KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat tidak hanya usaha sadar, tetapi juga karena ada
banyak permintaan dari banyak kalangan, terutama kalangan generasi muda
yang merasa tertarik atas ceramah-ceramah saya (penulis) dalam beberapa
kesempatan.
Demi keberhasilan tulisan makalah ini, penulis tidak
hanya mengandalkan pengalaman sebagai orang Manggarai, tetapi juga
berusaha menghimpun data/informasi, membuat catatan-catatan seputar
kebudayaan Manggarai. Hal tersebut penulis lakukan sejak diperintahkan
membuat karya ilmiah (makalah) untuk memenuhi mata kuliah pendidikan
Pancasila tentang kebudayaan daerah masing-masing pada awal april 2013
sampai pada akhir Mei 2013. Ternyata catatan-catatan itu semakin
dipentingkan, dan untuk melengkapi data/informasi, penulis memwawancarai
lagi lewat telefon terhadap tua-tua adat di saya punya kampung Cibal,
Kab. Manggarai dan orang-orang yang dipandang tahu banyak hal-hal yang
penulis butuhkan seputar kebudayaan Manggarai. Data dan informasi ini
kemudian diolah menjadi paduh dan saling berhubungan antara yang satu
dengan yang lainnya sehingga membentuk sebuah tulisan yang baku dan
benar dan terbentuklah sebuah karangan ilmiah.
Penulis menyadari
kalau tulisan ini belum lengkap, karena memang sumber data dan informasi
kurang terlalu lengkap dan memang masalah kebudayaan itu sangat
kompleks. Yang dimuat sebagai contoh dalam makalah ini, hanyalah
beberapa contoh, tidak semuanya, namun penulis berprinsip “better
something then nothing” ( Lebih baik ada dari pada tidak ada )
Oleh karena itu, atas kepedulian pembaca untuk melengkapi tulisan maupun
isi dari makalah ini, penulis sangat harapkan, dan pada akhir kata
penulis mengucapkan terimah kasih sebanyak-banyaknya dan selamat
membaca.
Kupang, Mei 2013
Penulis,
Ignasius Joha
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Blakang Masalah ................................................................ 1
B. Perumusan Masala ....................................................................... 4
C. Tujuan .......................................................................................... 4
D. Landasan Teori ............................................................................ 5
D.1 Beberapa Pengertian Kebudayaan ........................................ 5
D.2 Wujud Kebudayaan ............................................................... 5
D.3 Proses Sosialisasi Kebudayaan ............................................. 5
D.4 Latar Filosofis Kebudayaan .................................................. 6
BAB II. PEMBAHASAN
1. Sub Sistem Religi ......................................................................... 9
1.1 Fakta Sejarah Sistem Religi di Manggarai ............................. 9
2. Upacara Penti ( Pesta Syukur ) .................................................... 10
2.1 Barong Wae Teku .............................................................. 12
2.1.1 Susunan Acara Barong Wae Teku ......................... 13
2.2 Barong Cmpang ................................................................. 14
2.2.1Susunan Acara Barong Compang ........................... 14
2.3 Upacara Libur Kilo ............................................................ 15
2.3.1Susunan Acara Libur Kilo ...................................... 15
2.4 Wae Owak ......................................................................... 18
2.5 Tudak Penti ....................................................................... 18
2.5.1Susunan Acara Tudak Penti .................................... 18
1.d. Prinsip Kesinambungan ......................................... 18
BAB III. PENTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 21
B. Saran ............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BLAKANG
Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai adalah bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), yang terletak di Flores Barat
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara astronomis, terletak antara 80 301
L.S – 80 501 L.S dan 1190 301 B.T – 1200 501 B.T. Secara geografis,
disebelah barat dibatasi oleh Selat Sape dengan Propinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB), sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Daerah
Tingkat II Ngada, sebelah Utara dengan Laut Flores, sebelah Selatan Laut
Sawu. Luas wilayah kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai adalah 7.136,4
km2. Kabupaten Manggarai adalah salah satu kabupaten dari 13
kabupaten/kota madya di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara
administrasi pemerintahan, Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai seputar
letak dan luas wilayah diatas.
Secara umum, sistem religi asli
orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni
menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema
pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan
misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar
yang dipandang angker dan suci.
Secara praktis, kebudayaan bisa
dimengerti sebagai kumpulan nilai-nilai dan perayaan atas nilai-nilai
tersebut. Sebagai kumpulan nilai-nilai, kebudayaan berkarakter
pencarian. Nilai-nilai yang ada itu menjadi titik akhir pencarian
manusia akan sesuatu yang dianggap bermakna bagi hidup. Dan pada
dasarnya setiap manusia memiliki motif tunggal dalam pengembaraan
hidupnya yaitu mengejar aneka nilai. Kita harus sepakat bahwa nilai yang
dikejar adalah nilai baik yang mungkin bisa diringkas dengan sebutan
keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan itu menjadi harapan semua orang
agar dipenuhi. Acara Penti (upacara Penti) yang terdapat dalam
masyarakat adat Manggarai terdorong oleh satu keyakinan akan nilai
tertentu untuk hidup. Bagi saya, acara itu memiliki karakter teleologis
yaitu mempunyai arah atau tujuan yang mulia di dalam dirinya sendiri.
Seperti apakah acara Penti dalam masyarakat adat Manggarai dan apa
maknanya bagi kehidupan serta dinamikanya dari waktu ke waktu? Apa
sumbangan kebudayaan lokal itu bagi kebudayaan bangsa, dalam hal ini
untuk membangun sebuah ideologi ke-indonesia-an.
Sementara itu,
penguasa tanah adat di Manggarai adalah Tua Golo. Tua Golo dapat
melimpahkan kuasanya kepada Tua Teno untuk membuka atau membagi suatu
lingko (tanah adat). Tua Teno inilah yang mengatur gendang one lingko
pe’ang yakni mulai dari rumah adat sampai pembagian tanah serta struktur
adat dan aturan wono (upeti) diatur oleh Tua Teno. Sebelum suatu lingko
atau tanah komunal adat dibagi, Tua Teno yang mendiami suatu rumah adat
(mbaru gendang) lalu mengumpulkan semua anggota suku guna bermusyawarah
bersama (lonto leok bantang cama) untuk mengatur pembagian tanah
secara adil dan bijaksana. Ada beberapa jenis lingko (tanah adat) di
Manggarai:
Lingko Rame/Lingko Randang yakni tanah yang dibuka dengan
ritual adat dan ditandai dengan pemotongan korban seekor kerbau atau
babi berbulu merah (ela ruang). Tanah adat yang dibuka dengan
mengorbankan kerbau tersebut disebut Lingko Rona sedangkan tanah adat
dengan mengorbankan seekor babi merah disebut Lingko Wina. Kemudian,
diantara salah satu lingko lagi dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan
ritual adat dengan mengorbankan seekor babi. Upacara ini dilakukan
setiap tahun yang disebut Penti yakni upacara adat syukuran atas hasil
panen. Sedangkan Lingko Saungcue yakni tanah adat yang dibuka dengan
ritual adat dengan mengorbankan seekor babi. Biasanya, bagi warga yang
mendapatkan tanah pembagian tersebut diwajibkan melakukan ritual adat
setiap tahun dengan mengorbankan satu ekor ayam di atas tanah mereka
masing-masing. Dalam pengelolaan tanah lingko, terdapat tiga mekanisme
pembagian yakni mekanisme Lodok yakni pembagian tanah dengan bentuk segi
tiga. Tua Teno yang bertugas melakukan pembagian berdiri tepat di
tengah (mangka) atau di titik pusat tanah tersebut dan mengatur
pembagian mulai dari dalam menuju keluar ke arah batas luar (cicing
lingko). Istilah lain yakni Neol yakni pembagian tanah adat oleh beberpa
orang warga yang dilakukan secara adil dan bijaksana dalam bentuk segi
tiga dalam areal yang kecil dengan mendapat persetujuan Tua Teno dan Tua
Golo. Pembagian dengan sistem Tobok yakni pembagian tanah sisa dari
pembagian Lingko Lodok oleh beberapa orang warga di luar batas tanah
adat (cicing lingko). Setiap tahun, komunitas adat atau golo/beo
merayakan penti. Agar pesta terselenggara dengan baik, Tua Teno yang
mengatur pembagian upeti (wono) berupa uang, beras, tuak, babi, kepada
setiap suku atau warga. Biasanya, dalam pesta penti ini, warga melakukan
beberapa ritual adat seperti : Barong Wae yakni semua warga melakukan
upacara adat di mata air, tempat warga sehari-hari menimbah air. Upacara
ini sebagai ucapan syukur kepada Tuhan dan alam yang telah memberikan
air untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh warga. Biasanya, dalam ritus
adat ini dikorbankan seekor ayam berwarna putih. Torong Ela Wee Penti
yaitu setelah warga pulang dari mata air, mereka langsung melakukan
ritual adat di rumah gendang untuk menghormati dan mengenang para
leluhur yang telah meninggal dunia. Biasanya, dalam ritus ini,
dikorbankan satu ekor babi.
Karong Lodok yakni semua warga turun ke
lingko rame/lingko randang diiringi gong dan gendang dan melakukan
ritual adat dengan korban seekor babi di pusat moso atau tepat dititik
tengah tanah adat sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah
memberi mereka hasil dari tanah yang mereka kerjakan. Torok Ela One
Compang yakni setelah melakukan ritual Karong Lodok warga kembali
berkumpul di tengah halaman kampung dan melakukan ritual adat di compang
(tugu yang didirikan di tengah halaman rumah) dengan korban seekor babi
sebagai ungkapan syukur atas kebaikan dan kemurahan Tuhan dan leluhur
yang telah menjaga, melindungi dan memberi mereka hidup.
Menurut
penuturan tua-tua adat, dari dulu kala tidak ada perang tanding antar
golo di Manggarai dalam rangka menaklukan satu golo atau menguasai
apalagi menjajah golo lainnya. Hubungan antara golo diwarnai oleh
persamaan derajat seperti dalam ungkapan : “poti woleng beo, darat
wole’ng tanah”. Dalam pengertian murni tradisional setiap golo bersifat
independen dalam bidang kekuasaan dan hak atas tanah. Antara golo, teno,
rumah gendang dan lingko merupakan satu kesatuan kehidupan orang
Manggarai yang tak bisa dipisah-pisahkan dan telah membentuk satu
kesatuan social politik dan spiritual yang utuh. Lingko yang berbentuk
bundar atau lingkaran dapat dilihat hubungannya dengan golo. Istilah
golo itu sendiri berarti bukit atau juga kampung. Maka, dari atas bukit
setiap orang dapat melihat dengan jelas ke arah bawah atas dasar bukit
yang membentuk sebuah sebuah lingkaran.
Orang Manggarai juga
mengenal tata ruang. Sistem penataan ruang, orang Manggarai membagi
wilayah berdasarkan empat jenis yaitu Pong yakni kawasan terlarang
seperti kawasan yang terletrak dekat mata air; Puar merupakan kawasan
hutan yang dapat dimanfatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti
membangun rumah; Uma yaitu kawasan yang dialokasikan untuk pemukiman
dan perladangan dan Satar yakni kawasan padang rumput atau savanna yang
berfungsi sebagai padang penggembalaan ternak. Kini, dengan perkembangan
dunia yang semakin modern dan perubahan yang pesat, nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat Manggarai perlahan-lahan mulai terancam
hilang.
B. Rumusan Masalah
Umum : Bagaimanakah Upacara Penti (upacara syukur) dalam Sub Sistem Reigi
dalam masyarakat adat Manggarai ?
Khusus : 1. Bagaimanakah Sub Sistem Religi dalam kebudayaan masyarakat adat
Manggarai ?
2. Bagaimanakah Upacara Penti dalam masyarakat adat Manggarai ?
C. Tujuan
Tujuan upacara Penti ini adalah sebagai berikut :
1. Menyampaikan tanda syukur kepada Mori Jari Dedek dan kepada Arwah
Nenek Moyang atas semua hasil jerihpayah yang telah diperoleh dan
dinikmati.
2. Tanda celung cekeng Wali ntaung ( musim bergantian tahun ).
Adapun tujuan penulisan Makalah ini dalam perkuliahan adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Pancasila
2. Melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan keterampilan yang dimilikinya.
3. Melatih mahasiswa dalam pengalaman langsung atau tidak langsung
dalam memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang Upacara Penti
alam Sub Sistem Religi di Daerah Manggarai.
D. Landasan Teori
D.1. Beberapa pengertian kebudayaan
1. Kata “kebudayaan” diambil dari kata sansekerta yaitu yaitu kata “buddhaya. Kata
buddhaya adalah bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan
demikian “kebudayaan “ adalah hal-hal yang berkaitan dengan akal.
2. Dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 dinyatakan bahwa kebudayaan bangsa adalah
kebudayaan yang timbul sebagai buah uaha budinya rakyat Indonesia.
Dari pengertian-pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwa
kebudayaan manggarai adalah hasil olahan rasa, karsa, cipta dan cita
yang menjadi kekayan ensensial sebagai buah udinya orang Manggarai, bai
secara bersama maupun perorangan.
D.2. Wujud Kebudayaan
Kebudayaan memiliki tiga wujud, sebagai berikut :
1. Abstrak : tak dapat dipandang mata maupun diraba, karena berbentuk gagasan, ide, norma,
maupun peraturan.
2. Aktivitas : aksi yang terpola sesuai norma/peraturan yang berlaku.
3. Benda : hasiln karya tangan manusia atau perbuatan manusia baik yang ringan seperti :
tenunan, maupun yang canggih seperti baja.
C.3. Proses Sosialisasi Kebudayaan
Suatu hasil karya atau gagasan dapat tersosialsisasi dalam macammacam proses, antara lain ;
1. Proses Internalisasi : suatu proses penanaman diri tentang sesuatu seperti perasaan yang dialami manusia seja dilahirkan.
2. Proses Sosialisasi : suatu proses perkembangan individu sejak masa
kanak-kanak dalam intereaksi sosial sampai pada masa dewasa.
3. Proses evolusi : suatu proses perubahan secara bertahap dalam rentang waktu yang relatife lama.
4. Proses Inovasi : suatu proses pembaruan suatu yang lama berlaku disesuaikan dengan hasil temuan yang baru.
C.4. Latar Filosofis dan Sosiologis
Secara filosofis kehidupan manusia diatur oleh pelbagai nilai, baik
yang berwujud material maupun rohaniah. Oleh karena adanya hasrat untuk
senantiasa hidup dan tertib, maka masyarakat itu sendiri merumuskan,
mengembangkan nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak.
Ungguh
penu pesona dan mengagumkan, karena tradisi nenek moyang Manggarai penuh
dengan nuansa filosofis, baik menyangkut hal-hal yang berada dalam
dunia nyata maupun yang berada dalam dunia cit-cita.
Dalam tata kehidupan orang Manggarai ejak dulu kala bergerak dalam dua sumber filosofis yaitu:
1. Tentang apa adanya: Ha-hal yang penuh dengan realita kehidupan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia.
2. Tentang bagaimana seharusnya: kehidupan yang dipenuhi dengan dunia
cita-cita dan karena terpupuk sikap kerja keras untuk dapat memwujudkan
hal-hal yang masih berada di dunia cita-cita menadi dunia realita.
Kedua sumber filosofis tata kehidupan itu diwujudkan dalam logo rumah
adat orang Manggarai pada setiap kampung (Beo/Golo) terutama pada rumah
gendang (mbaru Tembong). Jenis an makna logo itu adalh:
1. Pada Puncak (bubung) rumah adat (tampak luar) terpampang tiga simbol utama
a. Periuk Persembahan: simbol keyakinan sekaligus penghormatan dan
penyembahan kepada Tuhan yang menjadikan (Mori jadi dedek, tana wa awang
etan, pukul parn agu kolepn, ulun le wain lau = Tuhan pencipta langit
dan bumi serta segala isinya, Tuhan penjadi dan pembentuk kehidupan
manusia dan segala makhluk erta alam raya), sekaligus untuk roh-roh yang
mengganggu kehidupan manusia. Sejak nenek moyang diyaini, bahwa Mori
jari dedek senantiasa ada, tetapi ia tidak dapat dilihat oleh manusia,
oleh karena itu Mori jari dedek harus senantiasa disembah, diberi makan
supaya tidak marah (kudut wa nain Mori jari) kepada manusia, supaya
manusia bisa selamat dan tentram. Karena diyakini Mori jari dedek
ditempat yang tertinggi, maka pada puncak bubungan rumah itulah tempat
persembahannya.
b. Tanduk Kerbau (Rangga Kaba): simbol prinsip
kemanusiaan yaitu nilai kemanusiaan; tetapi kemanusiaan dalam hal ini
bukan kemanusiaan yang adail dan beradap saja, tetapi lebih mengandung
makna cita-cita, karena nenek moyang Manggarai sangat mendambakan agar
keturunannya kuat seperti fisik kerbau. Disamping ideologi seperti itu,
juga merupakan simbol suka bekerja keras, sebab kerbau erat sekali
hubungannya dengan orang Manggarai, baik sebagai pembantu tenaga kerja
bajak sawah (kalek) maupun membantu untuk pikul beban serta jaminan
untuk bayar belis.
Konsep ideologis dimaksud juga tertuang dalam ungkapan-ungkapan (goet-goet) seperti:
1. Yang berdimensi kesehatan antara lain:
• Uwa haeng wulang, lamgkas haeng ntala: hidup/tinggi sampai dibulan dan
bintang dilangit
• Cimar neho rimang, cama rimang rana: kekar kuat seperti batang lidi ijuk dari
jenis pohon enau (aren) yang berusia tua yang sulit termakan oleh parang atau
kapak.
• Neka nepo leso, neka ringing tis: jangan lekang karena teriknya sinar
matahari, jangan demam karena hujan rintik.
2. Yang berdimensi Ekonomi :
• Wake celern wa, saung bembeng ngger eta : ekonomi yang kuat, mapan dan
mampu menolong sesama karena memiliki persediaan lebih dari cukup.
• Ako neka lako, lalap nea lanta: mengetam padi tidak berpindah/tidak beranjak
karena panen sangat padat.
c. Atap Iju yang brmodel bulat
Atap ijuk membulat yang buat menyatu antara urat tali ijuk bersama
batang lidinya yang didalamnya ditopang oleh kuda-kuda (kinang). Ini
prinsip etig, lambang persatuan dan kesatuan yang kukuh kuat tak
terpisahkan.
Nilai persatuan dan kesatuan ini menjiwai seluruh
aktivitas sosial, ha terebut slalu diungkapkan baik sebagai nasihat
maupun motivasi melalui goet lagu-lagu antara lain:
1. Nai ca anggit, tuka ca leleng = seia sekata, satu konsepsi demi kesatuan aksi.
2. Ca natas bate labar, ca uma bate duat; ca wae teku, agu ca mbaru bate kaeng = satu
halaman tempat bermain, satu kebun (lingko) tempat kerja, satunya rumah tinggal.
3. Dalam lagu-lagu, banyak yang mengandung nilai pendidikan untuk menyerukan
betapa maha pentingnya persatuanb dan kesatuan dalam kebersamaan; terungkap
lewat kata-kata (goet) agu kolong, lagu endong antara lain:
Ema agu anak neka woleng bantang : bapak dengan ana jangan beda
berpendapat.
Ase agu kae neka woeng tae: sanak saudara/adik dengan kakak tidak boleh
beda berpendapat.
Cama lewe ngger peang, cama poe ngger one: sama-sama menjaga
kekompakan dalam semua urusan baik kedalam maupun keluar.
Secara etimologis, nilai-nilai kebersamaan ini diberlakukan juga
sebagai peroses pendidikan warga/anak cucu dengan kepatuhan yang tinggi,
namun tanda-tanda erosi cendrung muncul karena nilai-nilai itu harus
mampu mereplikasi perubahan, jia tidak beberapa sub sistem nilai-nilai
itu akan beradaptai dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungn.
BAB II
PEMBAHASAN
ACARA PENTI (PESTA SYUKUR) DALAM SUB SISTEM RELIGI
1. SUB SISTEM RELIGI.
1.1 Fakta sejarah Sistem Religi di Manggarai
Dalam fakta sejarah aktivitas religi di Manggarai sampai dengan
masuknya agama dimanggarai, telah terjadi kesalahan pemberian nama
“animis” terhadap orang Manggarai yang menganut religi asli, supaya
tidak disebut “kafir” kesalahan pemberian nama “animis” ini sungguh
menyesatkan, karena religi asli orang Manggarai yang dulu disebut
“kafir”, tidak sama konstelasinya dengan animisme. Religi asli orang
Manggarai adalah “monoteis implisit”, sebab dasra religinya menyembah
Tuhan Maha Penciota (Mori jari dedek, Ema pu’un kuasa), walaupun
terdapat persembahannya selain di “compang” (mesbah), juga terkadang
dibawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.
Teriakan
spontan secara bersama dalam lagu “Renggas” adalah bentuk sikap waspada
atas perintah Mori Keraeng dari langit dalam bentuk “genggus” (guntur).
Guntur bagi orang Manggarai dulu adalah identik dengan komando dari
langit untuk segera menyiapkan bibit pertanian/ladang, karena guntur
merarti sebentar lagi hujan mau turun. Guntur yang peka ditanggapi
dahulu adalah guntur pada masa menjelang musim hujan/awal musim hujan.
Dalam “renggas” mereka wujudkan sebagai berikut:
Solo (cako oleh pemimpin):
U.......... sampur raja wela .......... (siapkanlah semua bibit)
Jawaban bersama : U ..........
Solo : sama-sama (jangan yang lain siap, yang lain tidak siap)
Di jawab : Ya ..........
Solo : sama ita (siapkan sungguh, lihat kesiapan orang lain)
Dijawab : Ya .......... U
Dari model tanggapan korelatip dengan penguasa alama, maka program ONM
(Oprasi Nusa Makmur) yang berpola partisipatif dan sama-sama serempak,
bukanlah hal baru bagi orang Manggarai, karena hal tersebut sudah
mentradisi. Bahwa orang Manggarai tida pernah melupakan roh-roh nenek
moyang, adalah karena sejak nenek moyang orang Manggarai tetap merasa
tak terpisahkan dengan nenek moyangnya, sehingga rohnya tetap dihormati.
Bahwa pengaruh belum mengerti secara sempurna tentang hubungannya
dengan Tuhan, maka wajarlah kalau pengaruh perasaan takut sakit, takut
malapetaka, takut tidak berhasil dalam usaha pertaniannya, maka mereka
pun menganggap gangguan itu semua dari roh yang jahat, sehingga perlu
disembah supaya tidak mengganggu kehidupan manusa.
Corak religius
orang Manggarai, tetap terkait erat dengan norma dan jenis upacara adat
serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Upacara-upacara yang
dipimpin oleh lembaga adat ( tua golo/ tua adat, tua tembong, tua teno)
maupun oleh ata mbeko atau ata pecing (memiliki guna-guna persembahan
penyakit, penolak bala, pengusir setan/roh-roh jahat), merupakan
rangkaian kehidupan atau bagian dari kehidupan masyarakat, karena
upacara dimaksud diharapkan dapat dilakukan turun temurun.
Jenis
upacara adat yang sudah menjadi tradisi bagi orang (masyarakat)
manggarai di pedesaan diantaranya adalah Upacara Penti ( Pesta Syukur ).
2. Upacara Penti ( Pesta Syukur )
Upacara Penti ( Pesta Syukur ) adalah sebuah upacara sebagaimana
sebagai mat manusia mengucapkan tanda syukr kepada sang pencipta ( Mori
Kraeng ) alam semesta sebagai sumber kehidupan manusia dan kepada arwah
nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang etlah diperoleh dan
dinikmati, juga sebagai tanda Celung Cekeng Wali Ntaung (musim berganti
tahun berlalu).
Jauh hari sebelum upacara ini dilakukan, maka semua
warga kampung atau yang mempunyai pertalian dengan warga kampung yang
mengadakan penti itu, diundang untuk hadir dalam upacara penti itu.
Sebelum upacara penti ini dilakukan pada sore harinya pada pagi harinya
dilakukan sedikit acar kecil yaitu upacara “Podo Tenggeng”
(mempersembahkan kepincangan dan kekurangan). Upacara Podo Tenggeng
bermaksud supaya bencana kelaparan (busung lapar) dijauhkan, dibuang
melalui upacara ini. Hewan persembahan adalah seekor babi kecil dan
seekor ayam kecil yang berbulu hitam, disamping itu juga disiapkan
peralatan yang tak terpakai kaena rusak, seperti : keranjang rusak, bakl
rusak, periuk pecah, dll sebagai lambang kepincangan hidup, lambang
kekurangan dalam kehidupan perekonmian.
Hewan persembahan dan
peralatan rusak bermaksud, dibawa ketempat upacara, yaitu di “Cunga”
(tempat pertemuan dua sungai ). Inti doa ditempat tersebut adalah “Ho’o
lami ela miteng agu manuk miteng, kudud kandos sangged laros, kudud wurs
sangged rucuk agu ringgang landing toe ita hang ciwal, toe haeng hang
mane. Porong ngger laus hentet, ngger c’es mbhok, kudud one waes laud
one lesos saled” = inilah kami persembahkan seekor babi dan seekor ayam,
semuanya berwarna hitam, sebagai tanda penolak kelaparan. Biarlah semua
bencana kelaparan hanyut dikali/ di sungai ini bersama darah babi dan
ayam ini serta bersama redupnya senja mentari yang rendah membarat pada
hari ini.
Ayam dan babi itu dibunuh, dan digantung pada kayu cabang
yang dipancangkan pada tempat upacara. Setelah hewan persembahan
selesai digantung, maka semua peralatan rumah tangga atau peralatan
pertanian yang serba rusak tadi, dihanyutkan ke kali/sungai sebagai
lambang hanyutnya bersama air sungai semua bencana kekurangan dan busung
lapar.
Sebelum meninggalkan tempat upacara ini maka parang atau
pisau yang digunakan memotong/menyembeli babi dan ayam tadi, dibersihkan
diair sungai itu. Kemudian beramai-ramai pulang kekampung dan tidak
boleh menoleh kebelakang. Karena dinilai tabu agar busung lapar tidak
mengikuti lagi dari belakang. Karena dinilai tabu agar busung lapar
tidak mengikuti lagi dari belakang. Setibanya dikampung, mulai
menyiapkan hal-hal yang diperlukan pada upacara sore hari untuk memulai
acar Penti ( Pesta Syukur ).
Upacara Penti ini biasanya dilakukan
stelah panen semua rampung (sekitar juni-september), dan bila disanggupi
dilakukan setiap tahun, tetapi sering dilakukan secara lustrum ( lima
tahun sekali atau sekali selama lima tahun ).
Bila tida dilakukan,
maka sesuai keyakinan yang telah mentradisi, akan mendapat amarah dari
Mori Jari Dedek dan dari arwa nenek moyang, hal tersebut ditandai adanya
macam-macam bencana menimpa warga kampung.
Upacara penti terbagi atas lima babak/tahap, yaitu :
2.1 Barong Wae Teku ( upacaradikali atau dimata air yang dipakai sebagai air minum oleh
warga kampung )
2.2 Barong Compang ( upacara persembahan dimegalithik/batu persembahan yang berada di tengah kampung )
2.3 Libur Kilo ( upacara persembahan umum dalam gendang, karena arwah nenek moyang sudah diajak masuk di rumah gendang ).
2.4 Wae Owak ( upacara persembahan pada masing-masing keluarga, yang
letak sesajiannya ditempatkan pada tempat-tempat khusus sesuai
kebiasaan, ada yang bertempat di dalam rumah ada yang diluar rumah pada
batu tertentu atau pohon tertentu).
2.5 Tudak Penti (upacara puncak syukur )
Rincian kegiatan setiap babak upacara penti menurut pelaku adat/tua
adat seperti bpk. Goris Gembo dan kawan-kawan. Sesuai catatan dari bpk.
Vitalis Ombur (penilik kebudayaan Lumpung Tonggong = rumah adat Tonggong
) adalah sebagai berikutn :
2.1 Barong Wae Teku
Sebelum
berangkat ke air, maka semua pemuka adat/tokoh serta kepala keluarga
yang memiliki keluarga berkumpul di rumah Gendang atau rumah adat.
Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan : ayam, telur mentah, siri pinang,
dan kapur.
Jalanya upacara : dibuka dengan renggas (renggas sebagai
pemberitahuan bahwa upacara dimulai atau upacara ditutup ). Peserta
berbaris berarak-arak keair dengan pukulan gung dan gendang yang
disertai dengan lagu “Arao”
Solo : - Arao e neki weki arao jawab : - arao ..........
- arao e ranga manga arao - arao ..........
- arao e celu cekeng arao - arao .........
- arao e walin ntaung arao - arao ..........
Sama-sama : O e neki weki arao ......... O e arao
Solo : - arao e kaing dani arao jawab = - arao ..........
- arao e tegi becur arao - arao ..........
- arao e uwa gula arao - arao ..........
- arao e bok leso arao - arao ..........
Sama-sama : O e kaing dani arao .......... O e arao ..........O e tegi becur arao .......... o
e arao
Arti dari pada lagu diatas :
Kita adalah kumpul bersama untuk melaksanakan upacara pergantian musim
dan pergantian tahun ( celu cekeng wali ntaung ) sebagai tanda syukur
serta memohon hasil yang berlimpah dan kehidupan yang baik bagi seluruh
penghuni kampung dalam tahun baru serta tahun-tahun selanjutnya.
Lagu yang disertai pukulan gong dan gendang baru berhenti bila tiba di sumber airminum ( mata wae teku/air timba ).
2.1.1 Susunan Acara air minum/air timba :
- Memberikan siri pinang yang diletakan dengan ungkapan : Empo, ho’o
kala agu raci latang te cepe ( Nenek, ini sirih dengan pinang kami
berikan ). Ai to’ong de penti, teho’on barong wae teku ( karena sebentar
malam diadakan upacara penti, sekarang diadakan upacara di mata air
minum/air timba).
- Telur mentah : pecahkan bagian atasnya, lalu
letakan diatas bulu lalu ucapkan : Empo ho’o tuak, salangn tuak ho’o, ai
to’ong penti, dasor meu agu ami cama-cama baro wali di’a sangged di’a
de Morin ata poli teing latangt ite. ( Nenek, ini tuak, masudnya karena
sebentar mau diadakan acara upacara penti, semoga kita besama-sama
menyampaikan syukur atas segala ebaian-Nya yang telah dicurahkan kepada
kita ).
- Pembawa persembahan memegang ayam.
Sebelum tudak/renge atau doa didahului ernggas sebagai pembukaan.
Tudak atau do’a :
Denge lemeu empo, ho’o de manuk kudut barong wae.
( dengar ya nenek, ini ami bawa ayam untu dipersembahkan di mata iar ini ).
Wali di’a kamping ite Morin agu Ngaran, ai ite poli teing agu ami wae
bate tekug’m ho’o. ( menyampaikan syukur kepada Tuhan, karena Tuhan
telah memberikan kami air minum, sebagaiman air minum itu kebutuhan
dasar kami ).
Tegi kali dami ( kami memohon ) :
- Lami agu riang koe wae teku ho’o ( mohon jagalah air minum ini )
- Dasor mboas kin wae woang, kembuskin wae bate tekugm ho’o. ( semoga air minum ini senantiasa mencukupi kebutuhan kami )
- Dasor neka koe do’ong le roho agu rone le lus wae teku ho’o. ( semoga
jauhkan dari segala gangguan yang dapat merusak mata air ini )
- Porong inung wae ho’o wae guna laing latangt weki agu wakar dami. ( semoga air ini berguna bagi jiwa dan raga kami )
- Porong mese bekek kali, mbiang ranga. ( semoga memberikan kesegaran bagi kami ).
Kemudian ayam disembelih, lalu dibakar untuk diambil sebagian hatinya,
ususnya serta dagingnya untuk dijadikan sesajian. Lalu renggas sebagai
tanda upacara di air telah selesai. Arakan dari air kecompang dengan
pukulan gong dan gendang yang diiringi lagu arao seperti diatas.
2.2 Barong Compang.
Barong Compang : upacara dimegalithik, yang terletak ditengah-tengah kampung.
Bahan persembahan :
- Sirih pinang
- Telur mentah sebagai tuak
Maksud pemberian sirih dan telur mentah sebagai tuak untuk mengundang
roh-roh yang menjaga mengalithik supaya hadir dirumah adat sebentar
dalam upacara penti.
2.2.1 Susunan Acara di Compang :
- Renggas sebagai tanda pembukaan upacara.
- Tudak atau do’a :
• Denge di’a lemeu empo ho’o de manukn barong compang, ai to’ong wie
penti one mbaru. ( dengar ya roh penjaga mengalithik, ini ayam kami
persembahkan ditempat ini, karena sebentar malam diadakan upacara penti
).
• Tegi kali dami. ( kami memohon ).
• Dasor dengga koe pa’ang
kali, nggaru koe dia ngaung. ( mohon perlindungan seluruh kampung,
mulai dari bagian depan hingga bagian belakang )
• Dasor tadang koe darap de tana, agu kolang deleso. ( semoga dijauhkan dari wabah penyakit ).
• Tadang koes tae raja kali, deu koes tae wie. ( semoga dijauhkan dari gangguan manusia dan gangguan setan ).
• Sika koe ringang kali, wue koe rucuk, agu kando koe dango. ( jauhkan dari gangguan kesehatan ).
- Ho;o manukn lami kudut loces meu empo, ai poli baro one wae teku agu
one compang ( inilah ayam untuk menerima roh yang menjaga air minum dan
yang menjaga compang ).
- Dasor nai ca anggit ite, tuka ca leleng,
te wali di’a sangged widang de morin ata poli teing kamping ite one
ntaung ata belaud, agu tegi kole sembeng, titong agu berkak latang ite (
semoga kita bersatu untuk bersama-sama untuk menyampaikan syukur atas
semua kebaikan Tuhan yang telah kita peroleh dalam tahun yang baru kita
lewati, dan mohon lagi perlindungan, bimbingan serta berkat untuk hidup
selanjutnya ).
Kemudian ayam disembelih dan seterusnya dibuat helang
seperti tersebut diatas. Kemudian upacara toi loce. ( penunjukan tempat
istirahat/tempat duduk bagi arwah ).
2.3 Upacara libur kilo
Upacara libur kilo adalah syukuran keluarga. Bahkan persembahannya adalah seekor ayam dan seekor babi kecil.
2.3.1 Susunan Acara libur kilo :
1. Renggas sebagai pembukaan upacara.
2. Lagu pembukaan : Lagu “sanda lima”
Sanda lima adalah kebutuhan yang dibutuhkan oleh manusia. Lima kebutuhan itu adalah
sebagai berikut :
a. Mbaru tara kaeng ( rumah tinggal )
b. Natas tara labar ( halaman tempat bermain )
c. Wae tara teku ( air minum/timbah )
d. Uma bate duat ( kebun garapan sebagai sumber hasil )
e. Compang ( batu berundak-undak tempat meletakan persembahan yang terletak ditengah-tengah kampung ).
Compang tempat penghuni kampung berkomunikasi dengan tuhan secara umum.
Bila wabah penyakit melanda kampung, biasanya tua adat membawa sebutir
telur mentah sebagai tuak ke compang.
Telur tersebut diletakan diatas compang/mengalithik dengan mengucap :
• Mori ..... ai ho’o darap de tana agu kolang de leso, ho’o tuak dami
anakm de pa’angn olo, ngaungn musi, wan koe etan tu’a beo ho’o. ( Tuhan ,
karena wabah penyakit mau mengancam semua warga kampung, inilah tuak
kami persembahkan sebagai penolaknya ).
• Sor monggong nggelak nata
dami anakm, Mori ..... dasor pio-pio, nio led, nio laud. ( Permohonan
dari anak-Mu ya Tuhan, semoga jaulah dari pada kami wabah penyakit ).
Kelima kebutuhan tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lainnya.
LAGU SANDA LIMA :
1. Solo ( cako ) : O lima o, o hae a ko sanda lima e.
Pati koe jari mori e tei koe reci lima e .....
Hae a ..... lima bo ..... mola ..... mola bong.
Cual ( oleh satu orang ) : o ..... lando ..... o ..... rame a
Sama-sama : E ..... a ..... e hae a ko sanda lima.
Lima bo ..... a ..... o ..... mola-mola bong.
Arti lagu ayaat satu diatas adalah : mohon kecukupan pangan/makan bagi yang Maha kuasa.
2. Solo : O lima o haea ko sanda lima e
Mbaun koe eta Mori ew, lemekn koe wa.
Lima bo ..... a ..... o ..... mola ..... mola bong.
Arti lagu ayat kedua adalah : Mohon hidup baik atau sejahtera.
LAGU ONGKO KOE ( ongko koe =semoga tetap beratu ).
Solo ( cako ) : Ongko koe a ..... ao ..... e Mori ongko koe a ..... ongko sala koe.
Satu orang ( cual ) : Ara ..... lea a ..... ao ..... w ..... Mori baeng
Sama-sama ( wale/jawab ) : Ami o ..... 2x
E ..... eo ..... ao ..... ongko koe a ongkos sala koe.
O Mori ongos sala koe a ..... Dasor di’a ya taki len ongko koe.
Arti lagu ini adalah : Persatuan kami ya Tuhan hingga selamanya.
LAGU DENDENG INE ( dendeng = sanjung , ine = ibu ).
Solo : Dendeng ine a ..... ao ..... e Mori dendeng ine a dendeng sala ine.
O dendeng sala ine.
O Mori dendeng sala ine a, pedeng jerek wae cucu dendeng.
Sola : O lima o haea ko sanda lima e.
Malir koe di’a le Mori e tumbu di’a koe lau.
Limae ..... hae lima bo ..... mola-mola bong.
Satu orang : O lando ..... o ..... rame a
Sama-sama : E ..... a ..... e .... e ..... e ..... a ..... haea ko sanda
Lima bo .... a ..... o ..... mola ..... mola bong.
Arti lagu adalah : mohon aliran berkat Tuhan.
Tudak/d’a :
Ho’o manukn agu ela kudut libur kilo, tae de ..... ( sebut nama yang
tertua dalam keluarga itu/ kepala keluarga sampai yang bungsu ).
( ini ayam dan bab untuk libur kilo )
Tegi kali dami ( kami memohon )
Neka manga baka bara agu ngentung tuka ( semoga makanan yang kami makan tidak mengganggu kesehatan kami )
Neka koe tungga salang duat, neka caka salang we’e ( jauhkan dari kami
semua segala gangguan pada sa’t pergi dan pulang kerja ).
Dasor beka agu buar kali ( semoga keluarga ini berkembang ).
Kete koe api one kali, tela kid galang peang ( mohon kebutuhan
penghidupan ternak babi). Dasor wua raci kali lebo kala ( semoga berbuah
pinang yang ditanam, demikian pula sirih ).
Dasor mbaun eta kal mose dami, lemekn wa, wiko le ulu kali jengok lau wai, ( semoga mengalami hidup baik ).
Dasor malir dia le kali tumbu di’a la ( mohon aliran rahmat Tuhan ).
Dasor mese bekek kali mbiang ranga ( mohon kesegaran ).
Kemudian ayam dan babi dibunuh; lalu hati, usus daging diambil sedikit-sedikit untuk dijadikan sesajian.
Dengan demkian upacara “Libur kilo “ telah selesai dan akhirnya ditutup dengan enggas.
2.4 Wae Owak.
Wae wak adalah upacara persembahan pada masing-masing keluarga, yang
letak sesajiannya ditempatkan pada tempat khusus, sesuai kebiasaan tiap
keluarga ( kilo ); ada yang dalam rumah; ada yang diluar rumah pada batu
compang khusus atau pada pohon tertentu. Bahan persembahannya seekor
ayam.
2.5 Tudak Penti
Seluruh warga kampung berkumpul dalam rumah gendang. Bahan persembahan
dalam tudak penti : ayam dan babi.
2.5.1 SusunanTudak Penti sebagai berikut :
a. Renggas/pembukaan
b. Lagu Sanda Lima, sama seperti lagu pada upacara Libur Kilo.
Lagu ongko koe, sama seperti pada upacara libur kilo.
Lagu dendeng ine, sama seperti lagu pada upacara Libur kilo.
c. Tudak/do’a :
• Denge lemeu empo, ho’o lami manukn agu ela kudut penti weki peso de
beo. ( dengar ya nenek, ini ayam dan babi kami persembahkan untuk upacara penti ).
• Tae de ..... ( sebut nama nenek dari stiap pangka/klen.)
• Neka koe baka bara kali, neka ngentung tuka (semoga makanan yang kami makan tidak mengganggub kesehatan kami ).
• Neka koe tungga salang duat kali, neka caka salang we’e. ( jauhkan
dari kami semua segala gangguan pada sa’at kami pergi dan pilang kerja
).
• Dasor beka agu buar kali, wiga ras kid pe’ang natas, res kd
baling lele. ( semoga warga kampung tetap meningkat jumlahnya selama
masa kehidpan ini).
• Dasor tei koe reci kali, pati koe jari. ( mohon keculupan makanan ).
• Dasor keti kid api one kali, tela kid galang peang. ( semoga rezeki
setiap hari tetap ada, demikian juga dengan ternak yang dipelihara ).
• Dasor wua raci po’ong kali, lebo kala weri. ( semoga pinang yang kami
pelihara berbuah, demikian pun sirih berdaun lebat; maksudnya
senantiasa isteri selalu sehat dan beranak banyak ).
• Paeng koe kaba wase kali ga, ita koe kaba mila. ( semoga kami memiliki ternak kerbau yang berkecukupan ).
• Dasor neka koe mata kina na’ang kali, neka ke buruk ruha manuk
pening. ( semoga dijauhkan semua penyakit yang dapat menyerang ternak
baik ternak babi maupun ayam ).
• Dasor mbaun eta koe kali mose dami
one golo tara lonto ho’o, temekn wa, wko koe le ulu kali, jengok koe
lau wa’i. ( semoga warga kampung seluruhnya tetap dalam keadaan yang
sehat walafiat dan sejahtera selalu ).
• Dasor malir di’a koe kali
lolin berkak de Morin, tumbu dia ke lau. ( mohon aliran berkat dan
rahmat Tuhan kepada masyarakat kampung ).
Terakhir diadakan “congka
kolong” ( tarian penutup ). Yang disertai dengan pukulan gung dan
gendang serta diiringi lagu “kolong o”.
LAGU KOLONG O :
Solo : Kolong o ..... celu cekeng to de wali ntaung
To ..... de ..... a ..... o ..... a ..... e ..... lawa ge.
Tei reci to de, pati jari toe de a o a e lawa ge.
A o a o o o o lurang tali wua eta main e.
Cual ( lagu bersambut oleh seseorang ) : Kolong .....o ..... o ..... rame.
Wale ( sama-sama ) : Kolong o o o o ..... a ..... a e a ..... oe o lurang tali wua eta main ew.
Arti lagu : Upacara ini adalah upacara pergantian tahun yang diturunkan
dari leluhur, mohon kecukupan makanan untuk kehidupan selanjutnya.
Dengan selesainya “congka kolong” ini, maka selesai pulalah seluruh rangkaian UPACARA PENTI menurut adat MANGGARAI.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa pola pikir, pola sikap/pola tindak nenek moyang orang
Manggarai, dapat dinilai sangat KONSEPSIONAL dan KONDISIONAL; hal
tersebut dapat disimak dari pandangan hidup atau kebiasaan hidup yang
bernuansa filosofis.
2. Bahwa pola pikir yang konsepsional yang
terwaris turun temurun itu, juga bersifat kondisional; terkait erat
dengan kondisi alam sekitarnya
3. Bahwa keterkaitan erat dengan alam disekitar itu, turut membentuk pola pikir, pola sikap atau pola tindak mereka.
Dengan demikian perubahan alam sekitar juga mempengaruhi cara mereka
berfikir dan bertindak, misalnya : ijuk dahulu kala menjadi pilihan
utama untuk atap rumah, karena ijuk dimaksud sesuai dengan ideologi yang
mereka dambakan dalam bidang jasmani dan rohani, terungkap lewat
prinsip : “Cimar neho rimang, cama rimang rana” ( kekar kuat baik fisik
maupun mental/rohani seperti sebuah batang lidi ijuk dari pohon enau
yang bertumbuh subur dalam kematangan usia ).
4. Bahwa dalam pola
pikir, pola sikap dan pola tindak yang mereka wariskan, senantiasa
menempatkan Mori Jari Dedek, amaori pu’un kuasa ( Tuhan pencipta, Tuhan
yang Maha Kuasa ) diatas segala-galanya, yang pertama dan terutama,
karena diyakini bahwa dalam segala hal adalah Tuhan, baik dalam suka
maupun dalam duka; baik untung maupun malang.
5. Bahwa dalam pola
sikap, pola tindak dan pola pikir dan diwariskan turun temurun keanak
cucu, ternyata syarat dengan nila-nilai yang agung.
6. Bahwa nilai
yang terkandung dalam pandangan hidup atau kebiasaan yang mentradisi
itu, nilai yang sangat menonjol ialah nilai persatuan dan kesatuan.
7. Bahwa segala sesuatu yang dihasilkan, bisa terwujud/ada karena hati
dan pikiran. Apabila didalam hati atau pikiran tak ada sesuatu, maka tak
ada apapun juga.
8. Bahwa dalam mempertahankan dan meneruskan
nilai-nilai adat yang mentradisi itu, fungsi lembaga adat sangat dominan
karena selain sebagai penanggung jawab dan pewaris, juga dipandang
sebagai pendidikan nila-nilai luhur untuk masyarakat/keturunan.
9.
Bahwa dalam setiap upacara persembahan kepada Tuhan ( Mori jadi dedek )
pada posisi terdepan, ternyata selalu diikuti dengan persembahan kepada
nenek moyang, roh jahat atau mamon pada sisi lain, sebagai sala satu
paket persembahan yang tak terpisahkan.
10. Bahwa dalam rangka
pewarisan nilai, ada tradisi tertentu yang mengandung penyimpangan, tak
perlu diteruskan, antara lain persembahan dalam uoacara adat yang
mengandung penyimpangan kepada mamon.
11. Bahwa jati diri orang Manggarai, lebih banyak terbentuk oleh nilai-nilai yang mentradisi.
12. Bahwa dalam nuansa relegi, budaya merupakan media simbolis dari
agama yang metafisis, untuk memudahkan pemahaman manusia yang fisikis.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis mengharapkan supaya kita semua
jangan pernah melupakan segala tradisi/upacara di tiap daerah kita
masing-masing, karena dengan tradisi tersebut dengan kumpulan
nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Sebagai Kumpulan nilai-nilai,
kebudayaan yang berkarakter sebagai pencarian, nilai yang ada itu
menjadi titik akhir pencarian manusia terhadap sesuatu yang dianggap
bermakna bagi hidup. Dan kebudayaan itu merupakan ciri khas atau
kekhasan daerah tersebut yang tidak ada didaerah lain sehingga
kebuyayaan itu tetap dijaga dan dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Dagur B, Antony. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan
Nasional. Ubhara Press : Jakarta. 1997.
Fauzie Rizal,M Rusli Karim (Eds). Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan.Tiara
Wacana:Yoyakarta. 1991.Miharja, K. Achdiat. Polemik Kebudayaan. Balai Pustaka:Jakarta. 1998.
Storey,John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.jalasutra:Yogyakarta. 2008.
Toda, N.Dami. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi.Nusa Indah:Ende. 1999.
Antony Bagul Dagur, Manggarai dalam Perspektif Masa Depan (Infomedia:Jakarta,2004)
Adi M Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang (Nusa Indah: Ende, 2006) hal..
Petrus Janggur, Butir-Butir Adat Manggarai (Yayasan siri Bongkok:Ruteng, 2010) hal. 53.