Senin, 18 Mei 2015

BATU MALIN KUNDANG





http://travel.kompas.com/read/2015/05/18/134703927/Batu.Malin.Kundang.Jadi.Tujuan.Wisata.Peselancar?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp



NB: Gambarnya  belum di - download


Apa  hubungan Batu MALIN KUNDANG dengan  batu-batu bernilai sejarah (budaya) di Manggarai, seperti watu Todo, Watu Lanur, Watu Compang, Watu Timbang Raung? Coba refleksikan!

Jumat, 15 Mei 2015

MEMBANGKITKAN ADAT DI MANGGARAI - FLORES BARAT


membangkitkan-adat-di-manggarai-flores-barat
by: Retsky Anugerah W.P


Sumber: http://etnohistori.org/membangkitkan-adat-di-manggarai-flores-barat.html

NB: Tulisan   dan analisa  yang  baik sekali.

Sabtu, 09 Mei 2015

RITUS ADAT SAAT MEMBANGUN RUMAH

Ketika membangun rumah,  orang Manggarai mengadakan ritus. Ritus ini bertujuan agar pembangunan rumah ini berjalan lancar, aman dan penuh berkat. Berikut ritusnya:
  1. Raket tana / semen. Sake  fundasi  kudut  raket tana (semen) (= Peletakan Batu Pertama). Hewan kurban yang dibutuhkan saat ini adalah ayam jantan berbulu merah (manuk lalong  Sepang) . Tujuan pengurbanan ini adalah untuk memohon restu dan dukungan roh tanah (naga tana)    atas rencana pembangunan rumah tersebut. Setelah didaraskan doa, ayam disembelih, darahnya dicurahkan ke  lubang  fundasi  rumah.Ini penting agar roh tanah tidak terganggu  atau terpancing oleh provokasi pihak lain yang merugikan pemikik rumah, misalnya sakit, dll. Hal yang sama untuk para tukang. "neka jie'r lime, neka kandit wai' (semoga tangan tidak kesemutan / janganlah kaki terpeleset).
  2. Raum Bubung (tuntas pemasangan atap). Hewan yang dibutuhkan adalah  ayam jantan putih (manuk lalong bakok).  Dalam pembangunan rumah, ada banyak kayu yang dipakai.Kayu-kayu itu boleh jadi diambil dari berbagai tempat. Pada tempat dan kayu itu ada roh (penjaga). Mereka  perlu disapa, diajak untuk turut berpartisipasi demi mendukung tuan rumah. Kayu-kayu itu diharapkan akur, cocok, harmonis, tidak saling memusuhi tetapi saling bahu membahu, kerja sama demi  kehidupan pemilik rumah yang lebih baik. Ayam jantan putih didoakan (torok) oleh tetua' adat  lalu disembelih. Darahnya dicurahkan / dioleh pada  seng / atap. Tujuan dari upacara pemenyembelihan manuk lalong bakok  raum bubung adalah agar  atap (seng, dll)  kokoh, tidak cepat rusak. "Neka larong ri', neka langgar wancang, neka bete bele, neka muntung  wunut, neka ngeto betong (atap hendaklah kokoh,  alang-alang jangan berlubang /berlubah, belahan bambu jangan berjarakan / bercelah, jangan;ah seng berlubang, janganlah bambu berayap.
  3. Manuk we' mbaru. Hewan yang dibutuhkan adalah  ayam jantan putih (manuk lalong bakok). Inilah momen memasuki / menghuni rumah baru. Tujuan  acara ini adalah  agar semua penghuni yang menghuni ruma diberika kesehatan. " Neka ligot siong, neka pedeng menes"  (Jangan menampung kedinginan, jangan memberikan kedinginan) Selanjutnya  bila  perekonomian memungkinkan maka  bisa disembelihkan anjing / babi demi menjamu tamu / tetangga / keluarga yang hadir saat itu.
  4.  
      JPS, 9 Mei 2015, berdasarkan telepon dengan Kesa Largus Gagut, 9 Mei 2015.

Minggu, 03 Mei 2015

TEMPAT WISATA DI MANGGARAI


  Di Manggarai ada  pantai Watu pajung (Batu Payung), di Lombok ada Batu Payung. Ada hubungan keduanya? Coba dipikirkan.  Lihat gambar dan berita di bawah ini.

 

 

Travel / Travel Story

 http://travel.kompas.com/read/2015/04/19/144200627/Menikmati.Matahari.Terbit.di.Pantai.Watu.Payung

Menikmati Matahari Terbit di Pantai Watu Payung

Minggu, 19 April 2015 | 14:42 WIB
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Petunjuk Pantai Watu Payung di Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
PERJALANAN ekspedisi Utara dari Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (8/4/2015) sampai Jumat (10/4/2015) tidaklah sia-sia. Belum banyak yang mengeksplor kekayaan alam di wilayah Kecamatan Sambirampas, Kabupaten Manggarai Timur. Potensi pariwisata di wilayah Utara dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru berusia tujuh tahun ini.

Tim ekspedisi yang terdiri dari bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur dan jurnalis yang bekerja di Kabupaten Manggarai Timur dan Dinas Pariwisata Manggarai Timur serta Kecamatan Sambirampas dan sejumlah kepala desa yang difasilitasi Pemkab Manggarai Timur untuk mempromosikan obyek-obyek wisata yang masih tersembunyi di Manggarai Timur.

Berawal dari keinginan untuk mempublikasikan pariwisata di bagian Utara ini, tim berangkat dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (8/4/2015) dengan mengendarai dua kendaraan. Semua berkumpul di rumah Kabag Humas, Bonifasius Sai pada Rabu pagi sambil minum kopi Colol.

Sekitar jam 10.00 Wita, tim ekspedisi Utara bergegas dengan dua kendaraan menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas. Kami melewati jalur tengah dari Borong menuju ke Mbeling, hutan konservasi Banggarangga dan melewati Kecamatan Pocoranaka.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Matahari terbit di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setelah perjalanan sekitar 3-4 jam, tim istirahat di Kampung Beamuring untuk minum kopi di rumah keluarga. Setelah istirahat kurang lebih satu jam, tim kembali berangkat menuju ke Benteng, ibu kota Kecamatan Lambaleda. Dari Benteng kami berangkat menuju ke Kampung Teker untuk makan siang.

Keluarga dari Agustinus Suparman (staf Humas dan protokoler Pemkab Manggarai Timur) di Kampung Teker sudah menyiapkan hidangan makanan siang bagi rombongan tim ekspedisi utara tersebut.

Kurang lebih dua jam lebih, kami makan siang dengan jagung masak dan berbagai hidangan lainnya. Sesudah itu kami berangkat menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas melewati Dampek.

Sepanjang perjalanan Transflores bagian Utara, khususnya dibagian Dampek, di pinggir jalan negara itu, petani sedang mengumpulkan kayu api untuk dijual ke mobil menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kami istirahat sejenak di pinggir jalan sambil melihat deretan kayu api yang siap dijual kepada pelanggan mereka. Selanjutnya kami menuju ke Pota dan tiba sekitar pukul 21.00 Wita.

Setiba di Rumah Jabatan Camat Sambirampas, kami disambut dengan ramah oleh Camat Sambirampas, Sarjudin bersama staf. Kami makan malam dengan hidangan ikan kuah khas masyarakat Pota. Selanjutnya kami bercerita sambil menggali potensi unik di sekitar Sambirampas.

Esok, Kamis (9/4/2015), sekitar jam 04.30 Wita, kami dipandu oleh Tenaga Harian Lepas sekaligus koordinator Pariwisata di Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur di Pota, Arsyad dan Kepala Desa Nangabaras, Warkah Jalu menuju ke obyek wisata yang sangat terkenal di wilayah Sambirampas. Obyek wisata itu adalah Pantai Pasir Watu Payung.

Pantai Pasir Watu Payung masuk dalam wilayah Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, NTT. Pantai ini belum setenar dibandingkan pantai-pantai lainnya di Pulau Flores.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Batu berbentk payung di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kami tiba di Pantai Watu Payung sebelum matahari terbit. Setiba di pantai itu, matahari mulai terbit dan kami bersyukur dapat menikmati keindahan matahari terbit di Pantai Pasir Putih Watu Payung. Masing-masing rombongan dengan kameranya mulai memotret matahari terbit dan keindahan pantai di saat matahari terbit. Tak ketinggalan, Fansy, Robert, Albert, Lasarus, staf Humas mulai membidik keindahan pantai tersebut.

“Kami semua menikmati dan mengagumi keindahan alam yang diwariskan Sang Pencipta bagi kemajuan Manggarai Timur kedepan. Selama ini potensi pariwisata ini hanya dinikmati warga lokal di Sambirampas dan Kecamatan Lambaleda dan ada juga kunjungan wisatawan asing,” ungkap Arsyad.

Kepala Desa Nangambaur, Warkah Jalu menjelaskan, pantai ini disebut Pantai Watu Payung karena ada sebuah batu raksasa di pinggir pantai berbentuk payung. Orang lokal menyebutnya 'watu payung' atau batu payung. Selain pantai yang indah, perairaan Watu Payung juga tempat hidupnya penyu.

“Kami sering melihat turis asing dan domestik berkunjung ke pantai ini untuk mandi dan menikmati matahari terbit. Selain itu, di sekitar pantai ini, tempat hidupnya binatang Komodo Flores. Orang lokal menyebut binatang Rughu dan Mbou. Kami pernah mengantar tim peneliti dari Amerika Serikat yang melihat dan mengambil sampel darah binatang Komodo itu. Menurutnya, Rughu atau Mbou Pota merupakan binatang ajaib Komodo. Komodo ini tinggal di dalam goa besar di sekitar pantai,” jelasnya.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Bersantai di pasir Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Warkah memaparkan, dulu ada nelayan yang sedang berbaring di sekitar pantai digigit Komodo dan meninggal dunia. Bahkan, binatang peliharaan warga di sekitar kampung Nangambaur sering menjadi mangsa Komodo.

“Ini potensi besar yang harus segera dilindungi oleh Pemerintah Manggarai Timur ke depan bekerja sama dengan masyarakat lokal,” katanya.

Arsyad menjelaskan, ada sejumlah obyek wisata di Sambirampas. Ada danau Rana Kulan, rawa-rawa air payau di sekitar Pantai Watu Payung, kuburan tua, tempat hidupnya burung kalong di Nangabaras dan berbagai obyek lainnya. Namun, selama ini belum dikelola dan dipublikasi secara luas.

“Selama ini ada 206 wisatawan asing yang berwisata ke Pantai Watu Payung dan obyek-obyek lainnya. Ada desa wisata dan berbagai tempat pariwisata lainnya,” ujarnya.

Menurut Arsyad, pihaknya senang dan bersyukur ada tim ekspedisi Utara yang terdiri dari wartawan di Manggarai Timur serta fotografer yang akan mempublikasikan keindahan Sambirampas yang masih tersembunyi.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Batu berbentuk payung di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Kami siap mengantarkan siapa pun yang akan melihat dan menikmati pariwisata di Kecamatan Sambirampas. Peranan media massa sangat penting dalam mempublikasi keindahan di Kecamatan Sambirampas,” jelasnya.

Sayangnya, tim ekspedisi tidak melihat binatang Komodo di sekitar Watu Payung.

Camat Sambirampas, Sarjudin mengatakan, kunjungan dari tim ekspedisi yang dirangkaikan dengan panen raya jagung variates unggul Lamuru sangat berarti dan bermakna bagi keberlanjutan pariwisata di Kecamatan Sambirampas.

“Kiranya dengan publikasi yang seluas-luasnya di media massa mampu memperkenalkan keunikan dan keindahan pariwisata di Kecamatan Sambirampas yang sangat jauh dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur,” katanya.

Penulis: Kontributor Manggarai, Markus Makur
Editor : I Made Asdhiana

Jelajahi Warisan Leluhur Orang Manggarai di Flores

Penduduk Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Penduduk Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. (BARRY KUSUMA)
RUTENG, KOMPAS.com - Leluhur orang Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur mewarisi kearifan lokal yang tak dapat dijumpai di tempat lain di dunia ini.
Leluhur orang Manggarai terkenal budayanya karena warisannya menggaet orang asing untuk melakukan penelitian tentang keajaiban alamnya, juga rumah adatnya yang berbahan alamiah.
Bahkan sebelum binatang Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, alam dan budaya orang Manggarai sudah lebih dahulu dikenal secara luas oleh wisatawan asing maupun Nusantara.
(Baca juga : Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat)
Warisan alam yang menggugah orang asing berkunjung ke kawasan Manggarai adalah sistem pembagian tanah yang berkeadilan. Bahkan, bentuknya yang unik menarik orang luar untuk menjelajahinya.
Warisan Lingko lodok tersebar di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Leluhur orang Manggarai terinspirasi dengan keunikan yang dilakukan binatang laba-laba dalam membuat sarangnya.
Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Kalau kita amati cara laba-laba membuat sarangnya, seperti ada lem dalam air liurnya sehingga merekat dari satu daun ke daun lainnya serta dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Bahkan, kita dapat jumpai dalam rumah masing-masing. Binatang ini juga menginspirasi pembuat film dunia dengan sebutan spider man (manusia laba-laba). (Baca juga : Mempromosikan Persawahan Lingko Lodok Manggarai di Flores)
Leluhur orang Manggarai terinspirasi dengan kegiatan binatang ini sehingga mereka membangun rumah adat dengan bentuk seperti jaring laba-laba. Bahkan, saat pembagian tanah juga berbentuk jaring laba-laba.
Zaman purbakala, orang Manggarai menanam berbagai jenis tanaman di ladang, sebelum masuknya padi. Lahan kering juga dibagi dengan cara lingko lodok.
(Baca juga : Selain Komodo, Pink Beach di Flores Juga Memikat Wisatawan)
Lingko  dalam bahasa Manggarai adalah hamparan yang luas, sedangkan lodok adalah bagian terkecil di dalam lingko itu dengan sistem pembagian lahan untuk masing-masing warga komunal atau klan dalam berbagai suku.
Bukan hanya tanah saja yang berbentuk Lodok, kalau kita perhatikan dengan baik bagian dalam rumah adat orang Manggarai juga bagian luarnya berbentuk jaring laba-laba.
Desa Adat Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai desa itu tidak mudah, wisatawan harus mendaki sejauh 7 km selama kurang lebih 4 jam.
Desa Adat Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai desa itu tidak mudah, wisatawan harus mendaki sejauh 7 km selama kurang lebih 4 jam.(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Rumah adat orang Manggarai yang berbentuk kerucut sangat menyatu dengan bentuk lingko lodok. Antara rumah adat dan lingko lodok tak terpisahkan maknanya. Ada satu kesatuan yang sangat menyatu antara rumah adat Mbaru gendang dengan lingko lodok.Bahasa Manggarai dalam penyatuan itu adalah gendang one lingko peang (ada rumah adat di perkampungan juga ada lahan komuninal di luarnya).
Ritus-ritus adat orang Manggarai selalu berhubungan dengan alam, sehingga alam dan rumah adat tak terpisahkan dalam kehidupan orang Manggarai. Ritus-ritus lainnya berhubungan leluhur mereka dan Sang Pencipta Kehidupan (mori jari agu dedek).
Hasil penjelajahan KompasTravel selama ini, bahwa Kabupaten Manggarai dikenal dengan 1000 rumah adat Mbaru Gendang yang tersebar di kampung-kampung. Sayangnya, sebagian besar rumah adat itu beratap seng. Artinya originalnya rumah adat itu tidak lagi menjadi ciri khas Mbaru Gendang yang diwariskan leluhur orang Manggarai.
Memang masih dilaksanakan ritus-ritus adat di dalam rumah itu, tetapi nilai keaslian dari rumah itu perlahan-lahan pudar. Jika tidak direvitalisasi rumah adat kembali ke bentuk aslinya dengan atap ijuk maka perlahan-lahan identitas rumah adat orang Manggarai akan ditelan zaman.
Salah satu rumah adat Gendang di Bangka Tuke, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, Sabtu (23/4/2016).
Salah satu rumah adat Gendang di Bangka Tuke, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, Sabtu (23/4/2016). (KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Hasil penelusuran KompasTravel bahwa ada empat kampung tradisional yang masih utuh dan asli bentuk rumah adatnya yang terbuat dengan atak ijuk dari pohon Enau.Keempat kampung tradisional itu adalah, pertama Kampung Tradisional Waerebo. Ada tujuh Mbaru Gendang atau Niang di kampung itu yang kin tersohor ke seluruh dunia dan diakui oleh lembaga PBB UNESCO.
Kampung tradisional ini terletak di Desa Waerebo, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Flores, NTT.
Kampung adat yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini menjadi tujuan utama wisatawan asing dan Nusantara. Bahkan wisatawan sangat mengagumi keunikan bentuk rumah tradisional Flores juga alam dan manusianya.
Wisatawan asing di rumah adat Flores di Desa Jopu, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/6/2015).
Wisatawan asing di rumah adat Flores di Desa Jopu, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/6/2015).(KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)
Kekaguman dari wisatawan adalah orang-orang Manggarai di Waerebo sangat setia tinggal di lembah yang jauh dari keramaian modern dan keriuhan teknologi. Mereka menjaga warisan leluhur dan alam semesta di tengah gencarnya perkembangan teknologi global.Orang-orang Waerebo terus merawat warisan leluhurnya dan kini menjadi kampung unik yang terus dikunjungi wisatawan global. Orang-orang dari penjuru dunia selalu membeli paket perjalanan wisata budaya ke Kampung adat Waerebo.
Apalagi dengan kecanggihan teknologi dengan berbagai tema foto tentang kampung itu menambah daya tarik wisatawan untuk menjelajahi perkampung itu. Kampung tetap teduh di tengah riuhnya perkembangan teknologi global.
Sekarang ini akses ke kampung Waerebo sudah lumayan bagus. Belum lama ini tim jelajah sepeda Kompas mengunjungi dan menjelajahi keunikan alam di kampung tersebut.
Kampung adat Wae Rebo di Desa Satarlenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Minggu (12/6/2016). Meski semakin dikenal sebagai salah satu destinasi wisata internasional, warga adat Wae Rebo masih mempertahankan tradisi dan kearifan leluhur mereka.
Kampung adat Wae Rebo di Desa Satarlenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Minggu (12/6/2016). Meski semakin dikenal sebagai salah satu destinasi wisata internasional, warga adat Wae Rebo masih mempertahankan tradisi dan kearifan leluhur mereka.(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
Jika wisatawan datang dari Labuan Bajo, Manggarai Barat, maka berhenti di Kampung Pela, di sana ada papan dan baliho tentang Kampung Waerebo.Dari kampung Pela, wisatawan menuju ke kampung Denge kemudian menuju ke pos pertama. Dari pos pertama wisatawan melakukan trekking menuju ke kampung tersebut.
Begitu juga dari arah Bajawa, Kabupaten Ngada, berhenti di Kampung Pela dan menuju ke Kampung Denge, meneruskan perjalanan ke pos pertama dan selanjutnya berjalan kaki ke kampung adat itu.
Kedua, kampung adat Todo. Kampung yang terletak di Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Flores, NTT berdiri dua rumah adat yang beratapkan ijuk dari pohon enau.
Kampung adat Todo merupakan kampung pusat kerajaan Manggarai di zaman dulu. Banyak peninggalan-peninggalan kerajaan di kampung Todo yang perlu dijaga dengan baik. Banyak kisah tentang kehidupan kerajaan Todo di kampung itu.
Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
Dulu, ada sejumlah rumah adat Kampung Todo, namun, karena usia rumahnya sudah sangat tua sehingga rusak. Membutuhkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk membangun kembali rumah adat itu sehingga identitas tempat tinggal raja Manggarai masih terpelihara dengan baik.Ketiga, kampung Ruteng Puu. Mengapa disebut Ruteng Puu? Orang Manggarai menyebut pohon raksasa pohon beringin dengan sebutan “Hayu Ruteng”. Sedangkan pusat atau tempat tumbuhnya pohon itu disebut Puu. Orang Manggarai menyebut “Hayu Ruteng Puu”. Yang diterjemahkan tempat bertumbuhnya pohon beringin.
Konon diceritakan bahwa kampung Ruteng Puu merupakan kampung pertama di Manggarai sebelum lahirnya kampung-kampung lainnya. Kampung ini boleh dikatakan berada di Pusat Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, karena lokasinya tak jauh dari Kota Ruteng.
Juga diceritakan bahwa kampung ini merupakan pusat pemerintah adat Ruteng dahulu kala sebelum ada pemerintah modern. Banyak bekas-bekas dan benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan administrasi pemerintah adat.
Anak-anak di Kampung adat Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores Barat.
Anak-anak di Kampung adat Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores Barat. (KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Salah satu bekas yang masih asli di kampung itu adalah tempat mengadili orang yang melakukan perbuatan melanggar adat.Keempat, Kampung adat Bangka Tuke. Kampung ini berada tak jauh dari Kota Ruteng. Kampung ini baru direnovasi dengan bentuk asli dan beratap ijuk dari pohon Enau. Beberapa bulan lalu dilaksanakan ritual Congko Lokap (pembersihan kampung sebelum difungsikan secara komunal).
Rumah adat kampung ini merupakan revitalisasi ulang untuk kembali ke aslinya dengan beratapkan Ijuk. Ini akan memberikan contoh yang baik bagi kampung-kampung lainnya di Manggarai.
Warisan Lingko Lodok yang Terunik di Dunia
Ada begitu banyak warisan alam lingko lodok yang tersebar di kampung-kampung di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Kali ini KompasTravel mencatat yang terdekat dari Pusat Kota Rute.
Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Pertama, hamparan persawahan raksasa Lingko Lodok ada di Meler, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Manggarai. Persawahan ini menjadi destinasi unggulan Pemkab Manggarai yang selalu dikunjungi wisatawan mancanegara dan Nusantara.  Hanya ada di tiga Kabupaten dari sembilan Kabupaten di Pulau Flores yang memiliki persawahan langka ini.Kedua, persawahan Lingko Lodok Bangka Tuke. Sebelum memasuki perkampungan adat Bangka Tuke, kita disuguhkan keunikan persawahan Lingko Lodok yang berada di lereng kampung itu.
Pemkab Manggarai terus mempromosikan destinasi-destinasi unggulan di wilayah itu bekerjasama dengan biro perjalanan dan Komunitas Pencinta Ruteng, Manggarai.
Ketiga, persawahan Lingko Lodok Carep. Jika kita naik pesawat terbang dari arah Kupang dan Labuan Bajo, dari atas pesawat kita disuguhkan bentuk persawahan yang berbentuk laba-laba.
Ini semua warisan leluhur orang Manggarai yang tidak tergerus arus globalisasi dan teknologi canggih. Orang Manggarai terus merawat dan menjaga serta melestarikan warisan leluhur itu.
General Manager PT PLN NTT, Richard Safkaur menyisihkan waktunya untuk melihat keunikan persawahan Lingko Lodok di hamparan persawahan Cancar, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Sabtu (16/11/2013) lalu. Dia sangat mengagumi keindahan persawahan yang langka di dunia ini.
General Manager PT PLN NTT, Richard Safkaur menyisihkan waktunya untuk melihat keunikan persawahan Lingko Lodok di hamparan persawahan Cancar, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Sabtu (16/11/2013) lalu. Dia sangat mengagumi keindahan persawahan yang langka di dunia ini. (Kompas.com/Markus Makur)
Bupati Manggarai, Deno Kamelus kepada KompasTravel belum lama ini mengatakan Pemkab Manggarai terus gencar mempromosikan destinasi-destinasi unggulan di wilayahnya. Melalui Dinas Pariwisata Manggarai terus mempublikasikan keunikan-keunikan yang ada di Kabupaten Manggarai, Flores.“Saya berharap dukungan dari berbagai pihak untuk bersama pemerintah mempromosikan destinasi-destinasi unggulan di Manggarai, Flores," katanya.
********************

NTT Targetkan 273 Desa Wisata pada 2018



Travel / News

 http://travel.kompas.com/read/2015/05/04/113600427/NTT.Targetkan.273.Desa.Wisata.pada.2018

NTT Targetkan 273 Desa Wisata pada 2018

Senin, 4 Mei 2015 | 11:36 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Warga Kampung Adat Bena, Ngada, Flores, NTT, bermain musik tradisional yang biasa dimainkan dalam rangka upacara adat pembangunan rumah baru, Selasa (15/6/2011). Kampung berusia sekitar 1.200 tahun ini kental dengan arsitektur kuno dan budaya megalitik.


KUPANG, KOMPAS.com - Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya menargetkan pada 2018 akan mencapai 273 desa wisata sebagai realisasi komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat NTT, khususnya yang ada di pedesaan.

Terkait perkembangan pariwisata di daerah NTT, Gubernur Frans Lebu Raya ketika pada periode kedua (2013-2018) desa wisata di NTT akan ditingkatkan menjadi 273," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parektif) NTT, Marius Ardu Jelamu, di Kupang, Sabtu (2/4/2015).

Ia mengatakan, hingga 2014 NTT baru mempunyai 73 desa wisata. Penambahan jumlah desa wisata tersebut, merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat NTT, khususnya yang ada di pedesaan.

Karena itu, pemerintah berkeyakinan bahwa desa wisata akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Secara otomatis, langkah ini akan menjadi lokomotif untuk menggerakkan sektor lainnya," katanya.

Desa-desa wisata saat ini antara lain desa wisata Wae Sano, Cunca Lolos, dan Liang Dara di Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai. Kemudian desa wisata Labuan Bajo, Komodo, Pasir Panjang, Desa Batu Cermin di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

Selanjutnya Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai dan Desa Nangalabang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, serta desa wisata perkampungan tradisional Bena di Kabupaten Ngada dan perkampungan tradisional Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

DOK INDONESIA.TRAVEL Desa Lamalera, masuk dalam agenda petualangan karena di sinilah atraksi berburu paus secara tradisional masih tetap dipertahankan.
Berikut Desa Oebelo dengan obyek wisata pembuatan alat musik tradisional Sasando dan Oelnasi dengan obyek wisata agro dan pemancingan serta Desa Manusak dengan obyek wisata agro dan wisata alam di Kabupaten Kupang.

Selanjutnya desa Lede Unu dengan obyek wisata perkampungan adat dan Desa Kujiratu dengan obyek wisata situs Kujiratu di Kabupaten Sabu Raijua, Desa Maritaing dengan wisata alam dan bahari serta Desa Marisa dengan obyek wisata bahari di Kabupaten Alor.

Selain itu katanya, ada empat desa wisata di Kabupaten Lembata yang juga mendapat dukungan program desa wisata yakni, Desa Atawai di Kecamatan Nagawutung dengan obyek wisata air terjun Lodowawo, Desa Atakore dengan dapur alam budaya, Desa Lamalera dengan obyek wisata penangkapan paus secara tradisional dan Desa Laranwutun dengan wisata bahari.

"Umumnya desa-desa wisata yang menjadi sasaran bantuan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2014 lalu bahkan 2015 ini terdapat pada 46 kecamatan yang ada di 22 kabupaten/kota di NTT.

Terkait persoalan infrastruktur menuju desa-desa wisata, Wely menambahkan, mulai 2015 akan menjadi program lintas satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

Infrastruktur ke desa-desa wisata maupun obyek wisata yang ada di daerah ini memang penting menjadi perhatian pemerintah. "Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sendiri sudah mengusulkan kepada Bappeda terkait program lintas SKPD dan ini sudah dibahas juga di forum SKPD," katanya.

Ia mengatakan, pembangunan jalan dan jembatan ataupun infrastruktur lainnya seperti air bersih pada obyek-obyek wisata sesungguhnya bukan domain Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Pembangunan infrastruktur merupakan tugas dan tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Lanskap Kampung Adat Bena, Ngada, Flores, NTT, Selasa (15/6/2011). Kampung berusia sekitar 1.200 tahun ini kental dengan arsitektur kuno dan budaya megalitik.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam APBD tahun anggaran 2014 mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 2,5 miliar untuk mendukung program desa wisata di provinsi kepulauan itu. "Dana tersebut akan disalurkan kepada 50 desa wisata, masing-masing desa akan mendapat alokasi dana sebesar Rp 50 juta," katanya.

Ia menjelaskan, dana yang dialokasikan untuk desa-desa wisata itu akan dimanfaatkan untuk mengairahkan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang bermukim di desa-desa wisata. "Dananya akan dimanfaatkan untuk membantu kelompok masyarakat pada desa-desa wisata untuk pemberdayaan ekonomi, yang berhubungan langsung dengan sektor pariwisata," katanya.
Editor : I Made Asdhiana
Sumber: Antara

Sabtu, 02 Mei 2015

Homo Florensiensis dan Fosil Indonesia Lainnya



"The Hobbit" dari Flores Ternyata Punah 50.000 Tahun Lalu


 http://sains.kompas.com/read/2016/03/31/06300021/.The.Hobbit.dari.Flores.Ternyata.Punah.50.000.Tahun.Lalu?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Sains

"The Hobbit" dari Flores Ternyata Punah 50.000 Tahun Lalu

Kamis, 31 Maret 2016 | 06:30 WIB
Tim Riset Hobbit di Liang Bua Kegiatan ekskavasi untuk mengungkap misteri The Hobbit dari Liang Bua, Flores.
KOMPAS.com - Riset yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas), Smothsonian Institution, dan University of Wollongong merevisi pandangan sebelumnya tentang manusia kerdil dari Flores.

Homo floresiensis, demikian nama spesies manusia itu, dinyatakan punah 38.000 tahun lebih awal dari waktu yang diungkap dalam penelitian sebelumnya.

Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (30/3/2016) itu berpotensi memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Hobbit, begitu manusia kerdil dari Flores biasa dipanggil, ditemukan pada tahun 2003 lalu oleh tim arkeolog yang diantaranya berafiliasi dengan Arkenas.

Peneliti Arkenas yang ikut menemukannya antara lain Thomas Sutikna dan EW Saptomo. Keduanya lantas dinyatakan sebagai arkeolog paling berpengaruh di dunia berkat temuan tersebut.

Manusia kerdil yang otaknya hanya sebesar simpanse (400 cm3) itu ditemukan pada kedalaman kurang lebih 6 meter dari permukaan Liang Bua saat ini.

Tinggi jenis manusia itu hanya 106 cm, karenanya disebut manusia kerdil. Penampakannya mirip dengan manusia yang hidup di Asia dan Afrika 1 - 3 juta tahun lalu.

Penemuannya membuahkan kontroversi. Sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa Hobbit merupakan jenis manusia tersendiri, beberapa ilmuwan lain menganggapnya bagian dari Homo erectus atau malah Homo sapiens yang mengalami kecacatan.

Penentuan waktu kepunahan spesies ditentukan berdasarkan usia lapisan tanah termuda dan tertua tempat fosil spesies manusia tersebut ditemukan.

Hasil riset sebelumnya yang dipublikasikan pada tahun 2003 mengungkap, lapisan tanah tempat H floresiensis ditemukan berusia antara 95.000 - 12.000 tahun.

Fosil yang ditemukan diduga berusia 18.000 tahun. Sementara itu, terdapat fragmen lain yang ditemukan pada lapisan tanah yang berusia 12.000 tahun. Waktu kepunahan kemudian dinyatakan 12.000 tahun lalu.

Kini penemuan terbaru mengungkap fakta berbeda. Thomas Sutikna yang terlibat penemuan Hobbit dan menjadi penulis utama dalam publikasi riset baru kali ini mengatakan, ada yang kurang tepat dalam dasar penentuan usia Hobbit beserta kepunahannya.

"Kami tak menyadari dalam ekskavasi awal bahwa deposit Hobbit pada dinding gua bagian timur sama dengan yang berada di dekat tengah gua, yang kami perkirakan berusia 74.000 tahun," kata Sutikna.

Sutikna dalam rilis bersama yang bisa dilihat di Scimex.org mengatakan, perluasan penelitian mengungkap bahwa ada deposit tanah yang besar dan berusia lebih tua yang digerus oleh erosi permukaan, membentuk lereng curam ke mulut gua.

"Sayangnya, usia sedimen yang menutupi ini yang kemudian digunakan untuk menentukan usia hobbit, tetapi ekskavasi dan analisis lebih lanjut mengungkap bahwa kasusnya tak seperti itu," kata Saptomo.

Matt Tocheri, paleontropolog Universitas Lake Head Kanada yang juga terlibat riset terbaru ini mengatakan, penanggalan dalam riset terbaru dilakukan dengan berbasis Uranium, Argon-argon, dan Luminescence.

"Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Tocheri saat ditemui Harian Kompas pada Rabu (30/3/2016) di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.

Peneliti menemukan pula artefak terkait H floresiensis yang berusia paling muda 50.000 tahun. Maka waktu itulah yang dijadikan dasar penentuan kepunahan spesies itu.

Perubahan perkiraan waktu kepunahan H floresiensis ini memunculkan kontroversi. Bila dinyatakan bahwa Hobbit punah 12.000 tahun lalu, maka mereka kemungkinan besar mengalami kontak dengan spesies kita yang datang ke Flores 50.000 tahun lalu.

Namun bila waktu kepunahannya 50.000 tahun lalu, apakah Hobbit masih kontak dengan manusia modern? Bila kontak, bagaimana relasinya? Jangan-jangan, spesies kitalah yang memusnahkan Hobbit.

Dalam abstrak publikasi di Nature, peneliti mengatakan bahwa interaksi antara manusia modern dan spesies manusia purba lain dengan hobbit masih menjadi pertanyaan.

Editor : Yunanto Wiji Utomo





Homo Florensiensis

Sumber: 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=479335488891840&set=a.107147096110683.16944.100004461781156&type=1&theater

Kompas  Print (Cetak), 27 April 2014




60 Persen Fosil Manusia Purba Dunia Ditemukan di Indonesia

 http://regional.kompas.com/read/2017/10/25/07270861/60-persen-fosil-manusia-purba-dunia-ditemukan-di-indonesia
Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono
Kompas.com - 25/10/2017, 07:27 WIB
Gambar rekonstruksi wajah manusia purba, saat pemaparan Penelitian Arkeologi Nasional, Thomas Sutikna, dalam diskusi Arkelologi Rumah Peradaban Gua Braholo, di Balai dusun Semugih, Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunungkidul, Yogyakarta, Selasa (24/10/2017).
Gambar rekonstruksi wajah manusia purba, saat pemaparan Penelitian Arkeologi Nasional, Thomas Sutikna, dalam diskusi Arkelologi Rumah Peradaban Gua Braholo, di Balai dusun Semugih, Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunungkidul, Yogyakarta, Selasa (24/10/2017).(KOMPAS.com/Markus Yuwono)
YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Indonesia memegang peranan penting dalam penelitian arkeologi. Meski bukan yang tertua di dunia, namun 60 persen fosil manusia purba ditemukan di Indonesia.
"Indonesia salah satu negara yang penting dalam dunia arkeologi," kata salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Thomas Sutikna, Saat menjadi pembicara dalam diskusi Arkelologi 'Rumah Peradaban Gua Braholo', di Gunungkidul, Selasa (24/10/2017).
Alasannya, sambung Thomas, karena geografis Indonesia yang strategis diapit dua benua yakni Asia dan Australia.
"Indonesia itu merupakan melting pot (metafor untuk masyarakat heterogen yang semakin homogen) atau dengan kata lain seperti periuk, semua aspek ada," bebernya.
(Baca juga : Dunia Mengakui Arkeologi Indonesia, tetapi Pemerintah Berdiam Diri)
Selain itu, potensi sumber daya arkeologi dari Sabang sampai Marauke luar biasa. Fosil masa pra sejarah yang usianya jutaan tahun contohnya, ditemukan di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.
Terakhir ditemukan di Situs Liang Bua di Flores, dengan usia ratusan tahun ribu tahun yang lalu.
Jika menelik dari laman http://arkenas.kemdikbud.go.id, pada 2003 lalu ditemukan manusia purba Homo Floresiensis lebih 9 individu Homo Floresiensis, akan tetapi hingga saat ini hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh.
Satu fosil dan memiliki karakeristik fisik yang unik, yaitu tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar. Usia situs Liang Bua diperkirakan 60.000-100.000 tahun yang lalu. Untuk alat batu mereka diperkirakan berusia antara 50.000–190.000 tahun yang lalu.
"Di Indonesia ditemukan dari manusia sampai binatang ada," tuturnya.
Arkeolog yang menghabiskan waktu 17 tahun melakukan penelitian di Liang Bua ini menjelaskan, hampir 60 persen fosil manusia purba ditemukan di Indonesia.
(Baca juga : Tiga Replika Tengkorak Manusia Purba Sangiran Dipamerkan di Gorontalo)
Hal ini lantaran pada masa lalu, sekitar zaman es, wilayah Indonesia bagian barat menyatu atau disebut Paparan Sunda, dan bagian timur pun menyatu disebut Paparan Sahul. Sehingga awal hewan purba bisa bermigrasi.
Lalu 1,8 juta tahun lalu, Homo Erektus bermigrasi dari daratan Afrika ke Asia Tenggara, dan Eropa seperti di Perancis dan Spanyol, tetapi lebih muda. Di Indonesia penelitian terakhir ditemukan di Sangiran dan Liang Bua.
"Semua manusia (purba) baik dari DNA maupun fosil dari Afrika," kata Thomas yang juga Peneliti dari Centre for Archaeological Science, University of Wollongong, Australia.
Ia menyebutkan, penelitian terus berkembang. Para ilmuwan pun harus terus sharing dengan ilmuwan lain dari luar negeri untuk mengetahui perjalanan manusia purba menuju Indonesia timur sampai Pasifik.
Untuk perjalanan manusia modern (Homo sapiens) sesuai dengan situs yang ditemukan selatan melalui pesisir Jawa Utara sampai ke Australia.
(Baca juga : Bukan Cuma Kita, Manusia Purba Juga Suka Bawa Kotak Makan. Apa Isinya?)
Namun demikian, sampai sekarang peneliti belum menemukan jalur perjalanan manusia purba modern sampai ke Australia. Sebab di sana sudah ditemukan fosil berusia 50.000 tahun lalu.
Sementara di Indonesia, usianya lebih muda. Seperti di Situs Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, yang usianya sekitar 40.000 tahun lalu, Liang Bua usianya 47.000 tahun lalu, dan di Timor usianya diperkirakan 30.000-42.000 tahun lalu.
"Di Australia lebih tua. Masalahnya mereka harus melewati Indonesia, karena tidak mungkin dari Afrika langsung ke Australia. Itu pentingnya Indonesia memiliki peranan penting tentang cikal bakal manusia," tuturnya.

Kope: Tanda Ata Rona


Kope: Tanda Ata Rona

Sumber: https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story, diakses 2 mei 2015, pkl 14:20



Caci 5: Embong Larik agu adat Caci


EMBONG LARIK: THE ART OF CACI, THE ART OF LIFE
Gabriel Mahal
Ini foto di Cijantung di Jakarta. Bukan di Manggarai, Flores. Kitorang di Jakarta main caci juga. Dan memang lebih nikmat main caci di tanah rantau. Apalagi di kota Metropolitian. Tapi kalau kitorang yang merantau masih main caci, mestinya di Manggarai, Flores, lebih sering lagi.
Nah, kalau lihat foto ini, mungkin saja timbul pertanyaan soal ekspresi wajah para jagoan ini. Ini pemain yang tangkis nampak serius, konsentrasi, waspada. Sementara pemain yang pegang larik yang hendak melakukan pemukulan, nampak senyum-senyum, santai. Gak salah nih?! Iya gak salah.
Ini salah satu seni dalam permainan caci (the Art of Caci), sama seperti "The Art of War" (Seni Perang)-nya Sun-Tzu. Dalam foto ini pemain yang hendak memukul ini sedang melakukan aksi Seni Embong Larik. Artinya harifiahnya, meninabobokan larik (cambuk). Artinya, sebenarnya bukan meninabobokan larik, tetapi meninabobokan lawannya, pemain yang menangkis. Bikin lawannya itu "temo" (terlena, lengah, tidak waspada), dengan cara bersenandung - menyanyikan lagu Manggarai yang tujuannya memang meninabobokan. Di tengah senandungnya atau kapan saja, dia merasa bahwa pihak lawannya itu terlena, tidak waspada, dia akan melakukan serangan yang mendadak (Sudden Attack). Karena pihak lawannya, harus tetap waspada, awas, tidak terlena, selama dia bersenandung. Embong Larik merupakan bagian dari The Art of Caci. Seni bermain caci.
Embong Larik sebagai The Art of Caci mengandung dua aspek ajaran yang merupakan bagian dari Filosofi Caci. Pertama, manusia Manggarai dalam aktifitas kehidupannya, dalam perjuangannya, tidak lepas dari berkesenian yang merupakan santapan jiwanya. Perjuangan hidup untuk mencapai tujuan tidak selalu dicapai dengan keseriusan yang luar biasa yang bisa bikin putus semua urat, tapi pencapaian tujuan itu bisa juga dilakukan dengan gaya Embong Larik. After all, life itself is a song. Hidup itu sendiri adalah suatu tembang yang kita nyanyikan. Kedua, walaupun demikian, sikap waspada, eling, kesadaran (awareness) harus selalu berada pada puncaknya, karena kita tidak tahu kapan bahaya itu datang, kapan serangan itu menghantam kita. Maka, seperti dalam ajaran Yesus, pelita kesadaran, kewaspadaan itu, pelita berjaga-jaga itu selalu ditempatkan di atas gantang, bukan di bawah gantang. Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan pelita kesadaran dan kewaspadaan dan menempatkannya di bawah gantang.
Begitulah ajaran dalam Seni Embong Larik sebagai bagian dari The Art of Caci yang sebenarnya merupakan Seni Kehidupan (The Art of Life) manusia Manggarai pemilik Budaya Caci itu. Maka, ketika kamu orang main caci atau nonton caci, main atau nontonlah dengan menyalakan pelita kesadaran akan nilai-nilai kultural yang diajarkan dalam Seni Caci itu. Semoga.

 https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story;diakses pada 2 Mei 2015, 13:50 (JPS)



Vitus Nendo Kae Geby, Foto yang bagus, ini ase kae kalimalang Mr. Philipus yang lagi siap menangkis dan mr. Karel yg lagi embong larik, Mantap


THE ETHICS OF CACI
Gabriel Mahal
Mau tahu bagaimana serunya main caci di Jakarta? Ya, bisa lihat saja adegan di foto ini. Begitu semangatnya anak-anak muda Manggarai di tanah rantau bermain caci sampai-sampai lupa etika dalam bermain caci.
Dalam permainan caci yang seperti dalam foto ini tidak boleh, kecuali memang sejak awal pemain yang menangkis itu mengambil posisi duduk saat hendak menangkis serangan lawan. Tapi posisi duduk itu jarang sekali dilakukan. Paling banter dalam posisi berlutut untuk memperkecil ruang serangan lawan yang hanya boleh menyerang dari depan.
Dalam foto ini pihak pemain yang menangkis dalam posisi jatuh. Ketika dalam keadaan lawan seperti ini, pemain yang memukul tidak lagi boleh melakukan serangan. Dia mundur dengan gaya kelong (menari) untuk memberikan kesempatan kepada pihak lawannya berdiri dan mengambil posisi siap untuk diserang. Tapi, ya begitulah semangatnya anak muda yang tentu perlu belajar lagi The Art of Caci (Seni Caci) sebagai The Art of Life (Seni Kehidupan) orang Manggarai.



 https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story, diakses pada 2 Mei 2015, 13:50 (JPS)