Wae Rebo, Nominasi ASEANTA Award for Excellence 2016
Rabu, 2 Desember 2015
http://travel.kompas.com/read/2015/12/02/110556227/Wae.Rebo.Nominasi.ASEANTA.Award.for.Excellence.2016?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
ARSIP KANISIUS T DECKI
Beberapa tokoh Flores, NTT Ivan Manasa, Kanisius T Decki dan
kawan-kawan menerima penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif RI di Hall Room Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona,
Kementerian Pariwisata RI, Selasa (1/12/2015).
RUTENG, KOMPAS.com - Wonderful Indonesia siap
untuk memenangkan ajang ASEANTA (ASEAN Tourism Association) Awards for
Excellence yang akan diselenggarakan di Manila 19 Januari 2016.
Dalam
ajang ASENTA Awards For Excellence 2016, ada 6 kategori yang
dikompetisikan. Keenam kategori itu adalah: Best ASEANTA Tourism photo,
Best ASEANTA Travel Article, Best ASEANTA Marketing & Promotional
Campaign, Best ASEANTA New Tourism Attraction, Best ASEANTA Airline
Program For ASEAN dan Best ASEANTA Cultural Preservation Efforts.
“ASEANTA
Awards 2016 dengan tagline ‘Striving for Excellence’ dimaksudkan untuk
mengapresiasi berbagai upaya terbaik dalam mendukung pariwisata di
kawasan ASEAN. Kita sudah menerima 29 karya anak bangsa dari 6 kategori
yang akan dilombakan. Karya-karya itu kita sudah kirim ke Sekretariat
ASEANTA di Malaysia beberapa waktu lalu," kata I Gde Pitana selaku
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian
Pariwisata.
Jelang ajang kompetesi ini di Manila, tim promosi
pariwisata untuk Wae Rebo, Iwan Manasa, Kanisius T Deki, Aprila Moenaf,
Iqbal dan Ridho juga diundang untuk menghadiri Malam Penganugerahan
Branding Pariwisata di Hall Room Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona,
Kementerian Pariwisata.
BARRY KUSUMA Penduduk Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
"Wae
Rebo menjadi salah satu nominator dalam ajang ini di Manila untuk
bidang Best ASEANTA Cultural Preservation Efforts. Malam hari ini kami
berbangga hati menerima penghargaan Kemenpar. Ini menunjukkan Wae Rebo
makin dicintai masyarakat Indonesia," ujar Iwan Manasa kepada
KompasTravel melalui surat elektronik, Selasa (1/12/2015).
Manasa menjelaskan, alasan terpilihnya Wae Rebo sebagai salah satu destinasi wisata tentulah sangat mendasar.
“Wae
Rebo memiliki kekayaan alam luar biasa. Pesona keindahan alam sangat
memikat. Selain itu, kekayaan warisan budayanya luar biasa. Jika datang
ke sana, kita seolah-olah anak yang pergi merantau dan pulang kembali ke
rumah setelah bertahun-tahun. Ada suasana kekeluargaan yang hangat,"
ujar Deki, sebagai anggota tim promosi Wae Rebo.
Rufinus Lahur, seorang tokoh Manggarai di Jakarta mengomentari terpilihnya Wae Rebo sebagai sesuatu yang seharusnya.
BARRY KUSUMA Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
“Wae
Rebo memiliki daya pikat Ilahi yang diekspresikan leluhur orang
Manggarai dalam rupa bangunan, struktur kampong dan pola hidup. Saatnya
kita meneruskan dan menghayati nilai-nilai spiritual ini untuk menjadi
kekuatan dalam membangun kehidupan," imbuhnya disertai rasa bangga.
Bagi
tim promosi tempat wisata yang lolos dalam kompetisi di Manila 19
Januari 2016 akan diundang menghadiri Malam Penganugerahan ASEANTA di
ibu kota Negara Filipina.
“Kita berharap, Wae Rebo terpilih
diajang perlombaan ini,” ujar Deki seraya berharap hal itu juga melecut
komitmen masyarakat Manggarai untuk mencintai warisan alam dan
budayanya.
Penulis |
: Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor |
: I Made Asdhiana |
Menyusuri Waewina, Sungai Bawah Gunung di Flores
Senin, 2 Februari 2015 | 12:24 WIB
Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2015/02/02/122400827/Menyusuri.Waewina.Sungai.Bawah.Gunung.di.Flores
Diakses pada 20 Peb. 2015 pukul 12:00
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Menyusuri air Sungai Waewina di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
WOW, sungguh menakjubkan, sungai di bawah gunung
sepanjang tiga kilometer hanya ada di Kampung Lambaleda, Desa
Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sungai bawah gunung itu berada di Sungai Waewina. Warga masyarakat
Lambaleda menyebut sungai bawah gunung itu yang juga termasuk gua alam
bawah gunung itu adalah Werwitu.
Sungai bawah gunung yang juga
termasuk goa alam di bawah gunung pada bagian hulunya atau pintu
mengalirnya air sungai disebut Werwitu. Sementara di bagian hilirnya
atau air sungai keluar disebut Cing Coleng. Hanya masyarakat lokal di
Kecamatan Lambaleda yang mengetahui keunikan air sungai di bawah gunung
Cing Coleng.
Selasa, 27 Januari 2015, sekitar pukul 15.30 Wita,
wartawan Kompas.com bersama dengan sejumlah jurnalis lokal dan bagian
Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur ditantang menyusuri
Sungai Waewina untuk melihat dan menyaksikan langsung keunikan air
sungai yang mengalir di bawah gunung. Bahkan insting jurnalis untuk
menerima tantangan secara spontan keluar untuk pergi melihat langsung
keunikan dan keajaiban goa alam yang dialiri air itu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Menuju Goa Werwitu di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Saat itu, rombongan dalam perjalanan pulang usai mengunjungi Kecamatan
Lambaleda, tepatnya di Kampung Waenenda, Desa Waenenda, bersama dengan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Manggarai Timur,
Belasius Tabur dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, dr
Philiphus Mantur untuk bertemu masyarakat terkait rencana pembangunan
Puskesmas di Waenenda tahun anggaran 2015 ini.
Selama perjalanan
pulang bersama dengan sopir bagian Humas Kabupaten Manggarai Timur, Om
Fabianus Nurung bercerita tentang keunikan air sungai yang mengalir di
bawah gunung. Tiba-tiba dalam kendaraan secara spontan menyepakati untuk
mengunjungi lokasi wisata tersebut.
Nah, sampai di depan gedung
SMAN Lambaleda, rombongan menanyakan informasi kepada masyarakat yang
sedang bekerja membersihkan rumput di ladang tentang jalan masuk menuju
ke goa alam Werwitu.
Berbekal informasi singkat dari warga
masyarakat itu, rombongan memarkirkan kendaraan di pinggir jalan dan
berjalan ke depan asrama SMAN Lambaleda. Dari asrama, kami dipandu oleh
dua siswa SMAN Lambaleda, yakni Emilianus Igu dan Basilus Balawato.
Kedua siswa ini bersama dengan sejumlah rekannya mengetahui lokasi goa
itu dan jalan masuknya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Air di Goa Cing Coleng dari aliran Sungai Waewina di Kampung Lambaleda,
Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara
Timur.
Kami melewati Sungai Waewina, di mana aliran sungai itu sebagai tempat
mandi dari anak-anak asrama Lambaleda. Sesudah itu, rombongan pertama
melewati sebuah persawahan dan rombongan kedua berjalan di pinggir
sungai. Awalnya, kami menuju ke sebuah goa yang berada di bukit, namun,
karena tanahnya licin dan pada musim hujan membuat rombongan
mengurungkan niat untuk masuk ke goa tersebut. Sesudah itu, kami
menyusuri pinggiran sungai menuju ke Goa Werwitu.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, rombongan bersama dengan dua
siswa itu tiba di pintu masuk goa. Saat itu air Sungai Waewina mengalir
sangat deras karena musim hujan. Setiba di depan pintu masuk goa,
rombongan berhenti sejenak sambil mengabadikan keindahan dan keunikan
goa tersebut dengan kamera.
"Pada musim kemarau dan aliran air
Sungai Waewina kecil, kami biasa masuk ke dalam goa untuk melihat burung
Kalong. Namun, jika air Sungai Waewina mengalir deras kami tidak berani
masuk,” jelas kedua siswa tersebut.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Dua murid SMA Lambaleda sebagai pemandu lokal menuju Goa Werwitu di
Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores,
Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Manggarai Timur,
Belasius Tabur yang juga berasal dari Lambaleda menjelaskan, dia sudah
pernah masuk ke goa alam yang berada di bukit beberapa tahun silam.
Satu-satunya goa alam yang dialiri air sungai di bawah gunung adalah Goa
Alam Werwitu.
"Kami akan terus mempromosikan keunikan goa alam
Werwitu di bagian hulunya dan goa alam Cingcoleng di bagian hilirnya.
Kami minta kerja sama dari jurnalis untuk memperkenalkan obyek wisata
ini ke dunia luar,” jelasnya.
Asal-usul Nama Werwitu dan Cing Coleng
Agustinus
Supratman, bagian Humas Pemda Manggarai Timur menuturkan, Werwitu
adalah nama seorang gadis di wilayah Lambaleda. Namun, dalam kehidupan
sosialnya, Werwitu berperilaku kurang bagus di masyarakat. Agar nama
kampung tetap dijaga baik maka para orangtua di wilayah tersebut sepakat
membuang Werwitu di pintu masuk goa tersebut. Nah, mulai saat itu goa
alam itu disebut Goa Alam Werwitu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Air sungai di Cing Coleng yang keluar dari celah batu. Goa Cing Coleng
berada di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur,
Flores, Nusa Tenggara Timur.
"Saya dengar cerita dari orangtua di sekitar wilayah tersebut yang
berkaitan dengan nama Goa Alam Werwitu. Belum banyak yang mengetahui
tentang keunikan goa alam di bawah gunung di Lambaleda tersebut. Bahkan,
rombongan kita bersama dengan wartawan yang pertama mengunjungi goa
tersebut selain warga lokal yang mencari burung kalong,” jelasnya.
Agustinus
melanjutkan, nama Cing Coleng juga memiliki arti. Pertama-tama, ada
seorang bapak dari kampung sekitar itu pada beberapa tahun silam
tersesat. Bapak yang tersesat itu diselamatkan oleh seorang ayam hutan,
dalam bahasa lokal disebut “Rata”. Saat itu ayam hutan sedang menggali
lubang untuk bertelur. Tiba-tiba galiannya tembus ke bawah dan setika
itu sinar matahari tembus di lubang.
Nah, dari dalam tanah ada
suara seorang manusia. Lalu ayam jantan bertanya, dalam bahasa lokal,
"cing" artinya "siapa" dan dari bawah dijawab "co leng" artinya "kenapa"
atau "ada apa". Ketika mendengar suara manusia, ayam jantan
menyelamatkan bapak yang tersesat melalui lubang yang sudah digali
sehingga bapak tersebut selamat.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Patung Bunda Maria di Goa Cing Coleng, Kampung Lambaleda, Desa
Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Saat ini Goa Cing Coleng dikelola oleh Paroki Lambaleda sebagai tempat
ziarah di Keuskupan Ruteng. Ada sejumlah patung, seperti Patung Bunda
Maria. Bahkan di bawah goa itu muncul lima mata air yang mengalir dari
air Sungai Waewina. Setiap Sabtu dan Minggu, goa ini ramai dikunjungi
wisatawan lokal untuk berdoa sambil berwisata,” jelasnya.
Cara Menuju Goa Werwitu dan Cing Coleng
Wisatawan
domestik dan mancanegara yang datang dari Labuan Bajo, ibu kota
Manggarai Barat berjalan di jalan Transflores menuju Ruteng, ibu kota
Kabupaten Manggarai. Dari pusat kota, wisatawan berjalan menuju ke Timur
dan sampai di Bealaing. Dari Bealaing, wisatawan melintasi hutan
lindung Banggarangga menuju ke Beamuring dan menuju ke Bentengjawa, ibu
kota Kecamatan Lambaleda.
Selanjutnya dari pusat Kota Kecamatan
di Bentengjawa, wisatawan belok kanan menuju Timur. Nah, sampai di depan
SMAN Lambaleda berhenti dan berjalan menuju ke Goa Werwitu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Aliran Sungai Waewina di Kampung Lambaleda, Desa Tengkuleda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan ke Goa Cing Coleng, wisatawan berjalan lurus dari ibu kota
Kecamatan Lambaleda menuju ke arah Dampek. Sekitar empat kilometer dari
pusat kota, wisatawan belok kanan dan ada tulisan selamat datang di Goa
Alam Cing Coleng.
Untuk wisatawan yang datang dari Timur, seperti
Maumere, Ende, Nagekeo, Bajawa belok kanan di Bealaing, ibu kota
Kecamatan Pocoranaka. Jalan menuju ke obyek wisata sangat bagus dengan
aspal yang layak. Dari Bealaing ditempuh dengan kendaraan diperkirakan
memakan waktu 2,5 jam.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Wajah Kampung Todo
Jumat, 20 Februari 2015 | 11:28 WIB
http://travel.kompas.com/read/2015/02/20/1128008/Wajah.Kampung.Todo?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
diakses pada 20 Pebruari 2015, pkl 11:45
KOMPAS/RADITYA HELABUMI Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
HUJAN lebat baru saja berhenti saat tiba di Kampung
Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur,
pertengahan Januari 2015. Kampung Todo merupakan salah satu kampung adat
masyarakat Manggarai.
Pada masa lampau, daerah ini merupakan salah satu pusat Kerajaan Todo yang menjadi penguasa wilayah Manggarai saat itu.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI Kaum perempuan Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kampung Todo kini menyisakan bangunan rumah adat (Niang Todo) berbentuk
kerucut. Rumah adat ini menggunakan atap jerami dan beralaskan kayu.
Meski sudah mengalami renovasi, bangunan ini merupakan satu-satunya sisa
peninggalan sejarah dan tradisi yang kini bersanding dengan rumah-rumah
modern warga sekitar.
Sebagai salah satu tujuan wisata, Kampung Todo memberikan peluang ekonomi bagi warga sekitar, terutama bagi kaum perempuan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI Kain tenun (songket) khas Kampung Todo di Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Mereka menawarkan kain tenun (songket) khas Todo untuk suvenir kepada
wisatawan yang berkunjung. Kain dengan beragam warna dan motif tersebut
ditawarkan Rp 50.000 hingga Rp 400.000 per lembar.
Todo berjarak
sekitar 45 kilometer dari Ruteng, ibu kota Manggarai. Dengan rute
perjalanan yang melewati daerah perbukitan, menuju Todo dapat ditempuh
dalam waktu 1,5 jam menggunakan kendaraan pribadi. Namun, popularitas
Kampung Todo tampaknya masih kalah dibandingkan dengan Wae Rebo, salah
satu desa adat di Manggarai.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI Warga Kampung Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengenakan kain.
Padahal, untuk menuju Wae Rebo harus melalui jalan yang melewati Kampung
Todo. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah daerah
setempat untuk dapat memanfaatkan potensi dan aset wisata budaya yang
melimpah.
(Raditya Helabumi)
(179 Views) Februari 6, 2015 1:57 am |
Diterbitkan
FloresNews.Com |
No comment
http://www.floresnews.com/songke-manggarai-identitas-yang-terabaikan/
diundur pada 19 Peb. 2015, pkl 21"07
Oleh: Melky Pantur*)
Identitas daerah ditunjukkan melalui berbagai cara, termasuk
bagaimana mengenakan busana. Dalam keseharian, sebut saja jilbab dan
kerudung. Oleh orang Arab, jilbab menunjukkan identitas perempuan.
Identitas ke-Araban (Timor Tengah) itu kemudian dipakai dalam budaya
agama dengan mana nyaris orang-orang Muslim di seluruh dunia terutama
kaum perempuan wajib mengenakan jilbab.
Pengenaan jilbab tersebut adalah sebuah identitas. Dalam dunia agama,
sebut saja agama Katolik. Para biarawati atau kerap disebut Suster,
wajib mengenakan kerudung sebagai bentuk identitas mereka. Dalam agama
Hindu, para Pendeta mengenakan jubah berwarna kuning tua keemasan.
Demikian pula dalam agama Budha, pada Pendeta Budha mengenakan jubah
berwarna cokelat. Para Pendeta di agama Shinto-Jepang mengenakan jubah
kemerahan sebagai penunjukkan identitas.
Dalam seni tari, tarian Jai dari Bajawa sudah mendunia. Itu adalah
identitas seni tari mereka. Tarian orang Manggarai yang populer adalah
caci, sanda. Caci adalah identitas orang Manggarai. Caci tidak ada di
belahan dunia manapun kecuali hanya di Manggarai saja, begitu pula
dengan sanda.
Dari sisi organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, sebut saja GMNI
menggenakan jas merah, PMKRI mengenakan jas merah tua. Dalam sisi
organisasi partai politik Indonesia, sebut saja PDI Perjuangan
menggenakan jas merah, Partai Golkar mengenakan jas kuning, Partai
NasDem berwarna biru. Begitu pula dalam dunia ke-TNI-AD, dunia
Kepolisian dan dalam dunia perhubungan. Itu adalah identitas.
Dari sisi bahasa, kita tahu nyaris tiap daerah memiliki bahasanya
sendiri-sendiri, misalnya bahasa Manggarai. Begitupula bahasa yang
diakui nasional, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan
bahasa-bahasa nasional lainnya. Berbagai bahasa itu juga merupakan
identitas.
Nah, kembali ke Manggarai. Apa identitas orang Manggarai? Identitas
orang Manggarai tentu saja salah satunya adalah Songke dan Towe Todo,
Towe Cibal. Budaya Manggarai terutama dari kreasi menenun Songke (kain
songket motif Todo, Cibal dan Ruis), Towe Todo, motif Songke Cibal.
Songke, motifnya tentu berbeda dengan motif songket dari daerah lain.
Kain songke dengan coraknya tersendiri dapat dikreasi menjadi jas
songke, topi songke, kain meja songke, dan selendang songke juga rompi
songke.
Lalu, apa inti yang mau dibahas dalam tulisan ini? Sebagaimana semua
orang tahu bahwa orang Manggarai nyaris ada di belahan dunia manapun,
ada di berbagai benua. Kendati orang Manggarai berada di beberapa benua,
orang Manggarai banyak yang lupa akan identitas mereka terutama dalam
hal berbusana pada acara-acara penting di pemerintahan, di tempat ibadah
dan di tempat-tempat pesta. Orang Manggarai sudah banyak beralih,
beralih ke gaya modern, yaitu dengan mengenakan jas luar, menggenakan
baju batik dari luar.
Bila saja orang Manggarai menunjukkan identitas mereka kendati dicap
sebagai orang miskin atau marginal (terpinggirkan), orang Manggarai
pasti akan disanjung identitasnya di mana-mana. Terutama pada saat
acara-acara penting, ketika misalnya di Amerika, di Arab, orang
Manggarai menggenakan jas songke dan topi songke. Wah, luar biasa
indahnya.
Yang menarik lagi bahwa ketika ada kesadaran songkenisasi saat berada
di luar negeri, saling mengenal satu sama lain itu sangat mudah. Gereja
Katolik Manggarai telah melakukan itu terutama pada saat Misa di
Gereja-gereja Minggu ketiga dalam bulan . Para umat wajib mengenakan
Towe Songke dan Jongkong Songke. Itu adalah contoh.
Jika saja di luar negeri juga di dalam daerah, budaya songkenisasi
itu tumbuh dan ditumbuhkan, tentu identitas itu semakin menonjol. Itu
adalah seni di mana orang-orang yang berasal dari Manggarai sangat mudah
untuk saling mengenal di mana pun mereka berada.
Bilamana identitas itu kerap ditampilkan, pasti saja ada orang di
luar orang Manggarai yang ingin mengenakannya meski ada juga orang yang
tidak mau karena mau mempertahankan identitas mereka sendiri.
Songkenisasi tentu akan berdampak pada meningkatnya pendapatan penenun
songke, meningkat pula taraf hidup para penadah, distributor dan
penjualnya. Demikian pula, meningkat pula bagi perusahan pencetak benang
dan pewarna. Perusahaan kain dan pewarna juga mendapat untung.
Lalu, apa yang perlu dikritik terutama songkenisasi khususnya di
Manggarai? Salah satu yang dilupakan selama ini di Manggarai saja adalah
motif songke hanya dikenakan oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak saat
koor adat di Gereja, pada saat acara penti, congko lokap, pada saat
acara meminang perempuan dan yang paling parah dipakai pada saat perang
tanding.
Di sekolah-sekolah mulai SMP, SMA di Manggarai, para siswa mengenakan
rok abu-abu dengan baju berwarna putih, atau ada pula yang motifnya
diambil dari luar bahkan hingga ke Perguruan Tinggi, sebut saja STKIP
St. Paulus Ruteng, STIPAS St. Sirilus Ruteng, jas kampus sama sekali
jauh dari warna budaya.
Artinya, belum ada satu sekolah model pun di Manggarai yang setiap
siswanya pada hari tertentu harus mengenakan rok songke, baju songke,
topi songke, kaus kaki motif songke, dan rompi songke. Nah, itulah salah
satu kelemahan orang Manggarai, baik pemerintah maupun maupun
masyarakatnya. Siswa-siswi di Manggarai harus ada corak tersendiri,
yaitu corak motif songke.
Ada pertanyaan lain yang mesti jawab, yaitu apakah towe (keto) Todo,
towe (keto) Cibal, songke Cibal dan songke-songke lainnya agar tidak
terjadi kecemburuan? Menjawabi pertanyaan ini solusi penulis adalah
harus perlu diakomodir.
Di Manggarai, sekolah-sekolah mengenakan dua pakaian utama pada saat
jam pelajaran, yaitu pakain wajib yang dikenakan oleh anak SMP dan SMA
berlaku seluruh Indonesia. Sebut saja, untuk SMA, celana/rok abu-abu dan
seragam pramuka. Kedua seragam itu adalah keharusan. Perkembangan
kemudian, di beberapa sekolah, misalnya SMAK Fransiskus Ruteng, SMAK
Setia Bakti, SMAK Karya Ruteng, SMAN I Langke Rembong, SMP Fransiskus.
Mereka mempunyai pakain khusus tetapi tidak ada yang pakai motif songke.
Kesadaran budaya di sekolah harus sejak dini perlu ditumbuhkan.
Penulis mengambil contoh, SMAN I Langke Rembong memiliki beberapa jenis
pakaian seragam. Pakain seragam abu-abu, pakain pramuka dan pakaian
seragam roh/celana putih dengan baju kemeja berwarna merah bergaris.
SMAK Fransiskus juga demikian, dengan pakaian rok/celana putih dengan
baju kemeja berwarna hitam kecokelatan dengan sedikit bermotif batik.
Mereka pada dasarnya mengenakan kaus kaki putih atau bercorak warna
tanpa ada keseragaman kaus kaki dengan corak motif songke.
Lalu, bagaimana dengan motif towe (keto) Todo dan tenunan towe (keto)
Cibal?. Apakah kedua motif ini dianaktirikan? Sekali-kali tentulah
tidak. Kedua kain tersebut juga harus dibudayakan. Dalam sepekan, ada
waktu efektif proses kegiatan belajar mengajar dengan jumlah hari enam
hari. Jika hari Senin mengenakan pakaian seragam abu-abu, hari
Selasa mengenakan motif Songke, hari Rabu mengenakan motif towe (keto)
Todo, hari Kamis mengenakan motif towe (keto) Cibal, hari Jumat
mengenakan motif bebas sesuai identitas sekolah seperti seragam merah
bergaris dan celana/rok merah seperti di SMAN I Langke Rembong,
sedangkan hari Sabtu mengenakan pakaian seragam Pramuka.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan motif songke di Manggarai
yang berbeda? Bagi penulis, motif songke setiap sekolah tentu perlu
diatur agar tidak terjadi subtitusi status motif. Misalnya, jika hari
Selasa dalam empat pekan, dua pekannya mengenakan motif songke Todo, dua
pekan yang lain mengenakan motif Cibal. Begitupula dengan towe (keto)
Todo dan towe (keto) ala Cibal dipakai per dua pekan sesuai dengan
kesepakatan para Kepala Sekolah bersama Pemkab mengenai penggenaan
pakaian daerah tersebut.
Mengenai topi (jongkong—dalam bahasa Manggarai) yang lazim dipakai
anak-anak SMP. Topi juga harus bermotif songke. Pemikiran ini jika
dilaksanakan, maka Manggarai sangat luar biasa ke depannya. Penulis
memperhatikan anak-anak TK, juga belum ada yang menjadi TK model dengan
mengenakan busana motif songke. Ini yang perlu dipikirkan oleh orang
Manggarai dengan mempertahankan identitas mereka. Di sini, Manggarai
tentu harus menjadi daerah model, daerah budaya model.
Hilangnya identitas orang Manggarai tampak juga dalam keikutan
arstitektur bangunan dari luar. Bentuk rumah adat di kampung-kampung
dari keaslian telah hilang. Hanya satu saja kampung yang mempertahankan
keaslian itu, yaitu Kampung Tradisional Wae Rebo, padahal tahun 1930-an
ke bawah masih terdapat begitu banyak kampung di Manggarai yang
mempertahankan keaslian itu. Apakah tidak ada orang Manggarai yang ingin
kembali ke keaslian itu terutama dari sisi rumah adat?
Pengaruh perkembangan zaman memang tidak bisa dipungkiri, tetapi jika
arus modern tetap menghanyutkan orang Manggarai, identitas itu
pelan-pelan terbawa arus, tertelan lumpur dan arus lautan luas. Penulis
mau mengajak, hendakya back to nature, kembalilah ke identitas kita.
Dengan kembali dan mempertahankan identitas kita, maka aspek ekonomi
akan terangkat. Kesejahteraan tentu dapat terbantu.
Menyatakan cita-cita itu memang tidaklah gampang tetapi dengan
memulai dari sekolah-sekolah yang ada di Kota Ruteng, kesadaran itu
akan tumbuh. Hal itu tentu menjadi wisata menarik. Kelak banyak pihak
dari luar yang akan terkagum-kagum.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa songkenisasi media
perjumpaan identitas orang Manggarai. Atau, songke adalah sarana
pertemuan orang Manggarai mengenai identitas mereka di mana pun mereka
tinggal.
Penulis:Jurnalis, dan Ketua Lembaga Studi Budaya dan Sejarah
Manggarai (LSBSM). Asal Manggarai. Tinggal di Ruteng, Manggarai, NTT.
Batu Cermin, Sinar Penyelamat
Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2014/12/09/125522527/Batu.Cermin.Sinar.Penyelamat
diakses pada 25 Januari 2015, pukul 20:43
Batu Cermin, Sinar Penyelamat
Selasa, 9 Desember 2014 | 12:55 WIB
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Stalagmit dan stalaktit dengan lubang goa yang menganga. Pengunjung
dapat menikmati keunikan Goa Batu Cermin ini selama hampir satu jam
karena berbagai keunikan di dalamnya.
BATU Cermin dapat ditempuh 15 menit dengan kendaraan,
bahkan banyak pengunjung berjalan kaki dari tempat penginapan di pusat
kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Di
lokasi itu terdapat batu raksasa mirip bangunan gedung dengan stalagmit
dan stalaktit di dalamnya.
Di celah-celah batu berbentuk goa dan
ruangan 150 meter persegi itu, sinar matahari masuk menyinari kegelapan
goa. Adanya cahaya yang masuk ke dalam goa itulah yang menyebabkan warga
setempat menyebut tempat itu dengan nama Batu Cermin.
Kendaraan
pengunjung dapat diparkir di pelataran sekitar 70 meter dari Batu
Cermin. Pengunjung lalu berjalan kaki menuju Batu Cermin.
Pintu
masuk goa Batu Cermin ada dua. Jika tidak ada pemandu, pengunjung bisa
keliru masuk ke dalam goa karena tidak ada tulisan petunjuk tentang
pintu masuk dan pintu keluar. Pemandu lokal sangat penting, mengarahkan
pengunjung ke mana saja kita harus melangkah agar tidak tersesat atau
masuk ke lubang yang tidak dipahami.
Susunan batu kapur yang
berada di areal seluas hampir 700 meter persegi itu setiap hari
dikunjungi 10-50 orang. Mereka adalah turis asing dan lokal yang ingin
melengkapi kunjungan mereka ke Pulau Komodo dengan mendatangi obyek
wisata di Labuan Bajo, termasuk Batu Cermin.
Sekitar 10 meter
dari pintu utama lantai satu goa terdapat 15 anak tangga. Namun sayang,
tangga itu dibangun tidak disesuaikan dengan bentuk, struktur, dan
guratan asli goa sehingga tampilannya merusak pemandangan asli goa.
Di
lantai dua goa ada ruangan mirip sebuah gedung dengan ”lampu neon”
raksasa yang tengah memancar dari atas bubungan atap, yakni sinar
matahari. Sinar itu masuk menelusuri celah batu raksasa yang membelah
dua di bagian puncak batu. Masyarakat setempat menyebutnya ”Batu yang
sedang bercahaya atau Batu Cermin”.
Dua tiang batu berdiameter
sekitar 100 sentimeter dengan ketinggian sekitar 10 meter berdiri
terpisah mengarah ke puncak goa. Tiang batu itu mengundang rasa heran
pengunjung karena bentuknya seperti karya tangan seorang pemahat dengan
daya imajinasi tinggi.
Pengunjung pun tak bosan-bosan
mengabadikan dua tiang batu kapur stalagmit itu. Tiang itu seperti dicor
dari dasar goa, kemudian ujungnya meruncing, tanpa menopang dinding
goa. Sementara bagian kiri kanan dinding terdapat stalaktit, batangan
kapur yang terdapat di langit-langit goa dengan ujung meruncing ke
bawah.
Di bagian depan dari dua tiang itu terdapat ruangan di
dalam goa dengan luas sekitar 150 meter persegi, diapit dua belahan batu
goa. Di puncak goa terdapat batu karang menjulang dengan ketinggian
sekitar 5 meter. Di samping batu karang tumbuh pohon berdiameter sekitar
40 sentimeter melewati ketinggian batu karang.
Dua lorong
Di
goa berukuran 150 meter persegi itu terdapat dua lorong. Di pintu masuk
lorong kiri terdapat 10 helm yang sengaja diletakkan sebagai alat
pengaman bagi pengunjung yang masuk ke dalam lorong kiri.
Pengunjung
yang masuk ke dalam lorong kiri harus didampingi dan menggunakan lampu
atau alat penerangan, selain helm. Di situ terdapat terowongan sangat
gelap dengan panjang sekitar 15 meter dan melewati tikungan dinding batu
berbahaya. Tak ada jalan keluar di bagian ujung. Pengunjung harus
berbalik arah ke ruang semula, lalu keluar ke arah kanan.
Di
lorong ke arah kanan masih terdapat pelataran berukuran sekitar 10 meter
x 15 meter yang sangat indah. Sebagian pengunjung menyebutnya Taman
Eden.
Di sebelah kiri dari pelataran itu ada celah untuk
pengunjung keluar. Ada lima anak tangga yang sengaja dibangun untuk
mempermudah pengunjung keluar dari goa itu. Pintu keluar tersebut
ternyata berdekatan dengan pintu masuk goa.
Perjalanan mengelilingi kubah batu itu cukup melelahkan. Pengunjung harus membawa air minum, di samping lampu
senter, dan alas kaki yang bisa dimanfaatkan untuk memanjat.
Hingga
1990, Batu Cermin termasuk kawasan yang tidak mudah didekati. Ada
kejadian yang unik, seperti penampakan perempuan cantik dan pria
berjenggot yang menghuni goa itu. Pada malam hari sering tampak nyala
api jadian dari dalam goa.
Sekitar 70 meter dari goa Batu Cermin
terdapat restoran yang menyediakan berbagai minuman lokal, di samping
makanan ringan dan buku-buku panduan wisata.
Kepala Desa Batu
Cermin Agus Albu, Sabtu (18/10/2014), mengatakan, lokasi wisata itu
dikelola Dinas Pariwisata Manggarai Barat. ”Mereka pungut Rp 20.000 per
orang untuk sekali masuk bagi turis asing dan Rp 10.000 per turis lokal,
termasuk pemandu. Pengunjung mulai ramai sejak 2007,” kata Albu.
Pada
2013, jumlah pengunjung ke tempat ini sekitar 20.000 orang, sebagian
besar pengunjung saat pelaksanaan Sail Komodo, Juli-September 2013.
Target kunjungan tahun ini sekitar 25.000 orang dengan rata-rata dalam
satu hari 10-50 pengunjung.
”Jika pungutan serupa berlaku untuk
ratusan obyek wisata di Manggarai Barat, uang masuk dari sektor
pariwisata dalam satu bulan di Manggarai Barat cukup besar,” kata Albu.
Ia
berharap Dinas Pariwisata Manggarai Barat dapat melibatkan Pemerintah
Desa Batu Cermin dalam mengelola pusat wisata di desa itu. Kasus
kebakaran di sekitar goa yang pernah terjadi disebabkan kurangnya
pengawasan dari dinas pariwisata.
(Kornelis Kewa Ama)
Pantai Mbolata dan Mausui Jadi Tujuan Wisata di Flores
Sumber: Jumat, 9 Januari 2015 | 10:41 WIB
http://travel.kompas.com/read/2015/01/09/104100527/Pantai.Mbolata.dan.Mausui.Jadi.Tujuan.Wisata.di.Flores
Diakses pada 25 Januari 2015, pukul 20:37
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pantai Mbolata di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
BERKELILING di Bumi Flores, Nusa Tenggara Timur, tidak
hanya ke Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo dan Danau Tiga Warna
Kelimutu di Moni, Kabupaten Ende. Masih banyak alternatif obyek wisata
yang semestinya dikunjungi, baik wisatawan mancanegara maupun domestik.
Salah
satu pantai yang selalu ramai dikunjungi wisatawan domestik adalah
Pantai Mbolata dan Mausui. Di mana lokasi wisata tersebut di Pulau
Flores? Pantai Mbolata dan Mausui berada di Pantai Selatan Kabupaten
Manggarai Timur, tepatnya di wilayah Kelurahan Watunggene, Kecamatan
Kota Komba.
Pantai Mbolata sudah dikenal di Eropa dan sejumlah
negara lainnya, karena wisatawan asing selalu mengunjungi pantai
tersebut untuk menikmati matahari terbenam dan berenang. Tapi, jalan
masuk ke lokasi Pantai Mbolata belum diaspal. Pada pergantian tahun dari
tahun ke tahun, pantai ini selalu dipadati pengunjung lokal dari
berbagai kabupaten yang berada di Pulau Flores, seperti pengunjung dari
Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur dan Ngada.
Selain itu, salah
satu pantai yang selama ini kurang dikunjungi wisatawan domestik adalah
Pantai Mausui. Namun, kini situasi sudah berbalik di mana ribuan
wisatawan domestik mulai mengunjungi tempat ini untuk berenang dan
menghabiskan waktu liburan bersama keluarga, apalagi pada Natal dan
Tahun Baru. Ini dampak dari jalan menuju ke lokasi sudah diaspal belum
lama ini.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Wisatawan mancanegara di Pantai Mbolata yang berada di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kompas.com yang memantau langsung kawasan ini sejak Natal
sampai Tahun Baru 2015 mencatat ribuan wisatawan domestik dan lokal
berwisata di lokasi ini untuk rekreasi bersama keluarga, famili,
saudara, maupun secara rombongan dari berbagai Kabupaten di Bumi Flores.
Dua
Pantai di kawasan Pantai Selatan Kabupaten Manggarai Timur ini menjadi
alternatif bagi wisatawan asing dan domestik untuk berpiknik sambil
menikmati keindahan alam dan pemandangan padang savana Mausui.
Pantai Mausui layak menjadi sasaran pengunjung untuk menghabiskan waktu liburan bersama anak-anak dan keluarga.
Kristina
Nggose, salah satu pengunjung kepada Kompas.com menjelaskan, pada
liburan Natal dan Tahun Baru 2015 Pantai Mbolata dan Mausui dipadati
wisatawan lokal dari berbagai kabupaten di Flores. Pantainya sangat
bagus dan bersih.
“Banyak orang dari berbagai kabupaten
mengunjungi Pantai Mbolata dan Mausui. Bahkan yang ramai dikunjungi
adalah Pantai Mausui ditambah dengan jalan obyek wisata tersebut sudah
diaspal. Saya bersama teman-teman berrekreasi ke Pantai Mausui pada
tahun Baru 2015,” jelasnya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pohon berdaun pink di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto diambil pada Agustus 2014.
Untuk mengunjungi obyek tersebut, wisatawan yang datang dari Labuan
Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat melintasi wilayah Kabupaten
Manggarai dan Manggarai Timur. Setibanya di Kota Borong, ibu kota
Kabupaten Manggarai Timur, wisatawan terus melintasi Jalan Transflores
dengan menikmati keindahan alam di kiri-kanan jalan. Lalu, pengunjung
tiba di pertigaan Gereja Katolik Santo Arnoldus dan Yoseph Waelengga.
Dari
pertigaan itu berjalan menuju selatan melewati perkampungan Kajukaro
dan Waewole. Pengunjung bisa bertanya kepada penduduk setempat jalan
menuju ke obyek wisata tersebut. Pun sebaliknya wisatawan dari Maumere,
ibu kota Kabupaten Sikka harus berhenti di pertigaan tersebut. Bisa juga
langsung dengan kendaraan menuju ke obyek wisata tersebut karena
jalannya sudah diaspal.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Menyusuri Rimba Suka, Ndolu, dan Mbengan di Bumi Flores
Minggu, 4 Januari 2015 | 11:09 WIB
http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/110923727/Menyusuri.Rimba.Suka.Ndolu.dan.Mbengan.di.Bumi.Flores
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Berjalan menuju Hutan Suka di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa tenggara Timur.
DUA Desa di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur menyimpan keunikan alam. Keunikan
alam itu berada di dalam kawasan hutan tutupan Pong Suka (Hutan Suka),
Pong Ndolu (Hutan Ndolu) dan Pong Mbengan (Hutan Mbengan).
Kompas.com,
Jumat (26/12/2014) dan Minggu (28/12/2014) menyusuri keunikan alam yang
masih diwariskan leluhur dari berbagai suku di dua desa tersebut. Dua
Desa itu adalah Desa Ranakolong dan Desa Mbengan.
Pertama-tama,
Kompas.com
mengumpulkan berbagai cerita lisan dari warga masyarakat tentang
keunikan alam di kawasan hutan tutupan tersebut. Sambil menghabiskan
masa liburan bersama dengan keluarga untuk merayakan Natal dan Tahun
Baru. Saya meluangkan waktu untuk menikmati angin segar di hutan serta
mengabadikan keunikan alam di Hutan Mbengan, Suka dan Ndolu.
Pada
hari Jumat (26/12/2014) di sela-sela ritual adat untuk mensyukuri
kelahiran anak, saya bersama dengan seorang guru Sekolah Dasar,
Fransiskus Fulla dan warga Desa Ranakolong, Basilius Simus dan anaknya,
Arin sebagai penunjuk jalan ke bekas kampung Tua dari Suku Suka di Pong
Suka.
Berangkat dari rumah Fransiskus Ndolu melintasi Kantor Desa
Ranakolong dan melewati perkebunan warga dengan berbagai jenis tanaman
holtikultura, seperti kakao, cengkeh, kemiri, bahkan tanaman jagung
sedang bertumbuh. Kami melintasi pinggiran hutan untuk menuju ke tempat
Batu Megalitik yang diakui sebagai Compang Suku Suka pada zaman dahulu.
Batu bulat yang sangat besar sebagai tempat persembahan dari Suku Suka
kepada leluhur pada zaman dulu. Bahkan, Pong Suka atau Hutan Suka
sebagai kampung pertama dari Suku Suka.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Watu Compang atau Batu Compang bekas kampung tua dari Suku Suka di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Fransiskus Fulla, Pong Suka atau Hutan Suka adalah kampung
pertama Suku Suka sebelum tersebar di seluruh Manggarai Raya (Manggarai,
Manggarai Barat dan Manggarai Timur).
“Saya selalu mendengarkan
cerita dan kisah dari leluhur dan orangtua serta warga Suku Suka tentang
Pong Suka sebagai kampung pertama dari Suku Suka. Dalam cerita lisan
yang terus dituturkan tentang Pong Suka dengan berbagai bukti sejarah di
dalamnya. Bukti sejarah yang kuat adalah Watu Compang atau batu
berbentuk bulat sebagai tempat persembahan kepada leluhur serta pohon
beringin Raksasa. Nenek moyang orang Manggarai Raya selalu menanam pohon
beringin sebagai bukti sejarah,” jelasnya.
Watu Compang Pong Suka
Warga
Suku Suka selalu mengenal dan mengetahui Watu Compang atau Batu Compang
berbentuk bulat besar sebagai tempat persembahan sesajian kepada
leluhur. Ribuan tahun silam, leluhur warga Suka mampu membuat Compang
dengan batu-batu besar.
Namun, sebagaimana dilihat langsung oleh
Kompas.com, batu itu sudah ditutupi berbagai tumbuh-tumbuhan serta
daun-daun dari pohon-pohon disekitarnya sehingga tidak terawat dengan
baik. Kalau tidak diperhatikan maka bukti sejarah itu akan hilang
bersama dengan waktu.
Selain itu, ada pohon beringin raksasa
yang tumbuh disekitar Batu Compang itu. Itu membuktikan bahwa pada zaman
dulu ada perkampungan di tempat tersebut. Selain ada mata air sebagai
tempat warga Suku Suka menimba air. Sampai sekarang mata air itu masih
mengalir.
Waesadong
Mata air Waesadong
berada di tengah hutan Suka. Mata air ini sebagai tempat warga Suku Suka
pada zaman dulu menimba air minum bersih. Uniknya, mata air ini muncul
dari batu cadas berbentuk kuali. Bahkan untuk menimbanya harus
menggunakan tempurung kelapa. Bahkan pada musim kemarau mata air
Waesadong tidak pernah kering, sehingga warga di Kampung Waekolong,
Kampung Mesi saat musim kemarau menimba air minum di mata air Waesadong.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Mata air Waesadong berada di tengah Hutan Suka, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Basilius Simus, warga Desa Ranakolong, yang mendampingi Kompas.com,
Jumat (26/12/2014), mengatakan, saat musim kemarau selama kurang lebih
enam bulan sepanjang 2014, warga menimba air bersih di mata air
Waesadong karena debit air leding untuk warga Waekolong dan Mesi di Desa
Ranakolong sangat kecil.
“Kami selalu menimba air minum di mata
air Waesadong saat musim kemarau bahkan kami mengambil air di mata air
ini untuk memberikan ternak sapi, kerbau dan kuda. Mata air Waesadong
ini sangat unik karena mata airnya muncul dari batu cadas. Ini juga
membuktikan bahwa di kawasan Hutan Suka pernah ada perkampungan,”
jelasnya.
Pada Minggu (28/12/2014), Kompas.com, ditemani tokoh
masyarakat Desa Ranakolong, Aleksius Jala, Basilius Simus, mahasiswa
Unwira Kupang Antonius Ndoen, siswa SMK Negeri Labuan Bajo An Ngapan dan
siswa SMAN Kota Komba Hendrikus Kapang kembali menyusuri kawasan hutan
tutupan Suka, Mbengan dan Ndolu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Watu Waka atau batu berbentuk perahu di tengah Hutan Suka, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Berawal dari penasaran atas berbagai cerita lisan tentang keunikan alam
serta batu berbentuk perahu, berbentuk kuali serta berbagai jenis burung
di kawasan itu, lalu ditemani berbagai tokoh masyarakat mulai menyusuri
kawasan tersebut.
Pertama kali berangkat dari Kampung Mesi
menyisiri Pong Suka atau Hutan Suka dan melintasi perkebunan masyarakat
dan menyeberangi sebuah kali. Lalu, berjalan menanjak menuju ke Watu
Waka. "Waka" dalam bahasa Kolor adalah "perahu". "Watu Waka" adalah
"batu berbentuk perahu". Unik kan....
Watu Waka di kawasan Hutan Mbengan
Kami
sangat terkejut dengan bentuk batu yang persis seperti perahu. Batu
hanya ditahan oleh sebuah pohon. Watu Waka selalu dikisahkan warga Desa
Ranakolong dan Desa Mbengan sebagai batu berbentuk perahu.
Aleksius
Jala, tokoh masyarakat Desa Ranakolong mengatakan, warga Desa
Ranakolong dan Mbengan sudah mengenal Watu Waka sebagai batu perahu.
“Saya
selalu mendengar cerita tentang Watu Waka dari orangtua. Hanya saya
tidak tahu bagaimana awal batu ini berbentuk Perahu. Mungkin leluhur
memahat batu ini seperti perahu. Batu ini tidak pernah runtuh walaupun
ada gempa bumi,” jelasnya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pohon beringin raksasa di sebagai bukti kampung tua di Suku Suka, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Beristirahat beberapa jam di atas batu perahu, rombongan terus menyusuri
kawasan hutan Mbengan, Ndolu dan Suka dengan menikmati suara burung
yang masih hidup di kawasan tersebut. Rombongan tiba di sebuah batu
bulat besar. Warga setempat menyebutnya Watu Reput. Batu berada di
tengah aliran Kali Wae Sare. Tapi, saat banjir, batu itu tetap kokoh.
Pong Ndolu
Pong
Ndolu atau Hutan Ndolu tak kalah dengan potensi Pong Mbengan dan Pong
Suka. Pong Ndolu merupakan perkampungan tua dari Suku Ndolu. Apa yang
menarik di Pong Ndolu? Di tengah tutupan itu, ada batu berbentuk Kuali.
Diakui bahwa batu itu sebagai tempat masak para leluhur di zaman dulu
apabila memasak daging. Bukti lain sebagai perkampungan tua adalah pohon
beringin raksasa di kampung tersebut.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Kampung Cecer, Pusat Tarian Caci dan Kerangkuk Alu di Flores
Jumat, 5 Desember 2014 | 10:23 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/05/102300327/Kampung.Cecer.Pusat.Tarian.Caci.dan.Kerangkuk.Alu.di.Flores
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Penari Caci saling memukul dengan cemeti atau larik. Tarian Caci ini
ditampilkan di Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten
Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
KAMPUNG Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling,
Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur yang
terletak di kawasan bentang alam Mbeliling sebagai pusat atraksi budaya.
Pusat budaya Tarian Caci dan Kerangkuk Alu ada di kampung tersebut.
Keunikan Tarian Caci dan Kerangkuk Alu sangat memikat turis asing dan
domestik.
Bahkan, Kampung Cecer memikat Pangeran Denmark untuk
menyaksikan atraksi unik tarian khas Manggarai Raya. Kampung Cecer yang
terletak dibawah Gunung Mbeliling sudah sangat terkenal di seluruh dunia
dengan berbagai atraksi budaya yang unik.
Di Kampung ini,
wisatawan dapat menyaksikan pementasan Tarian Caci, Tarian Ndundu Ndake
yang sudah masuk Rekor Muri 2012 dengan menampilkan 1.000 penari di
Lapangan Upacara Labuan Bajo dan juga tarian Kerangkuk Alu.
Tarian
Kerangkuk Alu merupakan tarian adu ketangkasan saat menari sambil
melompat di tengah-tengah dua buah kayu bulat sambil digoyang oleh para
penari lainnya. Jikalau penari salah melompat maka tulang kering bisa
patah terkena gesekan kayu bulat yang secara terus menerus digoyangkan.
Hanya kaum perempuan dan kaum laki-laki yang terlatih dapat melewati
lubang kecil di tengah dua kayu yang dipegang pada penari.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Turis Denmark mencoba Tarian Kerangkuk Alu di Desa Liang Ndara,
Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Tarian Kerangkuk Alu ini yang selalu diminati wisatawan asing dan
domestik untuk ikut menari sambil menguji ketangkasan dalam melompat.
Tarian
Kerangkuk Alu sangat berbeda dengan Tarian Ndundu Ndake. Biasanya
Tarian Kerangkuk Alu ditampilkan pada malam hari saat bulan terang.
Tapi, akhir-akhir ini tarian ini selalu dipentaskan kepada tamu asing
dan kunjungan para menteri di wilayah Manggarai Barat.
Tarian
Kerangkuk Alu dipentaskan oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan
sementara Tarian Ndundu Ndake hanya dipentaskan oleh kaum perempuan.
Satu-satunya
kampung di Kabupaten Manggarai Barat yang terletak di bukit menjadi
pusat atraksi budaya di Manggarai Barat adalah Kampung Cecer. Selama ini
turis asing dan domestik yang secara rombongan berkunjung ke Taman
Nasional Komodo juga memiliki paket perjalanan wisata ke Kampung Cecer.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Para pemukul gong mengiringi Tarian Caci di Desa Liang Ndara, Kecamatan
Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Pada biro perjalanan di Kota Labuan Bajo, di Pulau Bali, bahkan di
kalender event internasional selalu menawarkan paket wisata ke Kampung
Cecer untuk menyaksikan berbagai atraksi budaya yang masih asli.
Turis
asing dari berbagai negara serta wisatawan domestik memiliki perjalanan
wisata utama ke Taman Nasional Komodo. Turis ke Taman Nasional Komodo
untuk melihat dari dekat binatang Komodo yang sudah masuk dalam tujuh
keajaiban dunia baru. Selain itu, turis ke Taman Nasional Komodo untuk
menyelam melihat keunikan dan keindahan bawah laut yang sudah sangat
terkenal. Tercatat pada peta pariwisata Kabupaten Manggarai Barat ada 13
dive operator yang selalu melayani wisata bawah laut di dalam kawasan
Taman Nasional Komodo.
Pada September 2013 lalu diselenggarakan
puncak Sail Komodo di Pantai Pede, Kota Labuan Bajo. Bukan hanya Taman
Nasional Komodo yang diminati wisatawan yang berkunjung ke Manggarai
Barat, ternyata wisata budaya dan alam juga sangat diminati wisatawan.
Wisata budaya itu dapat ditemukan di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara,
Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Turis Denmark dengan selendang songke di Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Selain potensi wisata budaya yang sudah terkenal di dunia luar, Kampung
Cecer juga mengembangkan potensi lokal serta kerajinan tangan. Kerajinan
tangan yang dilakukan kaum perempuan adalah menenun songke dan memintal
benang wol menjadi kain songke. Kain songke selalu dipakai oleh kaum
perempuan pada berbagai acara di kampung. Agak berbeda dengan kaum
laki-laki yang selalu memakai celana panjang.
Kerajinan tangan
yang dilakukan kaum perempuan di Kampung Cecer adalah menganyam tikar
dari daun pandan. Anyaman tikar berwarna warni dibuat oleh kaum
perempuan pada malam hari pada waktu senggang. Kaum perempuan memiliki
pekerjaan utama adalah sebagai petani, sedangkan menganyam tikar dan
menenun adalaah pekerjaan sampingan.
Kampung Cecer juga terkenal dengan penghasilan kopi Arabika. Selama ini kopi Arabika selalu menguntungkan para tengkulak.
Untuk
itu didampingi oleh Yayasan Burung Indonesia, warga masyarakat di
Kampung Cecer membentuk kelompok. Dan pada 2013 kelompok ini
menghasilkan produk kopi lokal yang sering di sebut Kopi Tuk Bambam.
Bambam adalah kependekan dari Bentang Alam Mbeliling. Kopi ini diolah
secara tradisional tanpa menggunakan mesin pengolah kopi. Tepung kopi
ditumbuk oleh kaum perempuan dalam kelompok.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Membuang gendang dan nggiling dilakukan para laki-laki di Kampung
Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat,
Nusa Tenggara Timur.
Kaum laki-laki di Kampung Cecer masih membuat alat-alat tarian caci berupa Gendang, Nggiling (alat tangkis saat caci).
Warga
Masyarakat Kampung Cecer juga bekerja sama dengan Yayasan Burung
Indonesia untuk tetap menjaga konservasi hutan Mbeliling. Bentang alam
Mbeliling terdapat burung Endemik Flores. Bentang alam Mbeliling selalu
dikunjungi oleh para peneliti burung di dunia serta tujuan wisata Burung
bagi turis yang memiliki minat khusus pada burung.
Ribuan
wisatawan asing dan domestik sudah mengunjungi kampung ini. Bahkan
kunjungan itu dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat yang
mereka bentuk dalam sebuah koperasi.
Selain itu, pada Februari
2014 lalu, seorang turis dari Denmark ikut menari dalam tarian
tradisional warga masyarakat Kampung Cecer yang lazim disebut Tarian
Kerangkuk Alu.
Kampung Cecer yang tidak jauh dari jalan negara
Labuan Bajo-Ruteng dan sangat mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua
dan roda empat. Kampung Cecer merupakan satu-satunya kampung di
Kabupaten Manggarai Barat yang tidak jauh dari Kota Labuan Bajo yang
selalu menampilkan atraksi budaya, baik dalam pesta adat di kampung
maupun saat ada kunjungan wisatawan yang ingin menyaksikan tarian Caci
dan tarian-tarian khas lainnya yang masih dipertahankan warga
masyarakat.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Penari Caci siap beraksi di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan
Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Jarak tempuh dari Kota Labuan Bajo menuju ke Kampung Cecer dengan
menggunakan kendaraan roda dua bisa ditempuh 45 menit. Jika menggunakan
kendaraan roda empat bisa ditempuh selama satu jam.
Ketua Sanggar Riang Tana Tiwa Kampung Cecer, Kristoforus Nison kepada
Kompas.com
mengungkapkan, pihaknya tidak mencatat kunjungan wisatawan asing dan
domestik ke Kampung Cecer. Tetapi, setiap bulan pasti ada kunjungan grup
dari wisatawan yang ingin menyaksikan tarian Caci, tarian Ndundu Ndake.
"Tahun
2013 kami menerima kunjungan dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Mari Elka Pangestu untuk menyaksikan dari dekat
keunikan-keunikan di Kampung Cecer, selain tarian Caci juga melihat
produk-produk ekonomi kreatif yang dikembangkan masyarakat.
Kristoforus
mengungkapkan, warga masyarakat merasa terhormat dengan kunjungan
Pangeran Denmark Andre Henrik Kristen bersama dengan rombongan yang
diundang Yayasan Burung Indonesia bersama dengan WWF Indonesia. Ini
merupakan kunjungan sebuah penghargaan dari Negara Denmark untuk melihat
keaslian budaya Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai dan
Manggarai Timur).
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tarian Ndundu Ndake di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur.
"Kami menerima dengan senang hati dan menampilkan tarian Caci, tarian
Ndundu Ndake, Tarian Kerangkuk Alu. Tarian Ndundu Ndake Manggarai Barat
sudah masuk rekor Muri Indonesia. Selain itu kami menyuguhkan kekhasan
pakaian adat Manggarai Raya berupa kain songke, selendang Songke serta
kerajinan tangan kaum ibu dengan menganyam tikar kas Manggarai Raya,"
katanya.
”Kami sangat senang atas kunjungan istimewa dari
Pangeran Denmark ke kampung Cecer. Kunjungan ini memberikan semangat
kepada kami masyarakat Cecer untuk terus mempertahankan warisan budaya
yang baik yang sudah diberikan leluhur di kampung ini,” sambungnya.
Warga
masyarakat Kampung Cecer merasa bangga dikunjungi Pangeran Denmark
bersama dengan rombongan. Warga lantas menampilkan berbagai atraksi
budaya, mempromosikan kopi Tuk Bambam yang diolah secara alamiah dengan
cara menumbuk kopi. Kopi Tuk Bambam merupakan hasil olahan dari kopi
Arabika dan sejenisnya dari sekitar Kampung Cecer.
Di Kampung
Cecer, selain, menyaksikan atraksi budaya, juga berlimpah buah-buah
segar, mulai dari nanas, pisang, rambutan dan durian. Bahkan ada minuman
lokal dari enau. Bahkan, warga masyarakat di Kampung Cecer sangat
terbuka menerima tamu-tamu dengan penuh ramah.
Ketua Tim Leader
Burung Indonesia Program Mbeliling, Tiburtius Hani menjelaskan, Kampung
Cecer masuk dalam areal dampingan Yayasan Burung Indonesia program
Mbeliling.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pakaian adat Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Selain memberikan pendampingan konservasi lingkungan hidup serta menjaga
kelangsungan kehidupan burung di bentang alam Mbeliling, lanjut
Tiburtius, fasilitator lapangan dari Burung Indonesia memberikan
pendampingan untuk mempertahankan kerajinan-kerajinan lokal seperti kaum
perempuan tetap menganyam tikar, melatih menari seperti Tarian Ndundu
Ndake dan Tarian Kerangkuk Alu dan kaum laki-laki tetap mempertahankan
keunikan Tarian Caci.
Camat Mbeliling, Fransiskus Selatan
mengatakan, Pemerintah Kecamatan Mbeliling berterima kasih kepada
Pangeran Denmark bersama rombongan yang mengunjungi Kampung Cecer. ”Saya
minta tolong dipromosikan ke relasi-relasi Denmark mengenai keunikan
dan keaslian budaya Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur di
Kampung Cecer,” katanya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Menikmati Kopi Tuk Bambam dan Kopi Tumbuk
Sabtu, 6 Desember 2014 | 08:41 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/06/084100527/Menikmati.Kopi.Tuk.Bambam.dan.Kopi.Tumbuk
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Kopi Tuk Bambam, oleh-oleh khas Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Warga masyarakat di wilayah
Flores barat sangat terkenal sebagai penghasil kopi terbesar di Pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur, seperti kopi colol, kopi kolang dan
beberapa wilayah lainnya. Namun, hasil kopi dikirim ke Pulau Jawa.
Warga
Flores barat yang melingkupi Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai
Timur merupakan warga petani campuran. Mengapa disebut petani campuran?
Karena, warga petani selain mengolah persawahan juga menanam kopi,
kemiri, cengkeh, kakao dan tanam pohon. Tidak ada petani yang fokus pada
satu jenis tanaman seperti satu petani mengolah sawah, dan satu petani
lainnya menanam ribuan hektar kopi, kemiri, cengkeh. Semua warga
memiliki berbagai jenis tanaman serta tetap mengolah sawah.
Sejak
gencarnya promosi Komodo masuk dalam tujuh keajaiban dunia baru,
berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengembangkan proyek mereka di
wilayah Flores Barat mulai menawarkan program pengembangan kopi tuk atau
tumbuk. Bahkan, mereka membuat merk kopi sesuai dengan nama asal kopi
berada. Namun, pada umumnya, mereka membuat merk Kopi Tuk atau Tumbuk
Manggarai Raya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Wisman dan kopi khas Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Salah satu yang dikembangkan adalah Kopi Tuk Bambam dan Kopi Tumbuk yang
organik. Di mana kita membeli dan menikmati Kopi Tuk Bambam.
Berwisatalah ke Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling,
Manggarai Barat untuk minum kopi Tuk Bambam. Sementara kopi Tumbuk bisa
dinikmati di sebuah Baku Peduli di Nggorang, Desa Nggorang, Kecamatan
Komodo. Selain itu bisa juga dibeli di bagian Delegatus Sosial Keuskupan
Ruteng.
Apa arti Kopi Tuk Bambam. Nama kopi ini berasal dari
nama Bentang Alam Mbeliling karena kopi ini diambil dari kebun-kebun
masyarakat di sekitar kawasan bentang alam Mbeliling.
Ketua Kelompok Lestari Jaya, Stefanus Landing kepada
Kompas.com
di Kampung Cecer beberapa waktu lalu menjelaskan, anggota kelompok
mengembangkan usaha ini sudah dua tahun sejak ramainya kunjungan
wisatawan mancanegara dan domestik ke Kampung Cecer.
Alasan
pertama adalah kopi Tuk Bambam sebagai oleh-oleh saat wisatawan pulang
selain membeli kain tenung songke. Untuk memperkuat usaha ini anggota
kelompok sepakat membentuk koperasi simpan pinjam.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Kopi Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Uniknya, lanjut Landing, kelompok ini kebanyakan perempuan, di mana ada 17 ibu-ibu yang menjadi anggota kelompok ini.
Landing
menjelaskan, kelompok Lestari Jaya didampingi Yayasan Burung Indonesia
yang memiliki proyek konservasi alam termasuk burung-burung endemik yang
hidup di bentang alam Mbeliling.
Kopi adalah penghasil utama
warga petani di Kampung Cecer. Ada hutan kopi Robusta. Bentang alam
Mbeliling sangat penuh dengan Kopi Robusta. Pengolahan kopi secara
tradisional. Tocu atau Kuali dari Tanah Liat untuk menggoreng kopi
sebelum ditumbuk. Ada sekitar 30 hektar pohon kopi yang dimiliki
masyarakat Desa Liang Ndara.
Maria Sofia Setia, Ibu Kelompok
menjelaskan, dia menjual kopi pada tahun 2012 per kilogram sebesar Rp
20.000. Banyak tengkulak yang meraup keuntungan selama ini. Pasalnya,
petani menjual ke tengkulak Rp 21.000-Rp 22.000.
Maria
menjelaskan, pada bulan Mei 2013 mereka mengadakan promosi ke Bali.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sempat membeli
kopi Tuk Bambam saat berkunjung ke Kampung Cecer. Setiap tahun panen
kopi berkisar pada Mei-Agustus. Sekarang dengan ada usaha sendiri ini,
lanjut Maria, warga tidak menjual ke tengkulak lagi.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Kopi Tumbuk dari Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur.
Selain kopi Tuk Bambam, ada kopi Tumbuk produk lokal yang dikembangkan
Lembaga Swadaya Masyarakat Sunspirit For Justice and Peace dan Baku
Peduli Manggarai Barat. Lembaga ini mengembangkan produk-produk lokal
dari Manggarai Raya, seperti beras merah atau Woja Laka organik serta
makanan khas Manggarai Raya berupa rebok dan kopi Tumbuk.
Bahkan
Keuskupan Ruteng di bagian Delegatus Sosial juga mengembangkan Kopi Tuk
Organik dari petani Manggarai Raya. Usaha-usaha kopi mulai tumbuh subur
bersamaan dengan banyaknya pesanan kopi dari Pulau Jawa dan luar negeri.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhian |
Menarilah Bersama Penari Vera di Flores....
Minggu, 7 Desember 2014 | 09:48 WIB
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/07/094800427/Menarilah.Bersama.Penari.Vera.di.Flores.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Tarian Vera yang dilakukan warga masyarakat Suku Rongga di wilayah
Selatan Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
TARIAN Vera adalah salah satu tarian khas warga
masyarakat Suku Rongga di wilayah selatan Kabupaten Manggarai Timur,
Flores, Nusa Tenggara Timur. Selain itu ada juga Tarian Caci, Tarian
Ndundu Ndake, Tarian Kerangkuk Alu dan berbagai tarian lainnya yang ada
di budaya seni orang Manggarai Raya.
Tarian Vera hanya ada di
Suku Motu Kaju, salah satu sub klan dari Suku Besar Rongga. Memang dalam
Suku Rongga ada tujuh suku besar. Namun, tidak semua sub suku memiliki
Tarian Vera.
Bagi peminat seni tari di Indonesia dan mancanegara,
apabila berwisata ke Flores, jangan hanya mempelajari seni Tarian Caci,
mereka juga bisa mempelajari keunikan-keunikan tarian lainnya. Salah
satunya Tarian Vera tersebut. Apa uniknya Tarian Vera yang masih
dipertahankan warga Suku Rongga?
Tarian ini hanya dipentaskan
pada upacara kematian. Namun, sejalan dengan perkembangan pariwisata
Flores, tarian ini bebas dipentaskan pada berbagai upacara, seperti
upacara Kemerdekaan Republik Indonesia, festival budaya di Kabupaten
Manggarai Timur dan Flores.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Gerak Tari Vera melingkar saat dipentaskan.
Tarian ini dipentaskan warga Suku Rongga saat kematian tokoh suku. Untuk
upacara kematian dipentaskan selama tujuh hari tujuh malam sampai pada
puncak "ngua" atau kenduri. Sementara pada upacara umumnya hanya
dipentaskan satu atau dua bentuk tarinya.
Tidak semua sub suku di Suku Rongga memiliki tarian Vera, hanya beberapa suku saja yang bisa mementaskan tarian Vera.
Demikian dijelaskan seorang penari dari Suku Motu Kaju di Suku Rongga, Kornelia Jaghung (69) kepada
Kompas.com di kediamannya di Jalan Transflores Ruteng-Waelengga, Minggu (30/11/2014).
Kornelia
menjelaskan, Tarian Vera memiliki rumah tersendiri seperti di Kampung
Lekeng yang dimiliki Suku Motu Kaju. Tidak semua rumah ada Tarian Vera,
ada rumah khusus Tarian Vera di Suku Rongga. Seperti di Suku Motu Pumbu
di Kampung Pandoa, Suku Raghi di Kampung Waewole. Selebihnya tidak
memiliki rumah khusus Tarian Vera.
Mengenai asal warga
masyarakat Suku Rongga, Kornelia menuturkan, berdasarkan penuturan nenek
moyang Suku Rongga Motu Kaju yang terus dituturkan kepada anak-anak
mereka bahwa keturunan Suku Rongga sub klan Motu Kaju berasal dari
Kalimantan. Dikisahkan dua pasang suami istri yang berlayar dari
Kalimantan dan turun di Pantai Sari Kondo bersama dengan dua anak bayi.
Pasangan ini juga membawa seekor anjing.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tari Vera pada upacara keagamaan di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Saat mereka tiba di Sari Kondo, mereka kesulitan air minum karena di
daerah itu adalah padang savana. Nah, pada suatu pagi mereka melihat
tubuh anjing ini basah kuyup. Suami-istri ini lantas berpikir bagaimana
caranya mengetahui sumber air tersebut. Lantas keduanya menggosok tubuh
anjing dengan abu supaya mereka bisa mengikuti anjing dari belakang
kemana arah anjing berjalan. Mereka mengikuti anjing tersebut sampai
berhenti di sumber mata air Wae Motu.
Hingga saat ini bukti
sejarahnya masih ada di sumber mata air Wae Motu di Kelurahan Watu
Nggene. Buktinya adalah mata air dan batu megalitik yang masih ada
sampai sekarang.
“Mulai saat ini ketika ada mata air ada dua
pasang keluarga yang datang dari Kalimantan bersama anak bayi mereka
bertumbuh menjadi besar hingga tersebar di sejumlah sub-sub suku di Suku
Besar Rongga. Nah, mulai saat itulah ada Tarian Vera. Saya sendiri
tidak tahu apa arti Vera, tetapi itu merupakan tarian adat yang
diwariskan leluhur hingga sekarang,” paparnya.
Para penari Vera
pada umumnya berpakaian putih, baik untuk kaum laki-laki maupun
perempuan. Entah pada upacara "ngua" atau kenduri tetap memakai pakaian
berwarna putih. Namun, kini sudah bervariasi yaitu pakaian berwarna
putih untuk laki-lakinya dan baju berwarna pink bagi penari perempuan
ditambahkan dengan selendang dan kain Songke.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tari Vera saat mengantar tamu di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, penari laki-laki memakai topi dan penari perempuan memakai
‘Neo Weti’ atau keranjang kecil yang terbuat dari daun lontar muda
ditaruh di kepala.
Gerakan Tarian Vera
Penari
perempuan dan laki-laki menari searah dengan membentuk sebuah
lingkaran. Kedua, penari kaum perempuan dan laki-laki berjejeran sambil
berlari-lari dengan saling memegang tangan. Saat saling pegang tangan
tidak boleh lepas. Sebelum Tarian Vera dipentaskan, terlebih dahulu
peserta menari Mbata yang dipadukan dengan musik gong dan gendang.
Sementara pada tarian Vera tidak dibunyikan gong dan gendang melainkan
seseorang memimpin dalam bentuk lingkaran sambil menyanyikan lagu-lagu
daerah dengan penuh semangat.
Biasanya tarian Vera dilaksanakan
pada malam hari selama semalam suntuk sementara tarian Vera pada siang
hari dipentaskan pada puncak acara "Wela Kamba" atau bunuh kerbau.
Kornelia sekaligus Ketua Kelompok Kerajinan Tangan "Rebo Ndii"
menjelaskan, pada upacara kenduri, tarian Vera dipentaskan searah yaitu
ke arah kiri dan menarinya selama tujuh kali dalam sebuah lingkaran
besar.
“Tahun 1986, saat puncak Kenduri orangtua, Gabriel Inge
dengan Marta Jaja dipentaskan tarian Vera dengan ‘Wela Kamba’ sebanyak
tujuh ekor serta tahun 2013 lalu digelar lagi Tarian Vera saat acara
upacara 'ngua' atau kenduri kakak saya dengan membunuh satu ekor
kerbau,” jelasnya.
Untuk diketahui bahwa asal usul keturunan
orang Manggarai sangat bervariasi, seperti di wilayah Kolang berasal
dari Minangkabau, wilayah Cibal juga dari Minangkabau, wilayah Todo dan
sekitarnya nenek moyangnya berasal dari Gowa bercampur dengan
Minangkabau sedangkan beberapa suku kecil di Manggarai Raya ada yang
berasal dari keturunan Belu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tari Vera saat mengantar tamu di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Agustinus Nggose, seorang tokoh masyarakat di Manggarai Timur
menjelaskan, nenek moyang Suku Nggai berasal dari Belu. Dikisahkan
Agustinus, sesuai yang dituturkan nenek moyang mereka, orang Belu
berlayar menuju ke Aimere lanjut berjalan ke wilayah Rajong, Wukir di
Elar Selatan. Dari situ menuju ke Watu Tonda dengan membentuk sebuah
kampung. Kemudian pindah lagi ke Kampung Munde, Desa Komba hingga saat
ini.
"Jadi asal usul nenek moyang orang Manggarai Raya sangat
bervariasi dari seluruh Nusantara. Untuk itu tariannya juga bervariasi
di berbagai wilayah di Manggarai Raya walaupun satu kesatuan budaya,”
jelasnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Tradisi Meriam Bambu di Flores Menyambut Kelahiran Yesus Kristus
Minggu, 21 Desember 2014 | 12:31 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/12/21/123100627/Tradisi.Meriam.Bambu.di.Flores.Menyambut.Kelahiran.Yesus.Kristus?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Tiga orang anak sekolah dasar di Kompleks Mabako, Kelurahan Watunggene,
Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores, NTT, Jumat (19/12/2014)
membunyikan meriam bambu di samping rumah mereka. Tradisi meriam bambu
merupakan warisan leluhur orang Flores untuk menyambut kelahiran Isa
Almasih.
MEMASUKI bulan Desember, warga Flores, Nusa Tenggara
Timur mulai menyiapkan berbagai tradisi dalam menyambut Kelahiran Yesus
Kristus. Pembuatan kandang Natal bernuansa Kandang Betlehem berjejer di
Jalan Transflores Labuan Bajo-Maumere. Juga di kota-kota membangun
kandang Natal. Di Paroki Santo Arnoldus dan Yosep Waelengga, setiap
komunitas basis membuat kandang Natal dinilai oleh tim pastoral.
Di
Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT,
sementara berteduh saat hujan mengguyur, tiba-tiba terdengar suara
dentuman. Suara itu awalnya terdengar hanya sekali, tiba-tiba terdengar
bertubi-tubi. Ternyata anak-anak muda dan orangtua memainkan tradisi
meriam bambu. Hampir seluruh warga di Pulau Flores memiliki kesamaan
dalam menyambut Kelahiran Isa Almasih, yakni menyuarakan meriam bambu di
kampung-kampung.
Suasana menjadi panik. "Ada perang ko?" tanya
seorang bapak yang berteduh di salah satu kios di Kelurahan Karot.
Karena tidak ada yang menjawab, bapak tua tersebut, gelisah, lalu nekat
mengendarai kendaraan ke arah pusat Kota Ruteng, meskipun hujan belum
berhenti.
Di tengah hujan gerimis, bunyi ledakan dan tembakan itu
semakin keras. Suasana tiba-tiba berubah menjadi sepi, sunyi. Terdengar
jelas suara teriakan dan hura-hura warga, menyusul ledakan bertubi-tubi
di udara, dilanjutkan dengan suara meriam yang keras, membuat suasana
kembali mencekam.
Suara ledakan dan tembakan itu tetap terdengar
sampai hujan berhenti pukul 20.27. Setelah hujan berhenti, banyak
anak-anak yang turun ke jalanan, berlari menghampiri suara ledakan dan
tembakan tersebut. Bapak Teo yang panik, segera menghidupkan motornya
dan pergi tergesa-gesa karena panik dan takut dengan suasana tersebut.
Anak-anak
dan orang tua masing-masing yang berkerumun di jalan saling bertanya,
dari mana suara itu. Setelah beberapa menit tiba-tiba suara ledakan
terdengar, semua warga menengadah ke atas, dan cahaya warna-warni
terlihat jelas di langit. "Wow keren!" sahut Rio, anak kelas 3 SDK
Karot, ketika menyaksikan kembang api warna-warni tersebut.
"Itu kembang apinya," ujar Nanik sambil menunjuk ke arah cahaya dan warna-warni.
Namun
aneh, begitu suara kembang apinya hilang, suara tembakan masih
terdengar. "Ramai suara meriam bambu," sahut Dami, pemuda karot ketika
mendengar suara seperti bunyi tembakan itu.
"Meriam? Memang ada meriam di sini?" tanya pak Ahmad yang berlibur ke Ruteng.
"Meriam bambu Pak!" ujar Dami menanggapi pertanyaan pak Ahmad.
Sementara
menyaksikan kembang api atau petasan, tiba-tiba hujan turun, semua
berlari berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Lalu anak-anak bahu
membahu memikul bambu, ada yang membawa botol berisi minyak tanah, ada
yang membawa kain dan kayu. Kemudian mereka meletakkan bambu tersebut,
bagian depannya di alas dengan batu sehingga lebih tinggi dari bagian
belakang.
Tono, segera memerintahkan Mikael untuk memasukkan
minyak tanah di dalam bambu tersebut melalui lubang yang sudah dipahat
rapi dengan ukuran yang sangat kecil. Setelah memasukkan minyak tanah,
Tono lalu memberikan abu dapur ke Miko untuk memasukkan ke dalam lubang
tersebut. "Cepat masukkan lalu nyalakan api," kata Tono.
Setelah
semua dimasukkan, maka Tono memberi isyarat agar segera memasukkan api
ke dalam lubang tersebut. Tanpa basa-basi, Miko lalu menyudutkan ke
dalam lubang bambu tersebut, api pun menyala di dalam lubang bambu
tersebut, asap keluar melalui dua lubang, lubang yang kecil, dan lubang
bagian depan bambu tersebut yang sudah dipotong.
Miko sesekali
meniup, sampai asap mengepul keluar dari dalam bambu tersebut. Setelah
sepuluh menit, dan bambu mulai panas, Tono dan Miko mulai beraksi, Tono
meniup sampai asap di dalam bambu tersebut keluar, kemudian Miko
menyudutkan api melalui lubang kecil, suara keras seperti tembakan pun
terdengar. Blarr!!
Belasius Nalur, tokoh adat Flores menjelaskan
bahwa bunyi meriam hanya pada bulan Desember. Semua orang memahami kalau
bulan Desember adalah bulannya meriam bambu. Namun, lanjut Belasius,
dari perspektif budaya Manggarai dan Flores, meriam bambu menandakan
bahwa ada orang yang meninggal dunia. Dikampung-kampung masih berlaku,
hal ini disebabkan karena jarak antar-kampung sangat jauh dan medannya
sangat berat.
Selain ada orang yang diutus untuk "siro atau
rekadu" dan sekarang dengan zaman teknologi dengan pesan singkat melalui
handphone, meriam bambu tetap dibunyikan, karena suaranya besar.
Sehingga kalau di kampung-kampung meriam dibunyikan sekali pun bulan
Desember itu merupakan suara dukacita, menginformasikan bahwa ada yang
meninggal.
Warisan Leluhur Orang Flores dan Manggarai
Tokoh
Masyarakat Manggarai Timur, Yosep Geong dan Agustinus Nggose kepada
Kompas.com, Sabtu (20/12/2014) menjelaskan, salah satu warisan yang
masih terus dipertahankan di masyarakat Flores pada umumnya dan
Manggarai Raya pada khususnya adalah tradisi meriam bambu.
“Zaman
dulu, meriam bambu dibunyikan ketika ada peristiwa kematian tokoh besar
di kampung-kampung. Meriam bambu memberikan pesan kepada seluruh
masyarakat bahwa di salah satu kampung itu terjadi kematian. Dan warga
yang meninggal adalah salah satu tokoh masyarakat yang berpengaruh di
kampung tersebut. Bunyi meriam bambu diperuntukkan tokoh masyarakat yang
meninggal dunia,” katanya.
Belakangan, menurut Yosep, tradisi
meriam bambu dibunyikan pada masa adventus dan Natal sampai dengan
perayaan tahun baru. Selain dibunyikan pada saat tokoh masyarakat
meninggal dunia.
“Tradisi ini sudah diwariskan oleh leluhur orang
Flores dan Manggarai. Salah satu cara menyambut kegembiraan kelahiran
Isa Almasih dengan membunyikan meriam bambu di kampung-kampung,”
jelasnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
NB: Saya setuju dengan Agus Wahab. Penulis - Markus Makur - terkesan mencari-cari hubungan antara Natal dengan Merial Bambu. Meriam bambu itu cocok untuk masa Paskah, saat Yesus (Isa Almasih) wafat. Bukan untuk Natal. Bila pada Desember terdengar bunyi dentuman meriam bambu, hemat saya ini expresi kreativitas orang, terutama anak-anak da orang muda. (JPS, 21 Desember 2014).
Keunikan Sawah Lodok di Manggarai Raya
Minggu, 30 November 2014 | 11:45 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/30/114500327/Keunikan.Sawah.Lodok.di.Manggarai.Raya.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Wisatawan di persawahan Lodok Cancar, di Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
RENCANAKAN kunjungan anda jauh-jauh hari ke Pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur. Ada apa di Pulau Flores yang selalu
dipublikasikan media massa, khususnya media traveler. Untuk mengetahui
jawabannya, berkunjunglah bersama keluarga, anak-anak, rekan bisnis,
kawan ke Pulau Flores yang sudah dinyatakan masuk daerah keajaiban
dunia.
Bahkan, terakhir penerbit buku wisata terbesar dunia
Lonely Planet di Inggris sudah memasukkan Pulau Flores sebagai salah
tujuan wisata top dunia pada 2015. Apakah anda sebagai peneliti,
arsitektur, ahli persawahan atau pertanian sudah mempelajari cara
pembagian lahan pertanian, baik persawahan maupun lahan kering di
Manggarai Raya?
Jika belum maka jelajahi wilayah Pulau Flores
Barat untuk melihat keunikan-keunikan pembagian lahan persawahan seperti
yang dilakukan masyarakat agraria di Flores Barat. Bahkan tidak semua
kabupaten di Flores memiliki persawahan yang berbentuk jaring laba-laba.
Barangkali film Spiderman menginspirasi dari persawahan lodok di
Manggarai Raya selain dari jaring laba-laba.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Persawahan Lodok di Lembor yang terletak di pinggir Jalan Transflores tujuan Labuan Bajo-Ruteng, Nusa Tenggara Timur.
Dari sembilan kabupaten di Pulau Flores, pembagian lahan persawahan
berbentuk lodok hanya di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat dan
Manggarai Timur). Selain binatang Komodo yang sudah masuk dalam tujuh
keajaiban dunia, persawahan lodok di Manggarai Raya juga sudah masuk
dalam kategori persawahan unik di Asia Pasifik dan juga salah satu
tujuan wisata unik.
Persawahan Lodok di Lembor
Persawahan
ini mudah dijangkau dari Kota Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai
Barat. Saat ini Labuan Bajo sudah dikenal dengan nama Labuan
Bangsa-bangsa. Kenapa? Karena turis dari berbagai negara berada di Kota
Labuan Bajo sejalan dengan gencarnya pertumbuhan pariwisata di Manggarai
Barat, di ujung barat Pulau Flores.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pengunjung bisa menumpang kendaraan umum dari Labuan Bajo dengan jarak
tempuh dua jam. Namun, lebih singkat lagi apabila mengendarai kendaraan
roda dua. Wisatawan mancanegara yang memiliki minat khusus bisa menyewa
motor dari Labuan Bajo. Letak persawahan ini berada di pinggir Jalan
Transflores tujuan Labuan Bajo-Ruteng. Namun, dari pinggir jalan tidak
nampak kelihatan, wisatawan harus berjalan di sebuah bukit untuk melihat
keunikan persawahan tersebut.
Setelah anda berada bukit, arahkan
pandangan kita ke persawahan lodok. Kita pasti tersentak dengan
keunikan-keunikan yang dibuat oleh leluhur warga Manggarai Barat zaman
dahulu.
Beberapa waktu lalu tim dari Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif yang dipimpin Ibu Gayatri bersama dengan sejumlah
wartawan Jakarta pada pergelaran Festival Komodo di Labuan Bajo
menyempatkan diri berkunjung persawahan Lodok Lembor.
Setelah
melihat keunikan persawahan Lodok di Lembor, pemandu menghantarkan
wisatawan asing dan domestik untuk berkunjung persawahan lainnya yang
terletak di Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Persawahan Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Hamparan persawahan Lodok yang terbesar ada di Cancar.
Blasius Nogot
(56), penjaga pintu masuk ke Puncak Weol beberapa waktu menjelaskan,
setiap hari turis asing yang dipandu oleh pemandu Flores selalu
mengunjungi Persawahan Lodok Cancar. Turis berjalan kaki menuju ke
puncak Weol untuk melihat keseluruhan hamparan persawahan yang terluas
di Cancar. Turis asing dan domestik sering mengabadikan keunikan
persawahan ini dengan kameranya.
“Setiap hari saya melayani tamu-tamu yang ingin melihat persawahan Lodok di Cancar dari puncak Weol,” jelasnya.
Nogot
menjelaskan, ada 11 hamparan sawah lodok di Cancar dari delapan
kampung. Semuanya bisa dilihat dari Puncak Weol. Persawahan ini berada
di Desa Meler, Kecamatan Ruteng. Ke 11 sawah lodok adalah, Lingko Molo,
Lingko Lindang, Lingko Pong Ndung, Lingko Temek, Lingko Jenggok, Lingko
Lumpung, Lingko Purang Pane, Lingko Sepe, Lingko Wae Toso, Lingko Ngaung
Meler, Lingko Lumpung II.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Atap rumah berbentuk lodok di Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur.
Nogot menjelaskan, banyak pembagian lahan untuk ladang-ladang juga
berbentuk lingko lodok, tetapi yang terbesar di tiga Manggarai ini
adalah persawahan lingko Lodok Cancar.
"Kunjungan wisatawan asing
dan domestik memberikan masukan pendapatan ekonomi keluarga.
Penghasilan per bulannya bisa Rp 1,5 juta. Apalagi saat musim kunjungan
wisatawan ke Pulau Flores. Pemandu lokal dan internasional selalu
membawa turis ke Puncak Weol untuk melihat persawahan Lingko Lodok
Cancar. Bahkan, General Manager PLN NTT beberapa waktu lalu juga
mengunjungi persawahan Cancar dari Puncak Weol,” jelasnya.
Ke persawahan lingko Lodok di Rawang
Jika
ingin lebih mengetahui keseluruhannya, berkunjunglah ke persawahan
Lingko Lodok Rawang di Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten
Manggarai Timur. Akses jalan ke kampung itu dari arah Ruteng, Ibu Kota
Kabupaten Manggarai sangat bagus dengan melewati Karot menuju ke Pagal.
Jalannya sangat bagus karena masuk dalam jalan Negara Ruteng-Reo.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Gereja tua dengan arsitektur Lodok di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Nah, dari Pagal kita belok kanan ke arah utara. Kita harus hati-hati
dalam mengendarai kendaraan karena jalannya sempit dan mendaki. Setelah
mendaki, kita menuruni jalan di beberapa kampung yang berkelok menuju ke
kali Wae Nao. Kali adalah perbatasan antara wilayah administrasi
Kabupaten Manggarai dengan Manggarai Timur.
Letak persawahan
Lingko Lodok Rawang berada di sebelah kali Wae Nao. Untuk dapat melihat
secara keseluruhan, wisatawan mengunjungi sebuah bukit di sebelah
kampung Rawang. Wisatawan bisa melihat secara keseluruhan keindahan
persawahan di sini.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Mbaru Embo, Rumah Hunian Leluhur
Sabtu, 18 Oktober 2014 | 18:49 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/10/18/184900827/Mbaru.Embo.Rumah.Hunian.Leluhur
KOMPAS/FRANS SARONG
Dua tetua suku Nanga, Gaspar Djawa (kiri) dan Frans Selamat, di depan
rumah adat mereka, di Mok, Manggarai Timur, Kamis (31/7/2014). Rumah tua
tidak berpenghuni itu disebut Mbaru Embo.
MOK tidak hanya berstatus kampung tua. Tumbuh di
punggung bukit, perkampungan itu hingga kini tetap menyisakan satu rumah
adat bernama Mbaru Embo yang tidak pernah dihuni manusia. Keluarga suku
Nanga sebagai ahli warisnya percaya, Mbaru Embo adalah hunian khusus
arwah leluhur. Pasangan Embo Lenang dan Embo Teje diyakini sebagai tetua
utama leluhur penghuni rumah adat itu.
Perkampungan Mok
sekaligus merupakan pusat Desa Mbengan di Kecamatan Kota Komba,
Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya sekitar 30
kilometer arah utara Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
Berkunjung ke Mok tidak sulit karena sudah terhubung jaringan jalan
beraspal meskipun di sejumlah lokasi masih berlubang sehingga memaksa
mobil atau sepeda motor yang melintas berjalan pelan.
Sesuai
dengan tuntutan adatnya, Mbaru Embo bertengger di ketinggian punggung
bukit bagian hulu kampung. Bangunannya berkolong, berbentuk melingkar,
dengan satu titik yang merupakan puncak atap. Sebagian besar kerangka
bangunan dari bahan bambu dan beratap ijuk. Suasana rumah leluhur itu
selalu hening karena tidak berpenghuni dan lokasinya agak menyendiri
atau terpisah sekitar 50 meter hingga 200 meter dari jejeran perumahan
warga. Bagi mereka yang memiliki kepekaan tajam, berada di sekitarnya
langsung merasakan aura magis dari keheningan Mbaru Embo.
”Sejauh
ini amat jarang ada warga yang berani mendekati Mbaru Embo itu jika
tidak bersama tetua adatnya dari suku Nanga. Areal sekitarnya terasa
angker,” kata David Badik (76), tokoh yang juga tetua Mok di kampungnya
itu, Kamis (31/7). Rumah keluarga David Badik termasuk paling dekat,
berjarak sekitar 50 meter di bagian hilir sebelah selatan Mbaru Embo.
Di
Mok dan sekitarnya, David Badik termasuk tetua yang memiliki kepekaan
lebih dari normal. Meskipun bukan tetua utama suku Nanga, kakek belasan
cucu itu mampu mendengar bunyian atau suara aneh dari Mbaru Embo. Itu
biasanya terjadi pada saat-saat tertentu, terutama ketika suasana sedang
benar-benar hening. Suaranya berupa bunyian yang seakan dari aktivitas
manusia, seperti menampi, membenahi perabot rumah, dan kesibukan lain.
”Tidak jarang pula terdengar suara percakapan manusia dengan nada
bergumam,” kata David Badik, yang juga mantan Kepala Desa Mbengan.
Ritual kelas
Akhir
Juli lalu bertepatan dengan ritual kelas atau kenduri bagi arwah
Bernadus Sawu yang meninggal pada 12 Desember 2012. Almarhum yang lazim
dikenal dengan nama alias Sodo Mok adalah tetua utama suku Nanga di Mok,
yang belakangan dimandatkan kepada cucunya, Gaspar Djawa (43).
Mengetahui
ada tamu berkunjung, apalagi dari turunan kerabat suku Nanga, tetua
Gaspar Djawa menyambut Kompas secara adat. Dalam rangkaian adat yang
ditandai dengan kepok tuak (pemberian arak), penyambutan diawali
pengabaran yang disebut malang, bermakna pemberitahuan terkait
meninggalnya Bernadus Sawu.
Sebagaimana lazimnya, kabar duka itu
direspons dengan pemberian berupa uang—berapa pun nilainya—sebagai
pertanda ikut dalam perkabungan. Selanjutnya, melalui kepok tuak pula,
Kompas ikut ambil bagian dalam ritual kelas. Keterlibatan itu juga
ditandai dengan pemberian berupa benda atau uang sebelum akhirnya sang
tetua Gaspar Djawa bersama sejumlah kerabat dekat, termasuk Kepala Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Manggarai Timur Frans Selamat,
mengantar Kompas mengunjungi Mbaru Embo, sekitar 200 meter dari rumah
duka.
Gaspar Djawa mengatakan, berkunjung ke Mbaru Embo dengan
sejumlah pantangan untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan,
malapetaka.
Bangunan Mbaru Embo dengan empat tiang utama dari
jenis kayu khusus ternyata menyimpan daya tarik lain. Baik perbaikan
maupun pembangunan baru tidak bisa ditunda-tunda apa pun alasannya.
Keseluruhan pekerjaan harus dirampungkan dalam sehari.
Dewasa
ini, tuntutan itu tentu saja menjadi tantangan serius karena
ketersediaan ijuk sebagai penutup atapnya kian langka. Lebih langka lagi
menemukan jenis kayu khusus yang dibutuhkan untuk empat tiang utamanya.
Namun, Gaspar Djawa, Frans Selamat, Stef Abur, Benediktus Tegu, Karolus
Ndoa, dan beberapa tetua suku Nanga di Mok tetap berkeyakinan kuat
bahwa pembangunan atau perbaikan Mbaru Embo kapan saja bisa diselesaikan
dalam sehari sesuai tuntutan adatnya.
”Kelangkaan bahan baku
bisa disiasati dengan menyediakannya secara mencicil. Pembangunan
dilakukan dengan melibatkan seluruh keluarga besar. Pengalaman sejauh
ini umumnya berjalan mulus,” kata Frans Selamat.
Duplikat
Keberadaan
Mbaru Embo di Mok sebenarnya merupakan duplikat rumah adat serupa
dengan induknya di kampung asalnya, Nanga Pu’un, kawasan Rajong, kini di
Kecamatan Elar Selatan (Manggarai Timur). Lokasi Rajong sekitar 50
kilometer arah utara Mok atau sekitar 80 kilometer dari Borong.
Nanga
Pu’un dipastikan sebagai kampung asal suku Nanga di Mok dan sekitarnya.
Sayang, kampung induk Nanga Pu’un di Rajong tidak menyisakan Mbaru
Embo. ”Rumah adat Mbaru Embo suku Nanga yang tersisa hanya di Mok itu.
Di Nanga Pu’un sudah tidak ada lagi,” kata Kornelis Sambi (48), tetua
Rajong, di Langgasai, Selasa (5/8/2014).
Catatan menyebutkan,
Rajong adalah daerah asal tiga suku berkerabat dekat, yakni Nanga, Mulu,
dan Walan. Turunan ketiga suku itu kini menyebar luas di Manggarai
Timur.
Konon migrasi sebagian anggota keluarga leluhur suku Nanga
dahulu kala hingga akhirnya menetap di Mok terjadi akibat konflik yang
tak terselesaikan di lingkungan keluarga. Seiring perjalanan waktu,
ikatan persaudaraan mereka berangsur membaik hingga pulih sepenuhnya
setelah berpisah jauh.
Kini, Mbaru Embo sebagai pemersatu suku
Nanga hanya tersisa di Mok. ”Keberadaan Mbaru Embo di Mok memang
sepantasnya menjadi induk suku Nanga setelah rumah adat awalnya tidak
lagi ditemukan di Nanga Pu’un,” kata tetua suku Nanga lainnya di Nanga
Meje.
Di balik berbagai keunikannya, Mbaru Embo tentu saja
menunggu sentuhan mendalam para pakar, terutama menyangkut berbagai
pantangan yang hingga kini tetap tidak tersingkap maknanya. Sebut saja
pembangunan atau perbaikan harus rampung dalam sehari, berkunjung tanpa
tembakau, tidak berpakaian warna merah, tanpa wewangian, dan pantangan
lain. Gaspar Djawa, misalnya, hanya bisa mengatakan berbagai pantangan
itu memang bawaan sejak leluhur.
(FRANS SARONG)
Pohon Berdaun Pink di Flores Membuat Turis Penasaran
Sabtu, 1 November 2014 | 11:41 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/01/114100027/Pohon.Berdaun.Pink.di.Flores.Membuat.Turis.Penasaran.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pohon berdaun pink di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto diambil pada Agustus 2014.
PULAU Flores, Nusa Tenggara Timur dikenal dengan Pulau
Bunga. Penyebutan nama itu sangat didukung oleh keindahan alam Flores.
Tidak salah orang Portugis menyebut Flores sebagai Pulau Bunga. Ini
terbukti bahwa ada pohon di Jalan Transflores yang berada dalam kawasan
Taman Wisata Alam Ruteng berdaun pink.
Selama ini wisatawan asing
dan domestik sudah mengenal pantai pink di Labuan Bajo, Kabupaten
Manggarai Barat dan danau tiga warna Kelimutu di Kabupaten Ende. Mata
para pelancong yang menghabiskan liburan di Pulau Flores terkagum-kagum
dengan keunikan pohon berdaun warna pink. Orang sering menyebutnya
seperti bunga Sakura di Jepang.
Mata wisatawan mancanegara dan
domestik dikejutkan tatkala melihat pohon di kiri kanan saat melintasi
jalan Transflores berwarna pink. Selama ini berwisata ke Pulau Flores
selalu bertujuan ke Pantai Pink dan Danau Tiga Warna Kelimutu. Wisatawan
belum melirik untuk berwisata alam di Taman Wisata Alam Ruteng yang
dikelolaa oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kelas Ruteng. Keindahan
alam tak kalah dengan Pantai Pink. Bahkan, berwisata melihat pohon
berdaun pink sambil mendengarkan suara merdu dari burung-burung yang
masih di alam bebas di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pohon berdaun pink di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto diambil pada Agustus 2014.
Biasanya, setiap tahun dalam bulan Juni-Agustus, pohon itu menyuguhkan
daun berwarna pink. Pohon ini tumbuh di pinggir jalan Transflores yang
berada di Kampung Robo, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai. Bahkan,
pohon yang tumbuh berdaun pink itu berada tak jauh dari Gunung api
Ranaka. Mata para pelancong menikmati dua keindahan alam, yakni melihat
puncak gunung api Ranaka serta keindahan alam disekitarnya dan melihat
dari dekat pohon berdaun pink. Tak terlalu sulit untuk melihatnya,
wisatawan bisa melihat dari dalam mobil travel tujuan Ruteng-Maumere
maupun sebaliknya.
Pada Agustus 2014 lalu, saat
Kompas.com
melintasi Jalan Transflores dari arah Ruteng, Ibu Kota Kabupaten
Manggarai, Flores, NTT, para sopir taksi tujung Ruteng-Borong dan ke
arah Timur selalu menginformasikan kepada para penumpang tentang
keunikan pohon berdaun warna pink.
Tak sia-sia dengan kamera yang
disiapkan di dalam tasnya mengabadikan keunikan alam Pulau Flores
dengan memotret. Bahkan, seorang penumpang yang hendak ke Kota Kupang
juga mengabadikannya dengan memotret pohon berdaun berwarna pink
tersebut. Ketika para penumpang menanyakan kepada para sopir pohon apa
namanya itu dalam bahasa lokal orang Manggarai, para sopir tidak
mengetahui nama pohon itu. Namun, setiap tahun pohon itu selalu
menyuguhkan daun berwarna pink.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Turis sering mengabadikan keindahan alam Pulau Flores bagian barat saat
melintasi Jalan Transflores di Rongket, Kampung Robo, Kecamatan Wae
Rii, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto diambil pada
Agustus 2014.
Setelah diabadikan dalam sebuah kamera, para penumpang mulai
menceriterakan keindahan alam Pulau Flores dengan beraneka kekayaan
pariwisatanya. Bukan hanya ada di pantai yang berwarna pink melainkan
pohon juga berwarna pink. Ini sesuatu yang menakjubkan, mengapa Pulau
Flores sangat dikenal di dunia luar Negeri.
Para penumpang
menceriterakan tentang binatang Komodo, salah satu binatang purba yang
masih hidup sampai dengan zaman sekarang. Bahkan, sudah ditetapkan
menjadi salah satu warisan keajaiban dunia. Selain itu, persawahan yang
berbentuk sarang laba-laba. Dan keajaiban lain, danau tiga warna di
kawah Kelimutu. Belum lagi dengan atraksi-atraksi budaya yang
menakjubkan seperti tari caci, tari Ja’i, Tari Gawi. Bahkan berbagai
keunikan-keunikan lain yang belum dipromosikan.
Terkait dengan pohon berdaun pink, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Ruteng, Ora Yohanes kepada
Kompas.com,
Rabu (29/10/2014) menjelaskan, Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng
memiliki kekayaan alam yang indah. Salah satunya adalah pohon berwarna
pink yang berada di Gololusang maupun di pinggir Jalan Transflores dari
arah Ruteng menuju arah Timur.
Selain pohon itu, ada puncak
Gunung Ranaka, bekas letusan api beberapa tahun lalu. Selain itu, di
dalam kawasan Taman Wisata Alam Ruteng terdapat burung endemik khas
Flores seperti burung hantu. “Turis asing dan peneliti burung sudah
sering mengunjungi Taman Wisata Alam Ruteng di bagian Gololusang dan di
sekitar danau Ranamese,” jelasnya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pohon berdaun pink di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto diambil pada Agustus 2014.
Seorang warga Manggarai, Albertus Harianto mengatakan, wisatawan asing
dan domestik saat melintasi pinggir Jalan Transflores di sekitar
Rongket, Kampung Robo, Kecamatan Wae Rii selalu berhenti di pinggir
jalan untuk melihat keanehan pohon berdaun pink serta mengabadikan dalam
sebuah kamera.
“Turis sering mengabadikan dalam kamera mereka untuk memotret pohon berdaun pink itu,” tuturnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Tiga Air Terjun di Flores Barat yang Memukau Wisman
Sabtu, 15 November 2014 | 09:08 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/15/090800027/Tiga.Air.Terjun.di.Flores.Barat.yang.Memukau.Wisman
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Air Terjun Cunca Rami di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
NAMA Pulau Flores makin melambung di kalangan wisatawan
mancanegara (wisman). Keunikan Kampung Waerebo, danau tiga warga
Kelimutu membuat wisatawan dunia selalu tertarik untuk mengeksplore
keindahan Flores, di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Nusa Tenggara
Timur pada umumnya dan Flores pada khususnya sudah terkenal dengan
binatang Komodo yang masuk satu dari tujuh keajaiban dunia. Bahkan sudah
diselenggarakan puncak Sail Komodo pada September 2013 lalu. Di balik
ketenaran Komodo yang sudah masuk dalam daftar buku wisata dunia, masih
ada keunikan lainnya yang tak kalah tenarnya di Flores Barat.
Keunikan
lain yang terjadi di Flores Barat adalah di tiga Kabupaten, yakni
Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Manggarai memiliki
keindahan air terjun.
Yang paling dicari oleh wisatawan asing dan
domestik untuk mandi sambil menikmati keindahan alam dengan berwisata,
di antaranya Air Terjun Cunca Rami, Cunca Wulang, dan Cunca Rede.
Air Terjun Cunca Rami
Dalam
bahasa lokal orang Manggarai Raya, "Cunca" artinya air terjun dan
"Rami" adalah hutan kecil dengan tumbuh-tumbuhan kecil. Jadi Cunca Rami
adalah air terjun yang dikelilingi hutan kecil di kiri kanan airnya.
Lokasi Cunca Rami berada di Kecamatan Sano Nggoang, tak jauh dari
Werang, Ibu Kota Kecamatan Sano Nggoang.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Air Terjun Cunca Rami di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Untuk menuju ke lokasi Cunca Rami, para pelancong bisa melewati dua arah
dari Kota Labuan Bajo. Berwisata dengan mengendarai kendaraan roda dua
dan empat dari Labuan Bajo menuju ke Bambor dan dari Bambor menuju ke
Werang, kendaraan roda dua dan empat diparkir di Werang. Dari Werang,
para pelancong menyusuri jalan setapak yang masih dipenuhi
tumbuh-tumbuhan di kiri kanan jalan.
Setelah itu, wisatawan
menyeberangi sebuah kali. Berjalan terus sampai di sebuah bendungan,
dari bendungan menyeberangi sebuah kali lagi dan terus menyusuri
keindahan alam dengan perpaduan suara burung pada pagi hari ataupun sore
hari. Sesudah itu, kita berjalan sampai di sebuah kali dan menyeberangi
lagi sampai di persawahan. Dari persawahan kita bisa melihat dan
mendengarkan bunyi air terjun yang tertinggi di Manggarai Barat.
Diperkirakan tinggi Air Terjun Cunca Rami setinggi 30 meter.
Dalam
keadaan lelah, kita disegarkan dengan butiran-butiran air terjun yang
sampai disekitar persawahan. Puncaknya, wisatawan bisa mandi di
sungainya. Namun, kita tetap hati-hati saat mandi karena sungainya
sangat dalam.
Arah yang satunya adalah dari Labuan Bajo bisa
ditempuh 15 menit dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Kendaraan
kita parkir di Kampung Melo. Dari Melo, kita melintasi perjalanan di
tengah hutan Mbeliling yang sangat sejuk sambil mendengarkan suara
burung endemik Flores yang masih hidup di hutan Mbeliling.
Dari
Melo kita mendaki kawasan bentang alam Mbeliling sampai dipuncak
persinggahan di tengah hutan, dari situ kita menuruni lereng dan lembah
sampai disebuah kampung. Dari kampung itu kita berjalan kaki menuju ke
Cunca Rami. Sungguh sangat menakjubkan keindahan yang dilimpahkan Yang
Maha Kuasa bagi warga masyarakat Manggarai Barat.
Setelah kita
menikmati keindahan air terjun Cunca Rami, sebelum wisatawan kembali ke
Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat, wisatawan mengunjungi
Air Terjun Cunca Wulang. Lokasi Cunca Wulang berada di hutan Mbeliling,
di Kecamatan Mbeliling.
Air Terjun Cunca Wulang
Beberapa waktu lalu
Kompas.com,
bersama dengan sejumlah rekan dari LSM Burung Indonesia, Elvis dan
Marianus Samsung nekat mengunjungi kawasan Air Terjun Cunca Wulang.
Dalam bahasa lokal Manggarai Raya, cunca adalah air terjun sedang
"Wulang" adalah bulan. Jadi Cunca Wulang bisa diartikan dengan air
terjun berbentuk bulan. Mengapa disebut seperti itu, karena air
terjunnya berwarna seperti warna bulan yang putih.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Air Terjun Cunca Wulang di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Sungguh indah saat
Kompas.com dan dua rekan dari Burung
Indonesia menikmati keindahan Cunca Wulang, bahkan sebagian warga sedang
mandi serta menjumpai turis dari Jerman yang mandi.
Marianus Samsung, Staf LSM Burung Indonesia, kepada
Kompas.com
menjelaskan, dua air terjun di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
selalu dikunjungi wisatawan asing dan domestik. Bahkan tamu-tamu dari
LSM Burung Indonesia dari luar negeri selalu mengunjungi Cunca Rami dan
Cunca Wulang. “Setiap hari wisatawan asing dengan kendaraan roda dua
selalu mengunjungi dua air terjun tersebut,” jelasnya.
Menurut
Marianus, Cunca Rami diperkirakan memiliki ketinggian 30 meter sedangkan
Cunca Wulang diperkirakan setinggi 25 meter. “Potensi pariwisata di
Flores Barat sangat berlimpah sehingga tak salah kalau Lonely Planet
menetapkan Flores sebagai 10 daerah top untuk dikunjungi pada 2015,”
jelasnya.
Air Terjun Cunca Rede
Seorang
wisatawan mancanegara dan domestik belumlah mengenal Pulau Flores dalam
menghabiskan waktu liburannya, apabila tak berwisata ke Cunca Rede yang
merupakan air terjun tertinggi di Flores Bagian Barat. Diperkirakan
tinggi air terjun ini adalah 70 meter.
Air terjun ini terletak di
Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai
Timur, Flores bagian Barat. Air terjun ini adalah satu-satunya air
terjun yang berada di Kabupaten Manggarai Timur. Air terjun ini berada
di Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng (TWAR) yang dikelola oleh Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Ruteng.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Air Terjun Cunca Rede di Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Air terjun ini berada dibawah kaki Gunung Ranaka. Untuk sampai ke air
terjun ini tidaklah sulit bagi wisatawan asing dan domestik. Memang, ada
kesulitannya, peta menuju ke lokasi air terjun tersebut belum ada.
Bagi
wisatawan yang datang dari arah Labuan Bajo, berkendaraan lah menuju
arah timur sambil melewati persawahan lembor dan menikmati kota dingin
Ruteng. Lalu dari Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai, para wisatawan
terus mengelilingi ke arah timur melalui jalan Transflores Labuan
Bajo-Maumere sambil menikmati panorama alam yang masih original di Pulau
Flores Bagian barat.
Sebelum ke air terjun tersebut yang berada
di dalam kawasan hutan, wisatawan juga dapat mengunjungi Danau Ranamese
yang terletak di pinggir jalan Transflores. Dari sini, wisatawan terus
menuruni sejumlah kampung yang berada di kiri kanan jalan Transflores
sampai di Kampung Paka. Setiba di Kampung Paka, wisatawan melintasi
jalan perbukitan dan lereng yang bisa ditempuh dalam waktu dua jam
karena jalannya masih rusak parah.
Namun, untuk mendekati air
terjun tersebut tidak bisa menggunakan sepeda motor karena jalannya
masih bebatuan alias belum diaspal. Pengunjung akan melintasi beberapa
kampung sampai tiba di Kampung Ntaur. Dari Kampung Ntaur, wisatawan akan
didampingi pemandu lokal untuk menuju ke lokasi Air Terjun Cunca Rede.
Sebelum
tiba di air terjun itu, wisatawan melewati persawahan dan bendungan
untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro Waemusur dan melewati kali
sebelum menuju hutan disekitar air terjun Cunca Rede. Ketika tiba di
dekati air terjun, pengunjung mendengarkan bunyi air dari kejauhan dan
begitu tiba dijamin rasa lelah dalam perjalanan segera hilang karena
menikmati keindahan Air Terjun Cunca Rede.
Bagi pengunjung dari
arah Timur, seperti dari Maumere, wisatawan melintasi beberapa kabupaten
di Pulau Flores, yakni Kabupaten Ende, Nagekeo, Ngada dan tibalah di
jembatan perbatasan antara Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Nama
jembatan perbatasan itu adalah Jembatan Waemokel.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Keindahan alam di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Dari jembatan perbatasan itu, wisatawan menempuh perjalanan sekitar 1,5
jam menuju ke Borong, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Timur. Dan dari
Borong menuju ke Paka, ditempuh dalam waktu 15 menit dan pemandu
mengarahkan perjalanan menuju ke Air Terjun Cunca Rede.
Saking penasarannya, Selasa (21/10/2014) pagi dengan modal nekat,
Kompas.com
bersama dengan seorang jurnalis lainnya mendatangi Cunca Rede. Kami
diundang secara mendadak oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral Manggarai
Timur untuk melihat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di
Kampung Ntaur. Nah, kesempatan itu kami manfaatkan untuk melihat dari
dekat keindahan Cunca Rede bersama Camat Ranamese, Galus Ganggus.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Semangat Perempuan Flores Menenun Songke...
Selasa, 25 November 2014 | 17:22 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/25/172200227/Semangat.Perempuan.Flores.Menenun.Songke.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tenun Songke Manggarai Raya bermotif mata manuk.
LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Seiring perkembangan promosi
pariwisata Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang sangat pesat membawa
dampak positif bagi masyarakat. Walaupun tidak semua. Pulau Flores yang
terkenal dengan binatang Komodo dan sudah menggelar puncak Sail Komodo
pada September 2013 lalu ikut memberikan andil dalam membangkitkan
kembali keunikan-keunikan budaya Manggarai Raya. Salah satunya adalah
tenun Songke.
Tenun songke merupakan kain khas adat orang
Manggarai Raya yang diwariskan leluhur mereka. Berpuluh tahun yang lalu,
secara tradisional leluhur orang Manggarai yang mungkin dimulai dari
Kampung Todo menenun kain songke dari bahan alamiah. Sejalan dengan
perkembangan modern dan Indonesia memasuki zaman orde baru membawa
perubahan yang sangat drastis.
Salah satunya adalah masuk kain
dari daerah lain yang dijual kepada masyarakat Manggarai Raya. Kain
untuk dipakai kaum perempuan dan laki-laki di kampung-kampung bermotif
modern atau hasil olahan pabrik dari daerah lain.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tenun Songke Manggarai Raya bermotif bajawa.
Perlahan tapi pasti kain songke kian terpinggirkan ditambah dengan
harganya yang sangat mahal. Oleh karenanya, warga berebut membeli kain
olahan pabrik untuk digunakan. Namun, sebagian warga masih
mempertahankan kain songke, apalagi dipakai pada upacara adat, upacara
perkawinan secara adat orang Manggarai Raya.
Bahkan manfaat
ekonomi dari kain songke belum dirambah oleh masyarakat Manggarai Raya
sehingga menenun kain songke sebagai kegiatan tambahan di rumah setelah
mengolah pertanian.
Gencarnya perkembangan pariwisata yang
ditandai kunjungan wisatawan asing dan domestik membuat warga mulai
membangkitkan kembali usaha menenun kain songke. Ditambah lagi, orang
asing dan domestik mencari keunikan-keunikan kain khas tiap daerah di
Indonesia. Dampak dari menenun kain songke meningkatkan pendapatan
ekonomi keluarga.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Baju dari kain Songke
Selain itu, peminat kain-kain khas di setiap daerah Indonesia gencar
mengunjungi wilayah Manggarai Raya untuk membeli kain bermotif unik.
Koreografer yang terjun ke fashion show dengan pakaian khas
masing-masing daerah selalu mengunjungi kampung-kampung yang masih
menenun kain songke.
Di Flores, masing-masing kabupaten memiliki
motif kain tersendiri. Itulah keunikannya, seperti di wilayah Manggarai
Barat, motif kain songke yang terkenal adalah motif kain songke mata
manuk. Motif ini selalu dicari oleh warga lokal maupun orang-orang
Manggarai yang berdomisili di Jakarta dan didaerah lainnya.
“Motif
kain songke mata manuk selalu dibeli oleh orang lokal Manggarai Raya,
orang asing, orang-orang Manggarai yang berdomisi di Jakarta dan di
daerah lain di Indonesia. Mereka selalu memesan kain songke bermotif
tersebut,” kata Leli Maria Goreti (42) kepada Kompas.com di Pameran
Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Sabtu
(22/11/2014) lalu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Tas dari anyaman daun pandan pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR)
di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu
(22/11/2014).
Dikenal dengan panggilan Leli Artshop, Leli menjelaskan, di art shopnya
di kawasan Bandara Komodo dia menjual berbagai jenis tenun dari wilayah
Nusa Tenggara Timur dan kerajinan-kerajinan lokal Manggarai Raya seperti
patung komodo, topi songke Manggarai Raya, topi Rea khas Manggarai
Barat.
"Saya memiliki kelompok penenun di Kampung Todo dan di
beberapa kampung di wilayah Manggarai Raya. Saya sudah 12 tahun menekuni
penjualan kain tradisional bermotif Nusa Tenggara Timur. Banyak turis
membeli patung, topi, kain bermotif Nusa Tenggara Timur. Banyak orang di
Jakarta yang selalu memesan ke saya. Saya sering mengikuti pameran,
baik yang dilaksanakan pemerintah maupun pihak swasta,” jelas perempuan
asal Kampung Sita, Manggarai Timur yang bersuamikan orang Manggarai
Barat dan tinggal di Labuan Bajo itu.
Leli menjelaskan, kain
songke bermotif Mata Manuk dijual seharga Rp 500.000 karena cara
pembuatannya sangat berbeda dan membutuhkan waktu lama dan ketelitian.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Kain bermotif binatang komodo pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR)
di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu
(22/11/2014).
Ketua Kelompok Tenun Songke Waenakeng, Desa Poco Rutang, Kecamatan
Lembor, Manggarai Barat, Rofina Kartini didampingi anggotanya, Katarina
Nurtiyati kepada Kompas.com, disela-sela pameran sentra Kreatif Rakyat
menjelaskan, pendampingan dari tim sentra kreatif rakyat pusat
memberikan harapan baru bagi kaum perempuan yang memiliki keterampilan
dalam menenun.
Setelah diinformasikan pada 2012, sebelum Sail
Komodo, keduanya mengakui mulai memiliki gairah untuk menekuni kembali
menenun songke. Hasilnya, tiga kali mereka mengikuti pameran di Kota
Labuan Bajo. Hasil penjualan kain songke sangat bagus dan membantu
membiayai pendidikan anak-anak di perguruan tinggi.
“Ke depan ini
kami mulai fokus untuk mengembangkan tenun songke sebab kami sudah
merasakan keuntungannya. Kami berharap program Sentra Kreatif Rakyat
tidak boleh dihentikan melainkan program ini diteruskan. Kami merasakan
peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat,” jelas Katarina.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Tas bermotif binatang komodo dan rusa pada Pameran Sentra Kreatif
Rakyat (SKR) di Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sabtu (22/11/2014).
Sentra Kreatif Rakyat (SKR) adalah Program Pengembangan Ekonomi Kreatif
dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah Direktorat
Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya yang bertujuan untuk
mengembangkan wilayah-wilayah produk kreatif bercirikan lokalitas rakyat
di wilayah tersebut.
Koordinator program Sentra Kreatif Rakyat
Kabupaten Manggarai Barat, Niniek Dhiniyanti memaparkan, daerah-daerah
percontohan Program SKR antara lain Kabupaten Batang dan Kabupaten
Magelang di Jawa Tengah, Kabupaten Pacitan di JawaTimur, Kabupaten Tana
Toraja dan Kabupaten Toraja Utara di Sulawesi Selatan dan Kabupaten
Manggarai Barat di Nusa Tenggara Timur.
Menurut Dhiniyanti,
kegiatan Program Pengembangan SKR di Manggarai Barat antara lain
penelitian dan pengembangan motif-motif tradisional produk kreatif,
peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan
peningkatan kapasitas teknik dan desain produk Tenun Songke Manggarai
Barat, Batik,dan Produk Kayu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Topi Songke Manggarai Raya pada Pameran Sentra Kreatif Rakyat (SKR) di
Youth Center Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu
(22/11/2014).
Sebagai langkah publikasi kegiatan SKR dan promosi hasil karya kelompok
SKR, diselenggarakan Pameran Sentra Kreatif Rakyat Manggarai Barat pada
22–24 November 2014 yang diikuti 30 perajin dari Kecamatan Lembor,
Lembor Selatan, Desa Komodo, Kota Labuan Bajo dan Kota Ruteng.
Pada
pameran ini akan dipamerkan dan diperdagangkan produk-produk kreatif
antara lain tas tenun songke, selendang tenun songke pewarna alam, tas
dan kain batik pewarnaan alam dengan motif komodo dan biota laut, produk
suvenir dari patung kayu, kain destar (ikat kepala) pewarna alam dengan
motif rumah adat Manggarai dan sawah lodok serta inovasi-inovasi desain
produk batik, tenun dan kayu lainnya hasil karya kelompok SKR.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Keunikan Ritual Kapu Agu Naka di Bumi Flores
Rabu, 12 November 2014 | 14:12 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/12/141200127/Keunikan.Ritual.Kapu.Agu.Naka.di.Bumi.Flores
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Nasi yang sudah diupacarakan dipersembahkan kepada leluhur dalam ritual
'Kapu Agu Naka' yang diadakan di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka,
Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada
Juli 2014.
BULAN Juni-Agustus merupakan musim kunjungan wisatawan
asing dan domestik ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tujuan
pertama mereka mengunjungi Pulau Flores adalah bertandang ke Taman
Nasional Komodo.
Ada apa di Taman Nasional Komodo? Semua warga
global sudah mengetahuinya. Ada binatang purba yang masih hidup di Taman
Nasional Komodo. Nama binatang ajaib itu adalah binatang raksasa
Komodo. Bahkan, pada September 2014 lalu digelar hajatan global yang
disebut Sail Komodo.
Pada puncak Sail Komodo, ribuan wisatawan, baik wisatawan menggunakan kapal layar
(yacht)
dari berbagai dunia memadai laut Labuan Bajo. Bergemanya Sail Komodo
yang secara khusus dipromosikan seluas-luasnya memberikan dampak pada
perkembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat pada khususnya dan
di Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Memberikan makan kepada leluhur dalam ritual 'Kapu Agu Naka' yang
diadakan di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor,
Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Dibalik keanehan binatang Komodo yang hidup di bumi Congka Sae, sebutan
untuk bumi Mangggarai Raya, tersimpan berbagai keunikan tradisi dan
budaya masyarakat yang secara turun temurun diwariskan.
Selain
Tari Caci yang sudah terkenal di kalangan masyarakat Manggarai Raya, ada
tradisi-tradisi yang terus diupacarakan di rumah-rumah adat di seluruh
Manggarai Raya. Salah satu tradisi itu adalah Tradisi “Kapu Agu Naka”.
Pada
bulan Juli 2014, salah satu suku di Kampung Paang Lembor, Desa Wae
Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat menggelar ritual
“Kapu Agu Naka”. Kapu artinya pangku dan Naka artinya, riang. Kapu agu
Naka diartikan memangku seseorang dengan penuh riang atas berbagai
keberhasilan, baik memberikan keturunan yang berkembang banyak maupun
kesuksesan dalam menggarap sawah, kebun dan sekolah.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Sesajen yang digantung di rumah adat Gendang dalam ritual 'Kapu Agu
Naka' yang diadakan di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan
Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Warisan leluhur ini harus dilaksanakan oleh keturunan dalam kehidupan
masyarakat Manggarai Raya. Uniknya, ritual ini digelar untuk menghormati
leluhur yang telah berjasa memberikan keturunan yang terus berkembang
di Kampung Paang Lembor maupun yang berdomisili di luar kampung
tersebut.
Ritual ini selalu ditunda-tunda karena kemampuan warga
yang terbatas untuk membeli berbagai hewan, seperti kerbau, babi dan
ayam serta menyiapkan berbagai kebutuhan dalam ucapara tersebut. Lalu
ditunda-tunda acaranya maka leluhur memberikan teguran kepada
keturunannya berupa sakit yang tidak pernah sembuh, tersendat-sendat
keberhasilan dalam pendidikan perguruan tinggi.
Menganalisis
tanda-tanda itu ditambah dengan mimpi dari sejumlah warga maka tetua
adat Kampung Paang Lembor sepakat menggelar tradisi “Kapu Agu Naka”.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Warga Manggarai Raya menyambut kedatangan Konsulat Australia di
Denpasar yang menghadiri ritual 'Kapu Agu Naka' yang diadakan di Kampung
Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai
Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Benediktus Koro, kepada
Kompas.com, di Rumah adat Gendang Paang
Lembor pada pertengahan Juli 2104 menjelaskan, leluhur dari warga
masyarakat di Paang Lembor dikenal dengan panggilan Empo Tok. Ayah dari
Empo Tok ini adalah Sor Mondong. Saat Empo Tok masih kecil, ayahnya
meninggal dunia. Lalu, ketika ayahnya meninggal, Empo Tok menjadi “Lalo”
(anak yatim piatu) di kampung tersebut. Setelah itu Empo Tok tinggal
dengan keluarga tantenya di wilayah Ndoso, Kecamatan Ndoso.
Benediktus
menjelaskan, Empo Tok adalah anak tunggal dari keturunan Sor Mondong
(ayahnya). Saat bertumbuh besar dan menjadi pemuda serta memiliki
keluarga, Empo Tok menggelar ritual “Oke Lewang Leca Kando Lalo” artinya
buang semua sial dan cukup dia saja yang menjadi anak tunggal.
Dalam
ritual itu, Empok Tok mengambil seekor ayam jantan warna putih. Lalu
dia “Wada” atau bersumpah: "Ini ayam putih. Karena saya hidup sendirian
melalui ayam warna putih ini saya minta berkat dari Yang Maha Kuasa agar
keturunan saya berkembang biak di kemudian hari. Cukup saya saja yang
anak tunggal. Apabila permohonanku terwujud maka keturunan saya
menggelar ritual Kapu Agu Naka sebagai ucapan terima kasih dan bersyukur
atas rahmatMu dengan kerbau berwarna belang-belang."
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Sesajen yang sudah siap diberikan kepada leluhur dalam ritual 'Kapu Agu
Naka' di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor,
Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Diperkirakan 400 tahun silam pesan itu disampaikan dan masih diingat oleh keturunnya dengan mengisahkan terus menerus.
Sesudah
gelar ritual itu, sebagaimana dikisahkan nenek moyang, Benediktus
menuturkan, Empo Tok memperistrikan Anos. Hasil perkawinannya lahirlah
anak-anak mereka yakni Tonjong (anak sulung), Panjong (anak kedua), Koro
(anak ketiga) dan Golo (anak bungsu).
Lalu Benediktus
menjelaskan, keturunannya mulai lupa atas pesan leluhur mereka
mengakibatkan “do Nangki” artinya, bermacam musibah sakit yang tak
pernah disembuhkan. Kadang-kadang hadir dalam mimpi. Ada banyak warga
Kampung Paang Lembor sakit dan berobat di Rumah Sakit di Manggarai Raya,
namun, tidak pernah sembuh.
Lalu, warga mencari alternatif
dengan meminta orang pintar dari kampung tetangga. Lalu, orang pintar
melihat tanda-tanda itu bahwa warga Kampung Paang Lembor dari keturunan
leluhur mereka lupa melaksanakan ritual “Kapu Agu Naka” atau ritual
ucapan bersyukur sebagaimana yang dipesan leluhur zaman dulu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Ritual 'Kapu Agu Naka' di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka,
Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada
Juli 2014.
Setelah mendengar saran dari orang pintar, tetua adat di Kampung Lembor
menggelar ritual kecil di rumah adat Gendang Paang Lembor dan sepakat
menggelar ritual besar yakni “Kapu Agu Naka”. Setelah upacara kecil di
rumah adat gendang Paang Lembor, sejumlah warga yang sakit
perlahan-lahan sembuh. Keturunan dari Empo Tok, jelas Benediktus,
berkembang sampai di Kampung Kilor, Kampung Bangka Maring, Kampung
Lingko Wae dan Paang Lembor sendiri. Paang Lembor sebagai pusatnya.
Benediktus
menjelaskan, berkat dari doa para leluhur itu, berbagai pekerjaan yang
dilakukan keturunannya selalu berhasil dalam sekolah, sehat, usaha
pertanian berjalan lancar dan hasil panen padi berlimpah. Bahkan, rahmat
itu menghasilkan tujuh orang sudah doktor. “Kami bangga ritual ini
disaksikan oleh seorang Konsulat Australia di Bali saat berkunjung ke
Pulau Flores,” ucapnya.
Seorang putra Paang Lembor, Dr Agustinus Bandur kepada
Kompas.com di Kampung itu pada Juli 2014 menjelaskan, ada pesan dari Empo Tok dengan kata-kata seperti ini:
“Eme Beka agu Buar, neka Ghemong Naring mori agu ngaran kudut kapu agu naka”
yang artinya: "Kalau keturunan berkembang biak, jangan lupa mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai pemberi hidup."
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Konsulat Australia memakai pakaian adat Manggarai Raya di Kampung Paang Lembor, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Bandur menjelaskan, permohonan dari leluhur di Kampung Paang Lembor
direstui Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga keturunannya berkembang biak.
“Saat acara ini digelar, saya undang Kedutaan Australia di Jakarta.
Lalu, mereka mengutus seorang Konsulat Australia di Bali,” jelasnya.
Pada
ritual itu ada tahap-tahap yang dilalui di antaranya, berdoa di kuburan
leluhur, Barong Wae, upacara adat di mata air sampai puncak pada Paki
Kaba atau bunuh kerbau yang berwarna belang-belang.
Menurut
Bandur, di Kecamatan Lembor memiliki tempat wisata yang menarik, di
antara persawahan Lodok atau persawahan berbentuk Sarang Laba-Laba,
Istana Ular, hamparan persawahan Lembor, serta ritual-ritual adat yang
masih sangat unik.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Keindahan pegunungan di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur.
Untuk menuju ke wilayah Lembor tidak terlalu sulit karena berada di
jalan Lintas Transflores Maumere-Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo ditempuh
dalam waktu 2 jam dengan kendaraan roda empat. Paang Lembor memiliki
arti. "Paang" artinya pintu gerbang sedang "Lembor" adalah nama sebuah
kecamatan. Jadi Paang Lembor adalah perbatasan antara Kabupaten
Manggarai dengan Kabupaten Manggarai Barat.
“Banyak potensi
wisata yang harus dikembangkan dan dipromosikan ke dunia luar sehingga
wisatawan dapat menyaksikan ritual-ritual adat orang Manggarai Raya,”
kata Bandur.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Unik, Tradisi "Poka Kaba" di Lembah Kampung Bumbu
Jumat, 7 November 2014 | 08:31 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/07/083116127/Unik.Tradisi.Poka.Kaba.di.Lembah.Kampung.Bumbu
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
PERJALANAN menuju perkampungan di perbatasan antara
Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai di Flores, Nusa
Tenggara Timur (NTT) di Kampung Bumbu Pupung, Desa Rondo Woing tak mudah
seperti yang diungkapkan dalam kata-kata lisan. Walaupun tergolong
kampung yang berada di lembah dan terpencil juga tak mudah dijangkau
kendaraan bermotor, Bumbu Pupung, akhir Oktober 2014 tiba-tiba meriah.
Ratusan
pengunjung dari kampung tetangga, seperti Kampung Ntaur, Torok Golo,
Teber, Colol, Rengkam, Sita, bahkan kabupaten tetangga hadir ke kampung
itu. Mereka yang semuanya dalam hubungan kekeluargaan datang dengan
maksud sama: menghadiri ritual “Poka Kaba Congko Lokap” rumah Gendang
Bumbu. Ritual ini wajib dilaksanakan dan selalu diupacarakan ketika
pembangunan rumah adat gendang selesai dibangun oleh para pewarisnya.
Bumbu
adalah salah satu anak kampung di Desa Rondowoing, Kecamatan Ranamese,
Kabupaten Manggarai Timur. Daerah dengan kampung induk bernama Pupung,
Bumbu adalah kampung yang berada di lembah yang diapit empat bukit.
Keempat bukit itu adalah bukit Racang (Golo Racang), Colol, Teong
Lewing, dan Bukit Pupung (Golo Pupung). Kampung itu berada di sebelah
timur bagian selatan Kabupaten Manggarai Timur di Pulau Flores.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual ayam putih dalam tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bumbu di Desa Rondowoing letaknya sekitar 20 kilometer dari Borong,
Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, atau 50 kilometer dari arah Ruteng,
Ibukota Kabupaten Manggarai. Manggarai sendiri yang kini berubah nama
menjadi Manggarai Raya, sejak awal tahun 2000-an mengalami pemekaran dan
kini menjadi tiga kabupaten. Selain Kabupaten Induk, Manggarai, dua
lainnya adalah Manggarai Barat (2003) dan Manggarai Timur (2007).
Kondisi
jalan Ruteng-Borong-Ranamese sangat bagus. Jalan itu adalah bagian dari
jalan lintas Transflores yang berstatus sebagai jalan negara. Namun,
kondisi jalan selebihnya sangat kontra. Apalagi jalan ke
kampung-kampung. Sejak lepas dari jalan Transflores dan memasuki
tikungan menuju ke Bumbu, kendaraan roda empat, baik yang bermerk ford
dan truk harus berjalan dengan penuh hati-hati. Dari satu persimpangan,
persisnya di samping Kampung Paka hingga pusat Kampung Bumbu yang
jaraknya sekitar 15 kilometer perjalanan dengan mobil membutuhkan waktu
1,5 jam.
Jalan itu selain sempit, juga hanya berlapiskan susunan
batu yang sudah terkelupas dari Paka sampai di Kampung Ntaur, Desa Sano
Lokom. Dari Kampung Ntaur, kita berjalan melewati dua kali besar, yakni
Kali Waemusur I dan II. Jalan tersebut berlubang-lubang karena sebagian
susunan batu sudah terbongkar dan berserakan, membentuk onggokan liar di
sana sini. Sedangkan dari tikungan Paka sampai di Kampung itu kita
melewati lima kali besar. Satu jembatan sudah dibangun sejak masih
bergabung dengan Kabupaten Induk, Manggarai dan duanya lagi sedang
dikerjakan. Selain itu jalan rayanya berada disela-sela tebing batu.
Jalan menurun dan mendaki sehingga sopir yang mengendarai kendaraan
penuh dengan hati-hati.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Tari Congka Sae yang dibawakan kaum perempuan dalam acara Poka Kaba
Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Meski sempat lelah dan letih akibat guncangan kendaraan saat melewati
jalan yang rusak dan belum beraspal itu, rasa kelelahan hilang saat
bersamaan menikmati pemandangan persawahan di Lembah kampung itu serta
memandangi empat bukit yang masih sangat hijau.
Seperti dalam
judul tulisan ini, setidaknya di kawasan Timur bagian selatan Manggarai
Raya termasuk Bumbu-Pupung dan sekitarnya hingga di era teknologi dan
global ini menyisakan ritual kuno yang berusia ribuan tahun yang
dipercayai sangat sakral oleh para penghuni Manggarai Raya. Ritual itu
sudah sering diketahui luas adalah “Poka Kaba Congko Lokap”, yakni
sebuah upacara khusus sesudah rumah adat gendang di Manggarai Raya
dibangun.
Masyarakat Manggarai Raya di Flores umumnya masih
beranggapan bahwa “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membersihkan kampung
dari berbagai kejahatan pasca rumah adat gendang dibangun dengan hewan
kurban kerbau adalah upacara wajib sebagai penghormatan dan berterima
kasih kepada lelulur dan Sang Pencipta.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tetua adat menyerahkan alat tari Caci pada acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Ritual “Poka Kaba Congko Lokap” di Bumbu, Rabu-Kamis, 29-30 Oktober
2014, penyelenggaranya adalah turunan dari Suku Nembe yang rumah adat
induknya berpusat di kampung tersebut. Tradisi ini harus dilaksanakan
pasca pembangunan rumah adat Gendang yang didirikan ditengah kampung.
Poka (bunuh), Kaba (kerbau), Congko (pungut) dan Lokap (kotoran atau
sisa-sisa kotoran). Jadi tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” diartikan
sebuah tradisi membunuh kerbau untuk membersihkan sebuah kampung pasca
rumah adat Gendang dibangun.
Dalam ritual puncak “Poka Kaba
Congko Lokap”, hewan kurban kerbau selalu dipadukan dengan sejumlah babi
jantan besar dan kecil. Ritual ini diyakini sebagai upacara bersyukur
dan berterima kasih kepada leluhur atas bantuan mereka sehingga rumah
adat bisa dibangun sekaligus mengucapkan terimakasih kepada Sang
Pencipta.
Gabriel Geo, tetua adat di Kampung Bumbu Pupung kepada
Kompas.com
di Kampung Bumbu, Kamis (30/10/2014) menjelaskan, warga kampung Suku
Nembe berasal dari keturunan Minangkebau. Nama lelulur asal Minangkebau
adalah ‘Durung’. Namun, warga suku di Manggarai Timur memanggilnya
“Wangka Durung”. Mengapa, saat “Durung” berlayar dari Minangkebau dan
bersandar di Pelabuhan Pota, Jangkar dari kapalnya ada di Pelabuhan
Pota. Jadi orang memanggilnya “Wangka Durung”. Selanjutnya, “Wangka
Durung” memperistrikan “Kodal” dari Kampung Watu Cie, di Colol,
Kecamatan Pocoranaka.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Para tetua adat menari Congka Sae dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Gabriel menjelaskan, hasil perkawinan “Wangka Durung dan Kodal” lahirlah
Hende (sulung), Nembe (anak kedua), Koko (anak ketiga) dan Wintuk (anak
bungsu). Lalu, Hende, karena rajin memelihara anjing maka ia bermigrasi
ke wilayah Lambaleda. Nembe adalah seorang yang tekun menanam berbagai
jenis tanamanan holtikultura seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi dan
sejenisnya sehingga Ia mencari daerah subur di wilayah pegunungan
Mandosawu dekat dengan Gunung Ranaka.
“Dari Gunung Mandosawu
dekat Gunung Ranaka, leluhur kami (Nembe) mencari daerah subur dan
menemukan daerah subur di Lembah Bumbu-Pupung. Kuburan dari leluhur itu
yang berusia ratusan tahun masih ada diatas bukit disekitar Lembah
Bumbu-Pupung. Sejak kehadiran leluhur itu, warga masyarakat membangun
rumah adat yang sederhana yang terbuat dari ijuk dan bertiangkan bambu.
Lalu, penginisiatif, Hironimus Nawang, seorang putra keturunan Kampung
Bumbu merencanakan pembangunan rumah adat gendang Bumbu. Maka,
pembangunan sudah selesai dengan dilaksanakan ritual “Poka Kaba Congko
Lokap,” jelasnya.
Tetua Gendang Kampung Bumbu, Marselinus Mantur,
Karel Kalut dan Yakobus Tagang menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam
tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” yang harus dilalui diantaranya, ritual
“Barong Lodok”, ritual di sudut persawahan dan perkebunan milik
komunitas warga dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Kedua, ritual
“Barong Wae”, ritual di mata air dengan ayam jantan sebagai lambangnya.
Ketiga, ritual “Teing Hang Ata Tua”, ritual memberikan sesajen kepada
leluhur di kampung tersebut. Keempat, ritual “Tudak Ela Penti”, ritual
berterima kasih dan bersyukur kepada leluhur sebagai perantara rahmat
dari Sang Pencipta.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Para tetua menabuh gendang dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kelima, ritual” Ela Pantek”, ritual mengundang leluhur untuk masuk di
rumah adat gendang. Keenam, ritual “Barong Rapu”, ritual meminta leluhur
di pekuburan untuk sama-sama menyaksikan upacara adat di kampung
tersebut dan dilaksanakan pada malam hari. Ketujuh, ritual Ela Wee,
ritual mengundang seluruh warga Kampung dan sekitarnya untuk sama-sama
menyaksikan dan memeriahkan ritual “Poka Kaba Congko Lokap” pada esok
harinya. Lalu, kedelapan, puncaknya dari berbagai rangkaian upacara
adalah Ritual “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membunuh seekor hewan
kurban kerbau di tengah-tengah kampung.
Selanjutnya, ritual
Congko Laca, ritual membersihkan rumah adat dan halaman kampung dari
berbagai kotoran hewan atau membersihkan sisa-sisa kotoran hewan yang
ada di dalam rumah maupun di sekitar rumah. Ini merupakan ritual penutup
dengan dilambangkan seekor ayam jantan berwarna putih.
Hironimus
Nawang, Budayawan Manggarai Raya, menjelaskan, tradisi “Poka Kaba
Congko Lokap” merupakan tradisi yang diwariskan leluhur di Manggarai
Raya dengan usia ribuan tahun dan masih dipertahankan dan diupacarakan
di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya setelah rumah adat gendang
selesai dibangun. Tradisi ini wajib dilaksanakan oleh warga suku,
kampung dan komunitas sosial pasca rumah adat Gendang selesai dibangun.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bahkan, upacara ini juga dilaksanakan saat meresmikan Kantor Bupati
Manggarai Timur 2013 lalu. Dan juga pada peresmian Kantor Bupati
Manggarai dan Manggarai Barat beberapa tahun lalu. Apabila rumah adat
gendang sudah selesai dibangun dan tidak melaksanakannya maka leluhur
akan memberikan teguran kepada warga suku dan warga kampung dengan
berbagai bentuk. Bahkan, tandanya dalam mimpi, dalam pekerjaan dan dalam
sekolah.
“Orang Manggarai Raya sangat dekat alam dan Sang
Pencipta. Bahasa lokal Manggarai “Gendang Onen Lingko Peang” sebagai
persatuan antara alam dan manusia. Jadi tradisi Poka Kaba Congko Lokap
wajib diupacarakan di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya,”
jelasnya.
Pastor Servulus Isak, SVD yang berasal dari kampung
itu, menjelaskan, rumah adat Gendang bagi masyarakat Manggarai Raya
adalah rumah persatuan dan persaudaraan yang sangat mendalam. Banyak
manfaat Rumah adat Gendang bagi warga Manggarai Raya, di antara rumah
itu sebagai tempat menyelesaikan persoalan adat, persoalan sosial
kemasyarakatan.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual memberi makan leluhur pada tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pastor Servulus, mengatakan, sesama warga masyarakat saling mendidik
berkaitan dengan kebijaksanaan dan kearifan-kearifan budaya yang positif
yang diwariskan leluhur yang sudah meninggal dunia. Bahkan nilai-nilai
budaya masyarakat Manggarai Raya dapat dipelajari dalam rumah adat
gendang seperti tatacara ritual “Poka Kaba Congko Lokap” dan
ritual-ritual lainnya.
“Ritual Poka Kaba Congko Lokap tidak ada
di tempat lain di seluruh dunia dan hanya adat di kebudayaan orang
Manggarai Raya. Saya minta generasi muda yang lahir di zaman global ini
harus mempelajari budaya yang terus dipertahankan sepanjang masa ini,”
jelasnya.
Pastor Servulus menjelaskan, berkat dari berbagai
upacara adat di Kampung Bumbu Pupung sudah melahirkan 17 pastor yang
tersebar di Keuskupan Ruteng, di Jakarta maupun menjadi misionaris di
luar negeri.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Yuk Jelajahi Tiga Danau Vulkanik di Flores...
Sabtu, 29 November 2014 | 10:52 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/29/105200927/Yuk.Jelajahi.Tiga.Danau.Vulkanik.di.Flores.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Danau Sano Nggoang di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
INDONESIA sangat kaya dengan potensi pariwisata yang
mengguncang dunia. Karena keunikannya itu, warga dunia atau warga global
selalu ingin mencari tahu hal-hal yang unik. Keunikan alam, budaya,
pantai dan bawah lautnya menjadi incaran para pelancong yang memiliki
dana cukup. Salah satu daerah yang menyimpan rahasia keunikan di wilayah
Nusantara ini adalah Pulau Flores, di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pulau
Flores sangat terkenal dengan pulau gunung berapi. Berbagai peristiwa
letusan gunung berapi selalu terjadi di Pulau Flores, mulai dari Flores
barat sampai ke Flores Timur. Akibatnya, berbagai "hano" atau danau
dalam bahasa lokal warga masyarakat Manggarai Timur ditemukan. Danau
vulkanik terbesar di Nusa Tenggara Timur adalah Danau atau Sano
Nggoang. Sano dalam dialek masyarakat Kempo adalah danau sementara
Nggoang artinya menyala. Sano Nggoang diartikan danau berapi atau danau
yang sedang menyala.
Wisatawan dari berbagai negara biasanya
selalu mengunjungi Laut Mati di Israel. Padahal, di Pulau Flores ada
juga Laut Mati yakni Sano Nggoang. Di Sano Nggoang tidak ditemukan
binatang-binatang air yang hidup, sebab danau itu adalah danau yang
penuh dengan belerang.
Bahkan setiap bulan Februari, ada letusan
berapi di tengah laut. Warga sekitar mendengar bunyi letusan. Dan
apabila masyarakat sudah mendengarkan letusan Sano Nggoang, maka pada
keesokan harinya warga berada di pinggir kali untuk memungut binatang
air seperti katak, udang, ikan dan lain-lainnya.
Selain danaunya
teduh, wisatawan juga bisa mandi air panas di ujung Danau. Bahkan,
apabila masyarakat terkena penyakit kudis, warga pergi membersihkannya
dengan mandi di air panas tersebut.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Danau Sano Nggoang di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Konon, diceriterakan secara turun temurun, mengapa ada Sano Nggoang.
Dikisahkan, ada dua warga masyarakat di Kampung sekitar itu. Dua warga
itu adalah Si Buta dan Si Pincang dan seekor anjing untuk menjaga
keduanya. Orangtua dari kedua anaknya pergi di kebun. Nah, saat Si Buta
dalam keadaan lapar, ia mau masak nasi. Lalu, dengan perantaraan seekor
anjing minta api kepada Si Pincang. Si Pincang memberikan sebatang api
yang diikat di ekor anjing untuk dibawa ke rumah Si Buta.
Saat
api sudah tiba di rumah Si Buta, anjing kembali bermain. Ketika Si Buta
hendak menyalakan api untuk memasak nasi, tiba-tiba muncul seseorang
yang tidak diketahui asalnya bertanya kepada Si Buta, mau masak apa,
apakah masak nasi bubur atau nasi kering. Si Buta menjawab mau masak
Nasi bubur. Seketika itu mulai berubah nasi yang ada di periuk dan
perlahan-lahan rumah Si Buta penuh dengan nasi bubur sampai akhirnya
tenggelam. Dan mulai saat ini lokasi di sekitar berubah menjadi danau.
Marianus
Samsung, staf Komunikasi dan relasi Media, LSM Burung Indonesia Program
Mbeliling kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2014), menjelaskan, tinggi
danau Sano Nggoang adalah 757 meter dari permukaan laut (DPL) dan
luasnya 513 hektar dan ke dalamnnya 600 meter. Danau ini adalah danau
vulkanik aktif terbesar di Nusa Tenggara Timur.
Cara Menjangkaunya
Wisatawan
yang datang dari arah Bali menggunakan maskapai penerbangan turun di
Bandara Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Dari Bandara Komodo,
wisatawan domestik bisa menyewa kendaraan roda empat apabila mau
langsung mengunjungi Danau Sano Nggoang. Dari Labuan Bajo, Ibu Kota
Kabupaten Manggarai Barat berjalan melintasi jalan Transflores menuju ke
arah timur.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pelabuhan Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Jalannya sangat bagus, dari Labuan Bajo melintasi jalan mendaki sambil
melihat keindahan kiri kanan jalan juga melihat warga menjual pisang di
pinggir jalan Transflores. Sesudah itu belok di pertigaan Bambor dan
berjalan melintasi jalan raya menuju ke Danau Sano Nggoang. Sambil
melintasi jalan, wisatawan dapat berjumpa dengan warga masyarakat
Manggarai raya yang ramah menyapa setiap tamu yang berkunjung.
Nah,
tibalah di Danau Sano Nggoang. Di sana wisatawan dapat mengeliling
danau dengan dipandu warga lokal. Bahkan berjalan kaki menuju bukit
untuk melihat keseluruhan danau tersebut. Siapa pun wisatawan pasti
menggagumi keunikan danau tersebut yang tidak ada duanya di Nusa
Tenggara Timur.
Danau Ranamese
Setelah
itu kita mengendarai kendaraan balik ke Jalan Transflores menuju ke
Danau Ranamese. Sebelum tiba di Danau Ranamese, kita dapat melihat
keindahan alam di kiri kanan jalan dan bisa berwisata ke rumah adat
bermotif Manggarai berkerucut ke atas di Ruteng, Ibu Kota Kabupaten
Manggarai.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Danau Ranamese di Ruteng, Nusa Tenggara Timur.
Mata wisatawan dimanjakan dengan keindahan persawahan di Manggarai raya
sebelum tiba di Danau Ranamese. Nah, tibalah di Danau Ranamese yang
berada di pinggir jalan Transflores.
Danau ini berada di wilayah
hutan Taman Wisata Alam Ruteng dan berada di bawah Gunung Ranaka. Apa
yang bisa dilihat di danau ini? Wisatawan bisa melihat keteduhan airnya,
ada sejumlah ikan, serta danaunya bersih. Saat duduk di pinggir Danau
Ranamese, wisatawan bisa menikmati suara burung-burung di sekitar danau.
Menurut
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam wilayah II Ruteng, Ora
Yohanes, luas Danau Ranamese lima hektar dan kedalamannya mencapai 42
meter. Berbentuk corong, danau ini bekas kawah pada zaman letusan gunung
berapi.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Danau Kelimutu di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Sebelum ke Danau Tiga Warna Kelimutu, ada sejumlah danau kecil yang
berada di sepanjang jalan Transflores, yakni Danau Kecil Ranaloba, Air
Panas Rana Masak yang berada di Kabupaten Manggarai Timur. Selain itu di
bagian Utara Manggarai Barat ada Danau Hano Limbung. Namun, jalannya
sangat parah, selain di bagian utara Manggarai Timur ada Danau Rana
Kulan. Woow, ternyata Pulau Flores penuh dengan keajaiban alam.
Danau Tiga Warna Kelimutu
Nama
Danau Tiga Warna Kelimutu sudah terkenal di seluruh dunia. Danau ini
berada di puncak Gunung Kelimutu. Bahkan, nama danau itu sudah tercantum
dalam buku wisata dunia Lonely Planet yang terbit di Inggris.
Sebelum
mengunjungi danau tersebut, wisatawan harus menginap di Kampung Moni.
Pasalnya, kalau menginap di Kota Ende sangat jauh. Ada berbagai hotel di
Kampung Moni yang disediakan kepada wisatawan dengan harga terjangkau.
Sebelum
matahari terbit, wisatawan harus mulai berangkat dari Kampung Moni pada
waktu subuh menggunakan mobil. Disarankan menyewa kendaraan roda empat
untuk menuju ke bukit Kelimutu. Dari Kampung Moni ke kawah tiga warna
Kelimutu ditempuh satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Danau Kelimutu di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Lebih baik, wisatawan tiba sebelum matahari terbit, karena nampak
keindahan Danau Tiga Warna Kelimutu. Setelah wisatawan tiba di sana
dijamin diselimuti rasa heran dan kagum terhadap keunikan yang
disuguhkan alam Danau Kelimutu kepada manusia. Wow... betapa indah
pariwisata di Pulau Flores ini. Yang ada dalam hati kita
ungkapan-ungkapan rasa takjub atas keajaiban bumi Flores, Nusa Tenggara
Timur.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Tapa Kolo, Makanan Khas Manggarai Timur
Minggu, 16 November 2014 | 09:06 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/16/090600227/Tapa.Kolo.Makanan.Khas.Manggarai.Timur?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tapa Kolo alias nasi bambu, makanan khas Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Berkunjung ke bumi Flores
memang menikmati keindahan alamnya. Berbagai keunikan alam Flores
menyuguhkan kepada wisatawan mancanegara dan domestik. Betapa tidak,
keindahan alam Flores sudah masuk dalam 10 daerah tujuan wisata 2015
hasil survey dari Lonely Planet di London, Inggris.
Seperti di
Kabupaten Lembata, wisatawan dapat menyaksikan penangkapan paus secara
tradisional oleh para nelayan dari Kampung Lamaholot. Belum lagi
keunikan danau tiga warna Kelimutu. Semua disuguhkan bagi pelancong yang
mau mengenal dan belajar tentang alam Flores.
Setelah berwisata
ke danau tiga warna Kelimutu, wisatawan melintasi keindahan pinggir
pantai menuju ke Kabupaten Nagekeo untuk melihat bekas goa jepang, pulau
berpasir putih, air panas Nangadhero, serta gunung berapi Ebu Lobo dan
Etu, tinju adat di Kampung adat Boawae.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Memasak Tapa Kolo alias nasi bambu bakar, makanan khas Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Sesudah menghabiskan waktu liburan di Kabupaten Nagekeo, wisatawan
mengunjungi keindahan 17 Pulau Riung di Kabupaten Ngada serta kampung
adat Bena, air panas Soa, Gunung Inerie. Selanjutnya pelancong
mengunjungi Kabupaten Manggarai Timur dengan melihat padang savana
Mausui, Batu Susu Rongga juga menikmati Pantai Mbolata sambil melihat
warga lokal membuat tuak atau moke khas Manggarai Timur.
Nah,
beristirahatlah dan bermalam lah di Kabupaten Manggarai Timur sambil
menikmati makanan khas warga lokal. Salah satu makanan khas yang masih
belum punah adalah Tapa Kolo. "Tapa" adalah bakar dan "Kolo" adalah nasi
bambu. Jadi Tapa Kolo adalah membakar nasi dengan menggunakan bambu
kecil. Biasanya, warga lokal Manggarai Timur memasak nasi dengan bambu
pada acara syukuran tahunan atau “Penti” di rumah adat gendang. Di kebun
untuk memulai tanam padi, juga di persawahan. Bahkan acara-acara besar
di kampung-kampung.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Memasak Tapa Kolo alias nasi bambu bakar, makanan khas Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Apa uniknya Tapa Kolo atau nasi bambu itu? Uniknya, berasnya dari beras
merah atau orang lokal menyebutnya “Dea laka”. Caranya adalah beras
merah dibersihkan terlebih dahulu, lalu dimasukkan ke dalam bambu
berukuran kecil. Namun, lubang bambu kecil itu dialas dengan daun enau
muda supaya nasi yang dimasak bersih. Sesudah itu ditambahkan dengan
air. Kadang-kadang bervariasi dengan memasukkan daging babi, daging ayam
supaya terasa lebih enak lagi.
Sesudah semuanya beres, warga
lain menyediakan api untuk membakarnya. Kira-kira satu jam atau satu
setengah jam untuk membakar banyak “Tapa Kolo”. Sementara kaum perempuan
menyiapkan bumbu-bumbu serta memasak daging ayam atau daging babi.
Masakan daging ayam dengan santan sehingga terasa nikmatnya menyantap
“Tapa Kolo” dengan lauknya daging ayam yang sudah disantan.
Tetua adat Manggarai Timur, Fransiskus Ndolu kepada
Kompas.com,
Kamis (13/11/2014) menjelaskan, “Tapa Kolo” merupakan makanan khas
warga Manggarai Timur yang diwariskan leluhur di berbagai kampung dan
desa.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Nalun Kolo atau Tapa Kolo, nasi bambu bakar, makanan khas Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Warga masyarakat di sembilan Kecamatan di Kabupaten Manggarai Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu menyuguhkan “Nalun Kolo” atau “Tapa
Kolo” pada upacara penti atau syukuran kampung pada acara tahunan.
Selain
itu, Ndolu menjelaskan, “Tapa Kolo” juga biasa dimasak pada pembukaan
ladang baru serta sebelum panen padi atau tanaman lainnya seperti
jagung. “Warga Manggarai Timur masih mempertahankan tradisi Tapa Kolo
pada berbagai upacara adat di rumah gendang di berbagai
kampung-kampung,” jelasnya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Geliat Ekowisata di Pulau Flores
Kamis, 13 November 2014 | 15:17 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/13/151700227/Geliat.Ekowisata.di.Pulau.Flores?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Laus dan Niko, dua warga Dusun Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan
Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur memperagakan
tarian caci, sebuah tarian khas daerah setempat yang menggambarkan
perang dan keberanian kaum pria setempat.
ALUNAN musik gong dan gendang bertalu-talu di Dusun
Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat,
Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/10/2014). Musik tradisional itu
menjemput rombongan Duta Besar Uni Eropa yang menjadi sponsor kegiatan
ekowisata di enam desa terpencil di Manggarai Barat.
Di depan
gerbang masuk Sanggar Riang Tanah Tiwa, seekor ayam jantan putih, simbol
ketulusan dan kejujuran masyarakat menerima tamu, diberikan kepada Duta
Besar Uni Eropa Olog Skoog, Kepala Bagian Kerja Sama Delegasi Uni Eropa
Franck Viault, dan rombongan.
Sekitar 50 warga telah berkumpul
di sanggar itu. Mereka adalah wakil dari Desa Liang Ndara, Waerebo,
Wulan, Wae Sano, Tado, dan Bena. Desa-desa ini tersebar di Manggarai
Barat, Ngada, dan Manggarai, di Pulau Flores.
Enam desa itu
merupakan pusat pengembangan ekowisata dengan dana dari Uni Eropa,
bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat, selama tahun 2013-2015.
Total dana mencapai Rp 5,7 miliar.
Keenam desa itu memiliki
kekhasan masing-masing. Desa Waerebo, misalnya, memiliki rumah
tradisional yang berbentuk kerucut dengan bubungan menjulang ke langit.
Desa Bena memiliki kekhasan rumah adat serta batu menhir yang diyakini
sebagai tempat tinggal leluhur. Desa Tado memiliki tenun ikat Manggarai
Barat yang unik.
Olog Skoog mengatakan, dana itu merupakan hibah
untuk kegiatan ekowisata, kesehatan ibu dan anak, pendidikan dasar,
pemberdayaan ekonomi perempuan, kelompok marjinal, dan untuk
pengembangan tenun ikat. ”Kegiatan ekowisata di Flores difokuskan pada
pengembangan ekonomi masyarakat lokal dengan memproduksi dan
meningkatkan kualitas produk-produk lokal seperti tenun ikat, kopi
flores, teh asli flores, beras flores, dan sejumlah potensi daerah
lokal,” katanya.
Mereka juga mendorong pelestarian budaya lokal
seperti tarian tradisional, kerajinan tenun ikat, dan songket Manggarai.
Sebagian budaya lokal ini terancam punah, karena itu dihidupkan
kembali, di bawah Yayasan INFEST (Inovative Indigenous Flores Ecoturism
for Sustainable Trade), dan Indonesia Ecotourism Network (Indecom).
Perubahan ekonomi
Kepala
Desa Liang Ndara Silvester Jehadu mengatakan, jumlah warga desanya
sekitar 2.312 jiwa. Mata pencarian penduduk adalah petani lahan kering
dan peternak. Kehadiran Sanggar Riang Tanah Tiwa (artinya, menjaga dan
mempertahankan warisan leluhur) membawa perubahan di bidang ekonomi
masyarakat.
Setiap hari selalu ada kunjungan wisatawan ke sanggar
itu. Berbagai produk lokal seperti pisang, umbi-umbian, tenun ikat,
kopi bubuk, topi khas manggarai, tas, dan emping pisang, dipajang di
sanggar.
”Produk-produk itu milik kelompok tani dan anggota
sanggar. Setiap bulan selalu dibayarkan kepada mereka yang terlibat
langsung, setiap anggota kelompok mendapatkan Rp 300.000 hingga Rp
500.000, tergantung dari pemasukan. Namun, penari harian mendapatkan Rp
50.000-Rp 100.000 untuk sekali tampil,” kata Silvester.
Liang
Ndara ditetapkan sebagai desa wisata sejak 2009, dan aktivitas kunjungan
turis mulai terasa pada 2010. Rata-rata setiap tahun sekitar 4.000
turis (mancanegara dan dalam negeri) mengunjungi desa itu.
”Satu
paket kunjungan turis ke sanggar ini dibayar Rp 1,3 juta, dengan jumlah
turis yang tidak ditetapkan. Kami menyediakan berbagai atraksi budaya di
pelataran sanggar,” kata Ketua Sanggar Riang Tanah Tiwa Kristo Nison.
Ny
Martina Weki, salah satu anggota sanggar, mengatakan, dirinya
menitipkan kain sal dan tenun ikat khas Manggarai di sanggar itu. Hasil
jualan tenun ikat itu untuk membiayai pendidikan anak sekolah,
kesehatan, dan membiayai hidup lima anggota keluarganya.
Sebelum
kegiatan ekowisata, kata Martina, warga sangat terisolasi. Kendaraan
jarang masuk-keluar desa, dan ekonomi warga sangat terpuruk. ”Sekarang,
rata-rata setiap hari ada 10 turis asing masuk ke desa ini,” kata
Martina.
Kedatangan turis berarti rezeki bagi warga.
(Kornelis Kewa Ama)
Pantai Pede Diminta Tetap Jadi Ruang Publik
Minggu, 9 November 2014 | 14:33 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/11/09/143300027/Pantai.Pede.Diminta.Tetap.Jadi.Ruang.Publik
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.
ANSEL Jemaat (34), guru olah raga pada salah satu
sekolah menengah di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, marah besar ketika
membawa puluhan anak sekolah ke Pantai Pede untuk berenang, ternyata
pantai itu sudah diberi pagar. Hampir 80 persen kawasan pantai di Labuan
Bajo dan sekitarnya telah dikuasai pemodal.
Pede, sebelum Labuan
Bajo menjadi destinasi wisata, kawasan seluas 4,5 hektar itu menjadi
ruang publik masyarakat Manggarai Raya. Tetapi, sejak awal 2013, pantai
itu dialihkan ke PT Sarana Investama Manggabar (SIM). Sesuai rencana PT
SIM akan membangun hotel bintang lima di situ. Penyerahan hak guna usaha
(HGU) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT)
kepada SIM, ditentang masyarakat setempat.
Ansel Jemaat, di
Labuan Bajo, Selasa (4/11/2014), mengatakan, uang bukan segala-galanya
untuk masyarakat Manggarai Raya. Penguasaan Pantai Pede oleh pengusaha,
tidak berdampak positif bagi tata cara hidup, pola pikir, tradisi, adat,
dan kebersamaan masyarakat Manggarai Raya. Tradisi dan pola hidup
masyarakat Manggarai Raya antara lain terbentuk melalui kebersamaan di
pantai itu.
”Anak-anak berolahraga di sini. Mereka membentuk
karakter mereka sebagai generasi Manggarai yang dekat dengan alam.
Persaudaraan dan kebersamaan kami sebagai warga Manggarai, terikat pada
satu bahasa daerah, adat istiadat, dan tradisi lokal, terbentuk di
sini,” kata Ansel.
Kepala Desa Gorontalo, Labuan Bajo Aladin
Nahazar mengatakan, Pantai Pede selama ini menjadi ruang publik bagi
masyarakat Manggarai Raya. Berbagai kegiatan massal diselenggarakan di
pantai itu antara lain, arisan keluarga (suku), natal bersama,
halalbihalal, temu pisah guru dan kepala sekolah, olahraga (berenang)
siswa sekolah, kegiatan (rekreasi, olahraga tarik tambang, dan voli
pantai) 17 Agustus, dan bahkan puncak Sail Komodo 2013 berlangsung di
pantai itu.
Sebelum Labuan Bajo menjadi destinasi wisata nasional
dan internasional, masyarakat Manggarai Raya setiap Sabtu, Minggu, dan
hari-hari libur mendatangi pantai itu untuk berekreasi. Anak-anak
sekolah yang melakukan latihan berenang, dan kegiatan olahraga lain pun
berlangsung di pantai itu.
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA
Peserta Wonderful Adventure Indonesia Asia Pasific Hash 2014 di Pantai
Pede, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur,
Minggu (11/5/2014).
Namun, dengan pemagaran pantai sepanjang hampir 1 km mengikuti garis
pantai, membuat warga setempat tidak nyaman. Aladin selaku kepala desa
setempat langsung turun tangan, minta agar pemagaran dihentikan.
Sebagian kawasan yang sudah dipagari, diberi akses jalan masuk ke pantai
sehingga masyarakat terutama nelayan lokal bisa masuk ke kawasan itu.
Pantai
itu telah diapit hotel berbintang seperti La Prima, Bintang Flores, dan
Hotel Jayakarta di bagian timur dan barat. Pede masih menyisakan
semangat dan harapan bagi masyarakat lokal yang datang ke lokasi itu
untuk berekreasi, dan nelayan masih sempat menambatkan perahu di sana.
Ia
menilai, hampir 80 persen pesisir pantai di Labuan Bajo termasuk
sejumlah kecamatan di Manggarai Barat sudah dikuasai pengusaha dari
luar. Luas Manggarai Barat 10.000,47 km2, terdiri dari luas daratan
hanya 2.947,50 km2, sedangkan luas lautan 7.052,97 km2. Jika kawasan
daratan dikuasai pemodal 80 persen atau 2.358 km2, masyarakat asli
Manggarai Barat semakin tersingkir.
”Pengalaman di daerah lain,
ketika pemodal menguasai wilayah-wilayah strategis, masyarakat setempat
akan tersingkir, dan menjadi penduduk paling marjinal di daerah itu.
Masyarakat asli Labuan Bajo dan Manggarai Raya pun akan mengalami
situasi seperti itu,” kata Aladin.
Sejumlah pulau kecil di
sekitar Labuan Bajo, yang sudah dan sedang dalam proses negosiasi
pemodal dengan penduduk lokal dan pemda setempat untuk dibangun hotel
dan penginapan antara lain, Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya
Besar, Seraya Kecil, Bidadari, dan Pulau Longos. Pulau Komodo, sesuai
informasi, telah dikuasai pengusaha yang dibuktikan dengan pemasangan
patok batas di pulau itu.
Anggota Gerakan Masyarakat Selamatkan
Pantai Pede dan Pulau-Pulau (Gemas P2) Manggarai Barat, Marianus Nuhan,
menuntut Pemprov NTT dan PT SIM menghentikan kegiatan pembangunan fisik
apa pun di Pantai Pede. Pantai itu merupakan satu-satunya pantai tersisa
di Labuan Bajo yang dinilai stragetis sebagai ruang publik masyarakat.
”Saya
minta Pede tetap menjadi ruang publik bagi masyarakat. Jangan sampai
pemerintah mengalihkan pantai ini kepada pengusaha. Kalau sudah
diserahkan, keputusan itu ditinjau lagi. Hargai aspirasi masyarakat
Manggarai, jangan paksakan kehendak,” kata Nuhan.
Pantai ini
merupakan pelengkap obyek wisata binatang Komodo di Pulau Komodo, dan
Pantai Pink di Pulau Pink. Biasanya, usai menyaksikan Komodo di Pulau
Komodo dan pulau-pulau sekitarnya, pengunjung kembali ke Labuan Bajo,
kemudian melepas lelah di Pantai Pede.
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Caci di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Minggu (11/5/2014).
Jeane Beatrix, turis asal Australia, yang ditemui beberapa waktu lalu di
Pantai Pede mengatakan, setelah melakukan perjalanan ke Pulau Komodo,
dia bersama tiga rekannya mendatangi Pantai Pede untuk berenang dan
berjemur. Jeane pun berharap, pantai itu tidak dikuasai pengusaha,
tetapi beri kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola, dengan
berjualan dan berwisata.
”Bayangkan, kalau sepanjang garis pantai
ini dibangun hotel, masyarakat terutama nelayan sulit akses ke pantai
atau melaut. Padahal, mereka berdiam di sepanjang pesisir ini,” kata
Jeane, yang mengaku sudah tiga kali ke Labuan Bajo melalui Denpasar dan
Lombok itu.
Pejabat Pemprov NTT, Tadeus Tini, yang juga putra
Manggarai mengatakan, ada sekelompok orang di Labuan Bajo yang merasa
tidak puas atas kebijakan pemprov, menghasut masyarakat menolak
pengelolaan pantai itu. Sebelum ada aktivitas dari PT SIM, tidak satu
pun warga Labuan Bajo mengklaim pantai itu sebagai ruang publik, atau
hak ulayat.
(Kornelis Kewa Ama)
Caci Menari-nari di Pantai Pede Labuan Bajo
Jumat, 16 Mei 2014 | 08:03 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/05/16/0803450/Caci.Menari-nari.di.Pantai.Pede.Labuan.Bajo
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Caci di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Minggu (11/5/2014).
FESTIVAL Komodo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa
Tenggara Timur, Minggu (11/5/2014) digabung dengan acara Wonderful
Adventure Indonesia Asia Pacific Hash 2014. Peserta hash dinamakan
hasher. Kegiatan ini diisi dengan berjalan kaki atau berlari melintasi
alam. Hash menawarkan kebugaran, kesenangan dan jalinan persahabatan.
Puncak acara Asia Pacific Hash 2014 digelar di Bali yang diikuti sekitar
2.000 peserta. Kemudian, sekitar 500 peserta menuju Manggarai Barat
untuk menikmati keindahan alam Labuan Bajo.
Sore itu, pantai Pede
menjadi ajang titik start para hasher berjalan kaki sekitar 5 kilometer
dengan rute: Pantai Pede - Air Kemiri - Puncak Waringin - Kampung Ujung
- Pelabuhan Pelni - Kampung Tengah - Pasar Lama dan kembali lagi ke
Pantai Pede.
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Pinggang belakang pemain caci dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Sebelum pelepasan peserta hasher, pantai Pede yang pada tahun 2013
digunakan sebagai tempat penyelenggaraan Sail Komodo sejak pagi dipenuhi
para penonton. Apa yang ingin mereka saksikan?
Apalagi kalau
bukan caci! Caci hanya ada di Manggarai Barat, bahkan hanya ada satu di
Indonesia. Caci dilakukan oleh dua pemain, di mana satu pemain mencambuk
lawan. Cambuk dibuat dari kulit kerbau atau sapi yang sudah
dikeringkan. Sementara lawannya berusaha untuk menangkis dengan
menggunakan perisai atau tameng yang juga terbuat dari kulit kerbau.
Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong,
serta nyanyian para pendukung.
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Pukulan gendang dan gong mengiringi permainan caci di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Minggu (11/5/2014).
Pemain dilengkapi dengan pecut, perisai, penangkis, dan panggal (penutup
kepala). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang dan
bercelana panjang warna putih serta sarung songke atau songket khas
Manggarai. Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga
selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang
belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan
pemain.
Topeng atau hiasan kepala dibuat dari kulit kerbau yang
keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti
tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah
ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan
pukulan lawan.
"Cetar...!!!" suara cambuk menggelegar di tengah
arena. Cambukan cuma sekali. Lantas mereka pun menari-nari di tengah
lapangan. Selanjutnya mencambuk atau memukul dilakukan secara
bergantian.
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Peserta pawai Festival Komodo dilepas di Kantor Bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Minggu (11/5/2014).
Caci atau tari caci biasanya digelar saat syukuran musim panen dan
ritual tahun baru, upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar
lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu. Meski cambukan atau
pukulan tersebut membuat luka di tubuh dan darah mengucur, tidak ada
dendam atau marah antar pemain. Senyum selalu mengembang usai
pertarungan berakhir.
"Lepaskan cara-cara lama. Caci harus
menjadi daya tarik. 'Caci lomes' atau caci yang menarik simpati. Kalau
kita tidak tampilkan gaya lomes, sia-sia. Mari lestarikan caci dengan
gaya simpatik," kata Sekda Manggarai Barat, Rofinus Mbon, saat membuka
acara caci di Pantai Pede.
Acara caci di Pantai Pede berlangsung
dari pagi sampai sore hari. Meskipun matahari bersinar terik, pengunjung
semakin siang malah semakin bertambah. Berbagai barang kerajinan khas
NTT juga tak luput menjadi daya tarik pengunjung pada acara tersebut.
KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Peserta Asia Pacific Hash 2014 di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Minggu (11/5/2014).
Pada pukul 14.30 Wita bertempat di Kantor Bupati Manggarai Barat, Wakil
Bupati Manggarai Barat Gasa Maximus melepas pawai Festival Komodo yang
diikuti enam mobil. Masing-masing mobil membawa replika komodo dari
kayu, sampah plastik dan styrofoam. Tak ketinggalan, Stefan Rafael,
'plastic man' dari Komodo juga turut serta dengan kendaraan yang dihiasi
botol-botol plastik. Pawai Festival Komodo ini berakhir di Pantai Pede.
Sementara
pukul 15.30 di Pantai Pede, Gubernur NTT Frans Lebu Raya melepas
peserta Wonderful Adventure Indonesia Asia Pacific Hash 2014. Para
hasher sangat antusias berjalan kaki berkeliling Kota Labuan Bajo.
Gubernur NTT pun sangat bangga Kota Labuan Bajo didatangi para hasher.
"Mereka
datang sendiri tanpa saya ajak. Dampaknya sangat besar bagi pariwisata
NTT, khususnya Labuan Bajo. Mereka nanti bisa cerita kepada keluarga,
teman soal keindahan NTT," kata Frans Lebu Raya.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Desa Wisata di NTT Dapat Rp 2,5 Miliar
Jumat, 16 Mei 2014 | 21:01 WIB
http://travel.kompas.com/read/2014/05/16/2101596/Desa.Wisata.di.NTT.Dapat.Rp.2.5.Miliar
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Yoseph Katup di Kampung Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
KUPANG, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur, dalam APBD tahun anggaran 2014 mengalokasikan dana hibah sebesar
Rp 2,5 miliar untuk mendukung program desa wisata di provinsi kepulauan
itu.
"Dana tersebut akan disalurkan kepada 50 desa wisata,
masing-masing desa akan mendapat alokasi dana sebesar Rp 50 juta," kata
Sekretaris Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Wely Rohimone,
di Kupang, Jumat (16/5/2014).
Wely menjelaskan, dana yang
dialokasikan untuk desa-desa wisata itu akan dimanfaatkan untuk
mengairahkan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang bermukim di desa-desa
wisata.
"Dananya akan dimanfaatkan untuk membantu kelompok
masyarakat pada desa-desa wisata untuk pemberdayaan ekonomi, yang
berhubungan langsung dengan sektor kepariwisataan," kata Wely Rohimone.
Dengan
demikian, akan ada usaha tenun ikat dan cenderamata atau jenis usaha
lain yang sasaran akhirnya adalah menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang
bisa dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke daerah-daerah ini.
"Desa-desa
yang menjadi sasaran program ini adalah desa-desa yang berada di
kabupaten-kabupaten yang memiliki obyek wisata unggulan dan sering
dikunjungi wisatawan," katanya.
Desa-desa wisata yang menjadi
sasaran bantuan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2014 ini terdapat
pada 46 kecamatan yang ada di 22 kabupaten/kota di NTT. Desa-desa
sasaran itu antara lain, Desa Oebelo dengan obyek wisata pembuatan alat
musik tradisional Sasando dan Oelnasi dengan obyek wisata agro dan
pemancingan serta Desa Manusak dengan obyek wisata agro dan wisata alam
di Kabupaten Kupang.
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Warga Kampung Adat Bena, Ngada, Flores, NTT, bermain musik tradisional
yang biasa dimainkan dalam rangka upacara adat pembangunan rumah baru,
Selasa (15/6/2011). Kampung berusia sekitar 1.200 tahun ini kental
dengan arsitektur kuno dan budaya megalitik.
Desa Lede Unu dengan obyek wisata perkampungan adat dan Desa Kujiratu
dengan obyek wisata situs Kujiratu di Kabupaten Sabu Raijua, Desa
Maritaing dengan wisata alam dan bahari serta Desa Marisa dengan obyek
wisata bahari di Kabupaten Alor.
Selain itu ada empat desa wisata
di Kabupaten Lembata yang juga mendapat dukungan program desa wisata
yakni, Desa Atawai di Kecamatan Nagawutung dengan obyek wisata air
terjun Lodowawo, Desa Atakore dengan dapur alam budaya, Desa Lamalera
dengan obyek wisata penangkapan ikan paus secara tradisional dan Desa
Laranwutun dengan wisata bahari.
Wely menambahkan, desa paling
banyak yang menjadi sasaran program adalah di Kabupaten Ngada yakni enam
desa. Keenam desa itu adalah Desa Tadho di Kecamatan Riung dengan obyek
wisata alam dan budaya, Desa Turaloa di Kecamatan Wolomeze dengan obyek
wisata wisata alam, Desa Ubedolomolo wisata alam, Desa Boba I dengan
wisata alam dan budaya, Desa Ratogesa dan Desa Ragih dengan situs dan
kampung tradisional.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Editor
|
: I Made Asdhiana |
Sumber | : Antara |
Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
Sabtu, 12 Oktober 2013 | 08:37 WIB
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
AJAKAN teman-teman ke Wae Rebo sulit ditolak meskipun
kondisi fisik sebenarnya tidak begitu siap untuk jalan mendaki. Rasa
penasaran dan tantangan juga yang menguatkan tekad untuk mengunjungi
”kampung di punggung gunung” Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar
Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Penasaran
karena kata seorang teman, yang lebih dulu berkunjung ke sana, Wae Rebo
sangat elok dengan keunikan budaya, adat istiadat, keramahan warganya,
serta kearifan lokal yang terjaga dengan baik. Apalagi dari foto-foto
yang dipublikasikan melalui internet, panorama Wae Rebo sungguh cantik.
Yang menantang, tentu saja perjalanan ke kampung yang letaknya 1.100
meter di atas permukaan laut itu.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo,
kami bermalam di penginapan milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo
yang juga menjadi pemandu. Penginapan ini letaknya di Desa Dintor. Kami
harus menginap karena perjalanan ke Wae Rebo kami rencanakan pukul 7
pagi. Pertimbangannya, udara pagi masih sejuk dan matahari belum
bersinar terik. Selain itu, juga mempertimbangkan risiko turun hujan
jika berangkat terlalu siang.
Setelah sarapan, Martin meminta kami berkumpul. Ia memberi tahu ”aturan main” selama berjalan menuju Wae Rebo.
”Tak
perlu banyak tanya kapan sampai. Nikmati saja perjalanannya,” kata
Martin sambil tersenyum. Pesan itu, tentu saja, membuat kami penasaran.
Esok
paginya, kami masih harus naik mobil sekitar 6 kilometer dari Desa
Dintor ke Desa Denger. Dari Denge, barulah kami berjalan kaki, mendaki,
yang diawali dengan berdoa memohon kelancaran perjalanan dan
keselamatan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Ekspresi bocah di Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dengan bawaan yang cukup banyak—makanan, minuman, jas hujan, dan
perlengkapan pribadi lain—rombongan kami menyewa tiga portir pembawa
barang yang sekaligus bertindak sebagai pemandu. Kami juga disertai
Yosef Katup, anak muda Wae Rebo, salah satu generasi ke-18 warga Wae
Rebo.
Di Denge, sinyal telepon seluler melemah. Bisa dipastikan,
hingga kami turun lagi ke Denge, kami tidak bisa berkomunikasi dengan
rekan atau keluarga melalui telepon seluler.
Semangat
Di
awal perjalanan, semangat kami masih tinggi. Udara sejuk, hutan rimbun,
dan suara air sungai bergemercik membuat pikiran tenang dan damai.
Namun, setelah sekitar 3 kilometer berjalan, pinggang mulai pegal karena
jalan tanah yang kami hadapi menanjak, berlumpur, dan berbatu.
Perjalanan
dari Denge ke titik istirahat Wae Lumba membuat jantung berdetak
kencang. Beberapa rekan ngos-ngosan melompati batu besar, berjalan
menanjak tiada henti, sekaligus berhati-hati melewati jalan licin.
Selepas
Wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Kondisinya sama saja,
membuat kami harus pandai-pandai mengatur langkah dan napas agar tidak
cepat lelah. Salah seorang rekan kami tak tahan untuk bertanya kapan
kami akan tiba di Wae Rebo. Pertanyaan yang oleh para pemandu kami—yang
juga warga Wae Rebo—dijawab dengan senyum.
Di jalur ini, kami
menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat dalam. Kami bahkan juga
berjalan di jalan setapak yang jarak pandangnya terbatas karena kabut
yang mulai turun menyelimuti punggung gunung. Ada juga titik longsor
tebing yang harus dilewati dengan hati-hati. Kami saling membantu untuk
melintasi titik longsor itu.
Poco Roko merupakan titik tertinggi
setelah menyusuri dan membelah hutan. Tak lama setelah kami tiba di
titik itu, kabut tebal tersibak angin dan sinar matahari. Kami
berpapasan dengan beberapa penduduk Wae Rebo yang hendak turun ke Desa
Kombo.
Martin menjelaskan sebelumnya, Desa Kombo adalah
”kembaran” Desa Wae Rebo. Warga Wae Rebo memiliki rumah dan sawah di
Desa Kombo. Umumnya, anak-anak yang bersekolah di Dintor atau Denge
tinggal di Desa Kombo mulai Minggu sore sampai Sabtu siang. Selepas
pulang sekolah Sabtu siang, mereka kembali ke rumah di Wae Rebo.
Orangtua yang anak-anaknya sekolah di Denge atau Dintor biasanya
mengikuti pola yang sama dengan anak-anak mereka.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Ketua Adat di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kampung kembar ini seolah menunjukkan dua sisi kehidupan masyarakat Wae
Rebo. Di satu sisi, masyarakat Wae Rebo hidup terpisah dalam satu
komunitas, sederhana, dan menyatu dengan alam. Di sisi lain, saat
tinggal di Kombo, mereka berinteraksi sosial dengan warga masyarakat
kelompok lain dan bergaul dalam kehidupan modern.
Lebih baik
Salah
satu portir kami dalam perjalanan ke Wae Rebo, Petrus, dengan nada
enteng menyampaikan, ”Memikul beban 10 kilogram dan berjalan 2-4 jam
tanpa akses jalan yang mulus serta tidak ada sinyal komunikasi bukan
bagian dari budaya kami. Kami juga bagian dari masyarakat Indonesia yang
perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu.”
Kami tidak tahu,
apakah kalimat itu diucapkan Petrus dengan serius atau bercanda.
Faktanya, sepanjang perjalanan ke Wae Rebo, pemandangan orang memanggul
atau memikul barang sangat biasa ditemui.
Infrastruktur jalan
yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik
lagi jika mencapai Wae Rebo, memang akan mempermudah akses. Penduduk Wae
Rebo tidak perlu lagi memikul barang. Selain itu, wisatawan juga lebih
mudah mengunjungi Wae Rebo.
Namun, apakah infrastruktur ini akan berdampak positif bagi Wae Rebo?
Kami
berbincang dengan Patrick, konsultan keuangan perusahaan di Perancis,
yang terkagum- kagum dengan Desa Wae Rebo yang, menurut dia, sangat
natural dan orisinal. Patrick yang tinggal satu malam di Wae Rebo
menikmati tantangan berjalan kaki menembus gunung dan hutan untuk
mencapai Wae Rebo.
Wisatawan asal Swiss, Pelin Turgut, juga
terpesona dengan keramahan masyarakat Wae Rebo yang, menurut dia, sangat
tulus. Ia juga menyukai suasana Wae Rebo yang tenang, jauh dari
keramaian, dan alami.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Menyiapkan makanan di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kepala Adat Wae Rebo Rafael memang selalu ramah menyambut tamu yang
datang ke desanya. Setiap tamu disambut secara adat di rumah adat utama
dengan keramahannya yang khas.
Keunikan Wae Rebo-lah yang memikat
wisatawan. Berkat keunikannya pula, Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai
Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012, menyisihkan 42 negara lain.
Rumah kerucut
Setelah
berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Wae Rebo. Energi membuncah,
kelelahan sontak sirna saat melihat tujuh rumah kerucut. Tak sabar
rasanya menuruni bukit untuk segera tiba di desa itu. Rasanya seperti
pulang ke rumah.
Rumah kerucut mbaru niang ini sangat unik. Dari
luar sepintas seperti rumah kerucut biasa. Namun, jika dilihat dari
dalam, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Setiap lantai memiliki
ruangan dengan fungsi berbeda-beda.
Lantai pertama yang disebut
lutur atau tenda akan digunakan oleh si pemilik rumah untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Lantai kedua yang disebut lobo adalah tempat
menyimpan bahan makanan atau barang. Lantai ketiga yang disebut lentar
adalah tempat menyimpan benih tanaman hasil bercocok tanam.
Lantai
empat yang disebut lempa rae adalah tempat menyimpan stok cadangan
makanan yang berguna saat hasil panen kurang banyak. Adapun lantai
kelima yang terdapat di puncak rumah digunakan untuk menyimpan aneka
sesajian pemilik rumah.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Sesaat setelah tiba di Wae Rebo, Yosef Katup mengundang kami mengikuti
upacara Waelu. Dalam upacara ini, tetua adat meminta izin kepada para
leluhur untuk menerima tamu serta memohon perlindungan hingga tamu
meninggalkan Wae Rebo dan kembali ke tempat asalnya.
Kami
menghormati upacara ini. Isidorus (84), salah satu tetua adat, memberi
kami seekor ayam sebagai sebuah simbol. Doa pun dilafalkan. Inti doa
itu, kami adalah anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang kampung. Kami
sudah bukan lagi orang asing. Kami juga didoakan agar selalu terlindung
dari bahaya dan selamat kembali ke rumah.
Keramahan dan
kehangatan masyarakat Wae Rebo membuat kami merasa seperti tinggal di
rumah sendiri. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Mungkin ini
juga yang dirasakan wisatawan yang pernah datang ke Wae Rebo. Jatuh
cinta dan ingin kembali lagi ke Wae Rebo, suatu hari nanti.
(MKN/HAM/SEM/IDR/APO/OTW/MUK)
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Melestarikan Kearifan Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/09/30/1624108/Melestarikan.Kearifan.Wae.Rebo
Senin, 30 September 2013 | 16:24 WIB
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
KAMPUNG adat Wae Rebo di Gunung Pocoroko, Kabupaten
Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, adalah primadona baru. Setelah
mendapat anugerah Award of Excellence dari Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau UNESCO kawasan Asia Pasifik,
kampung ini tak pernah sepi.
Para wisatawan berlomba membuktikan keagungan mahakarya budaya bangsa Indonesia dan menimba kearifan hidup masyarakat Wae Rebo.
Kampung
Wae Rebo terletak sekitar 1.100 meter dari permukaan laut, masuk
wilayah Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, NTT.
Wae
Rebo ”ditemukan” pertama kali tahun 1997 oleh antropolog Belanda,
Catherine Allerton. Allerton mencari Wae Rebo untuk sebuah penelitian.
Tahun
2008, jejak Allerton diikuti arsitek Yori Antar. Yori berkunjung ke Wae
Rebo dan menginisiasi pembangunan rumah adat yang saat itu rusak. Dana
pembangunan digalang antara lain dari Yayasan Tirto Utomo, pengusaha
Arifin Panigoro, dan Laksamana Soekardi.
Proses pembangunan rumah
adat didokumentasikan sehingga warga menguasai kemampuan membangun
rumah yang disebut mbaru niang. Upaya konservasi itu membuahkan Award of
Excellence UNESCO dan melejitkan Wae Rebo ke dunia.
Dari tujuh
rumah adat di Wae Rebo, saat ini tersisa dua rumah yang belum
direvitalisasi. Dalam waktu dekat, kedua rumah akan direvitalisasi oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dana yang dianggarkan Rp 500
juta.
Saat ini, 670 wisatawan baik lokal maupun asing telah
berkunjung ke Wae Rebo. Wisatawan asing terbanyak dari Belanda,
Perancis, dan Amerika Serikat. Wisatawan lokal selain dari NTT, datang
dari Surabaya dan Jakarta.
Untuk menuju Wae Rebo, perjalanan
harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 4,5 jam. Jarak Wae Rebo
kurang lebih 9 kilometer dari desa terakhir di Denge lewat jalan
setapak, mendaki dengan sudut 45 derajat di antara hutan lebat.
DOK INDONESIA.TRAVEL Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Setengah jam terakhir, setelah memasuki perkebunan kopi milik warga,
tampak kampung adat Wae Rebo. Di antara puncak-puncak bukit yang
mengelilinginya, Kampung Wae Rebo merupakan daya magis yang menebar
pesona luar biasa.
Kampung Wae Rebo berbentuk melingkar, bentuk
rumahnya juga bulat dengan atap kerucut. Rumah adat utama disebut rumah
gendang, berdiameter 15 meter dengan ukuran tinggi sama, dihuni 8
keluarga. Rumah lain, disebut niang gena, berdiameter 12 meter dengan
tinggi kurang lebih sama, dihuni 6 keluarga. Rumah itu diturunkan oleh
leluhur Wae Rebo bernama Maro yang disebutkan berasal dari Minangkabau.
Saat
ini ada 44 keluarga yang tinggal di Wae Rebo. Mata pencarian utamanya
berkebun. Mereka menanam kopi, cengkeh, dan umbi-umbian. Perempuan Wae
Rebo, selain memasak, mengasuh anak, dan menenun, juga membantu kaum
lelaki di kebun.
Titik pusat Kampung Wae Rebo berada di batu
melingkar di depan rumah utama yang disebut compang. Pintu tiap rumah
adat dibangun menghadap ke compang. Compang merupakan pusat aktivitas
warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur, serta Tuhan.
Penghormatan terhadap ketiga unsur diwujudkan dalam berbagai upacara
adat yang sampai kini rutin dilakukan. Salah satunya upacara menyambut
pergantian tahun dyang isebut penti.
”Di Wae Rebo, semua
berbentuk bulat, mulai dari gunung tempat tinggal mereka, kampung yang
melingkar, hingga rumah. Masyarakat Wae Rebo percaya, di dalam bulat ada
keadilan,” kata Yosep Katop, Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Wae
Rebo, pertengahan September 2013, di Wae Rebo.
Hak untuk menghuni
rumah adat diperoleh melalui penunjukan oleh tetua masing-masing
pewaris keturunan. Biasanya hak diberikan kepada anak laki-laki tertua
dalam keluarga. Namun, posisi itu dapat digantikan oleh anak lain
melalui musyawarah adat.
Cermin keharmonisan
Dalam
keseharian, masing- masing keluarga di rumah adat menempati ruang
berukuran sekitar 4 x 3 meter di bagian rumah yang disebut tenda. Tenda
adalah lantai utama di dalam mbaru niang, tempat warga melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, dan memasak. Untuk
keperluan masak, masing-masing keluarga memiliki tungku perapian di
bagian tengah rumah.
Laki-laki Wae Rebo biasanya turun ke Pasar
Kombo di Denge di hari Minggu, membawa kopi hasil kebun. Hasil penjualan
kopi digunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan
lauk pauk.
Warga biasanya menyimpan hasil bumi, seperti kopi,
jagung, ubi jalar atau talas, di bagian atap rumah yang disebut loteng.
Loteng lapis pertama disebut lobo, lalu ada lentar, lemparae, dan hekang
kode.
Titik pusat rumah berada di tiang bongkok atau tiang
utama. Pintu-pintu kamar menghadap ke tiang bongkok yang melambangkan
hak setiap penghuni rumah yang sama rata.
Meski nilai-nilai
kekerabatan terus dilestarikan, tak ada catatan jelas mengenai waktu
kedatangan Kakek Maro di Wae Rebo. Dari tuturan cerita, sebelum tinggal
di Wae Rebo, Maro beberapa kali berpindah. Diperkirakan, usia Kampung
Wae Rebo mencapai ribuan tahun.
”Kakek Maro tinggal di Wae Rebo
setelah mendapat petunjuk melalui mimpinya. Lokasi yang dipilih diberi
nama Wae Rebo, artinya mata air. Mata air itu berjarak sekitar 2
kilometer dari kampung,” kata Yosep.
DOK INDONESIA.TRAVEL Pertunjukan caci di Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Sikap hidup masyarakat Wae Rebo yang rendah hati tecermin dalam
penggunaan ikat kepala yang disebut sappu. Ikatan yang rata, tanpa
lengkungan ke atas, menunjukkan sikap rendah hati. Sikap ini
diejawantahkan dalam keramahan menyambut orang yang datang berkunjung.
Ketua
Lembaga Masyarakat Adat Wae Rebo Fransiskus Mudir menyatakan, ”Kami
menerima keterbukaan kampung ini dan sadar akan membawa dampak. Kami
bertekad untuk membina generasi muda Wae Rebo agar budaya nenek moyang
kami tetap lestari.”
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam kunjungan ke Wae Rebo
mengatakan, program revitalisasi desa adat tak hanya dilakukan untuk
memperbaiki fisik desa adat, tetapi yang lebih penting adalah menjaga
adat budaya serta nilai-nilai kekerabatan yang menjadi kekhususan
komunitas itu.
(Dwi As Setianingsih)
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Explore Indonesia
Mendaki Empat Jam Demi Pesona Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/02/25/19382128/Mendaki.Empat.Jam.Demi.Pesona.Wae.Rebo
Senin, 25 Februari 2013 | 19:38 WIB
DI atas pegunungan berketinggian
1200 meter dpl di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara
Timur, bertengger sebuah kampung kuno bernama Wae Rebo. Kampung kecil
dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut, yang telah dihuni turun temurun
selama 19 generasi.
Wae Rebo terletak di barat daya kota
Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Untuk menuju ke Wae Rebo, butuh
perjuangan ekstra, berjalan kaki selama 4,5 jam mendaki pegunungan.
Itu pula yang dijalani Kamga, pembawa acara program "Explore Indonesia" yang tayang di
Kompas TV, ketika mengunjungi Wae Rebo. Di tengah pendakian, ada perisiwa yang membuat Kamga kaget.
Ia berpapasan dengan 3 bocah
bule perempuan
yang sedang turun dari Wae Rebo. Di belakangnya menyusul kedua orangtua
mereka. Keluarga wisatawan asal Belanda ini yang baru saja menginap 2
malam di Wae Rebo.
“Lucu banget saya ketemu sama satu keluarga
dari Belanda. Mereka membawa 3 anak perempuan, 1 masih kuat jalan, yang 2
udah nggak kuat lagi sampai harus digendong. Ini menjadi sebuah
kenyataan yang lucu, apabila 3 anak dari Belanda tadi, justru lebih
mengetahui Desa Wae Rebo ketimbang orang Indonesia sendiri,” kata Kamga.
Wae Rebo yang terpencil di pedalaman hutan, memang lebih banyak
diminati wisatawan mancanegara ketimbang turis domestik. Tahun 2011,
total sebanyak 330 turis berkunjung ke Wae Rebo, yang berasal dari 19
negara.
Akhirnya, rasa lelah trekking menembus hutan dengan
medan menanjak, terbayar lunas setelah kaki berhasil menginjakkan kaki
di Kampung Wae Rebo. Keindahan kampung adat Wae Rebo tersaji di depan
mata.
Daya tarik utama Wae Rebo adalah rumah adatnya, yang disebut
mbaru niang. Rumah
niang berbentuk kerucut dengan atap terbuat dari daun lontar. Jumlahnya hanya ada 7, tidak boleh lebih.
Selama 3 hari di Wae Rebo, Kamga menyelami kehidupan masyarakatnya.
Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup dari berkebun kopi. Saat
musim panen, warga menjemur biji-biji kopi di halaman di antara
rumah-rumah niang. Kopi yang dibudidayakan jenis arabika.
“Sekarang kami juga sedang mencoba berkebun sayur brokoli organik sejak 2
bulan lalu. Ini tanaman brokoli pertama kami, 2 bulan lagi baru panen.
Jadi warga masih penasaran seperti apa rasanya,” jelas Yos Katup, warga
Wae Rebo.
Sementara ibu rumah tangga memiliki kerja sambilan
membuat kerajinan kain tenun yang disebut kain cura. Kain cura bermotif
khas Wae Rebo dengan ciri warna cerah.
Di Wae rebo tidak ada sekolahan. Oleh karena itu, anak-anak harus menuntut ilmu di kampung terdekat di Kampung Kombo.
“Anak-anak Wae Rebo menurut saya adalah anak-anak yang sangat hebat
karena mereka harus merantau sejak usia 7 tahun. Mereka harus
meninggalkan desa ini untuk tinggal bersama keluarga lain di kampung
bawah, untuk bersekolah. Karena tidak mungkin mereka harus pulang pergi
3-4 jam setiap hari,” jelas Kamga kagum.
Tidak hanya anak-anak,
para orangtua di Wae Rebo juga memiliki semangat belajar. Jumlah
wisatawan yang terus bertambah, membuat mereka dituntut untuk bisa
berkomunikasi dengan pengunjung, khusus turis asing. Secara berkala,
warga mengikuti kursus bahasa Inggris di dalam rumah niang dengan guru
relawan dari sebuah LSM.
Meski terpencil di tengah pegunungan,
bukan berarti warga Wae Rebo tidak mengenal olah raga. Untuk mengisi
waktu luang, usai kembali dari ladang, kaum pria bermain sepak takraw.
Selain ke Wae Rebo, dalam episode ini, Kamga juga berkunjung ke Liang Bua dan Sawah Lodok di Cancar, Manggarai.
Kisah selengkapnya, saksikan program "Explore Indonesia" episode "Wae Rebo – Manggarai" yang akan tayang di
Kompas TV pada Selasa (26/2/2013) pukul 21.00 WIB.
(Kompas TV/Anjas Prawioko)
Ikuti twitter Kompas Travel di @KompasTravel
Yosef Katup, Menjaga Warisan Leluhur di Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/10/28/1117022/Yosef.Katup.Menjaga.Warisan.Leluhur.di.Wae.Rebo
Senin, 28 Oktober 2013 | 11:17 WIB
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Yoseph Katup di Kampung Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
DISELUBUNGI hawa sejuk, kabut yang datang dan pergi
menaungi Kampung Wae Rebo di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese
Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kampung yang berada di
ketinggian Pulau Flores itu amat hijau dan diyakini masyarakat setempat
dijaga tujuh kekuatan alam.
Yosef Katup (43), salah satu
keturunan moyang Wae Rebo, dari generasi ke-18, dengan penuh semangat
bercerita tentang leluhur dan keunikan budaya setempat. Ia juga pemandu
wisata dari kampung yang menjadi salah satu warisan budaya dunia UNESCO
sejak tahun 2012 itu.
Ia kerap menemani pengunjung berjalan kaki
dari Kampung Denge ke Kampung Wae Rebo. Jarak antara Denge ke Wae Rebo
sekitar 9 kilometer (km) dan ditempuh sekitar 4 jam berjalan kaki
melewati tiga pos peristirahatan.
”Nenek moyang kami disebut
Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah
turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur kami
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali,” kata
Yosef.
Pria tamatan SMP ini tampak menguasai banyak hal,
khususnya budaya masyarakat Wae Rebo. Yosef memang berusaha
melestarikannya. Ia mampu bertutur tentang adat masyarakat Wae Rebo
tanpa membaca catatan.
Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka,
ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah
pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi
peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti,
apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.
Bagi
masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena
dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari
sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum
melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut
sang ibu agar si bayi selamat.
Bayi laki-laki itu selamat, tetapi
sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain
tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun,
pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro.
”Maro pun
berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila
musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu
mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi
Maro,” kisah Yosef.
Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah
menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya
dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang. Dari
Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu
mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah
lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana
terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.
”Itulah tempat
kami, dari tempat ini tampak kota dengan gemerlap cahaya. Kami meyakini
bahwa daerah yang kami tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang
berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao,
Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Kami
tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana.”
Ritual adat
Ritual
adat itu antara lain kasawiang, yang biasa digelar pada bulan Mei, saat
perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga
ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur.
Adapun upacara Penti, sekitar November, adalah tahun baru adat yang
ditandai awal musim menanam.
Pengetahuan Yosef itu diperoleh
dengan bertanya kepada para tetua adat, seperti Tua Gendang Wae Rebo,
Rafael Niwang (85), dan Rofinus Nompor (76).
Sebelum menetap di
Wae Rebo, menjadi pemandu wisata dan petani, Yosef merantau ke Makassar
pada tahun 1997-2000. Ia pernah tinggal di Labuan Bajo, ibu kota
Kabupaten Manggarai Barat, menggarap proyek irigasi. Ia juga merantau ke
Malaysia tahun 2000-2003, sebelum kembali ke Wae Rebo dan menikah pada
tahun 2005.
Kini, Yosef menjadi rujukan informasi tentang Wae
Rebo bagi wisatawan ataupun anak muda setempat. Pengetahuan tentang adat
Wae Rebo biasa dia sampaikan saat upacara adat digelar.
Tujuh ”niang”
Di
Kampung adat Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena
Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang
Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Jumlah
rumah adat tak boleh lebih dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga.
Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun rumah
baru, harus di luar kampung adat.
Rumah adat Wae Rebo berbentuk
khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian
atas mengerucut beratapkan ijuk.
Niang Gendang Maro, semacam
rumah adat utama, diyakini merupakan tempat leluhur pertama yang datang
dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih
tinggi daripada 6 niang lainnya.
Pada Niang Gendang Maro ada
tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, yang disimbolkan
kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar. Kepala kerbau menjadi
penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan
kekuatan budaya rumah ini.
”Bagian dalam rumah adat yang
berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang
mengisyaratkan kehidupan yang bulat, jangan diwarnai konflik, tetapi
ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya musyawarah di
rumah adat mengambil posisi duduk melingkar,” katanya.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Ketua Adat di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Pada bagian tengah rumah adat ada semacam tiang utama yang disebut
bongkok. Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Inilah Papa Ngando dan
Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah adat juga
ditopang 9 tiang utama, yang menggambarkan kehidupan dari janin menjadi
bayi melewati sekitar 9 bulan dalam rahim.
Ada pula molang, pada
bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur,
ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga. ”Saat bayi lahir
didekatkan ke periuk di dapur, sebab ada nyala api yang menghangatkan
tubuh bayi.”
Yosef bercerita, keinginannya menggali dan
melestarikan adat Wae Rebo muncul saat merantau ke Malaysia. ”Entah
mengapa saya ingin kembali ke Wae Rebo. Ada semacam panggilan untuk
menjaga kelestarian budaya kami.”
(Samuel Oktora)
Ritual Penti Digelar di Wae Rebo
http://travel.kompas.com/read/2013/11/12/1305286/Ritual.Penti.Digelar.di.Wae.Rebo
Selasa, 12 November 2013 | 13:05 WIB
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
JAKARTA, KOMPAS - Ritual penti yang merupakan salah
satu ritual adat suku Manggarai akan digelar Sabtu (16/11/2013) di
kampung adat Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Ritual penti yang
digelar di Wae Rebo merupakan ritual tradisional yang masih dilakukan
secara lengkap sebagaimana ritual aslinya.
Ritual penti adalah
ritual adat Manggarai yang digelar sebagai bentuk ucapan syukur kepada
Tuhan atas hasil panen yang diperoleh selama setahun. Bagi masyarakat
Manggarai, penti juga sekaligus merupakan peringatan untuk menyambut
tahun baru.
Di Wae Rebo, penti digelar satu tahun sekali pada bulan November. Tamu yang hadir biasanya mencapai ribuan orang.
”Ritual
penti melibatkan semua warga Wae Rebo, baik yang tinggal di Wae Rebo
maupun di luar Wae Rebo,” kata Sekretaris Lembaga Adat Wae Rebo Yosep
Katop. Oleh karena itu, penti sekaligus menjadi ajang berkumpul warga.
Ritual
penti dimulai dengan adat barong wae dan barong oka. Warga beriringan
menuju halaman di depan rumah utama atau rumah gendang diiringi gong dan
gendang, membawa persembahan berupa ayam ke mata air. Tujuannya,
mengundang roh leluhur penjaga mata air untuk menghadiri penti.
Penti
juga dimeriahkan dengan caci, yaitu tarian yang dibawakan sepasang
penari pria dengan gerakan saling mencambuk. Tidak ada yang kalah dan
menang dalam caci karena yang diangkat adalah nilai-nilai persahabatan
dan seni.
Sebelumnya arak-arakan menyinggahi batu pantas (watu
pantas) sebagai simbol pertobatan bagi para pendosa, menyinggahi compang
(altar batu) sebagai konklusi barong wae, barong oka, dan roi boa
(bersih kubur).
Selama ritual penti berlangsung, sekelompok
laki-laki dan perempuan membawakan nyanyian tradisional tanpa musik yang
disebut sanda. Sanda dimulai dari tengah malam hingga pagi hari tanpa
putus.
”Sanda harus terus dikumandangkan karena saat ritual penti
berlangsung, suasana tidak boleh sepi untuk menghormati arwah para
leluhur,” kata Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gendro Nurhadi,
Rabu (8/11/2013), di Jakarta.
(DOE)
Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
Sabtu, 12 Oktober 2013 | 08:37 WIB
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
AJAKAN teman-teman ke Wae Rebo sulit ditolak meskipun
kondisi fisik sebenarnya tidak begitu siap untuk jalan mendaki. Rasa
penasaran dan tantangan juga yang menguatkan tekad untuk mengunjungi
”kampung di punggung gunung” Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar
Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Penasaran
karena kata seorang teman, yang lebih dulu berkunjung ke sana, Wae Rebo
sangat elok dengan keunikan budaya, adat istiadat, keramahan warganya,
serta kearifan lokal yang terjaga dengan baik. Apalagi dari foto-foto
yang dipublikasikan melalui internet, panorama Wae Rebo sungguh cantik.
Yang menantang, tentu saja perjalanan ke kampung yang letaknya 1.100
meter di atas permukaan laut itu.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo,
kami bermalam di penginapan milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo
yang juga menjadi pemandu. Penginapan ini letaknya di Desa Dintor. Kami
harus menginap karena perjalanan ke Wae Rebo kami rencanakan pukul 7
pagi. Pertimbangannya, udara pagi masih sejuk dan matahari belum
bersinar terik. Selain itu, juga mempertimbangkan risiko turun hujan
jika berangkat terlalu siang.
Setelah sarapan, Martin meminta kami berkumpul. Ia memberi tahu ”aturan main” selama berjalan menuju Wae Rebo.
”Tak
perlu banyak tanya kapan sampai. Nikmati saja perjalanannya,” kata
Martin sambil tersenyum. Pesan itu, tentu saja, membuat kami penasaran.
Esok
paginya, kami masih harus naik mobil sekitar 6 kilometer dari Desa
Dintor ke Desa Denger. Dari Denge, barulah kami berjalan kaki, mendaki,
yang diawali dengan berdoa memohon kelancaran perjalanan dan
keselamatan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Ekspresi bocah di Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dengan bawaan yang cukup banyak—makanan, minuman, jas hujan, dan
perlengkapan pribadi lain—rombongan kami menyewa tiga portir pembawa
barang yang sekaligus bertindak sebagai pemandu. Kami juga disertai
Yosef Katup, anak muda Wae Rebo, salah satu generasi ke-18 warga Wae
Rebo.
Di Denge, sinyal telepon seluler melemah. Bisa dipastikan,
hingga kami turun lagi ke Denge, kami tidak bisa berkomunikasi dengan
rekan atau keluarga melalui telepon seluler.
Semangat
Di
awal perjalanan, semangat kami masih tinggi. Udara sejuk, hutan rimbun,
dan suara air sungai bergemercik membuat pikiran tenang dan damai.
Namun, setelah sekitar 3 kilometer berjalan, pinggang mulai pegal karena
jalan tanah yang kami hadapi menanjak, berlumpur, dan berbatu.
Perjalanan
dari Denge ke titik istirahat Wae Lumba membuat jantung berdetak
kencang. Beberapa rekan ngos-ngosan melompati batu besar, berjalan
menanjak tiada henti, sekaligus berhati-hati melewati jalan licin.
Selepas
Wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Kondisinya sama saja,
membuat kami harus pandai-pandai mengatur langkah dan napas agar tidak
cepat lelah. Salah seorang rekan kami tak tahan untuk bertanya kapan
kami akan tiba di Wae Rebo. Pertanyaan yang oleh para pemandu kami—yang
juga warga Wae Rebo—dijawab dengan senyum.
Di jalur ini, kami
menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat dalam. Kami bahkan juga
berjalan di jalan setapak yang jarak pandangnya terbatas karena kabut
yang mulai turun menyelimuti punggung gunung. Ada juga titik longsor
tebing yang harus dilewati dengan hati-hati. Kami saling membantu untuk
melintasi titik longsor itu.
Poco Roko merupakan titik tertinggi
setelah menyusuri dan membelah hutan. Tak lama setelah kami tiba di
titik itu, kabut tebal tersibak angin dan sinar matahari. Kami
berpapasan dengan beberapa penduduk Wae Rebo yang hendak turun ke Desa
Kombo.
Martin menjelaskan sebelumnya, Desa Kombo adalah
”kembaran” Desa Wae Rebo. Warga Wae Rebo memiliki rumah dan sawah di
Desa Kombo. Umumnya, anak-anak yang bersekolah di Dintor atau Denge
tinggal di Desa Kombo mulai Minggu sore sampai Sabtu siang. Selepas
pulang sekolah Sabtu siang, mereka kembali ke rumah di Wae Rebo.
Orangtua yang anak-anaknya sekolah di Denge atau Dintor biasanya
mengikuti pola yang sama dengan anak-anak mereka.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Ketua Adat di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kampung kembar ini seolah menunjukkan dua sisi kehidupan masyarakat Wae
Rebo. Di satu sisi, masyarakat Wae Rebo hidup terpisah dalam satu
komunitas, sederhana, dan menyatu dengan alam. Di sisi lain, saat
tinggal di Kombo, mereka berinteraksi sosial dengan warga masyarakat
kelompok lain dan bergaul dalam kehidupan modern.
Lebih baik
Salah
satu portir kami dalam perjalanan ke Wae Rebo, Petrus, dengan nada
enteng menyampaikan, ”Memikul beban 10 kilogram dan berjalan 2-4 jam
tanpa akses jalan yang mulus serta tidak ada sinyal komunikasi bukan
bagian dari budaya kami. Kami juga bagian dari masyarakat Indonesia yang
perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu.”
Kami tidak tahu,
apakah kalimat itu diucapkan Petrus dengan serius atau bercanda.
Faktanya, sepanjang perjalanan ke Wae Rebo, pemandangan orang memanggul
atau memikul barang sangat biasa ditemui.
Infrastruktur jalan
yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik
lagi jika mencapai Wae Rebo, memang akan mempermudah akses. Penduduk Wae
Rebo tidak perlu lagi memikul barang. Selain itu, wisatawan juga lebih
mudah mengunjungi Wae Rebo.
Namun, apakah infrastruktur ini akan berdampak positif bagi Wae Rebo?
Kami
berbincang dengan Patrick, konsultan keuangan perusahaan di Perancis,
yang terkagum- kagum dengan Desa Wae Rebo yang, menurut dia, sangat
natural dan orisinal. Patrick yang tinggal satu malam di Wae Rebo
menikmati tantangan berjalan kaki menembus gunung dan hutan untuk
mencapai Wae Rebo.
Wisatawan asal Swiss, Pelin Turgut, juga
terpesona dengan keramahan masyarakat Wae Rebo yang, menurut dia, sangat
tulus. Ia juga menyukai suasana Wae Rebo yang tenang, jauh dari
keramaian, dan alami.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Menyiapkan makanan di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kepala Adat Wae Rebo Rafael memang selalu ramah menyambut tamu yang
datang ke desanya. Setiap tamu disambut secara adat di rumah adat utama
dengan keramahannya yang khas.
Keunikan Wae Rebo-lah yang memikat
wisatawan. Berkat keunikannya pula, Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai
Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012, menyisihkan 42 negara lain.
Rumah kerucut
Setelah
berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Wae Rebo. Energi membuncah,
kelelahan sontak sirna saat melihat tujuh rumah kerucut. Tak sabar
rasanya menuruni bukit untuk segera tiba di desa itu. Rasanya seperti
pulang ke rumah.
Rumah kerucut mbaru niang ini sangat unik. Dari
luar sepintas seperti rumah kerucut biasa. Namun, jika dilihat dari
dalam, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Setiap lantai memiliki
ruangan dengan fungsi berbeda-beda.
Lantai pertama yang disebut
lutur atau tenda akan digunakan oleh si pemilik rumah untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Lantai kedua yang disebut lobo adalah tempat
menyimpan bahan makanan atau barang. Lantai ketiga yang disebut lentar
adalah tempat menyimpan benih tanaman hasil bercocok tanam.
Lantai
empat yang disebut lempa rae adalah tempat menyimpan stok cadangan
makanan yang berguna saat hasil panen kurang banyak. Adapun lantai
kelima yang terdapat di puncak rumah digunakan untuk menyimpan aneka
sesajian pemilik rumah.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Sesaat setelah tiba di Wae Rebo, Yosef Katup mengundang kami mengikuti
upacara Waelu. Dalam upacara ini, tetua adat meminta izin kepada para
leluhur untuk menerima tamu serta memohon perlindungan hingga tamu
meninggalkan Wae Rebo dan kembali ke tempat asalnya.
Kami
menghormati upacara ini. Isidorus (84), salah satu tetua adat, memberi
kami seekor ayam sebagai sebuah simbol. Doa pun dilafalkan. Inti doa
itu, kami adalah anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang kampung. Kami
sudah bukan lagi orang asing. Kami juga didoakan agar selalu terlindung
dari bahaya dan selamat kembali ke rumah.
Keramahan dan
kehangatan masyarakat Wae Rebo membuat kami merasa seperti tinggal di
rumah sendiri. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Mungkin ini
juga yang dirasakan wisatawan yang pernah datang ke Wae Rebo. Jatuh
cinta dan ingin kembali lagi ke Wae Rebo, suatu hari nanti.
(MKN/HAM/SEM/IDR/APO/OTW/MUK)
Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat
Tua adat Kampung Mbaru Gendang
Ruteng Puu di Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
RUTENG, KOMPAS.com -
Kampung adat Mbaru Gendang
Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai,
Flores, Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu kampung tertua di wilayah Flores Barat.
Kampung ini merupakan pusat perkampungan tradisional di Kabupaten Manggarai sebelum ada kampung-
kampung adat lainnya.
(Baca juga : Semalam di Wae Rebo, Desa di Atas Awan...)
Pertengahan Juli lalu,
KompasTravel, Selasa (18/7/2017) meliput kampung tradisional Ruteng Puu.
Kampung adat Mbaru Gendang Ruteng Puu di Kecamatan Langke Ruteng,
Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung
tertua di wilayah Flores Barat.(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Rumah adat Mbaru Gendang Ruteng Puu terletak tak jauh dari Pusat Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Jarak kampung ini dari pusat Kota Ruteng sekitar tiga kilometer.
Jarak tempuh ke kampung itu dari pusat kota Ruteng sekitar 45 menit
dengan kendaraan roda empat.
(Baca juga : Mengejar Senja di Kampung Wajur Flores)
Kampung ini sebagai ikon destinasi pariwisata budaya di Kabupaten
Manggarai. Dua rumah Mbaru Gendang berdiri kokoh dengan atapnya dari
ijuk.
Kampung adat Mbaru Gendang Ruteng Puu di Kecamatan Langke Ruteng,
Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung
tertua di wilayah Flores Barat.(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Kampung ini menjadi tempat tujuan wisatawan asing dan Nusantara untuk melihat keunikan rumah adat orang Manggarai.
Di tengah kampung itu ada kuburan leluhur orang Manggarai sebagai
penjaga kampung, juga berdiri kokoh pohon dadap di samping kuburan tua
itu.
Kuburan leluhur di Kampung adat
Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai,
Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores
Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Saat
ini Mbaru Gendang Ruteng Puu sering dikunjungi wisatawan, sejalan
dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke kota dingin Ruteng.
Apalagi berbagai kegiatan budaya di Manggarai selalu diselenggarakan di kampung ini.
Gendang di Kampung adat Mbaru
Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai,
Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores
Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Berkunjung ke Mbaru Gendang Ruteng Puu
Jika
wisatawan datang dari arah Labuan Bajo, Manggarai Barat, mereka
berhenti di kota Ruteng. Dari sana, wisatawan berwisata ke arah Kampung
Tulung dan berakhir di pintu masuk kampung itu.
Tungku api di rumah kampung adat
Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai,
Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores
Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Jika
wisatawan dari Bajawa, Kabupaten Ngada, mereka berhenti di Kota Ruteng
dan menuju ke arah Kampung Tulung dan berakhir di pintu gerbang kampung.Wisatawan juga bisa menyewa mobil travel maupun dengan ojek dari pusat kota Ruteng menuju
kampung adat Mbaru Gendang Ruteng Puu.
Seorang pemandu wisata di Kampung
adat Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten
Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di
wilayah Flores Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Wisatawan di Kampung adat Mbaru
Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai,
Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores
Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Anak-anak di Kampung adat Mbaru
Gendang Ruteng Puu, Kecamatan Langke Ruteng, Kabupaten Manggarai,
Flores, Nusa Tenggara Timur salah satu kampung tertua di wilayah Flores
Barat.
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Warisan Luhur dari Manggarai
http://travel.kompas.com/read/2014/09/15/173600027/Warisan.Luhur.dari.Manggarai.
Senin, 15 September 2014 | 17:36 WIB
ARSIP KOMPAS TV Dokter Ratih mengamati replika tengkorak LB1 di Liang Bua, Flores, NTT.
PERJALANAN ke Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur
kali ini, seperti membawa saya ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
Liang Bua yang menggemparkan dunia dengan ditemukannya fosil manusia
kerdil (hobbit), dan desa Wae Rebo yang menggambarkannya bak lukisan
dengan segala keindahan yang tertuang di dalamnya.
Kronika manusia kerdil di Liang Bua
Setelah
menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama dari Ruteng, tibalah saya
di Liang Bua. Sebuah situs, yang sempat menggemparkan dunia arkeologi
dengan penemuan fosil yang masih menuai kontroversi hingga sekarang.
Fosil LB1 yang ditemukan di Liang Bua memiliki ciri-ciri orang dewasa
namun dengan tinggi badan yang diperkirakan hanya sekitar 105 cm.
Kelompok-kelompok
peneliti lalu muncul dengan hipotesa masing-masing. Ada yang
berpendapat fosil LB1 adalah spesies yang berbeda dengan homo erectus
maupun homo sapiens dan kemudian menamakannya dengan nama
Homo Floresiensis serta menyatakannya sebagai mata rantai yang hilang
(missing link) dari teori evolusi yang dicetuskan Charles Darwin. Ada pula kelompok yang beranggapan fosil LB1 adalah
homo sapiens atau manusia moderen yang mengalami kelainan.
Terlepas
dari debat dan kontroversi para ilmuwan, situs ini menarik perhatian
saya karena letaknya yang berdekatan dengan desa Rampasasa, sebuah desa
yang sebagian warganya memiliki tinggi badan kurang dari 140 cm dan
menganggap mereka adalah keturunan dari manusia yang dulu hidup di
Liang Bua. Tentunya kemungkinan tersebut layak dipertimbangkan mengingat
letaknya yang berdekatan.
ARSIP KOMPAS TV Dokter Ratih dan anak-anak di Wae Rebo dibangun khusus untuk belajar.
Namun saya kemudian melihat lingkungan tempat mereka tinggal. Sebuah
lingkungan yang jauh dari kata sejahtera. Mereka tinggal di rumah
berdinding bambu dan berlantai tanah, dengan perabot seperlunya. Mata
pencaharian mereka adalah bercocok tanam. Jagung dan kopi yang tidak
seberapa jumlahnya adalah komoditas utama yang ditukar dengan beras
untuk pemenuhan kebutuhan pangan, dengan lauk pauk seadanya.
Tentunya
pola makan yang sederhana tersebut mempengaruhi bentuk tubuh dan tinggi
badan mereka. Komponen gizi yang mereka butuhkan saat tumbuh kembang,
kemungkinan besar tidak terpenuhi, sehingga rata-rata memiliki tinggi
badan dibawah rata-rata.
Saya meninggalkan Rampasasa dan Liang
Bua sore itu sebagai salah seorang saksi akan sebuah ironi. Ironi akan
sebuah tempat yang menggemparkan dunia, ternyata sekaligus tempat yang
sangat jauh dari sejahtera.
Bila ditempat ini merupakan titik
penting cerita peradaban manusia, lantas bagaimana kelanjutan peradaban
mereka kedepan dalam berbagai keterbatasan? Akankah beberapa puluh
mungkin ratus tahun yang akan datang, generasi penerus kita menemukan
fosil masyarakat Rampasasa yang bertinggi tubuh dibawah rata-rata,
kemudian mempertanyakan spesies mereka, tanpa mengetahui kelainan tinggi
tubuh mereka kemungkinan disebabkan oleh tidak terpenuhinya gizi yang
dibutuhkan akibat kondisi ekonomi mereka ?
Surga kecil bernama Wae Rebo
Udara
yang jauh dari polusi membuat langit malam itu terlihat bak hamparan
permadani bertabur permata bagi mata saya yang lelah. Jutaan bintang
bersinar dalam keheningan malam yang dingin. Bayangan tujuh Niang yang
gagah menambah pesona malam negeri di atas awan, Wae Rebo, yang akan
saya tinggalkan esok setelah beberapa hari merasakan indahnya kehidupan
bersama masyarakat di sini.
ARSIP KOMPAS TV Dokter Ratih melihat 7 Niang dari atas bukit.
Seperti di berbagai tempat yang saya datangi sebelumnya, saya
menyempatkan diri untuk menilik kebiasaan hidup dan lingkungan yang saya
datangi dari sudut padang seorang dokter. Biasanya dengan mudah saya
membuat catatan mental mengenai hal yang berkaitan dengan perilaku
kesehatan masyarakat, atau kesehatan lingkungan. Namun sampai malam
terakhir ini, saya belum mencatat apapun. Saya bagai tersihir oleh alam
dan harmonisasi kehidupan disini.
Udara pegunungan yang segar,
sumber air bersih yang berlimpah dan tanah yang subur memenuhi sebuah
kebutuhan pokok manusia untuk hidup dan bertahan disini. Adat istiadat
yang terjaga turun temurun sebagai struktur kehidupan, melengkapi
harmoni manusia dengan alam tempat mereka tinggal.
Struktur
bangunan Niang yang memiliki tungku untuk memasak di dalam dan cenderung
gelap awalnya sempat menarik perhatian saya. Segera terbersit
kemungkinan kurang baiknya ventilasi udara di dalam Niang dan lingkungan
yang lembab karena jarang terkena sinar matahari, dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatan. Namun ternyata kebiasaan masyarakat
mengimbangi keadaan ini.
Tungku untuk memasak yang awalnya
mengkhawatirkan saya karena asapnya mungkin mempengaruhi kesehatan
pernafasan, ternyata berfungsi ganda untuk mengasapi kayu dan atap Niang
sehingga tidak lembab dan rapuh. Untuk menghindari asap mengumpul dalam
Niang, jendela-jendela dibuka selama memasak. Kekhawatiran saya mereda.
Sebuah gambaran yang ideal akan keseimbangan lingkungan dan perilaku
kesehatan.
Ketiadaan fasilitas kesehatan di Wae Rebo, sedikit
meresahkan saya. Namun setelah bercengkrama dan memeriksa masyarakat,
saya sedikit lega. Kondisi kesehatan mereka bisa dibilang cukup baik.
Meskipun demikian, menurut saya keberadaan fasilitas kesehatan tentu
akan membuat kualitas kesehatan lebih baik lagi. Malam semakin larut,
saya pun menyerah pada kantuk berbalut rasa enggan meninggalkan tempat
ini esok hari.
ARSIP KOMPAS TV Dokter Ratih mengamati salah satu tanaman obat di Wae Rebo, Flores, NTT.
Pagi harinya, usai berpamitan dengan warga Waerebo, setengah hati saya
melangkahkan kaki meninggalkan desa cantik ini. Kira-kira 15 menit jalan
mendaki, saya menghentikan langkah dan membalik badan untuk melihat Wae
Rebo dari kejauhan untuk terakhir kalinya.
Sebuah senyum
mengembang, bersama sebuah harapan. Harapan akan berlanjutnya harmoni
indah antara manusia dan alam. Sebuah paduan yang indah dalam
kesederhanaan, dan bisik hati yang selalu meruap ketika melihat warna
hidup warga, adalah kualitas kesehatan dan kehidupan yang semakin baik
dari waktu ke waktu.
Doctors Go Wild episode Manggarai ditayangkan di
Kompas TV, Senin (15/9/2014) pukul 20.00 WIB.
(Ratih Citra Sari)
rudy satria