Minggu, 26 Januari 2014

Caci 3: Asal mula dan esensi

AWAL MULA dan ESENSI CACI



Description: http://assets.kompas.com/data/2k11/comment/images/ajax-loader.gifWANGKA PU'NG CACI
 
 
Manga  sua  tau ata.  Ase agu kae.  Ise manga piara kaba. Sa leso ise lako tadang. Ise ba agu  kaba. Tiba one sa satar. Co' ko co, ase ho' pau one longka  delem. Kemas  nai de  kae ho' wajol pau ngampang / longka ase ho'. Uling liha  kudut ngance peang one mai longkan ase ho' landing to nganceng. Pikir liha ga. So' caran kudut nganceng sampe ase ho? "som mbele kaut kaba ho', luit ne ga... te pande  larik laing te poto ase hot pau one longka delem.   Sarit   liha luit kaba ho pande larik. Lewe jendot larik ho. Poto le larik hitu asen mai wa mai longka. Woko  sai eta  mai tana ase ho' ga  senang  ise. Naka  ise. Hang keta lise nuru kaba hitu kali ga.  One uwa ngger olon te tenang pande momang sampe  ase ho' maik  ise  pande  labar caci. Nggiling, kalus / lempa, panggal  pande  one  mai  luit  kaba keta  taung.

Sumber: ( http://www.indonesia.travel/id/destination/106/taman-nasional-komodo/article/194/)
(JPS, 1-10-2013)
_____________

TOMBO CACI:

https://www.youtube.com/watch?v=hnO8-3KJs04

SATAR MESE MEYAMBUT HUT KEMERDEKAAN RI KE 74 DENGAN TARIAN CACI





___________


Caci

Tarian Caci merupakan suatu permainan adu ketangkasan antara dua orang laki-laki dalam mencambuk dan menangkis cambukan lawan secara bergantian. Tarian Caci terlihat begitu heroik dan indah karena merupakan kombinasi antara Lomes (keindahan gerak tubuh dan busana yang dipakai), Bokak (keindahan seni vokal saat bernyanyi) , dan Lime (ketangkasan dalam mencambuk atau menangkis cambukan lawan). Pemain Caci juga dibekali kemampuan olah vokal untuk bernyani , dimana setelah menangkis cambukan lawan seorang pemain Caci secara spontan bernyanyi dan menyampaikan Paci .
Paci merupakan ungkapan berisi nama samaran atau alias dari pemain Caci tersebut yang berisi ungkapan tentang keberadaan dirinya, siapa dia atau sosok yang dia dambahkan. Tujuan dari Paci yaitu untuk mempengaruhi lawan menantang lawan dan juga untuk memotivasi atau meggelorakan semangat dari dalam diri. Kostum yang dikenakan pemain Caci sangat atraktif dan melambangkan keunikan dan karakter budaya yang dimiliki oleh orang Manggarai seperti: “Panggal” (penutup kepala) berbentuk tanduk kerbau dan salah satu lambang yang ditempatkan pada bagian kerucut atap rumah adat Manggarai. Melambangkan “rang” (kharisma dan kekuatan) orang Manggarai. “Ndeki” (berbentuk kuncir kuda) terbuat dari rotan yang dipilin dengan bulu ekor kuda, di tempatkan pada bagian pinggang, melambang kan kejantanan dan keperkasaan.
Pesona dan daya pikat lelaki Manggarai, sebagaimana seekor kuda jantan yang mengangkat ekor untuk memikat daya tarik sang betina. Sarung songke yang diikat sepanjang lutut, melambangkan kesantunan dan sikap patuh orang Manggarai. Celana panjang putih melambangkan kepolosan, kemurahan dan ketulusan hati. Tubi Rapa dikenakan sebagai manik-manik yang di ikat pada bagian bawa dagu melambangkan kebesaran dan keagungan lelaki Manggarai. Nggorong (gemerincing) diikat pada bagian belakang pinggang.
Selendang leros dililit di pinggang dan dijuntai pada bagian depan sarung. Perlengkapan permainan Caci seperti Larik (Cambuk) terbuat dari kulit kerbau dan dipilin dengan anyaman rotan pada ujungnya, Nggiling (perisai) terbuat dari kulit kerbau untuk menangkis cambukan lawan, Agang (berbentuk busur) terbuat dari rotan atau dahan bambu dipakai untuk menangkis atau menahan gempuran lawan.
Permainan Caci dilakukan antara dua kelompok dari dua kampong yang berbeda. Kelompok tamu di sebut “Meka Landang” sedangkan tuan rumah disebut “Mori Beo”. Pada saat pemain Caci beradu di dalam arena, tuan rumah, pria dan wanita yang berada di luar arena melakukan Danding (bernyanyi lagu Mang ga ra i da l am bentuk lingkaran dengan gerakan berputar) disertai gerakan Sae oleh sepasang pria dan wanita di tengah lingkaran.
Sementara itu beberapa wanita duduk berkelompok sambil memukul gong dan gendang yang bertalutalu untuk menyorakkan suasana. Sasaran cambukan dari pemain Caci adalah bagian badan sebelah atas dari perut hingga kepala. Pemukulan di bagian bawah perut dianggap pelanggaran. Apabila mengenai wajah dinamai Beke . Pemain Caci yang mengalami Beke dinyatakan kalah, harus keluar dari arena permainan pulang ke rumah atau ke kampung halamannya. Permainan Caci dipertunjukkan pada upacara 'Penti' (syukuran setelah panen), Pesso Beo (selamatan kampung), menyambut pengantin baru, tamu penting, dan dalam upacara gembira lain seperti Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan.


rang = kewibawaan

Description: http://assets.kompas.com/data/2k11/comment/images/ajax-loader.gif 

 

Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Caci...

Jumat, 15 Juni 2012 | 08:10 WIB


Caci merupakan wujud puji dan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas keberhasilan, baik hasil panen, perkembangan penduduk, serta kesehatan jasmani dan rohani. Bagian tubuh yang terkena cambuk mempunyai arti yang penting. Bila punggung lawan terkena cambuk, itu pertanda baik, panen akan menjanjikan. "Darah mengalir dari luka yang kena pecutan cambuk merupakan persembahan kepada leluhur untuk kesuburan tanah,


Ada kepercayaan bahwa semakin banyak darah yang ditumpahkan, maka panen semakin berlimpah.





Description: http://assets.kompas.com/data/2k11/comment/images/ajax-loader.gif
KOMPAS.com — Betul, kalau ingin melihat komodo di habitatnya, Pulau Rinca dan Pulau Komodo, kota terdekat untuk menjangkau binatang purba tersebut adalah Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Komodo, primadona pariwisata NTT itu, kini menjadi salah satu dari New 7 Wonders of Nature. Dampak positifnya, kota di ujung barat Pulau Flores ini selalu diramaikan kedatangan wisatawan dalam dan luar negeri. Pesawat yang mendarat di Bandar Udara Komodo hampir dipastikan selalu penuh penumpang, apalagi di musim libur. Tujuannya sebagian besar ingin melihat langsung komodo di alam aslinya.
Namun, sebelum melihat komodo, Kota Labuan Bajo juga memiliki beragam obyek wisata yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Sebut saja Kampung Melo. Kampung Melo yang terletak di Desa Liang Ndara, Kecamatan Sanonggoang, merupakan kampung terdekat untuk bisa menyaksikan kesenian tradisional, yakni Caci.
Penasaran dengan pertunjukan Caci, Rabu (30/5/2012) pagi, rombongan Tim Adira Beauty X-Pedition meluncur ke Kampung Melo yang berjarak sekitar 22 km dari pusat kota. "Tidak jauh Bapak, tak sampai setengah jam dari Labuan Bajo," kata Jack, pemandu wisata yang sudah sepuluh tahun menggeluti pekerjaan menemani wisatawan mengunjungi obyek wisata di Kabupaten Manggarai Barat.
Selama perjalanan menuju Kampung Melo, iring-iringan mobil melewati jalan lintas provinsi, jalan yang hanya cukup untuk berpapasan dua mobil. Perjalanan melintasi jalan lintas Flores ini terbilang sangat lancar dan tidak ada hambatan sama sekali. Sangat menyenangkan, jauh dari kemacetan seperti di Jakarta. Setelah melewati Kota Labuan Bajo, selanjutnya jalanan menanjak dan pemandangan di kiri-kanan jalan dipenuhi pepohonan yang menghijau.
"Itu Kampung Melo. Sebentar lagi kita sampai," kata Jack sambil tangannya menunjuk arah depan di mana sudah ada spanduk selamat datang di Kampung Melo yang siap menyambut rombongan Tim Adira Beauty X-Pedition yang saat itu tengah memasuki etape ketiga, yakni menjelajahi bumi Flores. Adira Beauty X-Pedition memulai perjalanan wisata ini dari Tugu Nol Kilometer, Sabang, Aceh. Etape terakhir adalah Papua pada awal Juli 2012.
Nah, sebelum memasuki Kampung Melo, rombongan disambut ketua adat di pa'ang atau pintu masuk kampung serta diiringi alunan musik tradisional. Setiap tamu disambut secara khusus dengan mendapatkan selendang khas Kampung Melo. Lokasi Kampung Melo sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Jika cuaca cerah, pemandangan Kota Labuan Bajo dari atas bukit ini begitu cantik.
Musik tradisional masih terus mengiringi para tamu menaiki anak tangga satu demi satu memasuki rumah adat yang dinamakan Rumah Gendang. Ini sekaligus mencerminkan bahwa tuan rumah sangat gembira dan dengan hangat menyambut tamunya.
Di halaman Rumah Gendang, tim Adira Beauty X-Pedition duduk di halaman dan mulailah ketua adat menggelar serangkaian ritual untuk menyambut tamu. Ketua adat juga mendoakan dan memberikan kata-kata ucapan dalam bahasa adat, tanda menerima kami sebagai tamunya. Bagi masyarakat Manggarai Barat, wajib hukumnya menyambut tamu dengan baik dan ramah. Bila sampai ada tamu yang tidak disambut dengan baik, artinya mereka gagal menjaga adat Manggarai Barat. Semua rangkaian prosesi adat ini menunjukkan bahwa Ketua Adat Kampung Melo menerima kunjungan tamu dengan senang hati dan sudah menganggap tamu sebagai saudara.
Sebagai bentuk tanda keakraban, para tamu akan diberikan sopi atau tuak lokal serta pinang sirih. Sopi yang disajikan adalah hasil olahan penduduk Kampung Melo dari pohon enau dan sebagai sopan-santun, para tamu wajib meminumnya. Jangan ragu untuk meneguk sopi, karena rasanya manis. Seusai penerimaan secara adat, tamu akan dipersilakan memasuki Rumah Gendang dan setelah itu dipersilakan duduk di halaman rumah untuk menyaksikan tarian Caci.
Di halaman, beberapa penduduk pria Kampung Melo telah siap-siap dengan kostum dan peralatan tarian Caci, yakni kain yang melingkari pinggang, lonceng yang melingkari pergelangan kaki dan pinggul, tameng, cambuk, dan tongkat. Cambuk yang digunakan terbuat dari rotan dan pegangan kulit. Tameng terbuat dari bambu rotan dan kulit kambing.
Atraksi Caci terdiri dari beberapa babak, di mana setiap babak terdiri dari dua pemain yang secara bergantian akan beralih peran sebagai penyerang dan yang diserang. Ketika melakukan penyerangan, sang penyerang memegang cambuk dan segera mengambil ancang-ancang, memutar-mutar cambuk di udara, melompat-lompat, mengumpulkan seluruh tenaga untuk melakukan serangan dengan mencambuk lawan. Gaya si penyerang yang mengambil ancang-ancang membuat lonceng yang melilit pinggang dan kaki begitu berisik, membuat penonton menahan napas, ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi. Sementara yang diserang telah melindungi kepalanya dengan topi dan menutupi wajahnya dengan kain dan tak lupa memegang tameng untuk menahan diri dari serangan.
Alunan musik pun semakin meningkat, mencekam, sekaligus menggairahkan suasana. Bumi makin bergetar dan tiba-tiba.... jeddarrrrrr!!! Suara cambuk yang ujungnya terbuat dari kulit kerbau dan telah dikeringkan itu menggelegar serta mengagetkan tamu yang menyaksikan. Tak sedikit dari mereka yang menutup wajahnya saat melihat si penyerang mencambuk lawannya dengan sekuat tenaga.
Lantas apa yang terjadi? Meskipun mendapatkan cambuk dengan sangat kuat dan membuat luka memar di pinggang dan lengan, tetapi yang diserang malah tertawa-tawa dan menari-nari dengan riangnya. "Ooooiiiii.... maantaappp...." teriak yang diserang sembari tersenyum dan menari, seolah-olah cambukan yang diperolehnya tidak berarti sama sekali. Masing-masing dari mereka merasa gembira dan damai. Babak berikutnya, yang diserang akan berganti posisi sebagai penyerang. Demikian hal itu dilakukan dengan pasangan yang lain.
Meskipun tampak seperti perkelahian serius serta menimbulkan luka, tidak ada rasa dendam antara keduanya. Mereka tetap tersenyum sambil terus menari-nari diiringi alunan musik tradisonal.
Menurut Jack, tarian Caci bukan suatu pertandingan untuk mencari yang menang atau yang kalah. Caci merupakan wujud puji dan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas keberhasilan, baik hasil panen, perkembangan penduduk, serta kesehatan jasmani dan rohani. Bagian tubuh yang terkena cambuk mempunyai arti yang penting. Bila punggung lawan terkena cambuk, itu pertanda baik, panen akan menjanjikan. "Darah mengalir dari luka yang kena pecutan cambuk merupakan persembahan kepada leluhur untuk kesuburan tanah," katanya.
Setelah tarian Caci berakhir, dilanjutkan dengan tarian yang dibawakan penduduk perempuan Kampung Melo, yakni Ndundu Ndake dan Tetek Alu. Tarian Ndundu Ndake merupakan tarian persembahan kepada tamu untuk mengekspresikan rasa syukur, terima kasih, dan kebahagiaan.
Selain Ndundu Ndake, ada lagi Tetek Alu, sebuah permainan tradisional di mana kaum perempuan menggerak-gerakkan bambu-bambu dan ada yang menari sambil menghindari jepitan bambu. Para tamu akan diajak bergembira menikmati permainan tradisional dengan iringan musik gendang. Presdir Adira Finance Willy Suwandi Dharma saat pertama bermain Tetek Alu agak kikuk juga. Namun, setelah menemukan irama yang pas, Willy mulai sedikit piawai melompat-lompat menghindari jepitan bambu. Kuncinya cuma satu, jangan sampai kaki Anda terjepit bambu.
Sebelum meninggalkan tempat, ketua adat Kampung Melo mengatakan, "Kami tahu perjalanan Bapak ke puncak Melo. Kami gembira terima Bapak. Semoga tak ada halangan di jalan. Semoga Bapak kembali dengan aman dan bahagia...."


Editor
: I Made Asdhiana



Kota Komba, Manggarai

Pambuka
Kecamatan Kutha Komba iku salah sijining kecamatan neng Kabupaten Manggarai provinsi Nusa Tenggara Timur. WOLOMBORO- DESA BAMO KEC.KOTA KOMBA-FLORES KABUPATEN MANGGARAI TIMUR. Wolomboro adalah Nama dari sebuah kampung yang ada di Desa Bamo-Kec.Kota Komba-Flores Barat Kabupaten Manggarai Timur-Indonesia.Yang masih banyak menyimpan sejarah Budaya atau Adat Traditional bahkan sampai saat ini kita masih dapat menyaksikan Atraksi-atraksi Budayanya. Wolomboro Tetangga kampung Wokopau yang sangat mengalami kekurangan atau sumber daya hidup masyarakatnya masih sangat terbelakang, kemiskinan terdampak jelas di kampung ini. Walaupun mereka begitu susah hidupnya tapi banyak menyimpan sejarah Budaya di Manggarai Timur. Kampung yang pusatnya Atraksi Traditional seperti ; Caci Dance- Danding atau Tandak- Fera Dance- Mbata ( pemukulan tambur dan gong ) Serta pembuatan Perlengkapan alat-alat dapur dari Tanah Merah yang terkandung di gora kampung ini dengan menggunakan peralatan yang sangat sederahana atau traditional.
DANDING ( TANDAK ) ;
Danding adalah Sebuah Tarian serta Nyayian dalam bentuk Pantun dari kelompok Pria, dan kelompok Wanita yang menjawabnya ataupun sebaliknya. Lagu atau Danding ini sebuah tanya jawab apa yang terjadi di bumi ini dalam kehidupan sehari-harinya. Pelaksanaannya pada malam hari, dimana peserta Tandak membentuk sebuah linggkaran dan saling berpegangan pundak atau berpelukan dan berjalan sambil mengangkat kaki dan menghentakan kaki ke tanah yang di ketuai oleh seorang yang namanya;Kepala Nggejang dari bahasa daerah setempat atau pemberi Irama gerakan dari lagu atau nyanyian tersebut dan berdiri di tengah lingkaran dengan membunyikan alat Giring-giring dari bahan besi atau perak campur perunggu.
Tarian ini bertujuan agar Pemuda dan Pemudi saling mempunyai kesempatan untuk saling berpandangan dan kadang-kadang berakhir dengan jatuh cinta. Intinya Tarian ini dibuat sebagai tempat pertemuan antara Pemuda dan Pemudi dari berlainan kampung pada malam hari. Pada saat acara ini berlangsung semua bebas memilih pasangan dan tidak ada yang melarangnya selama pertemuan pemuda-pemudi berjalan aman,asal jangan melakukan pemerkosaan. Banyak Wanita yang lari ikut Pria pada acara ini dan bersatu menjadi Suami Istri jika keluarganya merestui pernikahan anaknya. Ada juga yang tidak, jika masih ada hubungan keluarga atau sejarah nenek moyangnya sama. Dan yang hadir pada acara ini dari Anak kecil sampai orang dewasa dari beberapa kecamatan yang ada di manggarai timur. Acara ini diadakan setiap selesai panen yaitu pada bulan Juli-oktober setiap tahunnya.
FERA DANCE ( TARI FERA ) :
FERA adalah sebuah Tarian yang sangat Tua dari beberapa abad yang lalu, yang pelaksanaannya bisa pada malam hari ataupun pada siang hari di bulan yang sama. Jenis Tarian seperti ini cuman ada di kampung Wolomboro yaitu tetangga kampung wokopau dan banyak diminati oleh wanita yang telah bersuami, saling berpegangan tangan dan membentuk baris memanjang, bernyanyi sambil menari dengan memgangkat kaki satu sebatas pinggang. Dan yang Pria membentuk barisan sendiri dengan irama yang sama dan lagunya’pun menceritakan tentang nenek moyang yang telah lama meninggal atau cerita-cerita pada zaman dahulu kala dalam bahasa Rongga atau bahasa daerah setempat.
Gerakannya sangat jauh berbeda dengan Tari Tandak, Fera tidak terlalu memakan energi sedangkan Tandak membutuhkan energi yang banyak. Begitu pula dalam menyanyikan sebuah lagu, kedengarannya lebih merdu dan bersahaja jika dibandingkan dgn lagu atau nyanyian tandak. Tradisi ini hanya dilaksanakan jika ada peringatan kematian Nenek atau orang-orang yang di anggap sabagai ketua Adat pada masa kejayaannya. Kampung-kampung yang memiliki Tradisi FERA di Manggarai timur yaitu; Kampung Wolomboro,Kampung Bamo atau Mbero, Kampung Pandoa, Kampung Sere dekat Kisol dan Kampung Nangarawa. Selain kampung yang ada diatas tidak ada yang melakukan tarian Fera, tapi pada umumnya Masyarakat yang tinggal di lingkungan manggarai atau Flores barat mengenal jenis Tarian ini.
CACI DANCE ( TARI CACI ) :
Pertandingan Caci biasanya dibuka dengan Kelong atau Nyanyian Adat dari yang menseponsori acara Tari Caci, bisa dari kelompok setempat ataupun dari luar lingkungan kampung wolomboro, lalu di ikuti dengan Tandak atau Danding oleh kelompok tersebut. Lagu atau Nyanyian Kelong tidak boleh di nyanyikan di sembarang tempat, karena nyanyian ini bertujuan untuk memanggil arwah-arwah orang yang telah meninggal dunia atau nenek moyang yang telah lama meninggal untuk hadir bersama dalam menyaksikan atraksi Caci yang akan dilaksanakan.
Dan jika "Kelong"atau lagu Adat ini telah di nyanyikan oleh kelompok tertentu maka tari Caci pada hari itu harus dilaksanakan atau jadi terlaksana. Sebelum diadakan Kelong tidak boleh melakukan pertandingan Caci. Sebelum beradu dilakukan pemanasan dengan menari yang diiringi gong dan tambur sambil menyanyikan lagu manggarai. Untuk memanas-manasi keadaan lawan para penari ini berjalan sambil menari mengelilingi lingkaran arena pertandingan bila perlu saling menantang.
CACI dimiliki oleh seluruh kampung di Manggarai Flores Barat, biasa dilaksanakan setelah memungut hasil dari ladang kering ataupun sawah setiap tahunnya pada bulan juli sampai oktober dan di laksanakan pada siang hari oleh dua kelompok masing-masing tiga pasang atau lebih, tergantung dari luasnya arena pertunjukan. Dimana acara pemukulan'nya dgn sebuah Larik atau pecut satu lawan satu dari kelompaknya masing-masing. Dengan ketentuan memukul sebatas pinggang sampai di bagian kepala.
Dengan Asesoris di kepala yang begitu indah, biasanya memakai "Pangga"dalam bahasa daerah setempat. Yaitu sebuah Asesories yang dibuat dari kulit kerbau berbentuk sebuah tanduk lalu dibalut dengan kain sampai membentuk seperti tanduk kerbau, dan di tengah tanduk ada asesories membentuk ekor kuda ini pertanda bahwa mereka perkasa seperti seekor kerbau atau seekor kuda jantan. Tubuh harus dalam keadaan telanjang,dan dari pinggang kebawah dikenakan Sarung Songket Manggarai dengan segala Asesories lainnya termasuk Giring-giring yang digantungkan dibelakang pinggangnya agar pada saat menari dapat mengeluarkan irama atau nada yang merdu didengar dalam mengikuti irama gong yang dibunyikan oleh kelompoknya.
Biasanya pembuka pukulan dari Toko-toko Adat yang seponsor acara Caci ini, dan dari kelompok pendatang atau dari luar daerah setempat yang menadahnya atau menangkis. Masing-masing pemain harus melihat siapa penantangnya, karena kalau masih ada hubungan darah atau keluarga tidak boleh melakukan pengaduan atau pemukulan. Kecuali sebatas teman atara kampung. Para pemain dalam mengadu ketangkasan dan keluwesan dalam menangkis pukulan lawan bisa dimulai dengan bertindak sebagai pemukul dan pada kesempatan lain sebagai penangkis. Dan juga tidak ada keharusan untuk menadah pukulan lawan setelah kita memukulnya, bisa di ganti dengan pemain yang lain.
Mbete,Larik atau pecut yang dibuat dari kulit kerbau yang kering ini jika mengenai badan bisa menimbulkan luka. Sebab kalau di kampung Wolomboro ini, di ujung Pecut'nya di pasang sebatang Lidi dari pohon Nira atau pohon tuak bahasa setempat. Ini bertujuan agar sebelum melakukan pemukulan para pemain membunyikan pecut tersebut seperti suara sebuah bom yang meledak ( ini juga salasatu cara untuk memanasi lawanya ) dan jika lidi dari tuak ini mengenai badan langsung mengeluarkan darah atau luka.
Para penonton pun harus membuka mata karena kadang-kadang lidi ini putus dalam saat melakukan pukulan dan mencar'nya ke penonton.( penonton bisa membawa luka tanpa bermain caci ) Dengan lincah si penyerang mengayunkan pecutnya ke tubuh lawan, sementara si penangkis berupaya menghalangai sabetan pecut dengan sebuah Tameng atau perisai dari kulit kerbau dan sebuah tereng yang terbuat dari sebatang bambu kering yang ukurannya 2 -3 meter.Tapi yang pakar'nya dalam bermain caci bisa menadanya dengan sebuah tempurung kelapa sebagai tameng dan sepotong kayu yang ukuran 1meter sebagai terengnya. jika pukulannya kena membuktikan bahwa penyerang berhasil mengalahkan lawanya. Dan jika megenai wajah bahasa setempatnya bilang "Beke" harus diganti dengan posisi orang lain dan ini pertanda pembawa sial dalam kelompoknya dan malu karena kalah dalam pertandingan ini.Tapi semua pemain caci sudah siap menerima resiko sehingga para pemain harus mahir memukul dan memblokade pukulan lawan.
Setelah pukulan berakhir si penada ini mengeluarkan suara atau Paci. Paci adalah bahasa kiasan yang mengartikan kehebatan seseorang. Contoh paci menyebutkan sebuah benda seperti Jangkar/Anker/Saul. jika Anker ini sudah tersangkut di batu karang ,perahu yang membuang Anker ini tak mungkin bisa berjalan atau hanyut terbawa arus. Jika ada orang yang mengeluarkan Paci jenis ini pertanda bahwa dia paling hebat dalam permainan Caci.
Lalu ada lagi bahasa setelah Paci, yaitu bertanya kepada penonton apakah permainan saya cantik atau tidak? Apakah anda melihat pukulan tadi kena atau tidak? Dan penonton menjawabnya dengan versi suport "Cantik dan tidak kena".Di dalam Bahasa daerahnya ; "Oe...Ema O....!!!! Hena ko toe...? pass pasang daku ema..?Kelompoknya menjawab:"Oeeeee.....!Passss Anak......!
selanjutnya Danding atau Tandak atau menyanyikan lagu daerah manggarai. Pada saat Menyanyikan lagu atau paci,tameng dan tereng tidak boleh lepas dari tangannya,dia harus memberikan tameng ini kepada lawannya dalam posisi badan menunduk atau jongkok tanda penghormatan,begitupun yang menerimanya. Mahir memukul lawan,trampil menangkis serangan,sportifitas tinggi,bisa mengendalikan diri dalam arti walaupun terluka wajib memberi hormat kepada lawannya. Indah menarinya dan merdu menyanyikan lagu daerah adalah salasatu persyaratan dalam pertandingan Caci ini sehingga para penonton sangat terhibur.
Tidak boleh ada yang menyimpan rasa dendam dalam pertandingan ini dan setelah pertandingan usai para pemain saling berjabatan tangan dan memaafkanya. Caci dimulai dari jam 08.00am sampai jam 06.00pm dan ditutupi dengan membuang selembar Tikar dari daun pandan ke tengah lapangan pertandingan, ini pertanda bahwa Caci telah selesai dan para pemain harus berhenti melakukan pemukulan dan masing-masing kelompok semua bubar. Kadang-kadang malamnya dilanjutkan dengan acara Danding atau Tandak, itupun jika yang punya acara dan para Ketua Adat merestuinya.
MBATA ( PEMUKULAN TAMBUR DAN GONG ) :
Kehidupan orang-orang dikampung ini sangat sederahana dan masih berpegang teguh pada Adat. Sehingga selalu ada yang mengadakan pesta Adat setiap tahunnya. Ritual terbesar yang diadakan di kampung wolomboro yaitu acara peringatan kematian Nenek Moyang, dimana seluruh Masyarakat dari kampung; Pandoa,Bamo,Mbero,Sere,Watu nggong,Nanga Rawa,Wolobaga,wae Soke,Wae Kutung dan Wokopau, semua berkumpul dalam satu rumah adat dan masing-masing suku atau kilo/clan membawah hewan kurban.
Pada acara ini mengorbankan hewan yang banyak, dan pada malam hari diadakan "Mbata"Acara pemukulan Tambur dan gong dengan menyanyikan lagu-lagu Traditional sepanjang malam, dengan tujuan memohon restu kepada semua makhluk penjaga tanah agar acara pemotongan hewan dan memberi makanan kepada nenek moyangnya dapat berjalan mulus tanpa ada halangan atau percecokan antar suku.
Menurut kepercayaan dari kampung ini, pada saat Tambur dan Gong dibunyikan pada malam hari, semua arwah orang yang telah meninggal dunia mendengar, datang dan hadir pada palam itu. Sehingga pada saat pemukulan Tambur memiliki dua irama; Mbata dan Tete ndere. Mbata irama pukulannya pelan dengan menggunakan telapak tangan di iringi dengan nyanyian yang lamabat juga, sedangkan Tetendere iramanya cepat sebagai tanda kebahagiaan tanpa nyanyian dengan menggunakan stick atau kayu khusus yg dibuatnya untuk memukul tambur.Di Kampung ini Tambur dibuat dari Kulit Kambing atau kulit Sapi yang sudah kering.
PERLENGKAPAN ALAT DAPUR DARI TANAH MERAH ;
Di Wokopau,Wolomboro dan Wae Soke adalah tempat pembuatan Periuk dari Tanah Merah. Dari semua jenis perlengkapan dapur dibuatnya .Membuatnya pun sangat Traditional yaitu menggunakan batu sebagai palu, air dan daun pisang sebagai pembungkus tanah beralaskan selembar papan sebagai dasar penyimpan tanah yang mau di peram. Proses pembuatan sebuah periuk yang bagus membutuhkan waktu dua bulan. Awal dari prosesnya sebagai berikut; Tanah di Gali dengan memakai linggis yang terbuat dari kayu, dan di bungkus dengan daun pisang, lalu di peram selama dua minggu. Dalam proses pemeraman tanah ini harus di siram setiap pagi sore. Tanah ini di giling memakai kaki atau tangan dan di peram lagi selama dua malam lalu proses pembuatan periuk,mangkok,senduk,gelas dll.
Setelah membentuk sebuah periuk dibilas lagi memakai air dan secabik kain untuk memperhalus bentuk dari sebuah periuk dan di jemur satu atau dua minggu lamanya di Matahari. Dalam proses penjemuran juga harus di jaga jangan sampai ada yang retak atau goresan dari binatang peliharaan. Jika ada yang retak atau ada goresan harus cepat-cepat di bilasnya dengan secabik kain basah jika masih mungkin untuk dibilas,sebab kalau tanahnya sudah mengering sedikit susah untuk membilasnya. Setelah benar-benar kering lalu dibakar dengan memakai bambu kering atau pelepah kelapa kering sampai benar-benar mengeluarkan warna merah dan mengeluarkan bunyi yang nyaring jika menyentuhnya dengan jari tangan kita.
Adapun larangan-larangan pada saat mengambil Tanah ini yaitu; Menggalinnya tidak boleh memakai alat jenis besi, Pada saat menggali tidak boleh mengeluarkan angin melalui anus(Kentut), tidak boleh batuk, dan tidak bole berbicara kotor jika ada teman di samping kita dan membawahnya pun harus memakai bakul atau keranjang dari jenis daun-daunan.
Mengapa peraturan ini dibuat supaya pada proses pembuatannya nanti tidak ada yang retak atau pecah. Kalau ada yang tidak mengikuti peraturan diatas maka sia-sialah dalam pembuatannya akan pecah atau tidak jadi sama sekali. Nilai penjualan dari sebuah periuk tanah ini tidak sebanding dengan tenaga atau waktu dari sipembuat. Per buah kira-kira mencapai 5000 rupiah tergantung jenis dan ukurannya.
Adapun keuntungan jika kita memasak dari periuk tanah ini yaitu; Jika menanak nasi menimbulkan rasa gurih atau mengeluarkan bau harum yang sangat natural dari jenis beras atau jagung tersebut dan tidak menimbulkan hangus atau berbentuk kerak. Begitupun jika memasak sayur.
Masih banyak Masyarakat di kampung yang sampai saat ini menggunakan Alat Traditional diatas. Jika ada orang yang menarik dengan pembuatan periuk dari Tanah Merah yang seperti di atas, bisa saja langsung mengunjungi kampung tersebut dan yang menarik dengan Traditional Dancing harus menunggu waktu acara dibuatnya.
MR.DUS. TOUR GUIDE. Multikuturelle Schule Frankfurt am Main Germany.
http://jv.wikipedia.org/wiki/Kota_Komba,_Manggarai


 _______________________________________________________________________________

 CACI

sumber:
 https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=862465367119609&id=804016502964496

Diakses  pada tanggal  17 Januari 2015  pukul  11:30 am, JPS.


Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” (satu hati untuk Manggarai).
Di Manggarai, Flores - NTT, caci itu sendiri adalah tarian kesatriaan pria-pria Manggarai. Watak kesatriaan itu terlihat pada ketangkasan menggunakan peralatan dan pernak-pernik caci. Peralatan dan pernak-pernik tersebut, dalam bahasa Manggarai, adalah panggal, lalong ndeki, nggorong, nggiling, agang, larik, sapu dan songke. Caci secara etimologis berasal dari dua suku kata yakni ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti lawan. Jadi, caci berarti tarian seorang melawan seorang yang lain. Prinsipnya adalah sportif dan kreatif dalam aksi.
Selain tarian caci, ada juga tarian lain yang bertalian dengan pentas budaya Manggarai yakni tarian tiba meka, danding dan 2 (dua) tarian kreasi (sae kaba-ndundu ndake-pua kopi). Masing-masing tarian tersebut mengungkapkan kehangatan sikap orang Manggarai dan menceritakan kebiasaan dalam realitas orang Manggarai.
Aspek-aspek dalam sinopsis tari
1. Nama tarian : Tari Caci (Tari Perang Nusa Tenggara Timur)
2. Nama tempat (keadaan lingkungan tarian tersebut berasal) :
Caci atau tari Caci atau adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti Manggarai.
3. Klasifikasi Tari :
Tari Caci adalah ritual Penti Manggarai. Upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang satu ini dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
Ritus penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti. Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan sirih, pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke tanah.
Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya, supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali. Lagu itu disebut Sanda Lima.
Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan penghormatan terhadap padi yang telah memberikan kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal dari rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai.
Sebenarnya, ritual Barong Lodok juga disimbolkan untuk membagi tanah ulayat kepada seluruh anggota keluarga. Tanah yang bakal dibagikan itu mempunyai beragam perbedaan luas, tergantung status sosial. Pembagiannya disimbolkan dengan Moso, yakni sektor dalam Lingko yang diukur dengan jari tangan. Tanah tersebut dibagi berdasarkan garis yang mirip dengan jaring laba-laba. Tua Teno adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas membagi tanah tersebut.
Sehabis Barong Lodok, prosesi berlanjut ke ritual Barong Wae. Di sini, warga kembali akan mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air. Menurut kepercayaan, selama ini roh leluhur itu telah menjaga sumber mata air, sehingga airnya tak pernah surut. Ritual ini juga menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan mata air bagi kehidupan seluruh warga Desa. Korban yang dipersembahkan adalah seerkor ayam dan sebutir telur.
Rangkaian upacara dilanjutkan dengan ritual Barong Compang. Prosesinya dilakukan di tanah yang berbentuk bulat, yang terletak di tengah kampung. Roh penghuni Compang juga diundang mengikuti upacara penti di rumah adat pada malam hari. Suku Manggarai mempercayai, roh kampung yang disebut Naga Galo selama ini berdiam di Compang.
Bagi suku Manggarai, peranan Naga Galo sangat penting dan amat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya, Naga Galo-lah yang telah melindungi kampung dari berbagai bencana. Mulai dari kebakaran, angin topan, bahkan bisa menghindarkan timbulnya kerusuhan di kampung. Ritual Barong Compang diakhiri dengan langkah rombongan yang masuk ke rumah adat, untuk melakukan upacara Wisi Loce. Di sana, mereka menggelar tikar, agar semua roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti.
Keluarga dari rumah adat Gendang dan Tambor melanjutkan acara Libur Kilo. Prosesi yang satu itu bertujuan mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat. Uniknya, upacara tadi dipercaya sebagai upaya membaharui kehidupan bagi seluruh anggota keluarga. Sebab dalam upacara itu, warga yang bermasalah, dapat membangun kembali hubungan keluarga supaya lebih baik lagi.
Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya.
Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.
4. Tema (cerita tari) :
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” atau Satu hati untuk bumi Manggarai. Makna cerita ini mempertegas bahwa caci bukanlah tarian atraksi saling unjuk kekuatan atau kecekatan, melainkan tarian yang menggambarkan keakraban dan persaudaraan. Tarian ini menggambar suka cita masyarakat Manggarai.
5. Pencipta Tari : Tidak diketahui
6. Para penari atau pemusiknya :
Para penari caci semuanya adalah laki-laki tetapi tidak semua lelaki dapat unjuk kebolehan dan keterampilan di arena caci. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah tubuh atletis adalah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang penari caci. Syarat lainnya, penari harus pandai pula menyerang lawan dan atau bertahan dari serangan lawan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu daerah. Hal-hal tersebut yang akan mereka lakukan selama pertunjukkan yang diringi musik gendang, gong, dan nyanyian. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci.
Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci. Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.
Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara mereka. Yang ada hanya suka cita.Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.
7. Gambaran interaksi dan komunikasi antar pendukung tari, pemusik, penonton, atau masyarakat secara luas.
Saat diadakan pertunjukkan caci, biasanya pesta besar pun dilangsungkan dengan memotong beberapa ekor kerbau kemudian disajikan sebagai makanan bagi para peserta dan penonton. Biasanya, dua kelompok tari caci merupakan kelompok laki-laki dari dua desa atau kampung. Sorak penonton menggema, memahami makna tetesan darah sebagai persembahan untuk kesuburan dan lambang kejantanan.
8. Bentuk gerak :
Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
Sebelum tarian seru ini dimulai, pertunjukan tari caci akan diawali terlebih dahulu dengan pentas tari danding atau tandak manggarai. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Pihak penyerang akan menyerang dan mencambuk tubuh lawan, terutama bagian lengan, punggung, dan dada. Tugas pihak lawan adalah menangkis atau menghindari serangan tersebut dengan perisai dan busur yang ia pegang di masing-masing tangan. Apabila kurang lincah mengelak maka dipastikan cambuk akan menyisakan bekas di tubuh hingga berdarah. Apabila pihak yang bertahan terkena cambuk pada matanya maka ia dinyatakan kalah (beke) dan kedua penari harus keluar arena dan digantikan oleh sepasang penari lainnya.
Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Dua di antara empat orang itu saling berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak ubahnya petir. Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu. Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
9. Bentuk iringan :
Para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. Iring-iringan musik dari tetabuhan gendang, gong mengeras, tembong, nggong, dan nyayian yang mempengaruhi gerak fisik.
10. Tata rias dan busana :
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung.
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan. Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan bergemirincing mengikuti gerak penari sekaligus penambah semarak musik gendang dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian.
Para penari tersebut nampak gagah mengenakan pakaian tersebut ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata. Penari yang berperan sebagai penyerang (paki) dipersenjatai dengan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang dikeringkan. Pegangan cambuk juga terbuat dari lilitan kulit kerbau. Pada bagian ujung cambuk, biasanya dipasang kulit kerbau tipis yang sudah dikeringingkan (lempa) atau dapat juga menggunakan lidi enau yang masih hijau (pori).
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan.
11. Properti yang digunakan :
Pemain dilengkapi dengan pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala), pelindung dada, pelindung kaki dan lutut (bik). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (songket khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas.
Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan perisai.
Bagi orang Kabupaten Manggarai, caci merupakan pesta besar. Desa penyelenggara memotong beberapa ekor kerbau untuk makanan para peserta dan penonton.
12. Peraturan :
Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, namun memukul dilakukan secara bergantian. Para pemain dibagi menjadi dua kelompok yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh kelompok tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang atau disebut meka landang yang berarti tamu penantang. Tarian Danding atau tandak Manggarai ditarikan sebagai pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak hanya menari namun juga melecutkan cambuk ke lawan sembari berpantun dan bernyanyi. Lokasi pertandingan caci biasanya di halaman rumah adat.
Bila pukulan lawan dapat ditangkis, maka pecutan tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat ditangkis, pemain akan menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain itu langsung dinyatakan kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.
Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau dere) para pendukung. Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok lainnya memberi dukungan sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai tempat minum tuak yang dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan penonton. Seperti layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada mendukung penyerang, sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota kelompok atau penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan lebih kuat lagi.


_____________________





Tidak ada komentar:

Posting Komentar