“Festival Budaya Manggarai” Bakal Dijadikan Produk Kesenian Jakarta
Festival perdana ini digelar pada 17-18 Agustus 2019 di TMII Jakarta.
Portal Teater – Masyarakat Manggarai di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki keterkaitan genealogis dan kultur dengan sebagian masyarakat yang bermukim di ibukota (Jakarta). Salah satunya adalah dengan masyarakat yang hidup di Kelurahan Manggarai, yang terletak di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Awal mula keterhubungan itu ditulis secara jernih dalam sejarah perang perjuangan bangsa Indonesia pada era kolonial.
Menurut penuturan Rachmat Ruchiat dalam bukunya “Asal-usul Nama Tempat di Jakarta” (2011), dikatakan bahwa orang-orang Flores (Manggarai) pertama kali menempati wilayah Manggarai di Jakarta pada sekitar tahun 1770.
Bukti yang menguatkan jika nama Manggarai di Jakarta diambil dari nama salah satu daerah di NTT ialah dengan ditemukannya sebuah tarian bernama “Lenggo” setelah Perang Dunia II oleh seorang ahli etnomusikalogi bernama Jaap Kunst.
Dalam bukunya “Java Jilid II”, Kunst memandang bahwa tarian tersebut memiliki nama mirip dengan tarian asal Betawi: Belenggo. Tarian ini dalam salah satu seni budaya Betawi biasanya dimainkan oleh kaum pria dengan memadukan antara gerak tarian dan seni pencak silat.
Dengan asumsi bahwa para budak tersebut pasti beristrikan orang-orang asli Betawi, karena haram bagi kolonial seorang budak membawa serta istrinya, maka dapat dikatakan bahwa sebagian dari masyarakat di Kelurahan Manggarai (Jakarta) adalah anak-anak dari para budak asal Manggarai tersebut.
Mereka kini barangkali tidak lagi hidup dan menetap di Kelurahan Manggarai — karena kalah dalam persaingan sistem pasar kapitalis — tetapi juga tidak dapat dikatakan jejak kaki mereka hilang dari tanah di mana mereka mengucurkan keringat darah akibat penjajahan.
“Jak Lingko”: Induk Transportasi Terintegrasi Jakarta
Dalam perkembangan termutakhir, kisah tentang keterkaitan itu dibangkitkan lagi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui program yang diluncurkannya pada Oktober 2018 bernama “Jak Lingko”, untuk menggantikan program “One Karcis One Trip” (OK Otrip).
Diambil dari istilah dalam bahasa Manggarai (NTT), “lingko” yang artinya “jaring laba-laba”, program “Jak Lingko” dimaksudkan Gubernur Anies untuk “Jakarta Berjejaring”, merujuk kepada program pengintegrasian sistem transportasi publik di Jakarta.
Program ini berniat menjadikan “Jak Lingko” sebagai induk dari integrasi transportasi publik di Jakarta, di mana bus kecil, medium, besar berjejaring akan terintegrasi dengan transportasi massal.
Termasuk misalnya transportasi berbasis rel seperti Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT) dan commuter line serta transportasi berbasis Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta.
Dalam kesempatan menghadiri Festival Budaya Manggarai, Minggu (18/8), Gubernur Anies mengatakan, budaya Manggarai memiliki falsafah hidup yang mendalam; entitas kebudayaan di mana ia belajar tentang kesetaraan dan rasa saling menghargai tanpa memandang strata sosial.
Karena itulah mengapa ia mengadopsi salah satu artefak kebudayaan masyarakat Manggarai itu sebagai model kerja sistem integrasi transportasi publik di mana orang-orang berada dalam kesetaraan tanpa ada perbedaan kelas.
“Kami di DKI Jakarta mengadopsi istilah Lingko dari Manggarai untuk menggambarkan sistem transportasi publik yang terintegrasi satu sama lain. Dalam sistem ini, warga DKI Jakarta duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, sebagaimana ada pada Busway, MRT, LRT, dan transportasi publik lainnya,” ungkapnya.
Di Manggarai (NTT), “Lingko” merupakan istilah yang digunakan untuk sawah berbentuk jaring laba-laba di Cancar, Kabupaten Manggarai, di samping ada “Tarian Lingko” yang menerangkan tentang falsafah kerja berjejaring dan saling berintegrasi satu sama lain.
Dikisahkan Lewat Aksi Teatrikal
Tidak berhenti di situ, berpijak pada penuturan sejarah yang ditulis Ruchiat, Komunitas Lingko Ammi, sebuah komunitas anak muda Manggarai yang peduli pada seni dan budaya, mempresentasikan sebagian dari narasi yang masih hidup lewat pementasan teatrikal musik bertajuk “Taki Mendi”.
Disutradarai Willy Matrona, “Taki Mendi” mengisahkan keluarga para budak Manggarai (NTT) yang dibawa ke Batavia (Betawi) oleh Belanda dari jalur Kerajaan Bima yang saat itu menguasai Manggarai.
Dalam upaya melawan lupa, lakon ini mencoba mengintip jejak perbudakan masa silam di tanah Batavia yang merupakan pusat kekuasaan dan bisnis Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Batavia pada awal abad ke-17 menjadi lalu lintas barang yang diangkut kapal-kapal kecil lewat aliran kanal semakin ramai seiring dengan geliat Pelabuhan Sunda Kelapa. Kanal-kanal itu berfungsi sebagai jalur angkut pada 1648 dan menjadi saksi perbidakan di tanah Batavia.
Hasil-hasil bumi, rempah-rempah di bawa ke tanah Batavia di dipasar VOC. Para landhuis ialah pemilik tanah sedang menunggu budak-budak itu, lalu dipekerjakan di partikelir yaitu kebun-kebun para Tuan.
Di bagian selatan Jakarta, di daerah Manggarai yang orang-orang kenal saat ini adalah saksi bisu mati hidupnya para budak dari Manggarai. Mereka yang kesepian bertahun-tahun, didera penderitaan.
Mereka dibawa ke tanah Batavia, meski sebagai budak tetapi tidak bisa menyangkal identitas mereka sebagai orang Manggarai.
Diiringi lagu-lagu klasik Manggarai seperti Sanda, Mabata dan Ninggo yang bernuansa tragedi, “taki Mendi” ingin mengisahkan sebentuk pemberontakkan gagasan terhadap para tuan yang serakah.
Jadi Produk Kesenian Jakarta
Latar historis dan kesamaan ciri kebudayaan antara masyarakat Manggarai dan Betawi ini menjadi dasar bagi kedua komunitas untuk saling bersinergi dalam produksi gagasan di bidang kesenian.
Kerjasama tersebut mulai tampak dalam gelaran Festival Budaya Manggarai perdana yang digagas Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) pada Sabtu-Minggu, 17-18 Agustus 2019 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Festival ini mengangkat tema “Kearifan Budaya Manggarai Dalam Era Globalisasi”, untuk menandai pentingnya identitas kebudayaan setiap komunitas masyarakat dalam pusaran globalisasi saat ini.
Menurut Ketua Panitia Festival Emiliana, festival ini, selain ingin memeriahkan perayaan HUT ke-74 Kemerdekaan RI, juga bertujuan menjadikan budaya Manggarai menjadi bagian dari produk kesenian ibukota.
Gagasan untuk menjadikannya sebagai produk kesenian Jakarta, sebagaimana masyarakat Manggarai diaspora telah menetap di ibukota, mendapat sambutan hangat dari Gubernur Anies Baswedan.
“Besok (Minggu), Pak Gubernur datang menghadiri acara ini. Dan saya akan bicarakan lagi konsep ini kepada beliau,” katanya di TMII Jakarta, Sabtu (17/8).
Melihat antusiasme dan kesamaan gagasan inilah, KPM berniat menggandeng Pemprov DKI Jakarta untuk mementaskan kesenian Manggarai di Senayan atau di Monumen Nasional (Monas). Misalnya sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat Manggarai dalam perayaan HUT Jakarta.
“Dan saya harapkan ini bisa jadi event tahunan. Dan manajemen Taman Mini sendiri sudah masukkan ke dalam agenda mereka,” terangnya.
Tampilkan Ragam Kesenian
Adapun festival yang digelar dalam kerjasama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini menampilkan ragam kesenian dan produk lokal Manggarai yang terhimpun dalam tiga kategori utama, yaitu Pentas Seni dan Budaya, Parade Kuliner dan Pasar Manggarai.
Dalam kategori Pentas Seni dan Budaya ada beberapa mata kegiatan yang dipentaskan, antara lain: tarian Caci, tarian Ndundu Ndake, tarian Rangguk Alu, Sanda Danding, Mbata, Operet, Teater Lingko Ammi (“Taki Mendi”), dan Fashion Show Kreasi Tenunan Manggarai.
Sementara dalam kategori Parade Kuliner, ada sajian kopi Manggarai, Gola Wara, Latung Bose, Saung Ndusuk, Komping, Rebok, dan makanan khas Manggarai lainnya.
Akhirnya, dalam kegiatan Pasar Manggarai, disajikan aneka tenunan Manggarai dan souvenir khas Manggarai.
Festival ini diinisiasi KPM dalam kerjasama dengan beberapa komunitas masyarakat Manggarai Jakarta, termasuk Komunitas Sanggar Ca Nai Kalimalang dan Ikatan Keluarga Manggarai Kebon Jeruk Jakarta (IKMKJ) yang mementaskan tarian Caci.
Menurut penuturan Ferry Jalu (50 tahun), tarian Caci dimainkan dipentaskan oleh dua kubu yang berbeda. Kubu pertama disebut “tuan rumah”, sedangkan kubu kedua disebut “undangan” atau “tamu”.
Secara filosofis, tarian ini melambangkan keperkasaan atau kejantanan seorang pria dalam mengalahkan tantangan musuh dalam sebuah medan pertempuran.
Pada mulanya, tarian ini dipentaskan oleh masyarakat Manggarai ketika selesai musim panen raya yang biasanya terjadi pada sekitar bulan Mei-Juli.
Jumlah pemain dalam tarian sejenis permainan rakyat ini tidak dibatasi. Adapun kategori pemainnya dimulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Anak-anak biasanya mementaskannya pada waktu pagi, sedang pada sore hari baru dimulai pertarungan antar pemain dewasa.
Dalam perkembangannya, tarian ini sebenarnya sudah banyak mengalami modifikasi seturut perkembangan teknologi. Termasuk misalnya waktu pementasan telah mulai disesuaikan dengan kebutuhan seremonial sebuah peristiwa budaya tertentu.
Salah satu pengaruh paling kuat dari proses adaptasi teknologi modern tersebut tampak dalam aksi-aksi selfie yang dilakukan para pemain seusai bertarung dengan pasangannya, terutama ketika seorang pemain berhasil memukul mengenai bagian tubuh lawannya.
Pada titik ini, sang pemain tidak lagi mengekspresikan kemenangannya dengan berpekik ria, tetapi dengan menyiapkan ruang ketubuhannya sebagai objek dari rekaman kamera.
Uniknya, tarian ini mempresentasikan batasan-batasan yang kabur antara pemain (aktor) dan penonton (publik), sebagaimana telah menjadi paradigma kesenian kontemporer.
Batasan kabur tersebut tampak dalam pertukaran posisi seorang pemain. Pada satu sisi, seorang pemain Caci berperan sebagai aktor yang bertarung, tetapi pada sisi yang lain, sang aktor pun memperlihatkan dirinya sebagai publik yang ikut memekik tensi pertarungan.
Di sana, seorang aktor berdialog dengan publik atau penonton; meminta perhatian dan dukungan agar bisa bertarung lebih gagah, atau untuk tetap bertahan dalam arena pertarungan. Junkta-posisi ini membuat aktor dan penonton terlebur ke dalam satu gagasan pementasan.
*Daniel Deha