SOAL PEMELIHARAAN HUTAN, BELAJARLAH PADA SUKU NAGA, BADUI DAN KAJANG, MOLO (TIMOR)
Suku Naga berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Kampung Naga terkenal dengan kearifan lokallnya antara lain, pembagian wilayah kehidupan, termasuk wilayah hutan lindung (larangan) yang tidak boleh disentuh atau dirambah, bahkan kayu yang sudah keringpun dilarang untuk diambil. Selain itu untuk rumah, bahannya harus menggunakan bahan lokal, yakni atapnya terbuat dari ijuk dan daun sirap (?) / pelepah enau? .........., sedangkan tiangnya terbuat dari batu, dan balok terbuat dari bambu atau kayu sedangkan dinding terbuat dari anyaman bambu. Rumah orang Naga ini tahan gempa bumi. Untuk mengetam padi, masyarakat suku Naga masih menggunakan anai- anai. Gudang padi suku Naga berada di bawah kontrol perempuan. (https://www.youtube.com/watch?v=2OXQjt7Xxa8 ; https://www.youtube.com/watch?v=9DIlCbM76Bw;
Selain suku Naga, masyarakat tradisional yang memiliki kesadaran yang tinggi akan fungsi hutan, dianut dan dipraktekkan juga oleh Suku Badui di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Pulau Jawa. Baik Badui maupun Naga, keduanya menganut Budaya Sunda. Nilai budaya yang mereka anuti hampir sama, termasuk untuk soal hutan dan rumah, prinsipnya hampir sama. (https://www.youtube.com/watch?v=Izp_lDmZoOY;
Selain itu, suku tradisional lain yang sangat peduli terhadap hutan adalah Kajang. Suku Kajang tinggal di kabupaten Bulukumba sekitar 200 kilometer dari kota Makassar. Suku kajang memefang prinsip bahwa setiap kelahiran anak manusia harus disertai dengan penanaman pohon. "Hutan adat, wujud rakyat bermartabat" . Suku Kajang melihat alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan," Kawasan hutan mencapai 75 % wilayah Kajang. Hutan dibagi atas 3 bagian, yaitu: hutan keramat (larangan), hutan perbatasan, hutan rakyat. Bagi Suku Kajang, hutan adalah sumber kehidupan yang harus dijaga dan dilindungi. . Hutan dianggap sakral bagi suku Kajang. Suku Kajang mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 tahun 2012 tentang Hutan berbasis Masyarakat Adat, memungkinkan mereka bisa melaksanaankan prinsip keadatan dengan baik, terutama dalam pengelolaan hutan. Filosofi orang Kajang, tiada hutan, tiada kehidupan. Mereka hidup sesuai kebutuhan, bukan berdasarkan keinginan apalagi nafsu serakah. (https://www.youtube.com/watch?v=0GMIb6wZDnY)
JPS, 31 Januari 2024.
Satu Indonesia Bersama Aleta Baun, Pejuang Lingkungan Hidup dari Timor
https://www.youtube.com/watch?v=3BxH_pu00XM
Aleta Baun, perempuan dari Suku Molo, Timor Tengah Selatan (TTS) berjuang mempertahankan Hutan Adat Molo dari pengrusakan yang dilakukan oleh penambang marmer. Dia melakukan perlawanan tanpa kekerasan. Begitu 5 penambang Marmer mendapat izin Usaha Penambangan Maremer di Hutan Adat Molo, dia mengkonsolidasi para masayarajat, termasuk peremouan Timor untuk melakukan protes dengan cara memindahkan temapat menenun kain adat Timor dari sebelumnya dilakukan di rumah ke tempat penambangan sebagai tanda protes kepada Perusahan Penambangan dan pemerintah. Bagi Masayarakat Molo, alam itu Ibarat tubuh manusia, yakni batu sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebaf=gai darah dan hutan sebagai rambut. Maka , demi memelihara alam sama artinya memelihara manusia. Sebaliknya merusak hutan sama artinya dengan merusak manusia. Berkat perjuangannya yang demikian gigih, perusahan pwertambangan marmer itu angkat kaki dari Molo, TTS. Aleta Baun bekerja sama dengan msayarakat Molo, Amanatun dan Amanuban.
JPS, 20 Februari 2024.
Lalu untuk Orang Manggarai, bagaimana konsept merawat alam?
Orang Manggarai tradisional mengenal beberapa zona kehidupan dalam kosmologinya, yakni:
- Beo : kampung , tempat tinggal manusia dan tempat memelihara ternak: ayam, kambing, babi.
- Boa, kuburan, tempat menguburan orang yang telah meninggal
- Natas, halaman, tempat bermain
- Compang, mezbah persembahan untuk leluhur
- Uma, kebun, tempat manusia bekerja mendapatkan nafkah: padi, jagung, sayur-sayuran.
- Satar: temapat memelihara hewan seperti: kerbau, kuda, sapi dan juga temapat hidup satwa liar
- Puar: hutan, tempat sumber air, kayu, sumber prptein dan sayuran liar, buah-buahan. Setiap kawasan matar air disebut pong, artinya tempat yang harus dijaga sakrtalitasnya , tidak boleh diganngu karena sebagai sumber air untuk hidup.
JPS, 20 Februari 2024.