Kamis, 04 Agustus 2022

3 ENG MANGGARAI - MENURUT USMAN DE GANGGANG

 3 ENG  MANGGARAI - MENURUT USMAN DE GANGGANG

https://www.youtube.com/watch?v=XVAasqO-avw

  1. Ubahlah cara pikir anda  maka dunia  anda  akan berubah.
  2. Jangan membangun  istana megah di atas  kebohongan indah
  3. Ciri-ciri  orang  cerdas: 6 M:  Mengamati, Menanyakan,  Menggali, Menyimpulkan, Mengkomunikasikan,  Menciptakan. 

Apa  tujuan kita sekolah agar menjadi  orang  pintar dan  cerdas.

Pintar itu dekat dengan  bohong, licik, 

Cerdas  



Menurt  Usman G. Ganggang,  Budaya adalah suatu upaya dari masyarakat setempat untuk  mengkristalkan pengalaman. 


Apa pengalaman orang Manggarai?

  1. Bunyi burung tertentu, misalnya hantu sebanyak 3 x, Po, Po, Po... itu artinya ada orang yang meninggal  dunia. 


Menurut Usman G. Gonggong, orang Manggarai berasal dari  Minangkabau, Makasar, Bima. 


Neka Nuna (Jangan seperti)

Neka Nuna  (Neka nuna kode, tako toe cenger (Jangan seperti kera, mencuri tanpa ada rasa malu_; Neka nuna ngaot, lako cemalok-cemalok ( Jangan seperti  rusa, jalan; Neka nuna ka,  toso weki ru - ka...ka......ka......   (Jangan seperti Gagak,  selalu memuji diri  / menunjukkan diri, inilah aku).  Neka nuna Acu cengaung - cengaung  (jangan seperti anjing, lalu lalang di setiap kolong  rumah  - menunggu tai). 



Neka Nuna 
Nuna
Asu


"Inuk, 



1. Undang  (Kewit)

2.Indang (Nasihat)

3.Ondang (Membiarkan)


Kalau  jatuh cinta, jatuhlah ke belakang.   (?)






_______


Menyenggol Ungkapan “Neka nu-na”

Usman D. Ganggang

 https://www.kompasiana.com/usmandg/55289a806ea83448388b45b6/menyenggol-ungkapan-neka-nuna



(Warisan Leluhur Manggarai - NTT)

 

Warga masyarakat Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) , kaya dengan ungkapan yang bernilai positif. Salah satunya, adalah “neka nu-na”. Artinya “jangan seperti”. Dulu, ketika kami kecil,ungkapan ini, sering diajarkan orangtua kami, saat menjelang makan malam atau sesudah makan dan menjelang tidur. Kemudian sering kami simak ketika ada kerabat atau handaitolan yang berpergian jauh, biasanya diadakan pencerahan oleh tetua adat atau yang dituakan dalam ca batu ( satu rumpun) keluarga yang terkecil sebelum keluarga suami- isteri. Neka nu-na, diungkapan sebagai tanda kebersamaan. Artinya masing-masing ca batu itu berusaha untuk menjaga nama baiknya.

 

Ketika pulang kampong belakangan ini, petuah-petuah seperti itu, sudah jarang diungkapkan oleh masyarakat di sana. Tetua adat atau orang tua hanya memberi nasihat atau wejangan kepada anggota masyarakatnya atau kepada sanak saudaranya jika diminta. Misalnya, ketika ada pesta pernikahan. Itupun lebih ditekankan pada persoalan kehidupan biasa-biasa saja. Pencerahan berupa antisipatif terhadap permasalahan yang terjadi di kemudian hari malah dilupakan.Padahal dalam masyarakat Manggarai sudah jauh hari mengenal filsafat 3 “ng”, yakni undang, indang, dan ondang Artinya, merupakan sebuah keniscayaan bagi ca batu (satu rumpun kecil) untuk menjaga nama baik keluarganya dengan melakukan undang (mengadakan undangan untuk rapat); dalam rapat itu diadakan indang (nasihat),kemudian kalau semuanya selesai, maka boleh ondang (biarkan).

 

Dalam indang itu mulailahpemimpin rapat (biasanya tetua adat)melakukan pencerahan berupa indang (nasihat) : Oe ome dia n senang da, neka undang na susah ( Oe, kalau senang masih kita rasakan, jangan lagi diundang susah). Neka nu-na Emkoja, “Aku ho oda Emkoja, kebal, konem ca karung rasung toe mata aku laing e ( Jangan seperti Bapaknya Koja,”Aku ini Bapaknya Koja, kebal, biar satu karung mantra mematikan, aku tak akan mati.”) Contoh neka nu-na yang laintertera pada uraian selanjutnya.

 

Sayang sekali, fakta riil yang ada saat ini di sana (Manggarai) , filsafat 3 ng ini sudah di balik menjadi. Ondang, undang, kemudianindang. Akhirnya, berdampak juga dalam kehidupan keseharian. Artinya, kalau ada perilaku yang kurang, ya diondang (dibiarkan), nanti kalau terjadi masalah, baru diundang untuk diindangkan. Padahal sejatinya, susunan filsafat itu, harga mati, tidak boleh dibalik-bolak seperti dimulai dari belakang : ondang, undang , indang.

 

Neka nu-na sepertinya bukan lagi merupakan keharusan dalam pencerahan. Kini, kalau warga masyarakatnya berpergian jauh ke daerah lain atau katakan saja merantau jarang diadakan pencerahan dengan ungkapan neka nu-na. Ungkapan seperti itu, dilupakan karena terlalu sibuk ataukah mungkin dianggap kedaluwarsa atau kuno.

 

“Neka nu-na”, adalah sebuah ungkapan sangat sederhana. Tapi kalau diaplikasikan dalam keseharian, betapa tidak sesederhana itu maknanya, malah lebih luas dan dalam. Bagaimana tidak,betapakentara kalaudalam berkomunikasi, orang yang pernah dicerahkan dengan “neka nu-na” dengan yang tidak pernah. Biasanya jauh bedanya.Perilaku dalam keseharian, bagi mereka yang pernah menerima pencerahan neka nu-na” biasanya sopan (berperilaku baik) dibanding dengan yang tidak pernah.Bagi yang pernah,mereka merasakan banyak manfaatnya demi menambah wawasan dalam keseharian..Iya, biasanya bagi mereka yang berperilaku tidak baik dijuluki dengan“nu-na”…. , maka tidak usahlah heran kalau kemudian dengan pasti, orang lain menyebutnya”nu-na” ( seperti). Oleh karena itu, disarankan kalau kita mau diterima orang lain dalam berkomunikasi, mestinya, harus selalu ingat akan ungkapan “neka nu-na”. Kalau tidak, sebentar lagi kita akan dijulukui orang lain dengan ungkapan “nu-na”atau “seperti…”.

 

Iya, seperti terurai di atas tadi, sayang sekali dalam kondisi yang serba carut-marut ini, masyarakat penganut ungkapan ini sudah mulai lupa untuk memperhatikan manfaat-gunanya. Iya, barangkali oleh karena kseibukannya, atau karena memang tua adat atau orangtua sudah berpikir maju, sehingga semua nilai budaya positif di daerahnya sudah dianggap kuno.Inilah persoalan yang dihadapi saat ini terutama para penganut budaya “neka nu-na” tersebut.

 

Sejatinya, nilai budaya suatu daerah harus dipertahankan sekaligus dilestarikan oleh penganutnya. Apa pun alasannya, tidak semua budaya lama itu dianggap kuno atau kedalu warsa. Di antara sekian budaya dalam sebuah daerah, tentu ada yang positifnya. Nah, mengapa nilai positif itu dilupakan? Bukankah, selalu kita katakan, “Lain daerah lain pula adat-istiadatnya?”Dan ketika kita salah dalam berpola tingkah laku, orang lain selalu mengatakan “pantas, atau dalam bahasa Manggarainya adalah “nu-na”……(seperti).

 

Untuk tidak sekedar diangkat, maka di bawah ini, akan diberikan contoh “neka nu-na”, sehingga jelas maksudnya.

 

1)Neka nu-na (jangan seperti):

 

a.Neka nu-na kaba nggami-nggemes = Jangan seperti kerbau pelan lagi bodoh (dicocok hidung)

 

b.Neka nu kaba, running tekek eng, running lako piang hau nditu aku nditu = Jangan seperti kerbau disuruh memikul beban, ya; disuruh jalan ya, keluar engkau di situ ya, aku di situ ya (ikut saja, meski perintah untuk yang tidak baik, tidak ditolak, semuanya ya saja)

 

c.Neka nu tuna, nggali-nggelek = Jangan seperti belut, sangat licin (licik).

 

d.Neka nu kaka lelap, ca haju ca haju = Jangan seperti burung, dari satu pohon ke pohon lain (suka berpindah-pindah)

 

e.Neka nu acu, ca ngaung ca ngaung = Jangan seperti anjing dari satu kolong ke kolong lain (suka pindah mencari kotoran tai).

 

f.Neka nu kode tako mole toe cenger = Jangan seperti monyet melakukan mencuri tidak tahu malu.

 

g.Neka nu ka, benggat ngasang ru = Jangan seperti burung gagak selalu menyebut nama sendiri.

 

h.dll.

 

Mencermati contoh-contoh di atas, terbersit suatu kesimpulan bahwa neka nu-na, adalah ungkapan yang terbentuk dari kata “neka” dan “nu-na”. Kalau berdiri sendiri maka “neka” (jangan) adalah “kata”, sedangkan “nu-na”(seperti) adalah ungkapan.Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh di bawah ini:

 

1)Neka = jangan

 

a)Neka undang na susah ome dia n senang = Jangan undang susah kalau memang sedang senang.(peribahasa)

 

b)Neka jaong na haen pake toe nuk n rukus = Jangan bicara tentang katak, ingat juga dirimu ketam (jangan bicara kejelekan orang lain, ingat juga kejelekan diri sendiri): peribahasa

 

c)Neka kengko rengkok = Jangan bangunkan musibah (jangan menginginkan musibah datang) : peribahasa

 

d)Neka purak mukang wajo kampong = jangan hajar dusun, berkelahi kampong (jangan membuat onar) : peribahasa

 

e)dll.

 

2)Nu-na = seperti

 

a)Nu-na acu = seperti anjing

 

b)Nu-na kode = seperti monyet (kera)

 

c)Nu-na ndaot = seperti rusa

 

d)Nu-na pake = seperti katak

 

e)Nu-na ka = seperti burung gagak

 

f)dll.

 

Ungkapan nu-na boleh disingkat menjadi nu saja. Untuk lebih jelasnya, berikut ini contohnya.

 

a)Nu acu …= seperti anjing…

 

b)Nu kode …= seperti kera (monyet)…

 

c)Nu ndaot …= seperti rusa…

 

d)Nu pake …= seperti katak…

 

e)Nu ka…….. =seperti gagak…

 

f)dll.

 

Ungkapan neka nu-na merupakan warisan leluhur warga masyarakat Manggarai. Ia akan bisa hidup manakala penggunanya selalu memanfaatkannya dalam keseharian. Katakan saja, menjelang makan malam, orang tua memberikan nasihat seperti:

 

1)bertingkah yang bermacam, anak: kalau masih ada senang, jangan diundang susah.

 

2)Anak, neka kapi-kopet lime agu neka gaku ngu data = Anak, jangan mencuri dan jadikan milik sendiri kalau memang itu milik orang lain.

 

3)Anak, pota tunin laing mon, pota rangan tau kole = Anak, tunjukkan belakangmu kalau pergi, tunjukkan wajahmu kalau datang.

 

4)dll.

 

Secercah uraian sekaligus contoh-contoh di atas, kiranya bermanfaat buat pembaca, terutama warga masyarakat Manggarai - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).Iya, ungkapan neka nu-na ini akan hidup terus manakala warga masyarakat penganutnya memanfaatkannya. Kata mantan Gubernur NTT, dr.Ben Mboi, “ Kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi?” (***).



JPS, 28 Maret 2023



Tidak ada komentar:

Posting Komentar