Ruteng, Floresa.co – Sudah belasan tahun, terhitung
sejak 2001 sejumlah ahli melakukan penelitian di Gua Liang Bua,
Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai- Flores, Nusa Tenggara Timur
(NTT).
Pada September 2003, memang ada penemuan homo floresiensis, manusia purba Flores oleh sejumlah pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia.
Terkait penemuan manusia purba itu, belakangan, tim gabungan Australia dan Indonesia kemudian menyimpulkan bahwa itu merupakan fosil yang berasal dari spesies bukan manusia.
Kesimpulan itu dikritik oleh peneliti lain yang dimotori oleh Teuku
Jacob, ahli dari Universitas Gajah Madah (UGM). Menurut dia, fosil dari
Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai
sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi
penemuan.
Itu sebabnya, pada 2007 lalu tim peneliti dari UGM melakukan penggalian ulang.
Keberadaan peneliti yang hampir 10 tahun di lokasi itu tersebut membuat tanda tanya besar bagi warga sekitar.
Lantaran para peneliti tertutup dengan masyarakat sekitar, mereka
menduga, ada yang tidak beres dengan kegiatan penelitian di lokasi yang
berjarak kurang lebih 13 km arah utara kota Ruteng, ibu kota Kabupaten
Manggarai itu.
“Patut kami duga para peneliti hanya mengambil kekayaan alam di Liang
Bua untuk keuntungan pribadi mereka. Peneliti juga sangat tertutup
dengan masyarakat,” ujar Fidelis Randut, warga Desa Liang Bua kepada Floresa.co, Sabtu (6/2/2016).
Ia mengaku, selama penelitian, tampak tidak ada pendampingan intens dari dinas terkait di Kabupaten Manggarai.
Menurutnya, jika peneliti melakukan pencurian barang tertentu dari
dalam Gua Liang Bua pasti bakal tak satu yang bisa mengetahuinya.
”Kalau saya amati, masyarakat Liang Bua sudah tertipu dengan adanya fosil homo hloresiensis.
Masa sudah puluhan tahun belum ada hasilnya. Sejauh ini kita belum tahu
persis Sumber Daya Alam apalagi di Gua Liang Bua,” katanya mencurigai.
Dihubungi terpisah, Minggu (7/2), Petrus Rabu, Sekretaris Desa Liang
Bua mengaku, memang tidak ada pendampingan dari pemerintah setempat
sejak tahun 2007 lalu.
Ia mengaku pernah memang pernah ikut dalam proses penggalian dan yang
ditemukan adalah tulang-tulang yang berserakan di bawah tanah.
“Sepengetahuan saya, tulang-tulang yang didapatkan dalam tanah itu di bawah ke Jakarta,” katanya.
Penggalian, kata dia, dilakukan di banyak tempat, dengan kedalaman sekitar 11 meter.
“Kami tidak tahu persis di kampung ini. Selama ini kami hanya anggap mereka sebagai peneliti saja,” ujarnya. Floresa.co sudah berupaya meminta tanggapan dari pejabat di lingkup Setda Manggarai terkait hal ini.
Hingga berita ini diturunkan, kami belum berhasil mendapat respon mereka. (Ardy Abba/ARL/Floresa)
Pada 7 Februari lalu, Floresa.co mempublikasi berita
berjudul “Warga Curigai Penelitian Bertahun-tahun di Liang Bua.” Dalam
berita itu, dijelaskan bahwa warga bernama Fidelis Randut menduga para
peneliti hanya mengambil kekayaan alam di Liang Bua untuk keuntungan
pribadi mereka, lantaran para peneliti tertutup dengan masyarakat
sekitar. Ia juga mengatakan, penelitian yang dilakukan puluhan tahun itu
tak ada hasilnya.
Usai menyimak berita tersebut, saya merasa tergerak untuk
menyampaikan beberapa pokok pikiran berdasarkan cacatan selama melakukan
kegiatan peliputan di Situs Liang Bua pada tahun 2012.
Sebelum lebih jauh saya menanggapi pendapat Fidelis Randut yang
termuat pada berita tersebut, mari kita simak gambaran sepintas tentang
Situs Liang Bua.
Liang Bua adalah sebuah gua kuno yang menjadi tempat tinggal manusia
purba yang hidup pada 94.000 tahun silam. Gua itu merupakan cekungan
berukuran besar, dengan mulut selebar lebih dari 15 meter dan kedalaman
sekitar 7 meter. Langit-langit berupa batu dengan ujung menggelantung.
Situs Liang Bua terletak di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara,
Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Gua ini terlihat bersih dan
bekas-bekas galian fosil masih terlihat.
Menurut Lorens Hena, salah seorang yang dipekerjakan para ahli
arkeologi asal Museum Arkeologi Nasional dan para ahli arkeologi asal
Australia pada penggalian situs tersebut, bahwa tempat tersebut
merupakan tempat tinggal nenek moyang manusia Flores zaman dulu.
Hemat saya, mencurigai tujuan penggalian Situs Liang Bua untuk
penelitian dan sampai menilai bahwa penelitian tersebut tidak ada
hasilnya adalah tidaklah berdasar.
Apalagi, tim penggalian situs purbakala di bawah pimpinan ilmuwan
Australia dan Indonesia telah menemukan sisa-sisa kerangka delapan
manusia dengan ukuran tubuh agak pendek dan volume otak kecil di dalam
gua Liang Bua. Fosil-fosil tersebut kemudian diberi nama Homo Floresiensis (Manusia Flores), yang diambil dari nama pulau tempat ditemukannya fosil tersebut.
Salah satu kerangka yang diperkirakan seorang perempuan berusia 30-an
tahun dan meninggal sekitar 18.000 tahun lalu, tingginya hanya 1 meter.
Volume otak wanita itu hanya 380 cc. Informasi ini penting, sebab
ukuran otak tersebut boleh dikatakan kecil, bahkan untuk seekor simpanse
sekalipun.
Penyelidikan atas penemuan itu, yang diperkirakan berlaku paling tidak bagi 8 kerangka tersebut, menunjukkan bahwa Homo Floresiensis hidup di dalam gua ini antara 95.000 dan 12.000 tahun yang lalu.
Pendapat bersama dari para ilmuwan yang meneliti perkakas dan
tulang-belulang hewan yang berhasil ditemukan dalam penggalian di dalam
gua tersebut adalah bahwa individu-individu Homo Floresiensis
memperlihatkan perilaku kompleks yang memerlukan kemampuan berbicara,
dengan kata lain mereka adalah manusia cerdas yang hidup bermasyarakat
dan memiliki keterampilan (kemampuan berkarya).
Batu-batu yang dipahat dan diasah tajam untuk keperluan tertentu
ditemukan di dalam gua itu, dan keberadaan kerangka hewan memperlihatkan
bahwa mereka adalah para pemburu yang berhasil, yang mampu menangkap
binatang-binatang yang lebih besar dari tubuh mereka sendiri.
Penggalian lanjutan di Situs Liang Bua pada tahun 2012 yang lalu
dilakukan dalam rangka menemukan kedelapan temuan yang terfragmentaris
itu. Hal ini juga dilakukan untuk menjawab keraguan dari sejumlah pihak
yang menyebutkan bahwa Homo Floresiensis adalah spesies manusia modern atau Homo Sapiens yang kerdil.
Jatmiko, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di
sela-sela kegiatan penelitian di Liang Bua ketika itu mengakui bahwa
ada pendapat yang mengatakan Homo Floresiensis adalah manusia
kerdil yang masuk dalam spesies Homo Sapiens atau manusia modern. Karena
itu, pihaknya melakukan penelitian lanjutan untuk menjawab semua
keraguan itu.
Tim penggalian tahun 2012 itu terdiri dari Thomas Sutikno, Jatmiko,
Sri Warsito, Rokus Awe Due dari Puslit Arkenas, Matthew Tocheri, Mike
Morwood. Dan tim peneliti ini dibantu oleh 41 orang lokal terlatih yang
sudah bergabung dalam tim penggalian di Liang Bua sejak tahun 1979.
Terkait punahnya spesies Homo Floresiensis, Jatmiko
menjelaskan pihaknya juga sedang meneliti tentang penyebab punahnya
spesies ini. “Ada dugaan sementara punahnya spesies ini akibat letusan
gunung berapi yang sangat dahsyat terjadi pada sekitar 13.000 tahun yang
lalu.
Diduga, letusan Gunung Tambora, atau Gunung Berapi yang kini menjadi
Danau Toba ataukah Gunung Berapi di Flores yang kini menjadi Danau Rana
Mese,” terang Jatmiko. Dikatakannya, dugaan itu didasarkan atas struktur
lapisan tanah vulkanik setebal 80 cm yang ditemukan berada tepat diatas
kerangka tulang Homo Floresiensis ditemukan.
Salah seorang tim local penggailian Liang Bua 2012, Hendrikus Bandar
(72) yang bertugas sebagai seorang pencatat tanah yang sudah ditimbang
mengatakan bahwa dirinya telah bergabung dalam tim ini sejak tahun 1979.
“Tim penggalian menggunakan tenaga warga sekitar Liang Bua yang
terlatih sejak tahun 1979,” ujarnya.
Masyarakat setempat meyakini manusia purba itu berukuran pendek,
setinggi 80 cm-100 cm. Penampilan mendekati bentuk monyet, tetapi sudah
punya kemampuan berburu. Mereka makan binatang, seperti tikus atau
kelelawar.
Lorens Hena termasuk salah satu warga yang diajak para peneliti
arkeologi untuk menggali fosil manusia purba di dalam goa tersebut sejak
awal tahun 2000-an.
Menurut Hena, sebelum digali untuk penelitian, gua besar ini pernah
dipakai untuk tempat sekolah, yaitu mulai tahun 1960-an sampai 1970-an.
Sekolah Rakyat, tempat anak-anak kampung belajar. Kadang, gua ini
dipakai untuk upacara adat dan persembahan sesaji untuk leluhur.
Untuk diketahui bahwa Homo Floresiensis atau “Manusia Purba
dari Flores”, dijuluki “hobbit” dan “llo” adalah spesies yang kini sudah
punah, dalam genus Homo. Sisa-sisa fosilnya ditemukan pada tahun 2003
di Liang Bua, Manggarai. Kerangka parsial dari sembilan orang telah
ditemukan, termasuk satu tengkorak lengkap. Bekas-bekas inilah yang
menjadi subyek penelitian intensif untuk menentukan apakah mereka
merupakan spesies yang berbeda dari manusia modern, dan kemajuan ini
menimbulkan kontroversi ilmiah.
Hominin ini adalah luar biasa bagi tubuh yang kecil dan otak dan
untuk bertahan hidup sampai waktu yang relatif baru pada sekitar 18.000
hingga 13.000 tahun yang lalu. Dipulihkan bersama sisa-sisa kerangka
adalah alat-alat batu dari wawasan arkeologi mulai dari 94.000 sampai
13.000 tahun yang lalu.
Dua penelitian ortopedi diterbitkan pada tahun 2007 keduanya melaporkan bukti yang mendukung status spesies untuk Homo Floresiensis.
Sebuah studi dari tiga token dari karpal (pergelangan tangan) tulang
menyimpulkan ada kesamaan dengan tulang-tulang karpal dari seekor
simpanse atau hominin awal seperti Australopithecus dan juga perbedaan
dari tulang manusia modern. Sebuah studi tentang tulang dan sendi pada
lengan, bahu, dan anggota tubuh bagian bawah juga menyimpulkan bahwa Homo Floresiensis lebih mirip dengan manusia purba dan kera daripada manusia modern.
Pada tahun 2009, penerbitan analisis cladistic dan studi pengukuran tubuh komparatif memberikan dukungan lebih lanjut untuk hipotesis bahwa Homo Floresiensis dan Homo Sapiens adalah spesies terpisah.
Untuk menjawab keraguan sejumlah warga seperti Fidelis Randut, saya
sarankan Pemerintah Kabupaten Manggarai perlu membuat Museum Sejarah dan
Budaya Manggarai yang juga turut memajang duplikat tulang belulang Homo Floresiensis agar warga mudah memperoleh informasi yang tepat. Penulis berasal dari Ruteng, sekarang bekerja di Yayasan Senyum Bali. Ia juga masih aktif menulis di beberapa media.
Adat dan Gereja bersinggungan pada manusia dan alam.
Adat dan gereja melayani manusia. Manusia membutuhkan lingkungan yang baik supaya hidup baik. Ketika adat dan gereja peduli lingkungan, berarti peduli manusia, sebaliknya, ketika adat dan gereja peduli manusia berarti peduli lingkungan.
Floresa.co – Keuskupan Ruteng-Flores, Nusa Tenggara
Timur menggelar aksi unjuk rasa menolak kehadiran tambang pada hari
Senin (13/10/2014).
Aksi ini yang digelar secara simulatn di tiga tempat, yakni di
Ruteng, Labuan Bajo dan Borong, ibukota masing-masing kabupaten
Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur diikuti ratusan pastor
dan ribuan umat.
Keuskupan Ruteng memang sudah secara tegas menyatakan sikap menolak tambang dalam Sinode yang digelar di Ruteng, September lalu.
Dalam dokumen hasil Sinode, mereka menyatakan secara tegas alasan
mereka menolak kehadiran tambang. Hal itu dikatakan, sebagai hasil dari
“refleksi kritis dan diskusi mendalam dalam terang Iman Katolik”.
Bagi Keuskupan Ruteng, tidak ada sikap lain, selain menuntut agar para bupati mencabut semua Izin Usaha Pertambangan (IUP) Berikut merupakan dokumen lengkap hasil sinode yang sudah
diunggah di situs milik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
mirifica.net.
Setelah melakukan refleksi kritis dan diskusi mendalam dalam terang
Iman Katolik tentang persoalan tambang mineral dan dampak destruktifnya
di Manggarai Raya, Kami, Uskup, Para Pastor, Suster, Bruder, Pimpinan
Lembaga Pendidikan dan Bapak/ibu awam peserta Sinode III yang mewakili
umat Keuskupan Ruteng, pada hari ini, Kamis, 25 September 2014,
mengungkapkan solidaritas yang sangat mendalam dengan para korban
tambang. Sekaligus kami menuntut pencabutan semua izin usaha
pertambangan mineral yang diterbitkan Pemerintah daerah di seluruh
wilayah Keuskupan Ruteng yang mencakup tiga wilayah administratif
pemerintahan, yakni Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat dan
Kabupaten Manggarai Timur. Dasar Tuntutan
Pertambangan mineral (mangan, emas, pasir besi, batu bara, dll) mengakibatkan kerusakan ekologis yang
sangat masif dan radikal. Entah model terbuka atau tertutup, kegiatan
pertambangan merusak ekosistem kehidupan. Bukan hanya tanah, hutan dan
sumber-sumber air yang dihancurkan oleh pertambangan mineral tetapi juga
kestabilan iklim yang menjamin kehidupan manusia dan eksistensi planet
bumi. Pelepasan masif karbon ke udara akibat kegiatan tambang merupakan
pemicu perubahan iklim serta pemanasan global dewasa ini.
Dengan demikian dampak pertambangan mineral tidak hanya merusak alam lingkungan tetapi juga kehidupan manusia. Pencemaran tanah, air, udara oleh zat-zat beracun akibat kegiatan pertambangan menimbulkan pertama-tama bahaya kerusakan kesehatan manusia
khususnya para pekerja maupun warga sekitar lingkar tambang berupa
penyakit kulit, pernafasan (ISPA), dan pencernaan. Penyakit-penyakit ini
selanjutnya mengakibatkan kerusakan fungsi alat-alat vital tubuh
seperti paru-paru, jantung dan hati.
Lebih dari itu kegiatan pertambangan mengakibatkan proses pemiskinan dan pemelaratan yang
sistematis dan masif bagi masyarakat. Wilayah isin usaha pertambangan
yang meliputi puluhan ribu hektar ternyata mencakup juga wilayah sumber
mata air, wilayah hutan, perkebunan, pertanian serta pusat pemukiman
masyarakat. Hal Ini mencaplok sumber-sumber kehidupan orang banyak dan
generasi selanjutnya. Maka yang terjadi perusakan kehidupan ekonomi
masyarakat. Argumen Pemerintah tentang peningkatan kesejahteraan
masyarakat oleh usaha pertambangan juga tidak terbukti. Pertambangan
ternyata tidak membawa dampak ekonomis yang sangat signifikan baik bagi
masyarakat setempat maupun terhadap struktur APBD Pemerintah Daerah.
Sebaliknya keuntungan kecil dari kegiatan pertambangan tidak sebanding
dengan biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki atau recoverylingkungan
hidup yang rusak. Uang sebanyak apapun tidak mampu memulihkan kembali
tanah, lembah, dan bukit yang telah dirusakkan oleh usaha pertambangan.
Yang paling merisaukan akhir-akhir ini adalah konflik sosial yang
diakibatkan oleh pertambangan. Masyarakat lingkar tambang
dipecahbelahkan antara yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahan
tambang. Hal ini membawa konflik horizontal dan rusaknya keharmonisan,
persaudaraan, persatuan dan perdamaian baik dikampung-kampung atau
komunitas adat di daerah lingkaran tambang maupun dalam skala yang lebih
luas antara warga (umat) di desa, kecamatan atau seluruh wilayah
Manggarai Raya.
Selain itu kegiatan pertambangan juga merusak budaya. Tanah adat atau lingko adalah unsur penting dalam budaya Manggarai sebagaimana terlihat dalam ungkapan gendang one, lingkon pe’ang (rumah
adat didalam, lingko di luar). Rumah adat/kampung dan tanah adat/lingko
adalah unsur dwitunggal yang hakiki dalam budaya Manggarai; kehilanggan
salah satunya adalah kepincangan budaya dan kehidupan masyarakat
Manggarai. Perusahan tambang sering berdalih bahwa mereka telah
membangun rumah adat (Mbaru Gendang/Mbaru Tembong), anehnya pada saat yang sama mereka merusak lingko, padahal gendang tanpa lingko tak bermakna.
Secara iuridis kegiatan pertambangan yang dilakukan
diatas tanah masyarakat wajib hukumnya untuk mendapat izin penggunaan
hak atas tanah dari pemiliknya. UU Pertambangan Minerba No.4 Tahun 2009,
Pasal 136 dengan tegas menyebutkan bahwa izin usaha pertambangan
bukan bukti izin penguasaan hak atas tanah. Pemegang izin kuasa
pertambangan sebelum melakukan kegiatan pertambangan wajib mendapat
persetujuan dari masyrakat sebagai pemilik hak tas tanah tersebut. De facto,
pemerintah daerah dan perusahan-perusahan tambang telah melakukan
upaya-upaya manipulatif untuk mendapat izin masyarakat dengan cara
membuat tanda tangan palsu, rekayasa tokoh adat, melibatkan masyarakat
adat lain untuk membuat pernyataan dukungan.
Investasi kegiatan pertambangan selalu melibatkan aparat keamanan
baik Polri maupun TNI untuk menjaga keamanan tetapi juga menjadi alat
penindas investor terhadap masyarakat. Beberapa kenyataan sudah
membuktikan bahwa banyak masyarakat yang mengalami penindasan fisik dan
penindasan mental melalui kriminalisasi hak-hak dasar masyarakat. Kasus
Tumbak, Sabtu 13 September 2014 bukan hanya menjadi tragedi ekologis
tetapi juga tragedi kemanusiaan. Pater Simon Suban, SVD dan masyarakat
mengalami perlakuan kasar yang dilakukan secara teroganisir oleh pihak
perusahan dan aparat keamanan. Selain itu, aparat pemerintah (Bupati,
Dinas, Camat, Kepala Desa) juga turut membela perusahaan tambang dan
dengan cara memanipulasi dan mengintimidasi masyarakat lingkar tambang.
Yang terjadi adalah kolaborasi mutualistis tetapi membahayakan antara
investor tambang, aparat pemerintah dan aparat keamanan dalam menindas
dan mengeksploitasi warga. Panggilan dan Kewajiban Iman Katolik
Gereja Katolik memahami lingkungan hidup sebagai hal tak terpisahkan
dari kehidupan beriman. Allah telah menciptakan alam semesta baik adanya
(Kej 1). Karena itu perusakan terhadap lingkungan hidup merupakan
tindakan yang melawan sang Pencipta. Iman Katolik menuntut seluruh warga
Gereja untuk memperjuangkan keutuhan ciptaan (integritas) dan
melestarikan lingkungan hidup.
Lebih dari itu iman Katolik mengakui peran kunci Yesus Kristus dalam
tata penciptaan. Sebab “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia
tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”
(Yoh 1:3; bdk. 1 Kor 8:6). Kristus adalah sumber segala sesuatu dan
pemersatu dari segala sesuatu yang diciptakan oleh BapaNya. Dia adalah
“yang sulung dari segala yang diciptkana. Karena di dalam Dialah telah
diciptakan segala sesuatu” (Kol 1:15-16). Maka perjuangan menegakan
keutuhan dan kelestarian lingkungan hidup dan penolakan terhadap
pertambangan mineral berakar dalam panggilan dan tuntutan iman Katolik
yang ingin menemukan wajah Kristus dalam keharmonisan, keindahan dan
kelestarian ciptaan.
Oleh sebab itu perjuangan untuk menolak pertambangan mineral bukan
sekedar perjuangan ekologis dan sosial tetapi juga perjuangan yang
bersumber dari panggilan dan tuntutan iman Katolik. Perjuangan ini
mengalir dari komitmen untuk meneledani dan berpartisipasi dalam
pelayanan Yesus, sang Nabi dan Pembebas, yang memperhatikan dan menolong
orang-orang miskin dan korban-korban penindasan sosial serta yang
mengkritik situasi ketidakadilan sosial akibat hilangnya kesetaraan dan
keadilan dalam akses terhadap sumber-sumber alam yang disediakan oleh
bumi, Ibu Pertiwi. Gereja Katollik dipanggil dan dituntut untuk
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan umum
dan integritas ciptaan (bdk. GS 27; CA 37) Tuntutan-tuntutan
Bertolak dari hal-hal di atas, maka kami, peserta Sinode yang mewakili seluruh umat Keuskupan Ruteng menuntut kepada:
Bapak Bupati Manggarai Timur, Bapak Bupati Manggarai, dan Bapak
Bupati Manggarai Barat pimpinan wilayah administratip Pemerintahan yang
ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk mencabut segera izin tambangyang
telah diberikan, membatalkan pemberian izin tambang yang masih dalam
proses dan selanjutnya tidak mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
baru. Peraturan harus melindungi masyarakat dan menjamin hak-haknya.
Peraturan adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk
peraturan. Karena itu peraturan yang menindas manusia dan merusak hak
dan martabatnya harus dikoreksi atau bahkan dicabut.
Seluruh aparat pemerintah dari Kabupaten, Kecamatan sampai Desa di
seluruh Wilayah Administratif Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan
Ruteng untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, terutama masyarakat
lingkar tambang dan menjamin hak-hak dan martabat Kami mengecam keras
dan melawan semua tindakan aparat Pemerintah yang memanipulasi,
mengintimidasi dan mengancam masyarakat.
Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai
Timur, Manggarai dan Manggarai Barat serta para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) NTT serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) maupun DPD Dapil NTT untuk melakukan fungsi kontrolnya dan
legislasinya dengan mengawasi dan meminta pertanggungjawaban Pemerintah
Daerah di tiga kabupaten dalam wilayah Keuskupan Ruteng berkaitan dengan
aktivitas pertambangan di wilayahnya masing-masing serta membuat
peraturan daerah yang membebaskan wilayah Manggarai Raya dan NTT pada
umumnya dari investasi pertambangan mineral.
Aparat keamanan dalam hal ini Polri dan TNI di seluruh Wilayah
Administratif Pemerintahan yang ada di wilayah Keuskupan Ruteng untuk
mewujudkan fungsi penjamin keamanan, kenyamanan dan kedamaian bagi
seluruh warga masyarakat serta tidak memihak investor tambang apalagi
memprovokasi pihak manapun dalam konflik pertambangan dan lingkungan
hidup.
Lembaga-lembaga peradilan yang menanggani perkara yang berkaitan
dengan pertambangan untuk menegakkan keadilan dan kepastian hokum,
menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar masyarakat dan
mengutamakan keutuhan ciptaan dan keadilan bagi warga.
Seluruh umat Katolik Keuskupan Ruteng di tiga wilayah Kabupaten
Manggarai Raya untuk terlibat aktif, konstruktif dan berkelanjutan dalam
gerakan bersama tolak tambang melalui doa, katekese, publikasi dan
penyadaran sosial kritis serta demonstrasi damai sampai seluruh ijin
pertambangan di Manggarai Raya dicabut.
Ruteng, 25 September 2014
Dalam persaudaraan Sinodal,
Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng
Acara ‘Baro Bola Ema Cebo’, Wujud Syukur di Kampung Sampar
303
Floresa.co – Ada banyak alasan untuk bersyukur dalam
hidup. Selain misalnya karena mendapat harta berlimpah, umur panjang,
juga bisa karena banyaknya ketururunan.
Perihal banyaknya keturuan itu menjadi alasan bagi keluarga keturuan
Petrus Nembok, yang populer disebut Ema Cebo di Kampung Sampar, Desa
Pong Lale, Kecamatan Ruteng merayakan syukur pada 14-18 Agustus lalu.
Mereka menggelar acara yang disebut Baro Bola Ema Cebo. Pada
perayaan adat itu, keturuanan Ema Cebo mempersembakan kerbau putih.
Ini merupakan wujud terima kasih kepada Tuhan atas terkabulnya
permohonan Ema Cebo dahulu kala, yaitu agar keturanannya beka agu buar (berkembang biak).
Menurut Romo Karolus Jande Pr, putra bungsu Ema Cebo, dahulu saat
masih hidup, ayahnya itu berjanji kepada anak-anaknya bahwa ia akan
mempersembahkan acara syukur jika doanya dikabulkan oleh Tuhan. Mori, eme beka agu buar kilog, kaba laing laku tai, demikian janji Ema Cebo, yang berarti, Tuhan jika keluargaku berkembang biak, nanti saya mempersembahkan kerbau.
Ema Cebo mempunyai sepuluh orang anak yang terdiri dari lima laki-laki dan lima perempuan.
Keluarganya berkembang pesat menjadi hampir lima puluh orang cucu dan
cece. Salah satu cucunya adalah Romo Charles Suwendi Pr yang kini
bertugas sebagai Pastor Paroki Timung, Kecamatan Wae Ri’i.
Kesepuluh anak Ema Cebo menyadari bahwa keturunan yang banyak jumlahnya itu adalah bukti terkabulnya Bola de Ema Cebo.
Menurut Romo Karolus, ayahnya itu yang meninggal pada tahun 1990
merupakan perintis Kampung Sampar. Ia juga ditugaskan oleh Gelarang
Ndung dan Dalu Rahong serta Raja Manggarai sebagai penjaga perbatasan
wilayah kedaulatan.
Rangkaian acara adat Baro Bola Ema Cebo diawali dengan acara adat tura ndekok (pengakuan dosa) di jalan raya pertigaan kampung Sampar (Ruas jalan Cancar Golo Welu), doa di pemakaman Ema Cebo, teing hang kolang (pemberian sesajian) di mbaru gendang (rumah adat) Sampar.
Hari kedua dilanjutkan acara pantek (acara adat menetapkan
waktu penyembelian kerbau) dengan mempersembahkan seekor babi. Acara ini
diikuti oleh warga keturunan Ema Cebo serta warga Kampung Sampar dan
dari rumah adat lainnya.
Menyusul kemudian ritual adat barong boa Ema Cebo (acara adat di kuburan Ema Cabo), barong wae (acara di mata air warga Sampar) dan barong compang (acara di tugu adat).
Selanjutnya, acara adat kina we’e yang artinya seluruh keluarga ikut hadir dalam prosesi tersebut.
Setelah prosesi acara tersebut, mempersiapkan diri wa’u wa tana (turun ke tanah) saat mentari terbit, sembari mengumandangkan lagu adat mengiring acara persembahan kaba bakok, ela bakok dan ayam putih
Pada penyembelihan kerbau, juga ikut dipersembahkan satu ekor babi
(ela laca) yang menunjukan rangkaian acara persembahan kerbau sudah
selesai.
Sore harinya juga berlangsung acara adat congko laca dengan menyembeli ayam jantan, untuk membersihkan sisa kotoran dan darah kerbau yang tersisa saat disembeli.
Setelah itu, di rumah adat berlangsung acara caca sélek, dengan menyembelih ayam putih sebagai tanda sẻluruh prosesi adat berakhir. (Dinan/ARL/Floresa)