tabu-tabu  dan suku Maras (Welo),


Ketiga dari Minangkabau
Ini konformasi kisah yang saya dapatkan waktu kecil
June 18, 2014

My weakness:  dominate by technology of internet, read only news (user) not creator news. That important become creator news, not focus, 
My activity today: make report of introduction, make cover,  make resign letter, make present list, fill /write on blog
Call Ms Tuti at Optima  use JPS primary phone. Press number 9 than call Optima number 5806203. “I will go to Optima but I arrive at afternoon. I want to delivery my report and  resign letter,” I say. “Wow…., I will sent Primary certificate to you,” she  say. “okay,” I answer.  Than I go out for moment  for lunch. I wrap it.  I pay IDR  13.000 (rice, vegetable of acid , fish of tongkol). I go to Harmony shop to bind  (jilid)  the report.   I entrance. Evidently it  is Cathreen and Mario’s  of parent of shoop. They are Batak people. Mario ever school at JPS when Primary while Cathreen still at JPS. I can  not bind (jilid) there.  I go back to shelter of Harmony. I eat there. Than I go to  Bogor village to bind .(jilid) report. I go there  while fill the fuel. I commend  (titip) it  on shop of bind .(jilid) when I go to fuel station.I pay Rp 12.000 for bind (jilid , 3  ex).  I fill Rp 10.000. Than I go back to JPS. Start to OSI on 18:30 am. I drive motor cycle. The big jamm at  margin river Pondok Ungu (may be 45’ jamm)., commend .(titip) motor cycle on care place of home. I zigzag .(zigzag) on middle big jamm. I run to Harapan Indah shelter while zigzag (zigzag).  I arrive at Harapan Indah shelter. Lucky the bus of Busway already come, still  wait passenger. I entrance  while panting (terengah-engah). I’m relieved (lega) when direct / straight  get  bus without wait so long.I pay Rp 3.500.  I sit down on back. I  contact Mr. Hila to wait me Utan Kayu shelter. About 1,5 hours I arrive there,” I call  and  sms. “Okay, he says. Than the busway start. The journey from Bekasi to Pulo Gading  is smooth.  I arrive at Pulo Gadung. I wait busway to Pramuka road. Please through Bermis shelter. I do it. We wait busway enough long . I get busway. I stop at Bermis  shelter.  I contact to Mr. Hila. “I’m lost (tersesat). I’m at at Utan kayu Rawamangun,” he say. Please say, Utan kayu at Central Hotel,” I say.  Evidently Mr. Hila use taxi IDR  20.000. “Wow…. he  is miss communication. “. No need to use taxy, please only on foot,” he says.  I arrive at 19.00 am at Pulo Gadung. I use busway  through Bermis. I wait in Bermis so long. Wow….boring to wait  and  feel  tired  in pollution and big jamm situation. There is busway that by pass Jl. Perintis Kemerdekaan. I wait bus that turn at Kayu Putih – Jl. Pemuda – Jl. Pramuka (shelter of Utan Kayu). Evidently  my decide wrong. I late to make decision. If I stop at shelter Cempaka Putih Timur, certainly it faster to  me to arrive at  shelter of Utan Kayu. I often late to make decision. I decide to transit at Cempaka Putih Timur so I entrance busway that by pass Cempaka Putih area. I transit at Cempaka Putih Timur. I walk on shelter that long. I’m tired. I try to still spirit but my tired still show it to me.  The busway  to UKI  come. I transit   shelter BPKB. I walk on shelter that enough long. I wait bus at Jl. Pramuka. The busway come. I try to contact  Mr. Hila. He already arrive there. I stop at shelter Utan Kayu. When I arrive, I wait  for moment. Than he  come. I give  bag that consist souvenir of  food  that I buy at Bandung on Tuesday, June 17, 2014. Than I continue my journey with busway to Dukuh Atas 2, than transit at  Dukuh Atas 1 and 2  shelter. I wait busway  to Harmony. I wait enough long. Than the busway come. I arrive at Harmony. I transit there to Kedoya. I wait busway to Kedoya use busway to Lebak Bulus.  I get bus on 22.00 pm. I stop at Duri Kepa shelter. I entrance  to OPTIMA  office. Lucky Mr. Rudy still available there. I put my data. Than I get the data  especially certificate. I bring it. I wait busway. This  is  the  end busway.  I stop at Harmony. Wow…. my money  less, while no public car to Cempaka Putih / Percetakan Negara.  I decide to go to Sarina shelter.  I looking for BCA ATM.  I exit from busway. I ask at  Gedung Jaya – Menara Thambrin.  “Please  go the Menara Thambrin bulding. There 24 hour available ATM. I entrance. “This place I often entrance when join on Prudential  training.  I take money there. Than I looking for food for supper.  I eat fried food with cost Rp 10.000. For first I eat on margin road of Jl. Thambrin, near BPPT  building. Than I  I cross shelter busway.  I looking for taxy. I use EXPRESS  taxy.  In taxy we by the way.  We introduce one to the  others. “I from Padang. I’m Jomy.” He say. “I’m  Frans, from Manggrai Flores.  In story from ancient, our ancient  from Pagarujung, Minangkabau, Padang, West Sumatra. There is  story about   fight of buffalo,” I say. “Oh yes,  there is  war between Pagarujung vs Majapahit. If war of army, Majapahit is big  kingdom, have strong army  than Pagarujung. Pagarujung  think how win war without army war. Please battle of animal,  especially  buffalo. This is alternative war. They suggest it to Majapahit kingdom. Majapahit accept it. The envoy (utusan) of Pagarujung lurk (mengintai) buffalo that Majapahit use when battle  of buffalo.  “Oh…they use the female (betina) buffalo that have big body, long horn (tanduk) , have long milk (stomach) (susu yang panjang)” the envoy (utusan) say. “Please prepare the small buffalo that still suck (?) suckle (menyusui). We put and  binding (ikat)  knife on horn (tanduk) . They separate  the    child buffalo with mother buffalo, so  the child buffalo hungry and  thirsty. The  deal time for  battle  come. The big buffalo (from majapahit) and small buffalo (from  Pagarujung)  battle. The child . small buffalo think the Majapahit buffalo is his mother. So, it  come and  run to  …..(suck) suckle (menyusui).  The big buffalo can not plow (seruduk) and  lose   the little buffalo.  The small buffalo suck while make wound (luka) the body of  big buffalo. The big buffalo wound (luka) and death. So the little buffalo win. Finally Pagarujung win. “ he say. “Wow… this story same with story that I hear in Manggarai that I know from Mr. Bone Kaso when we are still childhood. ‘ I say.   I thank you to Mr. Jomy because from  his history I clear the story that still hazy .(kabur) to me.  We by pass Menteng – Jl Imam Bonjol – Jl Diponegoro -  Jl. Kramat Raya – Jl. Pemuda – Rawasari – Percetakan Negara - .   I pay  IDR 30.000. I arrive on 01.00 am, wow…. go back  from Office on middle  night. I’m so  slow. Please repair myself. 

Keempat: Kalimanatan. Ada suku di Kota Komba yang mengaku bahwa nenek moyangnya berasal dari Kalimantan. Begitu mereka mendarat di pantai Selatan (Wae Wole - Wae Lengga/ Bondei - Kisol) mereka menuju daratan. Mereka membawa serta dengan anjing. Mereka melepaskan anjing ini. Suatu pagi mereka melihat anjing ini basah. "Tentu anjing ini menemukan air. Bagaimana caranya agar mereka mengetahui letak air itu? Mereka menyirami abu dapur pada anjing itu. Beberapa waktu kemudian,  mereka melihat bahwa anjing itu kembali lagi ke rumah dalam keadaan basah, pertanda bahwa di sekitar  daerah itu ada air. Lalu mereka mengikuti jejak abu  yang dijatuhkan dari tubuh anjing itu. Mereka berhasil mendapatkan air itu. Mereka begitu bergembira  ketika menemukan air.

Hemat saya (FJ), ada beberapa data yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah  bahasa / nama tempat. Ada kemiripan antara  nama tempat di Manggarai  dengan tempat di Kalimantan. Misalnya,  kampung Kelumpang di Kec. Rahong Utara, Manggarai  dengan Kecamatan Kalumpang di Kalimantan Selatan,  Kalimantan Timur, (https://media.neliti.com/media/publications/21403-ID-siput-air-tawar-sebagai-hospes-perantara-trematoda-di-desa-kalumpang-dalam-dan-s.pdf; )

 Selain itu kata Nanga. Di Mangarai ada banyak Nanga, seperti Nanga Kantor, Nangalili, Nanga Bere, Nanga Woja, nanga Lanang. Di Kalimanta ada nanga Tayap di Kab. Ketapang Kalbar, Nanga Taman (Sekadau) , Nanga Mahap (Sekadau)



Sabtu, 15 Agustus 2015

SEJARAH DAERAH MANGGARAI


Asal - usul nama Manggarai, bisa dilihat dalam tulisan di blog berikut ini

http://djohandyharwali.blogspot.com/
diunduh pada Minggu, 16 Agustus 2015, pkl 13:46



a.      Sejarah pemberian nama Manggarai
Nama Manggarai berasal dari dua suku kata yaitu kata Manggar dan kata Rai. Kata Manggar diambil dari nama batu yang dibawa oleh Empo Masur seorang keturunan raja (Raja Luwu) dari Sumatera Barat yang artinya Watu Jangkar yang biasanya digunakan untuk menahan Wangka (Perahu) ketika Wangka (perahu) berhenti. Sementara itu, Watu Rai berarti batu asah yang digunakan untuk mengasah parang, tombak dan lain-lain oleh masyarakat setempat. Kedua batu ini merupakan dasar pemberian nama Manggarai.
 Empo Masur berdampak pada perubahan nama tempat yang ia datangi yaitu dari nama Nuca Lale atau Lale Lombong berubah menjadi Manggarai. Hal ini menunjukan bahwa pada awalnya nama Manggarai adalah Lale Lombong atau Nuca Lale. Adanya perubahan nama Nuca Lale atau Lale Lembong menjadi Manggarai karena kedatangan Empo Masur membawa banyak perubahan untuk masyarakat setempat. Kehadiran Empo Masur melahirkan istilah Caci, Lodok Lingko, Mbaru Niang, Nggong, dan Gendang di Manggarai.
Ada beberapa nilai budaya Daerah Manggarai yang sampai sekarang ini masih tetap dijaga kelestariannya. Yang pertama adalah budaya Caci. Caci pertamakali dipelopori oleh Empo Masur. Kata Caci itu sendiri berasal dari tiga suku kata yaitu ci gici ca. Ketiga kata ini memiliki kesatuan arti yaitu menguji kemampuan seseorang. Ci artinya menguji, gici artinya perorang, dan ca artinya satu. Jadi secara harafiah caci  berarti menguji kemampuan lelaki Manggarai satu persatu. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua laki-laki Manggarai mampu memperagakan Caci. Hal ini dikarenakan, Caci menuntut para aktornya untuk memiliki keberanian, kelincahan, keindahan suara, dan pandai bergoyang (lomes). Sejarah munculnya Caci di Manggarai diawali dengan inspirasi dari Empo Masur yang menghubungkan kebiasaan mereka di Sumatera Barat (Sabung Kerbau) sebagai budaya untuk menghibur masayarakat.
Perubahan yang dibuat Empo Masur bukan hanya terbatas pada pembentukan Caci sebagai budaya daerah. Ada beberapa istilah yang dibuat Empo Masur selama hidupnya di tanah Manggarai yaitu Lodok Lingko, Mbaru Niang, Nggong, dan Gendang. Sampai sekarang masyarakat Manggarai menggunakan istilah-istilah budaya ini dalam setiap perhelatan kegiatan kebudayaan.
b.      Perkembangan Manggarai
Pada masanya Manggarai memiliki enam (6) raja. Raja pertama adalah Raja Lanur yang berasal dari Wudi. Raja kedua adalah raja Sehak yang berasal dari Ntala Ruteng. Raja ketiga adalah Lontar yang dijuluki Melondek berasal dari Cabo bagian Cibal. Raja keempat adalah Tamur berasal dari Todo. Raja kelima adalah Ngambuk yang juga berasal dari Todo. Dan raja yang terakhir adalah raja Barut.
Pada masa Raja Lontar, daerah Manggarai dibagi kedalam bentuk Dalu. Dalu dalam pemahaman sekarang disebut Kecamatan. Ada 37 Dalu dalam Masa kepemimpinan Raja Lontar yaitu Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Pongkor, Poco, Leok, Sita Torok, Golo, Rongga Koe, Kempo, Rajong, Manus, Riwu, Ndehes, Cibal, Lamba Leda, Reok, Pasat, Nggalak, Bari, Rego, Congkar, Biting, Rembong, Pota, Manus, Ruis, Mata Wae, Mburak, Welak, Wontong, Lelak, Todo, Bajo, Nggorang, dan Raju.

______________________________________________

Potret Sejarah Manggarai dalam Sejarah Nusantara: Sebuah Studi Literatur

https://www.floresa.co/2016/05/02/potret-sejarah-manggarai-dalam-sejarah-nusantara-sebuah-studi-literatur/


Catatan editor: Tulisan ini merupakan karya dari Vianney Andro Prasetyo, seorang alumni Australian National University. Ia merupakan pemerhati lingkungan, penikmat pariwisata, kopi dan sejarah. Sekarang, Andro tinggal di Ruteng. Dalam surat elektronik kepada Floresa.co, ia berharap, ulasan dengan basis ilmiah ini yang juga berisi hipotesis mengenai asal usul Manggarai, bisa menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin belajar tentang Manggarai.


Kesultanan Bima dan Kesultanan Makassar

Sejarah Manggarai tidak lepas dari sejarah Kerajaan lain di Nusantara seperti Kerajaan Gowa yang kemudian dilebur bersama Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar, Kerajaan Bima, perkembangan Agama Islam di Nusantara dan penyebaran Agama Katolik di Flores.

Kawasan Barat Flores (Manggarai) pada masa lampau dikuasai oleh Kerajaan Bima hingga pada awal tahun 1900 (Steenbrink 2013). Bima menjadi Kerajaan Islam karena pengaruh Penguasa Gowa yang memeluk Islam pada tahun 1605 dan kemudian membentuk Kesultanan Makassar. Bima yang saat itu menjadi taklukan Gowa kemudian memeluk agama Islam (Steenbrink 2013). Sebagai daerah taklukan, Bima mengirim upeti kepada penguasa Gowa yang juga diambil dari tanah Manggarai seperti hasil bumi dan ternak (Daeng 1995).

Keadaan ini bertahan hingga tahun 1667 saat diadakan Perjanjian Bungaya antara VOC dan Kerajaan Gowa yang saat itu menguasai Bandar Makassar. Gowa yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut tetap melakukan perlawanan dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin hingga akhirnya dikalahkan oleh VOC pada 1669. Perlawanan ini dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669). Daerah yang berhasil lepas dari kekuasaan Gowa akibat perjanjian dan perang ini adalah Makassar, Bone dan Bima. Pada tahun 1669, Bima kemudian menyerah dan menandatangi suatu perjanjian dagang dengan VOC. Selanjutnya, Bima menjadi penguasa tunggal atas Manggarai yang diakui oleh VOC (Daeng 1995).

Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo (Daeng 1995). Pada tahun 1727, seorang putra Sultan Bima mempersunting seorang Putri dari Kesultanan Makassar, Puteri Daeng Tamima. Kawasan Manggarai kemudian diserahkan sebagai hadiah perkawinan dan Puteri Daeng Tamima mendirikan Kerajaan Islam di Reo, pantai utara Manggarai. Sultan Musa Lani Alima dari Bima ternyata tidak setuju menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada Kesultanan Makassar. Maka, pada tahun 1732 dibentuklah persekutuan dengan Bajo untuk menyerang Reo dari laut dan mengusir orang Makassar di Reo. Akan tetapi, serangan ini gagal sehingga disusun kekuatan baru dengan bantuan Todo dari arah selatan (Daeng 1995).

Todo menggunakan kesempatan ini untuk memperoleh hegemoni dan pengaruh atas pedalaman Manggarai dengan menaklukkan penguasa-penguasa lokal di pedalaman. Akibat kekuatan yang tidak seimbang, maka Puteri Daeng Tamima akhirnya menyerah dan kembali ke Makassar. Dengan demikian pengaruh Bima atas Manggarai tetap dapat dipertahankan (Daeng 1995).

Setelah mengamankan kekuasaan di Manggarai, Bima menjadikan Reo sebagai pusat pemerintahan di Manggarai dengan mengangkat perwakilan Sultan Bima yang disebut Naib. Perwakilan Sultan Bima yg kedudukannya lebih rendah dari perwakilan di Reo juga ditempatkan di Labuan Bajo, Pota dan Bari. Di Manggarai, Kesultanan Bima mempelopori suatu sistem pemerintahan yang disebut kedaluan dan gelarang. Gelarang memiliki status dibawah Kedaluan (Daeng 1995).

Pada tahun 1732, situasi struktur pemerintahan di Manggarai adalah perwakilan Sultan Bima di Reo, Pota, Bari dan Labuan Bajo, tiga dalu besar; Todo, Cibal dan Bajo yang tidak mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo dan juga dalu-dalu kecil lainnya. Selanjutnya, Dalu Todo juga membawahi tiga belas kedaluan yang lebih kecil yaitu Kolang, Lelak, Wontong, Welak, Ndoso, Ndeles, Rahong, Ruteng, Poco Leok, Torok Golo, Sita, Riwu dan Manus, namun tetap membayar upeti kepada Naib di Reo. Sementara itu, Dalu Cibal dan Dalu Bajo tidak membawahi dalu-dalu kecil lainnya namun juga membayar upeti kepada Naib di Reo (Daeng 1995).

Kedaluan yang mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo adalah Ruis, Pasat, Nggalak, Rego, Pacar, Boleng, Kempo, Nggorang, Mburak, Lo’ok dan Lambaleda. Sementara itu, kedaluan yang berada dalam garis koordinatif dengan Naib di Pota adalah Congkar, Biting dan Rembong (Daeng 1995). Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Bima di Manggarai dan juga daerah kekuasaan Dalu besar yang ada maka jumlah kedaluan di Manggarai pun bertambah. Pada perkembangannya, daerah Manggarai terbagi dalam 38 kedaluan (Steenbrink 2013).

Situasi Struktur Pemerintahan di Manggarai tahun 1732
Situasi Struktur Pemerintahan di Manggarai tahun 1732

Naiknya hegemoni Dalu Todo rupanya tidak disukai oleh Dalu Cibal yang menganggap Dalu Todo bukanlah Manggarai asli melainkan keturunan Minangkabau. Rivalitas diantara kedua Dalu ini kemudian menghasilkan beberapa peperangan terbuka yang kemudian dimenangkan oleh Dalu Todo. Keberpihakan Bima terhadap Dalu Todo terjadi akibat aliansi yang terbentuk dalam menyerang Reo. Namun, sebenarnya Bima tidak mempunyai kepentingan terhadap perselisihan yang terjadi diantara kedua dalu tersebut selain mengamankan pengaruh mereka atas Manggarai (Daeng 1995).

Asal usul Dalu Todo atau pemimpin kedaluan tersebut yang berasal dari Minangkabau memang masih sulit dibuktikan secara ilmiah mengingat sedikit sekali catatan sejarah mengenai Manggarai, kecuali menggali dan menganalisa dari catatan sejarah kebudayaan lain yang terkait, seperti Bima, Makassar (Gowa) ataupun Minangkabau. Cerita masa lampau dan asal usul di Manggarai masih disampaikan turun menurun secara verbal.

Tidak adanya akses ke pendidikan mengakibatkan budaya Manggarai pada masa lampau tidak mengenal budaya literasi dalam konteks membaca dan menulis. Beberapa orang mungkin mempunyai kemampuan tersebut terutama yang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain di derah pesisir ataupun karena intervensi dari misionaris (Pemerintah Kolonial Belanda) dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah misi yang ada di Flores. Misionaris dan Pemerintah Kolonial Belanda juga telah membantu memberikan referensi sejarah Manggarai sejak awal 1900 melalui penelitian-penelitian etnologi.

Minangkabau

Namun bila kita kaitkan dan lihat lebih jauh mungkin saja cerita ini bisa di telaah berdasarkan catatan sejarah dan riset yang ada. Suku Minangkabau dan Makassar dan Bugis merupakan sedikit dari suku-suku di Indonesia yang melakukan perantuan pada masa lalu (Persoon 2002). Wilayah yang diliputi juga cukup besar. Suku Minangkabau merantau hampir diseluruh kawasan Asia Tenggara termasuk kawasan Indonesia Timur. Salah satu perantau awal dari Minangkabau bermukim di kawasan Negri Sembilan di Semenanjung Malayu dan menjadi bagian dari Negara Federasi Malaysia.

Suku Makassar ataupun Bugis diketahui melakukan pencarian teripang hingga ke pesisir utara di benua Australia dan melakukan perdagangan hingga ke Madagaskar. Ada kemiripan yang mendasari perantuan suku-suku ini, yaitu perdagangan atau faktor ekonomi. Namun, ada satu hal yang berbeda dari Suku Minangkabau yang juga mendorong suku ini untuk merantau, yaitu budaya Matrilineal (Persoon 2002).

Orang Minangkabau akan pergi merantau dan enggan untuk kembali sebelum meraih kesuksesan. Suatu pegangan hidup yang ditanamkan oleh para Ibu di Minangkabau kepada anak laki-lakinya yang kini menjadi lebih umum bagi suku-suku lain di Indonesia. Anak laki-laki Minangkabau akan merantau dan keluar dari rumah saat dewasa karena menyadari bahwa rumah dan tanah menjadi hak bagi Saudarinya, apalahi bila saudari mereka sudah menikah dan mempunyai anak. Suatu budaya yang diperkenalkan oleh nenek moyang legendaris masyarakat Minangkabau Datuak Katamanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sebatang. Mereka berdua yang dipercaya menyusun sistem adat Minangkabau atau yang dikenal dengan Lareh Bodi Caniago pada sekitar tahun 1200, jauh sebelum Agama Islam masuk ke Minangkabau (Batuah AD dan Madjoindo AD 1959).

Menurut catatan dalam Suma Oriental oleh Robert Pires, diketahui bahwa pada sekitar awal tahun 1500 terdapat Tiga Raja yang berkuasa di Minangkabau; Raja Alam, Raja Sabda dan Raja Ibadat (Cortesao A 1944). Menurut catatan yang dibuat antara tahun 1513-1515, disebutkan bahwa dari ketiga Raja Minangkabau tersebut hanya satu yang telah memeluk Agama Islam sejak 15 tahun sebelumnya. Ini artinya, Agama Islam mulai berkembang di sebagian masyarakat Minangkabau pada sekitar tahun 1498 – 1500.

Seperti dijelaskan diawal, budaya merantau Minangkabau yang kuat berdampak pada migrasi besar-besaran sekitar tahun 1500 an (Dobbin 2008). Banyak orang Minangkabau yang pindah ke sisi Timur Sumatera bahkan hingga ke Semenanjung Malaya karena adanya Kesultanan Malaka dan jalur perdagangan yang ramai. Kesultanan Malaka saat itu memang dipengaruhi oleh Islam namun pada pelaksanaan hukum dan pemerintahan tidak didasarkan sepenuh pada nilai-nilai Islam (Halimi 2008). Demikian pula dengan situasi masyarakat Minangkabau saat itu. Masyarakat Minangkabau baru menerapkan ajaran Islam sepenuhnya setelah meletusnya Perang Paderi (1803-1838), akibat konflik antara Kaum Adat dan Kaum Paderi (Ulama).

Setelahnya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak orang Melayu termasuk Minangkabau yang berimigrasi ke Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Saat itu Kerajaan Gowa belum memeluk Islam dan orang-orang Melayu ini lah yang memperkenalkan Islam hingga Kerajaan Gowa memeluk Islam pada awal tahun 1600 yang juga kemudian mempengaruhi Kerajaan Bima.

Hipotesa Keturunan Minangkabau di Manggarai

Bila melihat dari catatan sebelumnya dimana pada tahun 1732 telah terdapat 3 dalu besar di Manggarai termasuk Todo, dan belum berkembangnya Islam di Manggarai, maka hipotesa yang bisa dibangun adalah sebagai berikut:

Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari suku Minangkabau yang merantau pada sekitar abad ke 12 sampai abad ke 14 saat telah berlaku budaya Matrilineal. Namun kemudian, mengapa budaya tersebut tidak diterapkan di Todo masih perlu diteliti. Mungkin saja para perantau awal ini adalah mereka yang menolak budaya Matrilineal.

Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari Suku Minangkabau yang merantau ke Sulawesi Selatan pada abad ke 15 dan 16. Diketahui bahwa suku Minangkabau telah bermukim di Makassar sejak tahun 1490. Sebagai bandar yang cukup besar pada masanya, sangatlah mungkin Makassar dihuni oleh suku-suku lainnnya seperti Bugis, Luwu dan bahkan Bima. Kawin campur mungkin terjadi dan pengaruh Islam masih belum terlalu kuat. Dengan hubungan antara Gowa dan Bima, juga karakter Minangkabau dan Bugis/Makassar sebagai perantau dan penjelajah, mungkin terjadi bahwa perantau Minangkabau ini ataupun keturunannya ikut dalam ekspedisi ke Manggarai dan bermukim didaerah Todo hingga berkembang sampai saat ini. Abad ke 15 sampai dengan awal abad ke 17 bisa dikatakan sebagai masa peralihan dimana Kerajaaan-Kerajaan di Nusantara mulai memeluk Islam. Namun pengaruhnya dalam pemerintahan dan hukum belum begitu kuat, sehingga masih banyak masyarakatnya yang berpegang kepada adat istadat dan budaya. Hal ini juga terjadi di Kerjaan Minangkabau dan Kerajaan Gowa sehingga sangat mungkin perantau Minangkabau yang datang ke Manggarai masih berpegang kepada adat dibanding agama yang masif relatif baru.

Pertanyaan mengenai budaya matrilineal yang tidak diwariskan juga akan muncul. Namun hipotesa ini menjelaskan bahwa mungkin saja para perantau ini punya motif yang sama dengan perantau di hipotesa pertama, yaitu menolak Matrilineal atau bisa saja para perantau ini adalah suku Minangkabau yang telah menetap beberapa saat di Makassar sebelum melanjutkan perjalanan ke Manggarai. Sebagai pendatang di Makassar yang adalah patrilineal, bukan tidak mungkin Suku Minangkabau ini kemudian mengadopsi sistem yang sama. Faktor kawin campur dan eksposur terhadap budaya lain bisa mempengaruhi kenapa sistem kekerabatan matrilineal tidak dibawa ke Manggarai.

Perbudakan dan Perlawanan

Kondisi topografi dan geografi pada masa lampau menyebabkan sulitnya akses ke daerah pedalaman Manggarai. Sehingga terdapat perbedaan jelas antara penduduk di daerah pesisir yang didominasi suku Bima, Makassar dan Bugis dan penduduk Manggarai di daerah pedalaman. Hingga tahun 1900, penduduk di pedalaman mempunyai perasaan takut yang mendalam tehadap pendatang karena risiko penyerangan dan dijadikan budak (Steenbrink 2002).

Pada tahun 1700, di Batavia telah terdapat suatu desa dengan nama Manggarai yang dinamakan karena banyaknya budak yang berasal dari Flores bagian Barat (Steenbrink 2002). Mereka mengumpulkan pajak, hasil bumi, ternak dan juga budak dari penguasa lokal (dalu) dipedalaman Manggarai (Steenbrink 2013).

Pada 1 Januari 1860, Pemerintahan Kolonial Belanda menghapus perbudakan di Hindia Belanda. Akan tetapi budak-budak di Pulau Sumbawa yang sebagian berasal dari Flores bagian Barat baru benar-benar dibebaskan pada tahun 1910 (Steenbrink 2013). Sementara di Flores Barat sendiri praktek pengambilan budak baru benar-benar hilang saat Belanda secara resmi mengambil alih kekuasaan pada 1908.

Pada tahun 1783 diadakan suatu perjanjian tertulis antar Sultan Bima, Abdulkadim dengan sejumlah Dalu di Manggarai yang isinya mengingatkan kembali pengakuan Belanda terhadap kekuasaan Bima di Manggarai pada tahun 1669. Persetujuan ditandai dengan penyerahan alat-alat upacara kebesaran dan senjata kepada sejumlah perwakilan Dalu. Akan tetapi, isi perjanjian tersebut membuat hubungan antara Bima dan penduduk pedalaman Manggarai menjadi tidak seimbang dimana kedaluan di pedalaman dilarang melakukan hubungan dagang dengan pihak lain. Sementara itu, Bima hanya menerima pajak, upeti dan budak dari kedaluan yang ada. Penduduk Bima, Bugis atau Makassar yang beristrikan orang dari pedalaman Manggarai dilarang tinggal di derah kedaluan karena akan mencemari adat dan agama. Ini pula yang membuat Agama Islam pada saat itu tidak bisa berkembang di Manggarai yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan lokal (Steenbrink 2013).

Melalui persetujuan pada 1783, Bima telah memainkan peranan penting dan pengaruhnya terasa sampai jauh ke pedalaman. Sehingga timbul reaksi dan perlawanan dari pemimpin lokal, apalagi dengan adanya kekuatan baru yang muncul, Todo.

Pada tahun 1860, Dalu Todo menentang Bima secara resmi dengan menolak kekuasaan Sultan Bima. Pada tahun 1905, Todo menolak untuk membayar upeti pada saat penobatan seorang Sultan baru di Bima. Pada tahun 1915, saat seorang Sultan Bima wafat, seluruh Kedaluan di Manggarai menolak hadir pada saat upacara pemakamam dan menyatakan diri bebas dari Bima (Daeng 1995).

Runtuhnya Kekuasaan Bima

Pada awal 1900, kekuasaan Bima di Manggarai mulai memudar. Pada tahun 1908, Belanda secara resmi melakukan kegiatan administratif di Manggarai. Selanjutnya, pada tahun 1913, terjadi perubahan dalam struktur Kesultanan Bima dimana teritori Manggarai dibawah Raja Naib di Reo dinyatakan terpisah dari Kesultanan Bima dan menjadi unit administratif tersendiri. Perubahan struktur VOC ke Pemerintah Hindia Belanda juga mempengaruhi eksistensi Bima di Manggarai. Dengan dibubarkannya VOC pada 1 Januari 1800, maka perjanjian Bima dan VOC pada tahun 1669, tidak lagi relevan dan Pemerintahan Hindia Belanda yg baru mempunyai preferensi yang berbeda tehadap tanah jajahannya di Flores, termasuk salah satunya untuk pengembangan Agama Katolik.

Pada awalnya, Pemerintah Hindia Belanda masih mempertimbangkan untuk mempertahankan keturunan Sultan Bima sebagai penguasa Manggarai yang terpisah dari Bima. Namun, karena situasi yang telah berubah dan penolakan dari penguasa lokal di Manggarai, maka Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niat tersebut dan diantara tahun 1927 dan 1929 Pemerintah Hindia Belanda membuat keputusan untuk memulangkan semua pegawai pemerintahan yang berasal dari Bima (Steenbrink 2013).

Selanjutnya, anak bungsu dari Tamur, pemimpin Kedaluan Todo yang bernama Baroek dinominasikan untuk menjadi Raja Manggarai (Radja van Manggarai). Baroek yang lahir pada 1900 telah dididik pada sebuah sekolah Misi di Ende. Sementara menunggu Baroek yang sedang menempuh pendidikan kembali ke Manggarai, Belanda menomminasikan Kraeng Bagoeng yang juga berasal dari Dalu Todo untuk menjadi Raja Manggarai pada tahun 1924 (Steenbrink 2013).

Kekuasaan Bima di Manggarai berakhir secara resmi pada tanggal 21 April 1929. Sementara itu, Baroek di inagurasi menjadi Raja yang baru pada tanggal 13 November 1930. Radja Bagoeng yang adalah Raja Manggarai sebelumnya berganti menjadi Raja Bicara Manggarai (Radja Bitjara van Manggarai). Keputusan final ini menandai berakhirnya kekuasaan Muslim Bima di Manggarai dan diganti dengan Penguasa Katolik lokal dari Manggarai dibawah pengawasan Belanda. Pusat pemerintahan yang sedianya berada di Reo juga dipindahkan ke Ruteng (Steenbrink 2013).

Foto Gereja Katedral Ruteng yang diresmikan pada tahun 1930
Foto Gereja Katedral Ruteng yang diresmikan pada tahun 1930

Raja Bagoeng dan Raja Baroek wafat pada masa Kemerdekaan dan masa transisi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya, kekuasaan Raja Manggarai diteruskan oleh Kraeng Ngambut yang juga berasal dari Todo. Kepemimpinan Kraeng Ngambut berlangsung sejak masa transisi Kemerdekaan Indonesia, Manggarai sebagai daerah Swa Praja hingga akhirnya ditetapkan sebagai Kabupaten.

Semenjak menjadi Kabupaten hingga saat ini, Manggarai telah dipimpin oleh tujuh Kepala Daerah. Bupati pertama adalah Bapak Karolus Hambur yang kemudian digantikan oleh Bapak Frans Sales Lega. Nama Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandara di kota Ruteng. Bupati yang ketiga adalah  Bapak Frans D. Burhan yang kemudian diteruskan oleh Bapak Gaspar Parang Ehok. Bapak Anton Bagul dan Bapak Kris Rotok meneruskan kepemimpinan daerah hingga Manggarai saat ini dipimpin oleh Bapak Deno Kamelus bersamaWakilnya Bapak Viktor Madur.

Manggarai juga mendapat pengaruh budaya oleh pendatang dari berbagai macam latar belakang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Padang, Bali, Makasar, Belanda, Portugis, termasuk penduduk Pulau Flores dan penduduk NTT dari daerah lain. Hal ini telah memperkaya dan membentuk keanekaragaman budaya di Manggarai.


 

Referensi:

1944, Cortesao A., The Soma Oriental of Tome Pires, Hakluyt Society, Vol. 2, London

1959, Batuah A.D dan Madjoindo A.D., Tambo Minangkabau dan Adatnya, Balai Pustaka, Jakarta.

1995, Daeng H. ‘Manggarai Daerah Sengketa Antara Bima dan Gowa’, Humaniora 11.

1997, Zuhdi S. and Wulandari T.,’Kerajaan Tradisional di Indonesia: BIMA’, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.

2002, Persoon G.A., Defining Wildness and Wilderness: Minangkabau Images and Actions on Siberut (West Sumatra), ‘Tribal Communities in the Malay Worlds: Historical, Cultural and Social Perspectives’, pp. 439-456, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

2002, Steenbrink K., ‘Flores: Efforts to Create Modern and Christian Society’, Catholics in Indonesia 1808 – 1942. Chapter: 3.

2008, Dobbin C., Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784 – 1847, Komunitas Bambu, Jakarta.

2008, Halimi A.J., Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.

2013, Steenbrink K., ‘Dutch Colonial Containment of Islam in Manggarai, West-Flores, in Favour of Catholicism, 1907-1942’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 169, Pp. 104-128, Brill.


JPS, 23 Agustus 2022.



Ine weu

Ine  weu   = Ebu Gogo ??

Apa  hitu  ine weu

Lelo   http://www.wisataflores.com/2015/06/legenda-ebu-gogo-kisah-homofloresiensis.html#more

Jumat, 14 Agustus 2015

NUNDUK COMPANG - COMPANG ONE MANGGARAI

NUNDUK COMPANG - COMPANG ONE MANGGARAI

Nunduk  Compang  Cibal - Manggarai

Paju Lae, hitu ngasang empo laring  sain  diset  Cibal. Danong, mensia agu darat (kakartana) ruis tau kaeng, neho  rahit  le  saung  ri'  kaut.  Di'a keta gauk sama tau. Sampe saep  du sekeng  da'et. Sa' leso, Paju  Lae   ngoeng te pande  compang. Eme pande  compang, perlu  watu  mese. Toem danga  mberes  de mensia te  teti watu mese (eros). Landing, de  darat, emong  koed.  Wiga  ga,  tegi  sampe  de  darat. Jangka  sama  , reje leleng ise. Mai jaong de  darat so': Ngance  lami sampe  ite  te  pande  compang  hitu landing tegi dami ne nggo'. Eme  reme  kerja gami, neka  keta  manga lolo kong  dengang  de  asu. " hitu  tegi  dise. "Mau ta  ite, ami ngance pande  apa  ata  tegi  dite  situ.  Mai one  mai bantang sama, reje leleng  hitu  ga, pande  le  darat so  compang  hitu. Watu  eros  teti  taung  lise. Idek go.... lako  kraeng (nggaeng  Cibal) lupi  nitu, agu lut  kin asun. Isuk   lawer  rinsi ransang de   darat, lolo agu dengang   asu  so'.  Woko  denge  kaut  lolo  e  asu, lego  seroda  kaut kerja  de  darat so, losi ngo ngger  one  tempat ata  aman latang  ise. Toe  dim  polin Compang  ho'. Lanar   watu u  ata kembelambong  kit nitu.

Hitu  nunduk mangan   Compang Cibal hiot   lanar kin watu  ata kembelambong  kit ai  wajol toe dim poli le  darat kerjan, losi  wung ta'  ise  ga  wajol lolo de  asu.

Sumber Nunduk: Maksi Adil, wae  de  Paju Lae. Tombo one Tlpn  12 Agustus 2015 pkl 19:00 - 20.00 pm.  JPS, 14 Agustus 2015.


2 . COMPANG PACAR (15. COMPANG PACAR)

Wa Pacar, Kecamatan Macang Pacar, Manggarai Barat - Flores  manga  compang. So' nunduk Compang Pacar ho? Ne nggo' nunduk.
Mede, manga  sengata  Adak Pacar. Hia ho'ata mbeko eros. Hia kudut pande Mbaru. Poka haju Lale hia te pande siri agu bantal mbaru.  Reme soso balokn  hia, manga lawo munggis (asu nggowe / asu de poti) labar lupi nitu. Deko liha aso nggowe situ, na' one sikang. Asu nggowe so' manga ata ngara'd. De darat morid. Asu nggowe so' paeng de darat. Gereng de darat asu nggowe so', toe tara kole  mbaru.Ngo kawe le  darat so' asu nggowe so'. Sumang tau agu Mori Adak  Pacar ho'. "Ole, aku ta, manga mora asu nggowe,sala manga ita  koed lite,"ngge de  darat kamping Mori Adak Pacar. "Mau ta,  one kandang  dakus, ai ise  katut osang  daku," wale de Mori Adak Pacar. "Ole... ta,baeng koe me,lego  koes  lite, laki dat  perlu laku paeng situ," sawal de darat. "Nggo  to, eme  perlud  lite paeng situ, so' jangka  kali.   Aku nganceng  lego kole paeng  dite istu    eme  ite  lorong tegi  daku," jaong de Mori Adak Pacar. "Ole..., tegi apa  keta  dite ta, nganceng  pande  agu kawen  lami," wale  de  darat. "Meu paka pande  compang  one sa wie kaut  latang empo dami," jaong de  Mori Adak Pacar. "Eng ta ite, ngance  lami pande  compang  dite hitu  asal lage koe asu  paeng  (nggowe daku) situ,"wale de  darat. "Eng, pande lite, aku lego tong asu nggowe  dite,"jaong de  Mori adak Pacar. Emi one mai sikang liha  asung nggowe so'. Lego wiga  kole  mbaru  de darat ho'. Landing paka pinga  lite.  Eme reme  kerja  ami, neka  manga ngai  ngaok one  tempat kerja  dami. Eme ngai ngaok, lego  lami kerja hitu" jaong de  darat  ho'. Eng..... wali de Mori Adak Pacar.
        Darat ho' benta ase  kaen te pande Compang ho'. Teti  watu  mese lise  wa one beo  Pacar. Watu situ  emi wa  mai  Tureng, Boleng. Sibuk kerja  de darat so'. Du  keta  sibuk kerja dise, Wina de  Mori Adak Pacar (reme  weki mendon) wela  du serehang tana wajol bek  sio. Ine  wai' ho'   sio  one  lewo, hena one saung  haju Lale / saung  muku   wa ngaung  mbaru bate  kerja  de  darat so'. Runin  sio ata  henang saung  Lale    hitu: Pit...pot... pit.... pot...pit...pot......Runi titik sio  ho' neho  te wewa  darat  so't  ngai kerja pande compang. Compang  ho'  toe dim  polin. Latang  runi sio:  pit... pot...ho', pikir  dise ngai ngok tanda   gerak tana ga. O...legon   lise  kerja  hitu. Jadin  ga.... Compang  hitu  toem  polin. Do watu ata  ngai  nggel  nggaur  kid.

(Tombo de  Kraeng  Frans......../  Ema'd  Mery, wa  mai  Pacar. Tombo  du manga acara Naka  Beka Kilo  Ema Gaba Ngatul -Ende  Bertha , wa Satar  Terang, 12 Agustus  2013.....Ketik, JPS 18 -11-2013).

3. COMPANG KER - KOLANG

4.Compang  Kilor -Pong Lembor - Wae Bangka - Lembor

One beo Kilor, Pang Lembor, Wae Bangka Lembor, manga compang. Le tombo, compang ho' pande le  darat (ata pele sina).Tombon  neho  tombo  compang Pacar. Ata pele sina  situt  kerja  manga ata 7 du wangkan.  Manga ata sio one wancang. Sio hitu  pau' one  lewo. Ne nggo'  runin ata  denge  le ata pele  sina:

Pit.... pot.... pit  pot.
Pot  pit...., poli ata  pitu., pit  pat...... poli ata  pat. 

 Ngo' jaong  de ata  pele sina so', ae..... toe di'an latang  ami te  pitu / pat  ho'. Wajol toe aman rasan  lise, ise  lego kerja  hitut ata  toe  di  poli. Manga  watu  wae one  salang  ngger one  wae teku one  Kilor.

(Dikisahkan oleh  Kraeng  Kons  - dari Lalang / Lale - Lembor  wa  Mbaru dise Bp Juan,  1 Januari 2016).
 




Senin, 10 Agustus 2015

Menikah dengan Kerabat itu Berbahaya



Inilah Alasan Menikah dengan Kerabat itu Berbahaya

Sumber:
http://log.viva.co.id/news/read/658943-kenapa-menikahi-kerabat-berbahaya--ini-alasannya?ref=yfp

Ada suatu kisah, dimana seorang laki-laki dan perempuan yang sudah lama kenal, mereka saling mencintai, lalu sang lelaki ingin menikahinya. Namun ketika menghadap keluarga sang wanita dan ayah sang wanita menanyai asal-usulnya, ayah sang wanita menjadi tak setuju karena mereka masih berkerabat.
Mengapa hal itu terjadi? Apa salahnya menikah dengan kerabat sendiri?
Ilustrasi / tceygpt.weebly.com
Ternyata, menikah dengan kerabat akan menyebabkan keturunan yang dilahirkan cacat. Hal ini sudah terjadi di desa Kush, Mesir. Karena menikah disana membutuhkan biaya yang sangat mahal, maka orang tua menikahkan anak-anak mereka dengan kerabat sendiri. Hasilnya, 60% keturunan mereka lahir cacat.
Imam Syafi'i juga pernah mengungkapkan, bahwa wanita yang menikah dengan lelaki di kalangan keluarganya, anak yang dihasilkan akan lemah pikirannya.

”Pernikahan dengan saudara kandung atau saudara yang sangat dekat bisa meningkatkan secara drastis kemungkinan mendapatkan dua salinan gen yang merugikan, dibandingkan jika menikah dengan orang yang berasal dari luar keluarga," jelas Debra Lieberman, ilmuwan ilmu genetika dari University of Hawaii.
Selain merugikan dari keturunan yang didapatkan, menikah dengan kerabat tidak menambah saudara. Karena yang dinikahi memiliki saudara yang sama.
Jadi bukan hanya sekedar dosa, tapi keturunan yang dihasilkan pun akan lahir tidak sempurna.

Sabtu, 08 Agustus 2015

ANAK RONA NDIWAR

Ende tua  dami,  ngasangn Martina Waweng, one mai Uku  Ndiwar
Ne ngoo' Nundukn:

Ronggo (Ndiwar) vs Rawung ( Kawong): Waweng, Ngantur, Ongkom, Bawung

1. Waweng vs Baduk (Nua 2 - Wela):
Kornelis Garu, Gaspar Nganggu, Agnes Kindung, Gabriel Ngatul, Lusia Daem, Paulus Habut, Regina Anem, Antonia Nia, Yakobus Babur

2. Ngantur (Wawa) vs Ndiung  (......): Gabriel Gabu ( Guru Gaba)
3. Ongkom vs Agnes Kanu  (uku Welo - Wela): Lena Ganul, Geradus Jeharut, Herman John, Sia
                                                                             Tinjak,  Herman Don
4. Bawung  vs Hatal (uku Cireng - kaeng sale Lambur - Kolang): Alo Apul

Sumber: Geradus Jeharut (Ema'd Vero).; hasil ngobrol di Ntalung Pada - Wela,  Jum'at, 10 Juli 2015









ANALISA Budaya Manggarai

Membangkitkan Adat di Manggarai:
By: Retsky Anugrah W.P.

Retsky menganalisa  tulisan Maribeth Erb:
Adat Revivalism in West  Flores  culture, Religion,  and Land. 

Kesimpulan yang bisa ditarik dari tulisan Erb ini adalah: 


Adat memberikan kepastian di tengah ditidakpastian  reformasi. Adat juga mampu  menyatukan kekuatan masyarakat  di tengah ketidakpastian klaim-klaim negara yang dianggap merugikan masyarakat adat. Sedangkan menjadi katolik adalah bagian dari adat itu sendiri, karena dengan menjadi Katolik  sekaligus mempunyai adat adalah langkah politik masyarakat di tengah-tengah gurita otoritas pemerintah  yang hendak mencaplok tanah  dan properti material lainnya  milik masrarakat Manggarai.


Sumber:  http://etnohistori.org/membangkitkan-adat-di-manggarai-flores-barat.html
 
Membangkitkan Adat di Manggarai, Flores Barat Review tulisan: Adat Revivalism in Western Flores Culture, Religion, and Land. Penulis: Maribeth Erb. (Bab p .









Kamis, 06 Agustus 2015

Kesamaan Manggarai dengan Makasar


Kesamaan Manggarai dengan Makasar

Sejumlah orang Manggarai mengakui bahwa nenek morang mereka berasal dari Sulawesi Selatan. Hal ini   ada benarnya terutama bila ditinjau dari aspek bahasa. Ada beberapa komponen yang membenarkan hal ini.

Pertama, kosa kata.
Antara bahasa Manggarai dengan bahasa Makasar ada beberapa kata yang sama, misalnya: Keraeng (Manggarai), Karaeng (Makasar)
Kuliner:
Makasar memiliki kuliner Pallu Mara, sedangkan Manggarai memiliki kuliner Pelmara. Pelmara adalah  kuliner yang merupakan daging yang dicampur dengan darah dan daun-daun, misalnya  saung uwu (daun yang rasanya agak asam). Perpaduan daging yang dicampur bersama darah dan "saung uwu" sangat nikmat. Ini yang disebut Pelmara. Permara biasa ada pada saat perta perkawinan (nikah, wagal, dll).

Asesoris budaya:
gong  gendang, keris  dan  kain penutup kepala  yang dalam bahasa Manggarai disebut Sapu. Sapu itu sekarang bisa dibuat topi permanen.

JPS, 6 Agustus 2015.