Ensiklopedi
Manggarai (Kata Pengantar)
https://www.suluhdesa.com/budaya/5489233060/ensiklopedi-manggarai-kata-pengantar
Penulis: Bernard Raho (IFTK Ledalero - Maumere)
"Judul-judul ini diambil dari doa dan harapan orang-orang Manggarai untuk
memperoleh kesehatan, kesuburan, kesejahteraan rohani dan jasmani, keberhasilan
dalam hidup, dan kebahagiaan. Mudah-mudahan beberapa catatan pengantar ini
berguna bagi para pembaca untuk menjelajahi isi Ensiklopedi ini."
SuluhDesa.com | Nama Manggarai yang
digunakan dalam judul Ensiklopedi ini merujuk pada kelompok
etnis yang mendiami wilayah yang terbentang dari Selat Sape di bagian barat dan
Wae Mokel di sebelah timur.
Sebagai
satu kelompok etnis suku bangsa Manggarai merupakan
satu kolektivitas yang bisa dibedakan dari suku-suku lain di Flores karena
memiliki ciri-ciri budaya berbeda yang diwariskan secara turun-tumurun.
Ensiklopedi ini
diberi judul Manggarai karena di dalamnya terkandung
ribuan entri tentang kebudayaan Manggarai yakni
kebiasaan-kebiasaan, tradisi perkawinan dan hidup berkeluarga, ritus-ritus
kelahiran sampai kematian, dan folklor tentang Manggarai.
Selain itu Ensiklopedi ini juga memuat entri tentang
flora dan fauna serta tentang alam Manggarai.
Kebudayaan
adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia sebagai makhluk yang berakal
budi. Sedangkan flora, fauna, dan alam merupakan anugerah yang terberi oleh
Allah Pencipta. Tetapi sikap atau kepercayaan manusia terhadap flora, fauna,
dan alam itu adalah bagian dari kebudayaan.
Dalam
kepercayaan orang Manggarai, manusia sebagai pencipta kebudayaan
tidak cuma berhubungan dengan kebudayaan yang diciptakannya melainkan juga
mempunyai hubungan persaudaraan dengan tumbuhan (flora) dan binatang (fauna).
Di
satu pihak, manusia berasal dari tumbuhan tetapi di pihak lain, tumbuhan dan
hewan juga juga berasal dari manusia. Hal itu dapat ditunjukkan oleh sebuah
mitologi tentang asal-usul kehidupan menurut orang-orang Manggarai sebagaimana
dikisahkan berikut ini:
Pada
awal mula, di bumi ini belum ada apa-apanya. Karena itu orang Manggarai menyebut
bumi dengan sebutan tana lino yang berarti tanah atau bumi yang kosong (empty
world).
Seturut
mitologi itu manusia merupakan hasil perkawinan antara langit (Amѐ/Ema Ĕta) dan
bumi (Inѐ/Ende Wa) yang tercipta melalui sinar matahari yang memancarkan
sinarnya ke arah rumpun bambu di atas sebuah gunung dan dari rumpun bambu itu
keluarlah dua orang manusia (bo one mai belang) yakni seorang laki-laki dan
perempuan.
Kedua
orang itu manjadikan buah-buahan di hutan sebagai makanan dan mengenakan kulit
kayu Lale (Artocarpus Elastica) sebagai pakaian. Mereka menggosok belahan bambu
kering untuk membuat api yang lazim disebut pande kѐlo api.
Kemudian
kedua orang itu kawin dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika anak itu
berumur kurang lebih lima tahun ayah anak itu bermimpi. Dalam mimpi itu
muncullah seorang tua yang menyuruh ayah anak itu untuk membunuh anaknya
sendiri.
Orang
tua itu memperkenalkan diri sebagai Morin agu Ngaran (Pemilik) atau Jari agu
Dedek (Pencipta), yang tidak lain adalah sebutan untuk Wujud Tertinggi bagi
orang Manggarai.
Ayah anak itu disuruh untuk menyiapkan sebuah ladang supaya
ditanami tanaman-tanaman. Setelah ladang disiapkan, Morin agu Ngaran
memerintahkan sang ayah untuk membunuh anak dan memotong-motong daging anak itu
lalu disiram di seluruh kebun yang telah disiapkan.
Dengan
membohongi sang isteri, ayah anak itu akhirnya membunuh puteranya sendiri. Dia
mengambil darah dan daging anak itu untuk disiram di seluruh kebun yang telah
disiapkan. Kemudian dia kembali ke rumah dan menceritakan isterinya bahwa anak
mereka diculik oleh roh-roh jahat.
Tiga
hari kemudian darah dan daging anak itu bertumbuh menjadi padi, jagung,
mentimun, kestela, dan semua tanaman yang bisa dimakan. Beberapa bulan kemudian
ayah itu kembali ke kebun dan melihat bahwa darah dan daging yang disiramnya
telah berubah menjadi tanaman-taman itu dan sudah mulai berbuah.
Dia
pun mulai memetik salah satu buah tanaman itu yakni jagung. Ketika jagung itu
sudah berisi, tidak ada suara keluar dari pohonnya. Tetapi ketika jagung yang
akan dipetik belum berisi tiba-tiba pohon jagung itu berkata: “Ema… Aku hoo
(Bapa, ini adalah saya”.
Demikianpun
pun ketika dia mendekati buah-buah lainnya. Ayah itu terkejut karena ternyata
semua tanaman yang ada dalam kebun itu adalah darah dan daging anaknya sendiri.
Dia pun memetik jagung yang sudah berisi dan membawanya ke rumah untuk dimakan.
Ketika
isterinya bertanya tentang jagung-jagung itu, suaminya menceritakan semuanya
apa yang telah terjadi. Pada mulanya mereka menangis, tetapi kemudian senang
juga karena mereka telah memiliki sesuatu untuk dimakan.
Selain tanam-tanaman untuk dimakan dari darah dan daging anak
itu mucul juga bermacam-macam hewan yang dipelihara manusia seperti kerbau,
kuda, kambing, dan ayam.
Mitologi
yang diceritakan dengan versi yang berbeda-beda ini di seluruh wilayah Manggarai menggaris-bawahi
satu prinsip fundamental dalam kehidupan orang Manggarai yakni
tentang pentingnya pengorbanan yakni darah yang menghasilkan kehidupan. Darah
adalah simbol pengorbanan.
Hidup
lahir dari pengorbanan. Anak dalam cerita tadi berkorban supaya ayah, ibu, dan
adik-adik yang lahir sesudah dia bisa hidup melalui dirinya yang sudah menjelma
dalam bentuk padi, jagung, ubi dan bahan-bahan makanan lain serta hewan-hewan
yang dipiara manusia.
Falsafah
“hidup lahir dari pengorbanan” ini tercermin juga dalam filsafat hidup orang Manggarai:
“Olo lait pait, detak nggera, tela toni dempul wuku itu po ita dia” yang
berarti orang harus merasakan pahit dan asinnya hidup dan bekerja sampai
punggung terbakar karena panas matahari dan kuku melepu karena mengerjakan
tanah barulah seseorang bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Pengorbanan
itu harus dilakukan secara terus menerus di dalam kehidupan supaya orang dapat
memperoleh keberhasilan. Tetapi pengorbanan itu tidak harus dilakukan lagi
dalam bentuk pengorbanan manusia melainkan hewan. Itulah sebabnya di dalam
setiap ritual adat di Manggarai baik ritual yang berkaitan
dengan siklus kehidupan mulai dari ketika anak berada dalam kandungan ibu
sampai dengan kematian maupun dalam ritus berladang mulai dengan pembukaan
kebun baru sampai dengan ritual penti dan ritus-ritus lainnya harus selalu ada
darah yang ditumpahkan.
Dengan
kata lain pada setiap ritual adat di Manggarai pasti
ada hewan yang dikorbankan. Tujuan dari ritual-ritual itu adalah untuk
memperoleh keberhasilan, kesehatan, dan kesejahteraan. Tetapi supaya tujuan
ritual-ritual adat itu tercapai maka darah harus ditumpahkan karena ada
kepercayaan bahwa darah menghasilkan kehidupan.
Pada
masa dulu pada pesta pembukaan kebun komunal (uma randang) yang baru
diselenggarakan pentasan tarian caci.
Ada
semacam kepercayaan bahwa apabila dalam permainan caci itu ada yang bekѐ atau
rowa menurut dialek Kolang di mana ada darah yang keluar dari luka akibat kena
pukulan, maka hal itu menunjukkan bahwa kebun baru itu akan membawa hasil berlimpah.
Alasannya
adalah karena darah menghasilkan kehidupan. Tetapi apabila dalam permainan caci
itu tidak ada yang bekѐ atau rowa maka hal itu merupakan pratanda bahwa kebun
baru (uma randang) itu tidak akan membawa hasil berlimpah.
Pesan penting kedua dari mitologi tersebut di atas adalah bahwa
hidup itu terinterkoneksi atau berhubungan satu sama lain.
Di
satu pihak, manusia berasal dari bambu (bo one mai belang), tetapi di pihak
lain tumbuh-tumbuhan seperti padi, jagung, ubi, dan lain-lain serta hewan
piaraan seperti kerbau, kuda, kambing, dan ayam berasal dari manusia yakni dari
darah dan daging anak yang dicincang oleh bapanya dan disiram di seluruh kebun.
Kenyataan
bahwa tumbuhan seperti padi, misalnya, diperlakukan sebagai manusia sangat
terasa pada waktu mengetam padi. Ketika orang mengetam padi — terutama pada
masa lalu — ditemukan banyak larangan agar kanak-kanak yakni padi itu tidak
ketakutan karena kalau jiwa bayi-padi padi ketakutan dan lari maka dipercayai
bahwa panen akan gagal.
Orang
— misalnya — tidak boleh berlaku kasar atau berteriak agar kanak-kanak padi itu
tidak takut. Orang juga tidak boleh menyebut kata kerbau (kaba) dan
menggantikannya dengan iko wokok (ekor pendek) agar anak itu tidak ketakutan.
Orang juga tidak boleh menyebut kuda (jarang) dan menggantikannya dengan iko
lewe agar anak atau padi itu tidak ketakutan.
Kenyataan
bahwa manusia itu bersaudara dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan ditunjukkan juga
kepercayaan terhadap totemisme. Totem adalah tumbuhan atau hewan yang dianggap
sakral oleh suatu suku karena atas cara tertentu binatang atau tumbuhan totem
itu berasal dari manusia atau sekurang-kurangnya pernah membantu manusia.
Ada
suku yang misalnya tidak boleh makan daging babi landak karena pada masa lalu
babi landak pernah menolong nenek moyang suku tersebut. Kemudian ada juga suku
yang tidak boleh makan daging kera karena dipercayai bahwa kera berasal dari
anak yang ngambek sebab kedua orangtuanya menolak permintaannya untuk
mendapatkan makanan.
Bagi Edward Burnett Tylor dan Albertus Christian Wilkens
sebagaimana dikutip oleh Bernard Raho totemisme berkaitan dengan pemujaan
leluhur yang sudah menjelma ke dalam tumbuhan atau hewan.
Menurut
mereka setelah seseorang meninggal, jiwanya tidak lagi kembali kepada jasadnya
melainkan masuk ke dalam tumbuhan atau hewan yang kemudian menjadi binatang
atau tumbuhan totem.
Karena
itu hewan dan tumbuhan dipercayai sebagai penjelmaan roh-roh leluhur dan
berubah menjadi sesuatu yang luhur. Di Sumatra dan Jawa atau di Timor buaya
dipercayai sebagai inkarnasi jiwa para leluhur dan karena itu harus disembah
dan dihormati.
Di
wilayah Melanesia seseorang yang berpengaruh — pada saat ajalnya — bisa meminta
supaya dia berinkarnasi menjadi binatang atau tumbuhan yang diinginkannya.
Pada
masa lalu di Manggarai sebelum orang memotong kayu
yang digunakan sebagai tiang utama rumah adat dibuat ritual. Kayu yang akan
digunakan sebagai tiang utama itu dianggap sebagai gadis gunung (molas poco)
yang biasanya diarak masuk ke kampung sebagaimana layaknya seorang isteri
diarak memasuki kampung suaminya untuk pertama kalinya.
Ketika
manusia memperlakukan tumbuhan atau hewan sebagai saudara maka peluang untuk
terciptanya sebuah dunia yang nyaman terbuka.
Orang
tidak akan memotong pohon atau memburu hewan sesuka hati karena dipercayai
bahwa mereka itu adalah saudara-saudarinya. Dengan kepercayaan seperti ini
ekologi terpelihara dengan baik dan pemanasan global tidak akan terjadi. Hutan
akan meluas dan emisi carbon akan terserap. Mboas waѐ woang — kѐmbus wae tѐku.
****
Elemen
penting lainnya dari kebudayaan - selain ritual, kebiasaan, dan kehidupan
sehari-hari - adalah folklor yang merupakan salah satu entri yang paling banyak
di dalam Ensiklopedi ini.
Kata folklor merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris folklore.
Kata folklore sendiri terdiri dari dua kata yakni folk dan lore. Folk berarti
kolektivitas atau sekumpulan orang yang memiliki ciri-ciri pengenal yang sama
baik dari segi fisik (ras) maupun kebudayaan (etnik).
Sedangkan
lore adalah tradisi yakni sebagian kebudayaan yang diwariskan turun temurun
secara lisan. Berdasarkan penjelasan tersebut, folklor adalah sebagian
kebudayaan satu kolektivitas atau masyarakat yang diwariskan turun temurun
dalam bentuk apa saja baik secara lisan maupun dalam bentuk gerak-gerak seperti
tari-tarian.
Adapun
ciri-ciri folklor adalah sebagai berikut:
Penyebaran
dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan melalui tutur kata dari mulut
ke mulut. Tetapi dewasa ini sudah banyak legenda atau bentuk folklor lain
seperti mite dan dongeng yang ditulis dalam bentuk buku.
Bersifat
tradisional karena disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap di antara
anggota-anggota masyarakat.
Folklor
biasa tersebar dalam versi yang berbeda-beda karena penyebarannya dilakukan
secara lisan yakni dari mulut ke mulut. Itulah sebabnya bisa terjadi tema
cerita bisa satu dan sama tetapi versinya bisa berbeda-beda.
Bersifat anonim karena tidak seorang pun yang tahu nama
pengarang dari ceritera tersebut. Kadang-kadang setiap penceritera bisa
menambah di sini untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Folklor
mempunyai kegunaan atau fungsi bagi hidup masyarakat seperti fungsi pendidikan,
pelipur lara, atau sebagai bentuk protes sosial.
Folklor
bersifat pralogis yakni memiliki logika tersendiri yang berbeda atau tidak
sesuai dengan logika umum. Contoh di dalam dongeng,
binatang bisa berbicara atau bernanyi.
Folklor
biasanya menjadi milik bersama masyarakat setempat karena penciptanya yang
pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga semua anggota masyarakat tersebut
menjadi pemiliki folklor bersangkutan.
Folklor
memiliki banyak bentuk seperti bahasa rakyat, ungkapan-ungkapan tradisonal, teka-teki,
sajak atau puisi rakyat, dan ceritera prosa rakyat yang substansinya dijelaskan
berikut ini.
Bahasa
rakyat sebagai bagian dari folklor adalah logat atau dialek. Logat atau dialek
adalah cara mengucapkan kata (aksen) atau lekuk lidah yang khas menurut konteks
wilayah tertentu. Misalnya, dialek orang Kempo berbeda dari dialek orang Boleng
walaupun ada banyak kemiripan. Demikian pun dialek orang Kolang berbeda dari
dialek orang Rego walaupun ada banyak kemiripan.
Ungkapan-ungkapan
tradisional adalah peribahasa-peribahasa yang mengandung pesan-pesan tertentu.
Contoh: Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa atau
pepatah mengandung arti segala sesuatu berbeda berdasarkan konteksnya.
Teka-teki
adalah pertanyaan tradisional yang memiliki jawaban tradisional pula.
Pertanyaan dibuat sedemikan rupa sehingga jawabannya sulit ditemukan.
Orang
memutar otak untuk mencari analogi-analogi yang mirip dengan
pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam teka-teki. Misalnya: Dua baris kuda
putih berbaris di atas bukit merah. Apakah itu? Jawabannya adalah sederet gigi
yang ada di atas gusi. Kuda putih adalah analogi untuk gigi, sedangkan bukit
merah adalah analogi untuk gusi.
Sajak atau puisi rakyat adalah kesusteraan rakyat yang bentuknya
sudah tetap dan biasanya terdiri dari beberapa kalimat.
Puisi
rakyat bisa berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), teka-teki, dan
kepercayaan rakyat mantra-mantra. Dalam konteks kebudayaan Manggarai sajak
atau puisi rakyat itu bisa ditemukan dalam doa-doa torok di dalam berbagai
ritual adat.
Ceritera
prosa rakyat: Ceritera prosa rakyat mengambil bermacam-macam bentuk seperti
ceritera tentang perjuangan tokoh-tokoh yang akhirnya mencapai kebahagiaan
setelah mengalami banya kesulitan; legenda yakni ceritera-ceritera yang
berusaha menjelaskan asal-usul tempat tertentu, nama, atau benda-benda
tertentu; epos yakni ceritera-ceritera kepahlawanan, perjuangan, dan
keberanian; fabel yakni ceritera tentang binatang-binatang di mana mereka bisa
bertingkah-laku dan berinterkasi dengan manusia; mite yakni ceritera tentang
sihir, setan, arwah atau hantu.
Tetapi
menurut William R. Balcom, sebagaimana dijelaskan oleh James Danandjaja,
ceritera rakyat umumnya dikelompokkan atas tiga saja yakni mite (myth), legenda
(legend), dan dongeng (folktale).
Mite
adalah ceritera rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci
oleh tokoh yang empunya cerita. Mite biasa ditokohi oleh para dewa atau makhluk
setengah dewa dan terjadi di dunia yang lain sama sekali. Peristiwa yang
diceriterakan terjadi di dunia lain atau bukan seperti yang dikenal sekarang
dan terjadi jauh di masa lampau.
Mite
umumnya mengisahkan asal-usul alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya
perkawinan, kematian, atau bentuk topografi tertentu. Contohnya adalah ceritera
tentang asal-usul kehidupan menurut orang Manggarai sebagaimana
telah diceritakan dalam bagian terdahulu.
Dongeng adalah ceritera prosa rakyat yang
dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang empunya ceritera dan dongeng tidak
terikat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, dongeng diartikan
sebagai ceritera yang dikarang-karang saja.
Ceritera dongeng merupakan
cerita fiksi dan bersifat metaforis. Umumnya ceritera-ceritera dongeng tidak
masuk akal, misalnya, binatang bisa berbicara atau bertingkah laku seperti
manusia.
Tujuan
dari ceritera dongeng adalah untuk memberikan hiburan
atau sindiran kepada anggota masyarakat. Salah satu contoh dari cerita dongeng adalah
ceritera binatang atau fabel di dalamnya binatang bisa bertingkah laku seperti
manusia.
Jenis
terakhir dari ceritera prosa rakyat adalah legenda. Legenda adalah
ceritera-ceritera semi-historis yang biasanya dianggap mempunyai hubungan
dengan masa lampau dari sebuah suku atau kolektivitas.
Pada
masa lampau atau bahkan sampai saat ini ada banyak cerita legenda yang tidak
tertulis dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi serta sering
kali dianggap oleh banyak orang sebagai benar-benar terjadi. Legenda umumnya
berbeda dari mite karena di dalam mite tokoh-tokohnya dianggap suci, sedangkan
tokoh-tokoh di dalam legenda adalah orang-orang biasa.
Legenda
bersifat migratoris dalam pengertian bahwa dia seolah-olah bisa berpindah dari
satu tempat ke tempat lain karena legenda terkenal luas di daerah yang
berbeda-beda. Kisah yang sama atau mirip bisa ditemukan pada tempat yang
berbeda-beda untuk lokasi yang berbeda-beda pula.
Menurut
ahli folklor Amerika Serikat Allan Dundes sebagaimana dijelaskan oleh
Ensiklopedia Nasional Indonesia, legenda di setiap kebudayaan jauh lebih banyak
jumlahnya ketimbang mite atau dongeng.
Alasannya
adalah kalau mite mempunyai tipe cerita dasar yang terbatas seperti
asal-usulnya roh-roh halus atau asal-usulnya kehidupan, maka legenda mempunyai
tipe ceritera yang tidak terbatas.
Hal
ini khususnya berlaku untuk legenda-legenda setempat. Setiap kampung mungkin
mempunyai legenda tentang asal-usul berbagai tempat yang ada di wilayahnya dan
karena itu kalau dikumpul-kumpulkan, jumlahnya bisa sangat banyak.
Kata
folklor merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris folklore. Kata folklore
sendiri terdiri dari dua kata yakni folk dan lore. Folk berarti kolektivitas
atau sekumpulan orang yang memiliki ciri-ciri pengenal yang sama baik dari segi
fisik (ras) maupun kebudayaan (etnik).
Sedangkan
lore adalah tradisi yakni sebagian kebudayaan yang diwariskan turun temurun
secara lisan. Berdasarkan penjelasan tersebut, folklor adalah sebagian
kebudayaan satu kolektivitas atau masyarakat yang diwariskan turun temurun
dalam bentuk apa saja baik secara lisan maupun dalam bentuk gerak-gerak seperti
tari-tarian.
Adapun
ciri-ciri folklor adalah sebagai berikut:
Penyebaran
dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan melalui tutur kata dari mulut
ke mulut. Tetapi dewasa ini sudah banyak legenda atau bentuk folklor lain
seperti mite dan dongeng yang ditulis dalam bentuk buku.
Bersifat
tradisional karena disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap di antara
anggota-anggota masyarakat.
Folklor
biasa tersebar dalam versi yang berbeda-beda karena penyebarannya dilakukan
secara lisan yakni dari mulut ke mulut. Itulah sebabnya bisa terjadi tema
cerita bisa satu dan sama tetapi versinya bisa berbeda-beda.
Peristiwa itu terjadi kira-kira jam 10.00 atau 11.00 pagi ketika
kami semua masih berada di dalam kelas. Tiba-tiba langit menjadi mendung dan
gelap tetapi tidak ada hujan. Karena hari semakin gelap, maka guru-guru
memulangkan kami ke rumah masing-masing.
Setiba
di rumah situasi menjadi malam gelap dan tinggal saja di dalam rumah. Pada
waktu tidak ada orang yang bisa menjelaskan apa yang terjadi sehingga kami
tinggal dalam kecemasan dan ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi.
Ada
seorang kakak yang coba menjelaskan bahwa itu adalah gerhana matahari, tetapi
tidak ada yang paham apa artinya gerhana matahari. Satu-satunya interpretasi
yang bisa diterima akal sehat waktu itu adalah bahwa dunia akan kiamat.
Karena
dunia akan kiamat, maka banyak orang yang menangis dan membunuh beberapa hewan
untuk makan perpisahan. Setelah tinggal dalam kegelapan dan ketidak pastian,
tiba-tiba dunia menjadi terang kembali sekitar jam tiga sore. Pada waktu keluar
rumah, kami melihat pohon-pohon dan tanah dipenuhi dengan abu yang berasal dari
gunung api.
Kisah
itu menunjukkan bahwa betapa susahnya kalau orang tidak bisa menjelaskan sebuah
peristiwa atau kejadian yang tengah dialami.
Dalam
masyarakat sederhana, orang menggunakan bermacam-macam cara untuk menjelaskan
sesuatu (gempa bumi, misalnya) agar sesuatu (gempa bumi itu) bisa dipahami atau
intelligible sehingga mereka bisa hidup di dalam keseimbangan.
Dalam tahap teologis yakni salah tahap dari tahap-tahap
perkembangan intelektual manusia menurut Auguste Comte (1798-1853), manusia
menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya secara teologis atau
mengaitkannya dengan kekuatan dewa-dewi atau theos (tuhan). Misalnya, gempa
bumi ditafsirkan atau dijelaskan sebagai cara dewa mencaritahu entah di bumi
masih ada manusia atau tidak. Karena itu, apabila gempa bumi terjadi, maka
orang-orang berteriak: “Kami ada, kami ada!”.
Pada
umumnya setelah berteriak demikian, gempa bumi berhenti karena memang gempa
bumi biasanya tidak berlangsung lama. Dengan begitu keyakinan mereka diperkuat
atau diteguhkan bahwa melalui gempa bumi dewa-dewi mencari tahu apakah di bumi
masih ada penduduk atau tidak.
Akibatnya,
orang-orang itu tetap hidup dalam keseimbangan dan tidak merasa tertekan atau
gelisah karena persoalan gempa bumi bisa dijelaskan. Hal yang sama bisa
dikatakan tentang petir, hujan lebat, letusan gunung, dan lain-lain.
Masyarakat
sederhana mempunyai cara tersendiri untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam
yang luar biasa itu sehingga intelligible atu bisa dipahami.
Kebutuhan
akan penjelasan terhadap sesuatu yang sulit dipahami adalah sangat penting agar
orang bisa hidup secara normal dan tidak hidup dalam keadaan gelisah atau
tertekan. Itulah sebabnya kalau ada fenomena-fenomena alam atau
kejadian-kejadian luar biasa, masyarakat berusaha menjelaskannya dengan
bermacam-macam cara antara lain dengan menciptakan ceritera-ceritera dalam
bentuk mite atau legenda.
Mite
atau legenda adalah cara atau instrumen yang digunakan oleh masyarakat untuk
memaknai fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya agar bisa dipahami atau
inteligigble.
Masalah
pemaknaan adalah sangat penting dalam kehidupan manusia dan merupakan satu tema
yang menarik dalam teori interaksionisme simbolik. Bahkan menurut teori
interaksionisme simbolik, hal yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi
adalah kemampuannya untuk memberikan makna terhadap interaksi yang dilakukannya
terhadap orang-orang lain.
Tanpa
kemampuan memberikan makna kepada apa yang terjadi di sekitarnya, manusia tidak
lebih baik dari hewan karena hewan pada umumnya melakukan interaksi dengan
melewati dua tahap saja yaki aksi dan reaksi tanpa melibat pikiran atau
pemaknaan. Sebaliknya seturut interaksionisme simbolik, dalam berinteraksi
manusia umumnya melewati tiga tahap yakni aksi-interpretasi dan tanggapan atau
response.
Salah
satu cabang dari teori interaksionisme simbolik adalah ethnometodologi. Menurut
Harold Garfinkel, pencetus teori ethnometodologi, masyarakat mempunyai cara
tersendiri untuk memaknai kehidupanya yang sehari-hari.
Hal yang sama berlaku untuk dongeng.
Jika dibandingkan dengan legenda, dongeng juga
bersifat terbatas. Alasannya adalah karena kebanyakan dongeng tetap
sama dan hampir tidak ada dongeng yang baru.
Dongeng yang
sama diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sedangkan di
dalam legenda bisa tercipta legenda baru apabila ada tempat, kejadian, tokoh
baru yang dianggap oleh masyarakat atau kelompok patut diabadikan di dalam
legenda.
Legenda
dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok yakni legenda keagamaan, legenda
alam gaib, legenda perorangan, dan legenda setempat. Uraian terperinci dari
masing-masing legenda adalah berikut ini.
Legenda
Keagamaan adalah kisah-kisah mengenai orang-orang suci atau orang-orang Kudus.
Misalnya legenda tentang St. Theresia dari Avila. Seturut legenda itu, tidak
ada waktu yang tidak digunakan oleh Theresia untuk berdoa, Bahkan ketika di
toilet iapun berdoa. Karena itu setan menggoda Theresia dari Avila: “Ah
Theresia, terlalu engkau! Mana bisa di toilet pun engkau berdoa”. Lalu Theresia
menjawab: “Tidak apa-apa setan! Yang keluar dari mulut untuk Tuhan Allah,
sedangkan yang keluar di belakang itu untuk engkau”.
Di
dalam agama Islam juga ada banyak legenda tentang orang-orang suci.
Legenda
Alam Gaib adalah kisah-kisahnya yang biasa dianggap pernah terjadi dan
benar-benar dialami oleh seseorang.
Tujuan dari legenda seperti ini adalah meneguhkan kepercayaan
akan suatu tahyul atau kepercayaan-kepercayaan yang telah dihidupi oleh warga
masyarakat. Hal-hal yang termasuk ke dalam legenda alam gaib adalah kisah
tentang makhluk gaib, hantu, siluman, gejala alam, dan tempat gaib. Contoh:
Legenda tentang danau Kelimutu di Kabubapten Ende.
Legenda
perorangan adalah kisah mengenai tokoh tertentu yang oleh empunya cerita
(pencerita) benar-benar terjadi. Contoh dari gende perorangan dalam konteks
masyarakat Manggarai adalah kisah tentang si Pondik,
seorang licik dan cerdas.
Dia
banyak kali mengibuli raja atau orang-orang lain dan bahkan teman-temannya.
Legenda setempat adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan nama satu tempat.
Contoh dari Legenda ini adalah nama sebuah tempat di kampung Ngalo — Kolang
yang bernama Molot Molah. Molot berarti terbenam atau tenggelam, sedangkan
molah berarti gadis. Legenda itu berceritera tentang dua sejoli yang sepakat
bertemu untuk “rono”.
Rono
adalah model berpacaran orang Manggarai tempoe
doeloe di mana sang gadis bertemu dengan pemuda pujaan hatinya pada tempat yang
dijanjikan dan mencuci/rono rambut pemuda itu dan sebagai imbalannya pemuda
memberikan oleh-oleh kepada si gadis.
Kebetulan
kedua sejoli itu sepakat bertemu di suatu tempat dekat rawa-rawa. Perhatian
gadis itu terpusat pada si pemuda yang sedang menunggu sehingga dia tidak sadar
bahwa dia melewati rawa-rawa dan ketika berjalan di atasnya, kakinya terbenam
di dalam rawa-rawa.
Dia
berteriak-teriak minta tolong, tetapi tidak bisa tertolong dan akhirnya
tenggelam di dalam lumpur rawa-rawa itu. Karena itu, tempat tersebut dinamakan
Molot Molah yang berarti gadis tenggelam.
Tentu
saja pembagian ceritera rakyat ke dalam tiga kategori yakni mite, dongeng,
dan legenda merupakan tipe-tpe yang ideal. Dalam kenyataannya, ada
ceritera-ceritera yang tidak bisa dimasukkan ke dalam ketiga kategori tersebut
di atas sebagaimana nampak di dalam kategori terdahulu yang membagi ceritera
rakyat atas ceritera tentang tokoh-tokoh tertentu, epos, fabel, legende, dan
mite.
Bagaimana
menginterpretasi ceritera rakyat yang terdiri dari mite, dongeng,
dan legende?
Penulis
teringat akan sebuah pengalaman ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Pada tahun 1969 terjadi letusan Gunung Ia di Ende. Abu hasil letusan gunung itu
sampai ke Manggarai Barat.
Secara harafiah ethnometdologi berarti metode orang awam dalam
membangun dunia sosialnya. “Ethnomethodology proposes to investigate how people
(members of society) construct their world”.
Para
pendukung teori ini berpendapat bahwa bukan cuma para ilmuan atau ahli yang bisa
memberi arti pada apa yang terjadi di dalam masyarakat atau fenomena sosial
yang ada di dalam masyarakat, tetapi juga anggota masyarakat biasa bisa
memberikan arti kepada dunia sosialnya.
Dalam
pandangan teori ini, masyarakat sendiri dapat memaknai dunia sosialnya dengan
bermacam-macam cara termasuk dengan ceritera-ceritera rakyat yang mereka
ciptakan.
Oleh
sebab itu mite, legenda, dongeng, atau bentuk-bentuk folklor lainnya
merupakan cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk memaknai dunianya
termasuk fenomena-fenomena alam yang tidak biasa agar bisa dipahami atau
inteligible dan anggota masyarakat bisa hidup secara normal atau hidup di dalam
keseimbangan.
*****
Mengapa
ada Ensiklopedi Manggarai? Ensiklopedi Manggarai pada
dasarnya disusun untuk mendokumentasikan karya anak-anak Manggarai yang
tersebar di seantero jagad tentang Manggarai dan
karya para misionaris terdahulu terutama yang berasal dari Pater Jilis A.J.
Verheijen, SVD khususnya karya-karya yang termuat dalam Manggarai Texts
yang belum sempat dipublikasikan.
Sebagai dokumentasi, ensiklopedi ini
tentu mengandung banyak kekurangan yang boleh disempurnakan oleh generasi
berikutnya. Karena itu langkah pertama yang diambil adalah mengumpulkan
bahan-bahan yang tercecer di mana-mana dan menerbitkannya dalam bentuk
buku-buku sehingga bisa digunakan oleh orang-orang berikutnya untuk studi-studi
lebih lanjut dan penggunaan-penggunaan lainnya.
Sayang
sekali, misalnya, kalau karya-karya dari Pater Jilis A.J. Verheijen, SVD yang
belum diterbitkan hilang begitu saja.
Langkah
berikut yang bisa dipikirkan adalah bagaimana menggunakan bahan-bahan yang ada
di dalam Ensiklopedi ini supaya digunakan sebagai
bahan dasar untuk menyusun bahan pelajaran yang bermuatan pendidikan kearifan
setempat untuk tingkat SD, SMP, dan SMA di Manggarai.
Ensiklopedi ini
menyiapkan bahan-bahan dasar yang cukup luas untuk menyusun kurikulum berkaitan
dengan kearifan setempat. Diharapkan bahwa pendidikan yang memperhatikan
kearifan setempat akan mampu menciptakan keberakaran di dalam hidup.
Kami
percaya bahwa kemajuan yang dibangun di atas dasar tradisi yang berakar akan
kokoh kuat sebagaimana telah ditunjukkan oleh bangsa Cina dan Jepang atau
Korrea Selatan yang selain maju tetapi juga tetap kuat mempertahankan
tradisinya. Mudah-mudahan Ensiklopedi ini
berkontribusi dalam menciptakan keberakaran sebagai orang-orang Manggarai di
tengah gempuran arus globalisasi yang tak terbendung.
Ensiklopedi Manggarai ini
terdiri dari 10 jilid dan masing-masing jilid memiliki judul. Judul-judul
tersebut tidak punya kaitan langsung dengan entri dalam jilid bersangkutan.
Sebaliknya
judul-judul itu mengungkapkan harapan dan doa setiap orang Manggarai.
Adapun pesan-pesan yang terkandung di balik judul-judul itu adalah sebagai
berikut;
1. Amé Rinding Mané —
Iné Rinding Wié: Secara harafiah ungkapan ini berarti bapa yang menjadi
penjaga waktu senja dan ibu yang menjadi pelindung waktu malam. Tetapi ungkapan
ini sesungguhnya disematkan untuk Wujud Tertinggi atau Tuhan sebagai Pelindung
siang dan malam.
Ungkapan yang sama juga bisa digunakan untuk menyebut anak rona atau anak rona ulu karena menurut orang Manggarai anak rona atau anak rona ulu dipercayai sebagai Tuhan Allah yang kelihatan. Anak rona atau anak rona ulu dianggap sebagai Tuhan yang kelihatan karena mereka adalah pemberi kehidupan atau sumber ketutunan bagi suami-isteri.
Kalau sepasang suami-isteri tidak memiliki keturunan atau anak,
maka dibuatlah ritus yang disebut kaér ulu waé yang bertujuan meminta kepada
anak rona atau anak rona ulu untuk memberikan air kehidupan/keturunan kepada
suami-isteri yang tidak punya anak itu.
2. Lalong Bakok Du Lakon
- Lalong Rombéng Du Kolén: Lalong bakok berarti ayam jantan yang berwarna putih.
Sedangkan lalong rombéng berarti ayam jantan yang berwarna-warni (wulu telu -
tiga warna) seperti merah, hitam, dan putih. Istilah ini dikenakan untuk anak
yang pergi sekolah atau pergi merantau untuk mencari rejeki.
Waktu
berangkat (du lakon) dia tidak memiliki apa-apa seperti pengetahuan dan
pengalaman yang dianalogikan dengan ayam putih. Diharapkan waktu kembali (du
kolen) dia membawa banyak pengetahuan, banyak pengalaman, banyak kekayaan atau
rejeki yang diibaratkan dengan ayam jantan yang berwarna banyak (lalong
rombéng).
3. Mboas Waé Woang -
Kémbus Waé Téku: Woang adalah sejenis tumbuhan yang batangnya berair dan
kalau batang woang itu direndam di dalam air panas maka air itu bisa digunakan
sebagai obat untuk berbagai penyakit dalam.
Tanaman
woang biasanya tumbuh di tanah yang subur dan basah seperti di mata air. Tetapi
kata woang sebetulnya berasal dari kata worang yang berarti menyiram. Mboas
berarti meluap, sedangkan wae berarti air atau sungai.
Mboas
wae woang berarti meluap-luaplah air yang digunakan untuk menyiram tanaman
woang. Sementara itu kémbus waé téku berarti air yang ditimba berlimpah atau
tumpah ruah. Kedua istilah ini lasimnya digunakan sebagai doa atau harapan agar
kehidupan seseorang memiliki rejeki yang berlimpah sama seperti sumber mata air
yang tidak pernah berhenti mengalir di dalam kehidupan.
4. Wake Celer Ngger Wan — Saung Bembang Ngger Ĕtan: Wake celer ngger
wan, saung bembang ngger étan berarti akar tunggang yang masuk jauh ke dalam
tanah sehingga kokoh dan tidak tergoyahkan.
Sedangkan
saung bémbang ngger étan berarti daun rimbun yang bertumbuh ke atas dan yang
memberi perlindungan kepada manusia atau makhluk lain yang bernaung di
bawahnya. Istilah ini digunakan sebagai doa atau harapan agar kehidupan
seseorang berakar kuat dan tidak goyah serta berkembang dan berguna bagi
kehidupan diri sendiri dan orang-orang lain.
5. Kimpur Néhu Kiwung -
Cimar Néhu Rimang: Kiwung adalah batang enau yang sudah tua dan sangat keras.
Kimpur néhu kiwung brarti tebal dan keras seperti batang enau yang sudah tua.
Rimang
berarti tulang lidi ijuk enau. Cimar néhu rimang berarti keras seperti tulang
lidi ijuk dari pohon enau yang belum disadap. Guna menekankan kerasnya kiwung
dan rimang, maka di wilayah Kolang ungkapan dilengkapi dengan kiwung lopo dan
rimang rana sehingga menjadi kimpur néhu kiwung cama kiwung lopo dan cimar nehu
rimang cama rimang rana.
Istilah
lasimnya digunakan sebagai doa dan harapan agar kehidupan seseorang kokoh,
kuat, tegar, teguh, sehat jiwa dan raga serta bertahan dan tidak tergoyahkan
dalam menghadapi kesulitan atau tantangan di dalam hidup.
6. Kete Api One — Tela
Galang Peang: Keté api oné berarti api di dalam rumah tetap hidup dan
menyala. Sedangkan téla galang péang berarti palungan (wadah tempat makanan
babi) di luar rumah selalu terbuka.
Istilah
ini digunakan sebagai harapan atau doa agar usaha atau pekerjaan seseorang
mendatangkan hasil yang berkecukupan dan hewan piaraan berkembang pesat atau
tidak kena musibah. Hidup diharapkan untuk selalu sehat, makmur, dan sejahtera.
7. Wiko Le Ulun — Jengok
Lau Wain: Wiko adalah sejenis tumbuhan yang memberikan keksejukan
atau kesegaran. Lé ulun berarti di mata air. Sementara itu jéngok atau kaliraga
adalah sejenis tumbuhan yang bertumbuh subur di sekitar aliran sungai atau
rawa-rawa.
Tumbuhan ini sering digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit dalam. Istilah ini biasanya dikenakan pada iné-amé atau anak rona yang berfungsi melindungi dan menjaga kehidupan anak-anak dan cucu-cecenya serta menjadi sumber aneka rejeki kehidupan.
8. Uwa Haeng Wulang — Langkas Haeng Ntala: Uwa haéng wulang
berarti bertumbuh hingga menyentuh bulan. Sedangkan langkah haéng ntala berarti
menjulang tinggi sampai menyentuh bantang di langit.
Istilah
sering kali digunakan sebagai nasehat untuk anak-anak atau cucu-cucu agar
mereka dapat meraih cita-cita setinggi-tingginya dan mendatangkan hasil yang
berguna bagi dirinya dan bagi orang-orang lain.
9. Néka Oké Kuni Agu
Kalo: Kuni
adalah tali pusat dan placenta yang dalam Bahasa Inggris disebut umbilical cord
atau afterbirth. Kuni agu kalo adalah dua istilah yang berasal dari ritus
kelahiran orang Manggarai. Apa yang terjadi pada waktu
kelahiran?
Di
beberapa tempat, setelah seorang anak dilahirkan tali pusat dan placenta (Kaé -
kakak) dibungkus dengan pelepah pinang (lungkung) dan digantung pada batang aur
(gurung) yang dipancan di belakang rumah. Di samping batang aur ditanam pohon
dadap (kalo).
Aur
adalah lambang kematian karena pada masa lalu orang menggunakan aur untuk
menggotong jenasah ke pemakaman dan digunakan untuk menggali kubur. Sementara
itu dadap (kalo) adalah lambang kehidupan karena pohon dadap gampang hidup.
Karena itu sejak kelahirannya, seorang Manggarai tahu
bahwa pada satu waktu anak yang dilahirkan akan mati.
Selanjutnya tali pusat dan placenta (umbilical cord) yang digantung pada aur dipercayai sebagai kakak (Kaé) dari bayi yang baru dilahirkan. Sebagaimana kakak dalam mitologi tentang asal mula kehidupan menurut orang Manggarai berkorban (dicincang) supaya adik bisa hidup, demikian juga Kaé (placenta dan tali pusat) berkorban supaya adik bisa hidup.
Karena itu hubungannya antara keduanya sangat erat. Apabila Kaé
(tali pusat dan placenta) digigit semut maka adiknya yang ada di dalam rumah
(bayi) pasti menangis. Itu makanya Kaé (tali pusat dan placenta) itu selalu
disiram dengan air panas. Kesimpulan dari semua ini adalah bahwa setiap orang
yang dilahirkan pasti memiliki Kae dan Kae itu tergantung di belakang rumah
atau dikuburkan.
Neka
oké kuni agu kalo berarti jangan lupa kakak-mu (tali pusat dan placenta) di
kampung halaman yang selalu menantikan engkau kembali. Ingatlah bahwa dia telah
berkorban supaya engkau hidup. Kuni agu kalo ini kemudian diasosiasikan dengan
homeland — tanah tumpah darah. Neka oke kuni agu kalo berarti jangan melupakan
tanah tumpah darahmu.
10. Uwa Gula Bok Leso: Uwa dan bok memiliki
arti yang sama yakni bertumbuh. Uwa gula bok leso atau dalam dialek Kolang uwa
gula bok loho berarti bertumbuh subur dan berkembang segar.
Istilah
ini digunakan sebagai doa atau harapan untuk anak-anak atau orang-orang dewasa
dalam berbagai ritual adat seperti upacara cear cumpe, ritual potong gigi, atau
upacara perkawinan. Di dalam doa ini diharapkan seseorang bisa hidup sehat dan
sejahtera secara rohani dan jasmani.
Sebagai
kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa judul-judul masing-masing Ensiklopedi tidak
mencerminkan isi dari masing-masing buku.
Judul-judul
ini diambil dari doa dan harapan orang-orang Manggarai untuk
memperoleh kesehatan, kesuburan, kesejahteraan rohani dan jasmani, keberhasilan
dalam hidup, dan kebahagiaan. Mudah-mudahan beberapa catatan pengantar ini
berguna bagi para pembaca untuk menjelajahi isi Ensiklopedi ini.
Daftar Pustaka
Abercombie,
Nicholas et. el. Dictionary of Sociology. London: Penguinbook, 1984.
Badudu. S. dan Sutan Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Danandjaya, James. Folklore Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng,
dan lain-lain. Jakarta:
Grafiti Pers, 1984.
Erb, Maribeth. The Manggaraians A Guide to Traditonal Life Style. Singapore:
Times
Edition Pre.Ltd., 1999.
Hynson, Helen (editor). The American Peoples Encyclopedia. New York: Grolier
Incorporated, 1968.
Luruk, Klaudius Heronimus. “Penggunaan Ceritera Rakyat dalam Katekese Umat di
Manggarai “.
Skripsi Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2019.
Raho, Bernard. Sosiologi, cet. 5. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.
-----------------. Sosiologi Agama. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019
-----------------. Teori Sosiologi Modern. Maumere: Penerbit Ledalero, 2020.
Ritzer, George. Contemporary Sociological Theory. New York: Mcgraw-Hill
Publishing
Company, 1988.
Setiawan, Boenjamin cs. Ensiklpedia Nasional Indonesia. Jakarta: PT Delta
Pamungkas, 2004.
Verheijen, Jilis A.J. Kamus Manggarai.
S. Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1967.
https://en.wikipedia.org/wiki/Folklore_of_Indonesia#List_of_Indonesian_folklore,
diakses 4 Maret 2019
www.manusialembah.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2021. Hekong, Kletus,
Diskusi 21 Juni 2023. ***