‘Randang Uma Rana’ Ritual Membuka Lahan Baru
JUMAT, 21 Nopember 2014 lalu boleh dibilang merupakan hari paling bersejarah bagi Komunitas Adat Kampung Rangat, Desa Wae Lolos, Kecamatan Mbeliling Kabupaten Manggarai Barat. Ratusan warga berkumpul dalam suasana penuh kebersamaan dan persaudaraan. Selama dua hari mereka melaksanakan serangkaian ritual adat yang mereka sebut randang uma rana atau upacara pembukaan kebun baru di atas lingko atau tanah komunal masyarakat adat.
Sejak pagi ratusan warga telah berkumpul. Mereka menyiapkan berbagai perlengkapan ritual adat, peralatan tanam, serta bahan makanan. Tepat pukul 15.00 Wita warga bergerak menuju Lingko Randang yang berjarak sekitar 400 meter dari kampung. Lahan seluas 10 hektar tersebut terletak di atas gugusan perbukitan, berbatasan langsung dengan Hutan Mbeliling, sebuah kawasan hutan lindung terluas di Manggarai Barat.
Penulis beruntung karena berkesempatan mengikuti ritual adat yang penuh makna dan unik ini. Suasana ceria membaluti wajah penduduk kampung. Mereka terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Di puncak bukit sebuah compang (altar persembahan) telah dibangun. Demikian pula sebuah lodok (pusat pembagian tanah) sudah pula disiapkan. Bapak Anton, tetua adat yang dipercaya untuk memimpin ritual meminta warga untuk berdiri melingkar mengelilingi compang dan lodok. Beberapa saat kemudian, acara adat pun dilangsungkan.
Acara adat berjalan dalam beberapa babak. Dimulai dari lodok yang berjarak kurang dari satu meter dari compang. Warga kemudian duduk melingkar, sementara pemimpin upacara adat terus melafalkan doa-doa memohon berkat dan rahmat dari penguasa bumi dan langit demi kelancaran seluruh acara. Suasana tampak khusuk. Semua orang terdiam sejenak. Doa-doa permohonan dan harapan serta berkat perlindungan serta limpahan hasil panen yang memuaskan bagi penduduk kampung terus dilantunkan oleh sang pemimpin ritual. Acara dilanjutkan dengan penyembelihan seekor ayam jantan. Usai didoakan, ayam itu disembelih dan darah ayam tersebut diteteskan pada landuk atau tiang lodok serta tiga batu ceper yang terletak di bawah kaki lodok.
Usai ritual lodok, upacara adat dilakukan pada compang yang merupakan puncak dan pusat seluruh rangkaian kegiatan ritual. Di compang dilakukan upacara adat paki kaba atau acara penyembelihan seekor kerbau sebagai lambang pemersatu seluruh warga. Sekaligus persembahan bagi penguasa alam, langit dan bumi. Kerbau jantan diikat pada sebatang pohon. Penyembelian dilakukan oleh seorang tetua adat lainnya, diiringi doa. Leher kerbau digorok menggunakan parang hingga mengeluarkan darah segar. Darah kerbau ditampung dalam sebuah ember. Kemudian darah kerbau diteteskan pada mesbah compang dan lodok sebagai tanda materai sekaligus bukti bakti dan kesetiaan penduduk kampung terhadap Sang Maha Pencipta.
Darah kerbau diteteskan di atas batu compang dan landuk atau kayu utama lodok berbentuk runcing. Ini sebagai simbol kebenaran atas segala ucapan yang telah dilakukan dalam proses ritual adat serta memohon berkat dan perlindungan agar segala usaha penduduk kampung mendatangkan hasil yang berlimpah.
Simbol, Struktur, dan Komunikasi
Di tengah-tengah lodok dan compang, masing-masing didirikan tiang berupa bambu atau kayu yang dihiasi asesoris berupa daun kelapa. Di atas bambu atau kayu dibuatkan bale-bale kecil sebagai tempat penyimpanan bahan persembahan. Kedua tiang utama tersebut adalah simbol penguasa alam, langit, dan bumi. Selain kedua tiang utama, ada pula lance witu atau kayu runcing yang ditancap mengintari lodok dan compang. Lance Witu melambangkan struktur adat sekaligus sebagai simbol komunikasi dan relasi sosial antara pemimpin dengan yang dipimpin, serta antara pemimpin dengan para pembantu-pembatunya.
“Semua ritual dan alat perlengkapan memiliki makna yang mendalam. Jadi, bukan sekedar simbol semata,”jelas Anton. Lodok dan compang serta berbagai alat kelengkapan merupakan simbol komunikasi dan jalinnan interaksi sosial dalam kehidupan bersama. Karena itu segala persoalan entah berkaitan dengan tanah atau pun kehidupan sosial lainnya mesti diselesaikan sesuai tata aturan adat istiadat yang berlaku.
Tetua adat Anton menjelaskan, bahwa jika ada masalah maka warga melaporkan kepada struktur adat yang ada seperti tua-tua mukang, tua-tua batu untuk diselesaikan secara damai. Namun jika masalah itu belum dapat diselesaikan maka bisa disampaikan kepada pemimpin tertinggi agar diselesaikan secara paripurna. Lebih lanjut Tetua Adat Anton menguraikan, dalam ritual adat randang uma rana dibutuhkan beberapa unsur pelengkap seperti daun pisang, siri pinang, beras dan lilin. Daun pisang digunakan sebagai wadah peyimpan sesajian, siri pinang sebagai simbol ikatan adat yang biasa digunakan dalam setiap urusan adat dan beras sebagai pangan untuk memberi makan bagi roh-roh alam.
Anton berkisah pula bahwa roh-roh halus penguasa alam patut diberi makan dan diajak untuk bersama-sama berjuang dan berusaha agar bumi dapat memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya dia menjelaskan pula bahwa jarak antara setiap lance yang satu dengan yang lainnya harus sama sebagai simbol keadilan dan kesetaraan. Sedangkan pada compang, biasanya didirikan beberapa batu berbentuk lancip disesuaikan dengan jumlah klan atau suku di kampung tersebut. Di atas mesbah compang berdiri tegak sebuah tiang batu sebagai simbol wujud tertinggi.
Pacek Pepak
Usai ritus adat randang uma rana, dilanjutkan dengan kegiatan pacek pepak. Pacek pepak adalah cara dan alat tanam tradisional yang biasa dilakukan saat menanam secara bergotong royong. Pacek pepak adalah peralatan tradisional terbuat dari bambu dan kayu yang dilengkapi dengan tofa. Bambu dilubangi dan dibelah. Pada ujung paling bawah dipasangi tofa untuk menggali lubang pada tanah. Biasanya, menanam secara tradisional dengan alat tanam pacek pepak dilakukan secara bergotong royong dalam suasana penuh suka cita dan damai.
Kegiatan pacek pepak dilakukan secara bersama-sama dalam satu irama gerakan. Pada saat pacek menyentuh tanah seketika mengeluarkan bebunyian yang menyentakkan hati. Bunyi-bunyian dari batang-batang bambu itu sungguh mengasyikan layaknya orkestra yang mengalun syahdu. Menurut penuturan Bertolomeus Agus, Tetua Adat Rangat, bunyi bambu bermakna selain sebagai hiburan sekaligus untuk mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman. Pacek pepak biasa dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan bertugas menaburkan benih tanaman ke dalam lubang tanah.
Acara pacek pepak biasanya berjalan sangat meriah karena diiringi dengan nyanyian khas oleh kaum perempuan dan laki-laki. Mereka saling berbalas pantun melalui bahasa-bahasa kiasan. Pantun berisikan sindiran, ajakan atau rayuan gombal. Dengan menyanyi dapat menghilangkan rasa capek sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Lahan yang luas bisa segera selesai ditanami berkat kebersamaan.
Kegiatan pacek pepak dapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya bila lahan belum selesai ditanami. Bila telah selesai ditanami maka seluruh warga kampung akan kembali berkumpul pada malam hari guna merayakan seluruh rangkaian aktivitas yang telah mereka lalui. Berbagai atraksi budaya dipentaskan seperti sanda, mbata, danding, landu atau tarian dan kesenian adat lainnya dalam nuansa kebersamaan dan persaudaraan sejati. (*)
Ritual Adat
Menghidupkan Kembali Ritual yang Hilang
Penulis : Kornelius Rahalaka
Editor: EC. Pudjiachirusanto
Sumber:
http://www.floresbangkit.com/2015/04/menghidupkan-kembali-ritual-yang-hilang/
Zaman yang terus bergerak telah menggerus kebiasaan lama. Sebuah komunitas budaya di Manggarai Barat berusaha menghidupkan kembali ritual-ritual yang telah hilang. Mereka berharap generasi muda dapat mengapresiasi sekaligus menyiapkan sajian bagi wisatawan.
Sudah menjadi tradisi warisan turun temurun, ritus adat Randang Uma atau upacara adat pembukaan kebun baru yang bersifat lingko rana,tanah kolektif, dilakukan oleh warga Manggarai. Namun, karena perkembangan zaman perlahan-lahan tradisi unik itu mulai ditinggalkan.
Dahulu warga pasti patuh menjalani ritual Randang Uma tiap mereka berniat membuka kebun baru yang bakal dimanfaatkan secara kolektif atau lingko rana. Namun kebiasaan itu kini telah tergerus roda jaman.
Tradisi randang atau waes dengan segala ritualnya, kini hampir tidak pernah dibuat lagi. Demikian pula dengan peralatan tanam tradisional seperti pacek pepak juga mulai sulit dijumpai. Padahal, tradisi randang atau waes dan pacek pepak memiliki makna filosofis dan magis-spiritual yang bernilai tinggi.
Bernadus Barat Daya, seorang tokoh asal komunitas adat Kampung Rangat, Desa Wae Lolos, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat prihatin melihat gejala itu.
Pria yang biasa dipanggil Dus Barat ini menduga ritual itu menghilang lantaran beberapa sebab. Pertama, cara bertani dengan kebiasaan membuka kebun secara berpindah-pindah telah berubah menjadi berkebun tetap pada lahan milik pribadi atau individu. Kedua, banyak komunitas adat atau suku-suku di kampung-kampung tidak lagi memiliki persediaan tanah komunal atau tanah milik persekutuan adat. Di mana hampir semua tanah bekas lingko telah beralih status menjadi tanah milik individu sehingga pembagian tanah dalam bentuk lodok tidak dapat di lakukan lagi.
Ketiga, masyarakat yang hidup saat ini rata-rata adalah generasi berusia 60 tahun ke bawah sehingga banyak tradisi lama tidak dikenali dengan baik. Keempat, terbatasnya jumlah warga yang mengenal tradisi lama seperti haeng tae repeng pede yang telah ada sebelumnya.
Selain itu intervensi institusi dari luar seperti agama, secara sistematis telah menghilangkan jejak-jejak adat. Ritual adat di Compang misalnya, yang dahulu kala biasa dilakukan oleh masyarakat adat, perlahan-lahan diganti dengan simbol agama seperti salib. Alhasil, masyarakat adat enggan melaksanakan ritual adat lagi.
“Karena itu dibutuhkan kesadaran kolektif untuk menghadirkan kembali nilai-nilai kearifan lokal dengan saling menghargai otorita institusi masing-masing baik institusi agama maupun institusi masyarakat adat,”sarannya.
Kesadaran itu perlu dibangun dan kini sudah mulai dihidupkan kembali oleh komunitas adat Kampung Rangat, Desa Wae Lolos Kecamatan Mbeliling Kabupaten Manggarai Barat. Mereka berniat zaman lampau, memperkenalkan tradisi yang telah hilang. Tak cuma itu, kegiatan itu juga untuk mendokumentasikan sejumlah ritual budaya atau tradisi untuk keperluan pariwisata di masa depan. Dengan upaya itu generasi muda diharapkan bakal mengapresiasi. menghormati dan menghayati nilai-nilai budaya masa lampau.
Mesti Tetap Dibuat
Meskipun zaman terus berubah demikian pula tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal kian tergerus namun sebagai satu kesatuan komunitas, masyarakat adat harus eksis dan terus menjalankan segala ritual adatnya secara konsisten. Tanah misalnya, boleh dibagi-bagi menjadi hal milik pribasi atau individu bahkan boleh berpindah hak kepemilikannya lantaran jual beli. Namun demikian semua ritual adat mesti tetap dijalankan oleh masyarakat adat.
Pendapat itu disampaikan oleh Romo Benny Jaya, Pr, seorang rohaniwan Katolik dalam suatu ritual adat yang digelar oleh sebuah komunitas adat beberapa waktu lalu.
“Meskipun tanah-tanah sudah dibagi menjadi hak pribadi tetapi segala ritual adat harus tetap dipertahankan. Karena dengan ritual adat dan adanya rumah budaya akan mampu mempersatukan dan menghidupkan sebuah komunitas adat,”ujarnya.Bagi Romo Benny, adanya rumah adat dengan ritual adat yang terus menerus dijalankan akan dapat mempertemukan dan mempersatukan seluruh masyarakat adat di suatu wilayah. Karena tanpa gendang (rumah adat) orang akan sulit bertemu dan berkumpul untuk merencanakan secara bersama-sama bagaimana membangun kampung atau menjalankan ritual-ritual adat yang diwariskan oleh nenek moyang dulu.
Tergerusnya kebudayaan lokal, hemat Romo Benny, tidak terlepas pula oleh adanya kepentingan politik. Komunitas masyarakat adat beserta struktur adat yang ada di kampung-kampung kerapkali dihadapkan pada situasi sulit lantaran diperalat untuk kepentingan politik jangka pendek dan fragmatis. Banyak masyarakat adat di kampung terpecah belah akibat adanya perbedaan pilihan politik atau pandangan politik tertentu. Meskipun demikian, menurut Romo Benny, segala persoalan akan dapat terselesaikan jika ada rumah budaya yang dapat mempersatukan semua perbedaan.
Penulis Kornelius Rahakala
Editor Donny Iswandono
Keti Kembung
Ketika Ruh Menyatu dengan Leluhur
Lewat ritual Keti Kembung, masyarakat Manggarai Barat meyakini orang yang telah mati akan memperoleh kehidupan di alam bakaSUASANA duka masih menyelimuti warga Kampung Nara, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Hari itu, merupakan hari ke-7 meninggalnya Yosef Stefen (33), seorang warga kampung. Sesuai tata adat Manggarai, hari tersebut adalah batas waktu terakhir relasi antara kita yang hidup di dunia ini dengan orang yang telah mati.
Melalui ritual adat keti kembung diyakini, orang yang telah mati akan memperoleh kehidupan di dunia alam baka dan mau menyatakan bahwa keadaan riil antara dunia orang mati dan dunia orang yang masih hidup sudah berbeda sehingga apa yang terjadi yakni kematian itu sendiri, tidak bakal terjadi pada orang yang masih mengembara di dunia ini.
Bagi masyarakat adat Manggarai pada umumnya dan warga Kempo khususnya, ritual adat keti kembung adalah upacara adat yang wajib dilakukan untuk seseorang yang meninggal dunia. Ritual keti kembung biasanya diadakan pada hari ketiga, kelima atau ketujuh setelah jenazah dikuburkan. Ketetapan waktu ritual adat ini disesuaikan dengan kesepakatan keluarga berduka atau kebiasaan pada masing-masing suku. Meskipun ada perbedaan waktu di beberapa suku, namun upacara yang satu ini tidak boleh dilupakan apalagi diabaikan begitu saja.
Karena, bagi orang Manggarai upacara keti kembung bukan sekedar simbol pemisahan hubungan semata antara orang hidup dengan orang mati tetapi sekaligus semacam suatu perjanjian abadi bahwa orang mati sudah masuk ke suatu situasi alam gaib atau dunia arwah, dunia yang sama sekali lain dengan dunia yang dihuni oleh orang-orang yang masih hidup. Pada umumnya, ritual adat tersebut dilakukan di luar kampung atau tepatnya di jalan utama menuju ke pemakaman umum.
Bulu Kuduk Merinding
Seperti dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Nara pada hari ketujuh kematian Yosef Stefen. Sore itu tepat pukul 17.00 Wita, sejumlah tetua adat keluar kampung melalui jalan utama menuju pemakaman umum, berjarak sekitar 250 meter. Para tetua adat lalu duduk bersimpuh di atas jalan yang sepi beralaskan daun pisang. Zakarias Satu (78) selaku pemimpin ritual adat keti kembung mulai mendaraskan doa-doa permohonan kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Beberapa saat kemudian, para arwah orang yang meninggal dunia dan semua arwah para leluhur disapa dan diundang untuk hadir bersama-sama mengikuti upacara adat.
Upacara adat teki kembung biasanya dilengkapi beberapa unsur berupa bahan makanan dan benda lainnya seperti daun pisang, beras berwarna hitam, putih dan kuning, telur rebus, kayu kole, sejenis pohon berdaun lancip, siri dan pinang, tembakau, benang berwarna merah, hitam dan putih sebagai simbol pembatas atau pagar batas hubungan antara orang hidup dan orang mati serta seekor ayam berwarna hitam.
Semua benda atau bahan tersebut memiliki pesan makna dan fungsinya masing-masing. Daun pisang sebagai tempat untuk menyimpan hidangan, beras dan telur ayam merupakan bahan makanan, siri pinang biasa disuguhkan kepada para tamu undangan dan lambang ikatan relasi social, kayu kole atau pohon pemali sebagai larangan adanya relasi antara orang hidup dan mereka yang sudah mati dan ayam hitam sebagai ‘meterai kekal’ pemisahan hubungan antara orang hidup dan orang mati.
Suasana sakral tampak terasa saat tua adat mendaraskan doa-doa permohonan dan pesan-pesan perpisahan akhir antara kita yang hidup dan mereka yang sudah mati. Suasana kian merindingkan bulu kuduk ketika memasuki detik-detik perpisahan yang ditandai dengan acara pemotongan ayam hitam. Ayam hitam digorok lehernya hingga darah muncrat dan membasahi wadah dedaunan yang tersedia. Sesudah itu ayam dibakar lalu dibawah ke pemimpin adat untuk dibagi-bagikan kepada para arwah leluhur serta orang yang meninggal itu seraya menyampaikan pesan-pesan perpisahan.
Ignasius Obat, salah seorang tetua adat mengaku upacara adat keti kembung merupakan puncak seluruh rangkaian ritual adat bagi orang yang meninggal dunia. Para tetua adat dan seluruh warga kampung menyakini bahwa arwah orang yang telah meninggal dunia tersebut saat ini tengah berdiam di tempat peristirahatannya yang kekal dan diyakini pula bahwa pada saat upacara adat itu dilakukan, orang yang telah meninggal itu sedang menangis sedih lantaran ia tidak mungkin bisa lagi berhubungan dengan orang-orang yang masih hidup.
Ritus adat keti kembung bagi masyarakat adat Manggarai merupakan upacara adat yang harus dijalankan oleh keluarga berduka maupun warga kampung. Karena dengan ritual ini, terjadi pemisahan hubungan antara kita yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal dunia. Meskipun demikian, bagi orang Manggarai, pemutusan hubungan tersebut bukan berarti sudah tidak ada hubungan sama sekali antara orang yang hidup dan orang yang telah mati. Karena orang Manggarai percaya, meskipun secara fisik berpisah tetapi jiwa orang-orang mati dipercaya masih tetap hidup di alam nyata. Makanya, orang Manggarai dalam setiap kesempatan upacara adat, senantiasa menjalankan acara teing hang (memberi makan/sesajian) kepada para leluhur di Compang atau di rumah-rumah adat.
Lambang Keikhlasan
Sebelum jenazah seorang dimakamkan sesuai adat Manggarai, didahului dengan salah satu ritual adat sebagai simbol pelepasan jenazah. Ritus adat itu dilakukan dengan mengormankan seekor ayam berwarna putih. Sebelum jenazah dibawa ke luar dari rumah tinggal atau tempat persemayaman, ritus adat itu dilakukan persis di depan pintu keluar.
Upacara ini sebagai simbol perpisahan antara keluarga berduka dan seluruh warga kampung dengan orang yang meninggal dunia. Sementara itu, ayam putih melambangkan keikhlasan, ketulusan dan kesucian hati keluarga dan warga untuk melepaskan orang yang mereka cintai itu pergi untuk selama-lamanya.
Menurut penuturan Saferius Sani, tetua adat lainnya, ayam putih sekaligus juga melambangkan penyucian diri baik bagi mereka yang masih hidup maupun orang yang telah meninggal dunia. Bagi orang yang masih hidup, ayam putih adalah simbol hidup suci lahir dan batin dalam perjalanan ziarah kehidupan di dunia nyata sedangkan bagi orang yang meninggal dunia agar kepergian dia ke pangkuan Ilahi, tidak membawa serta noda dosa atau masalah-masalah yang dapat membebani keluarga serta seluruh warga kampung dalam perjalanan hidup di dunia fana.
Bagi masyarakat Manggarai masih ada satu fase yang biasa dilalui terkait dengan upacara adat orang mati yakni ke’las atau kenduri. Upacara adat ini biasa dilakukan pada hari ke-40. Acara adat ke’las atau kenduri ini bermakna sama dengan keti kembung yakni upacara perpisahan atau melepas-pergikan orang yang sudah meninggal dunia untuk hidup sesuai dengan keadaaanya yang baru dengan harapan bahwa ia akan mengalami kebahagiaan di alam baka.
Namun, ritus adat ke’las biasa diadakan di rumah keluarga berduka dalam suasana penuh syukur disertai acara teing hang (memberi makan atau persembahan) yang biasa diadakan di Compang. Pada umumnya, ritual adat ke’las ini melibatkan keluarga besar terutama keluarga ata wina dan ata rona (pihak keluarga perempuan dan laki-laki) yang punya ikatan hubungan perkawinan. Ritual ke’las juga merupakan ajang silaturahmi antar anggota keluarga dan antar warga kampung demi mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Ritual adat ke’las atau kenduri dalam kenyataan kehidupan beragama khususnya Agama Katolik, biasa dipadukan atau diadopsi untuk inkulturasi ajaran Kristiani tentang kebangkitan dari alam maut dan kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke surga melalui perayaan Ekaristi sebagai pusat kehidupan keselamatan umat manusia. Biasanya pastor atau imam Gereja bertindak sebagai pemimpin ritual sesuai tata cara adat Gereja Katolik. (*)
Penulis : Kornelius Rahalaka
Editor: EC. Pudjiachirusanto