Senin, 18 Mei 2015
BATU MALIN KUNDANG
http://travel.kompas.com/read/2015/05/18/134703927/Batu.Malin.Kundang.Jadi.Tujuan.Wisata.Peselancar?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
NB: Gambarnya belum di - download
Apa hubungan Batu MALIN KUNDANG dengan batu-batu bernilai sejarah (budaya) di Manggarai, seperti watu Todo, Watu Lanur, Watu Compang, Watu Timbang Raung? Coba refleksikan!
Jumat, 15 Mei 2015
MEMBANGKITKAN ADAT DI MANGGARAI - FLORES BARAT
membangkitkan-adat-di-manggarai-flores-barat
by: Retsky Anugerah W.P
Sumber: http://etnohistori.org/membangkitkan-adat-di-manggarai-flores-barat.html
NB: Tulisan dan analisa yang baik sekali.
Sabtu, 09 Mei 2015
RITUS ADAT SAAT MEMBANGUN RUMAH
Ketika membangun rumah, orang Manggarai mengadakan ritus. Ritus ini bertujuan agar pembangunan rumah ini berjalan lancar, aman dan penuh berkat. Berikut ritusnya:
- Raket tana / semen. Sake fundasi kudut raket tana (semen) (= Peletakan Batu Pertama). Hewan kurban yang dibutuhkan saat ini adalah ayam jantan berbulu merah (manuk lalong Sepang) . Tujuan pengurbanan ini adalah untuk memohon restu dan dukungan roh tanah (naga tana) atas rencana pembangunan rumah tersebut. Setelah didaraskan doa, ayam disembelih, darahnya dicurahkan ke lubang fundasi rumah.Ini penting agar roh tanah tidak terganggu atau terpancing oleh provokasi pihak lain yang merugikan pemikik rumah, misalnya sakit, dll. Hal yang sama untuk para tukang. "neka jie'r lime, neka kandit wai' (semoga tangan tidak kesemutan / janganlah kaki terpeleset).
- Raum Bubung (tuntas pemasangan atap). Hewan yang dibutuhkan adalah ayam jantan putih (manuk lalong bakok). Dalam pembangunan rumah, ada banyak kayu yang dipakai.Kayu-kayu itu boleh jadi diambil dari berbagai tempat. Pada tempat dan kayu itu ada roh (penjaga). Mereka perlu disapa, diajak untuk turut berpartisipasi demi mendukung tuan rumah. Kayu-kayu itu diharapkan akur, cocok, harmonis, tidak saling memusuhi tetapi saling bahu membahu, kerja sama demi kehidupan pemilik rumah yang lebih baik. Ayam jantan putih didoakan (torok) oleh tetua' adat lalu disembelih. Darahnya dicurahkan / dioleh pada seng / atap. Tujuan dari upacara pemenyembelihan manuk lalong bakok raum bubung adalah agar atap (seng, dll) kokoh, tidak cepat rusak. "Neka larong ri', neka langgar wancang, neka bete bele, neka muntung wunut, neka ngeto betong (atap hendaklah kokoh, alang-alang jangan berlubang /berlubah, belahan bambu jangan berjarakan / bercelah, jangan;ah seng berlubang, janganlah bambu berayap.
- Manuk we' mbaru. Hewan yang dibutuhkan adalah ayam jantan putih (manuk lalong bakok). Inilah momen memasuki / menghuni rumah baru. Tujuan acara ini adalah agar semua penghuni yang menghuni ruma diberika kesehatan. " Neka ligot siong, neka pedeng menes" (Jangan menampung kedinginan, jangan memberikan kedinginan). Selanjutnya bila perekonomian memungkinkan maka bisa disembelihkan anjing / babi demi menjamu tamu / tetangga / keluarga yang hadir saat itu.
Minggu, 03 Mei 2015
TEMPAT WISATA DI MANGGARAI
Di Manggarai ada pantai Watu pajung (Batu Payung), di Lombok ada Batu Payung. Ada hubungan keduanya? Coba dipikirkan. Lihat gambar dan berita di bawah ini.
Travel / Travel Story
http://travel.kompas.com/read/2015/04/19/144200627/Menikmati.Matahari.Terbit.di.Pantai.Watu.Payung
Menikmati Matahari Terbit di Pantai Watu Payung
Minggu, 19 April 2015 | 14:42 WIB
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Petunjuk Pantai Watu Payung di Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
PERJALANAN ekspedisi Utara dari Kabupaten Manggarai
Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (8/4/2015) sampai Jumat
(10/4/2015) tidaklah sia-sia. Belum banyak yang mengeksplor kekayaan
alam di wilayah Kecamatan Sambirampas, Kabupaten Manggarai Timur.
Potensi pariwisata di wilayah Utara dari Kabupaten Manggarai Timur yang
baru berusia tujuh tahun ini.
Tim ekspedisi yang terdiri dari bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur dan jurnalis yang bekerja di Kabupaten Manggarai Timur dan Dinas Pariwisata Manggarai Timur serta Kecamatan Sambirampas dan sejumlah kepala desa yang difasilitasi Pemkab Manggarai Timur untuk mempromosikan obyek-obyek wisata yang masih tersembunyi di Manggarai Timur.
Berawal dari keinginan untuk mempublikasikan pariwisata di bagian Utara ini, tim berangkat dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (8/4/2015) dengan mengendarai dua kendaraan. Semua berkumpul di rumah Kabag Humas, Bonifasius Sai pada Rabu pagi sambil minum kopi Colol.
Sekitar jam 10.00 Wita, tim ekspedisi Utara bergegas dengan dua kendaraan menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas. Kami melewati jalur tengah dari Borong menuju ke Mbeling, hutan konservasi Banggarangga dan melewati Kecamatan Pocoranaka.
Keluarga dari Agustinus Suparman (staf Humas dan protokoler Pemkab Manggarai Timur) di Kampung Teker sudah menyiapkan hidangan makanan siang bagi rombongan tim ekspedisi utara tersebut.
Kurang lebih dua jam lebih, kami makan siang dengan jagung masak dan berbagai hidangan lainnya. Sesudah itu kami berangkat menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas melewati Dampek.
Sepanjang perjalanan Transflores bagian Utara, khususnya dibagian Dampek, di pinggir jalan negara itu, petani sedang mengumpulkan kayu api untuk dijual ke mobil menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Setiba di Rumah Jabatan Camat Sambirampas, kami disambut dengan ramah oleh Camat Sambirampas, Sarjudin bersama staf. Kami makan malam dengan hidangan ikan kuah khas masyarakat Pota. Selanjutnya kami bercerita sambil menggali potensi unik di sekitar Sambirampas.
Esok, Kamis (9/4/2015), sekitar jam 04.30 Wita, kami dipandu oleh Tenaga Harian Lepas sekaligus koordinator Pariwisata di Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur di Pota, Arsyad dan Kepala Desa Nangabaras, Warkah Jalu menuju ke obyek wisata yang sangat terkenal di wilayah Sambirampas. Obyek wisata itu adalah Pantai Pasir Watu Payung.
Pantai Pasir Watu Payung masuk dalam wilayah Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, NTT. Pantai ini belum setenar dibandingkan pantai-pantai lainnya di Pulau Flores.
“Kami semua menikmati dan mengagumi keindahan alam yang diwariskan Sang Pencipta bagi kemajuan Manggarai Timur kedepan. Selama ini potensi pariwisata ini hanya dinikmati warga lokal di Sambirampas dan Kecamatan Lambaleda dan ada juga kunjungan wisatawan asing,” ungkap Arsyad.
Kepala Desa Nangambaur, Warkah Jalu menjelaskan, pantai ini disebut Pantai Watu Payung karena ada sebuah batu raksasa di pinggir pantai berbentuk payung. Orang lokal menyebutnya 'watu payung' atau batu payung. Selain pantai yang indah, perairaan Watu Payung juga tempat hidupnya penyu.
“Kami sering melihat turis asing dan domestik berkunjung ke pantai ini untuk mandi dan menikmati matahari terbit. Selain itu, di sekitar pantai ini, tempat hidupnya binatang Komodo Flores. Orang lokal menyebut binatang Rughu dan Mbou. Kami pernah mengantar tim peneliti dari Amerika Serikat yang melihat dan mengambil sampel darah binatang Komodo itu. Menurutnya, Rughu atau Mbou Pota merupakan binatang ajaib Komodo. Komodo ini tinggal di dalam goa besar di sekitar pantai,” jelasnya.
“Ini potensi besar yang harus segera dilindungi oleh Pemerintah Manggarai Timur ke depan bekerja sama dengan masyarakat lokal,” katanya.
Arsyad menjelaskan, ada sejumlah obyek wisata di Sambirampas. Ada danau Rana Kulan, rawa-rawa air payau di sekitar Pantai Watu Payung, kuburan tua, tempat hidupnya burung kalong di Nangabaras dan berbagai obyek lainnya. Namun, selama ini belum dikelola dan dipublikasi secara luas.
“Selama ini ada 206 wisatawan asing yang berwisata ke Pantai Watu Payung dan obyek-obyek lainnya. Ada desa wisata dan berbagai tempat pariwisata lainnya,” ujarnya.
Menurut Arsyad, pihaknya senang dan bersyukur ada tim ekspedisi Utara yang terdiri dari wartawan di Manggarai Timur serta fotografer yang akan mempublikasikan keindahan Sambirampas yang masih tersembunyi.
Sayangnya, tim ekspedisi tidak melihat binatang Komodo di sekitar Watu Payung.
Camat Sambirampas, Sarjudin mengatakan, kunjungan dari tim ekspedisi yang dirangkaikan dengan panen raya jagung variates unggul Lamuru sangat berarti dan bermakna bagi keberlanjutan pariwisata di Kecamatan Sambirampas.
“Kiranya dengan publikasi yang seluas-luasnya di media massa mampu memperkenalkan keunikan dan keindahan pariwisata di Kecamatan Sambirampas yang sangat jauh dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur,” katanya.
Tim ekspedisi yang terdiri dari bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur dan jurnalis yang bekerja di Kabupaten Manggarai Timur dan Dinas Pariwisata Manggarai Timur serta Kecamatan Sambirampas dan sejumlah kepala desa yang difasilitasi Pemkab Manggarai Timur untuk mempromosikan obyek-obyek wisata yang masih tersembunyi di Manggarai Timur.
Berawal dari keinginan untuk mempublikasikan pariwisata di bagian Utara ini, tim berangkat dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (8/4/2015) dengan mengendarai dua kendaraan. Semua berkumpul di rumah Kabag Humas, Bonifasius Sai pada Rabu pagi sambil minum kopi Colol.
Sekitar jam 10.00 Wita, tim ekspedisi Utara bergegas dengan dua kendaraan menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas. Kami melewati jalur tengah dari Borong menuju ke Mbeling, hutan konservasi Banggarangga dan melewati Kecamatan Pocoranaka.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Matahari terbit di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setelah perjalanan sekitar 3-4 jam, tim istirahat di Kampung Beamuring
untuk minum kopi di rumah keluarga. Setelah istirahat kurang lebih satu
jam, tim kembali berangkat menuju ke Benteng, ibu kota Kecamatan
Lambaleda. Dari Benteng kami berangkat menuju ke Kampung Teker untuk
makan siang.Keluarga dari Agustinus Suparman (staf Humas dan protokoler Pemkab Manggarai Timur) di Kampung Teker sudah menyiapkan hidangan makanan siang bagi rombongan tim ekspedisi utara tersebut.
Kurang lebih dua jam lebih, kami makan siang dengan jagung masak dan berbagai hidangan lainnya. Sesudah itu kami berangkat menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas melewati Dampek.
Sepanjang perjalanan Transflores bagian Utara, khususnya dibagian Dampek, di pinggir jalan negara itu, petani sedang mengumpulkan kayu api untuk dijual ke mobil menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kami istirahat sejenak di pinggir jalan sambil melihat deretan kayu api
yang siap dijual kepada pelanggan mereka. Selanjutnya kami menuju ke
Pota dan tiba sekitar pukul 21.00 Wita.Setiba di Rumah Jabatan Camat Sambirampas, kami disambut dengan ramah oleh Camat Sambirampas, Sarjudin bersama staf. Kami makan malam dengan hidangan ikan kuah khas masyarakat Pota. Selanjutnya kami bercerita sambil menggali potensi unik di sekitar Sambirampas.
Esok, Kamis (9/4/2015), sekitar jam 04.30 Wita, kami dipandu oleh Tenaga Harian Lepas sekaligus koordinator Pariwisata di Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur di Pota, Arsyad dan Kepala Desa Nangabaras, Warkah Jalu menuju ke obyek wisata yang sangat terkenal di wilayah Sambirampas. Obyek wisata itu adalah Pantai Pasir Watu Payung.
Pantai Pasir Watu Payung masuk dalam wilayah Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, NTT. Pantai ini belum setenar dibandingkan pantai-pantai lainnya di Pulau Flores.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Batu berbentk payung di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan
Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kami tiba di Pantai Watu Payung sebelum matahari terbit. Setiba di
pantai itu, matahari mulai terbit dan kami bersyukur dapat menikmati
keindahan matahari terbit di Pantai Pasir Putih Watu Payung.
Masing-masing rombongan dengan kameranya mulai memotret matahari terbit
dan keindahan pantai di saat matahari terbit. Tak ketinggalan, Fansy,
Robert, Albert, Lasarus, staf Humas mulai membidik keindahan pantai
tersebut.“Kami semua menikmati dan mengagumi keindahan alam yang diwariskan Sang Pencipta bagi kemajuan Manggarai Timur kedepan. Selama ini potensi pariwisata ini hanya dinikmati warga lokal di Sambirampas dan Kecamatan Lambaleda dan ada juga kunjungan wisatawan asing,” ungkap Arsyad.
Kepala Desa Nangambaur, Warkah Jalu menjelaskan, pantai ini disebut Pantai Watu Payung karena ada sebuah batu raksasa di pinggir pantai berbentuk payung. Orang lokal menyebutnya 'watu payung' atau batu payung. Selain pantai yang indah, perairaan Watu Payung juga tempat hidupnya penyu.
“Kami sering melihat turis asing dan domestik berkunjung ke pantai ini untuk mandi dan menikmati matahari terbit. Selain itu, di sekitar pantai ini, tempat hidupnya binatang Komodo Flores. Orang lokal menyebut binatang Rughu dan Mbou. Kami pernah mengantar tim peneliti dari Amerika Serikat yang melihat dan mengambil sampel darah binatang Komodo itu. Menurutnya, Rughu atau Mbou Pota merupakan binatang ajaib Komodo. Komodo ini tinggal di dalam goa besar di sekitar pantai,” jelasnya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Bersantai di pasir Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Warkah memaparkan, dulu ada nelayan yang sedang berbaring di sekitar
pantai digigit Komodo dan meninggal dunia. Bahkan, binatang peliharaan
warga di sekitar kampung Nangambaur sering menjadi mangsa Komodo.“Ini potensi besar yang harus segera dilindungi oleh Pemerintah Manggarai Timur ke depan bekerja sama dengan masyarakat lokal,” katanya.
Arsyad menjelaskan, ada sejumlah obyek wisata di Sambirampas. Ada danau Rana Kulan, rawa-rawa air payau di sekitar Pantai Watu Payung, kuburan tua, tempat hidupnya burung kalong di Nangabaras dan berbagai obyek lainnya. Namun, selama ini belum dikelola dan dipublikasi secara luas.
“Selama ini ada 206 wisatawan asing yang berwisata ke Pantai Watu Payung dan obyek-obyek lainnya. Ada desa wisata dan berbagai tempat pariwisata lainnya,” ujarnya.
Menurut Arsyad, pihaknya senang dan bersyukur ada tim ekspedisi Utara yang terdiri dari wartawan di Manggarai Timur serta fotografer yang akan mempublikasikan keindahan Sambirampas yang masih tersembunyi.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Batu berbentuk payung di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan
Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Kami siap mengantarkan siapa pun yang akan melihat dan menikmati
pariwisata di Kecamatan Sambirampas. Peranan media massa sangat penting
dalam mempublikasi keindahan di Kecamatan Sambirampas,” jelasnya.Sayangnya, tim ekspedisi tidak melihat binatang Komodo di sekitar Watu Payung.
Camat Sambirampas, Sarjudin mengatakan, kunjungan dari tim ekspedisi yang dirangkaikan dengan panen raya jagung variates unggul Lamuru sangat berarti dan bermakna bagi keberlanjutan pariwisata di Kecamatan Sambirampas.
“Kiranya dengan publikasi yang seluas-luasnya di media massa mampu memperkenalkan keunikan dan keindahan pariwisata di Kecamatan Sambirampas yang sangat jauh dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur,” katanya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Jelajahi Warisan Leluhur Orang Manggarai di Flores
Kompas.com - 25/11/2017, 15:09 WIB
http://travel.kompas.com/read/2017/11/25/150900627/jelajahi-warisan-leluhur-orang-manggarai-di-flores
Leluhur orang Manggarai terkenal budayanya karena warisannya menggaet orang asing untuk melakukan penelitian tentang keajaiban alamnya, juga rumah adatnya yang berbahan alamiah.
Bahkan sebelum binatang Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, alam dan budaya orang Manggarai sudah lebih dahulu dikenal secara luas oleh wisatawan asing maupun Nusantara.
(Baca juga : Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat)
Warisan alam yang menggugah orang asing berkunjung ke kawasan Manggarai adalah sistem pembagian tanah yang berkeadilan. Bahkan, bentuknya yang unik menarik orang luar untuk menjelajahinya.
Warisan Lingko lodok tersebar di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Leluhur orang Manggarai terinspirasi dengan keunikan yang dilakukan binatang laba-laba dalam membuat sarangnya.
Leluhur orang Manggarai terinspirasi dengan kegiatan binatang ini sehingga mereka membangun rumah adat dengan bentuk seperti jaring laba-laba. Bahkan, saat pembagian tanah juga berbentuk jaring laba-laba.
Zaman purbakala, orang Manggarai menanam berbagai jenis tanaman di ladang, sebelum masuknya padi. Lahan kering juga dibagi dengan cara lingko lodok.
(Baca juga : Selain Komodo, Pink Beach di Flores Juga Memikat Wisatawan)
Lingko dalam bahasa Manggarai adalah hamparan yang luas, sedangkan lodok adalah bagian terkecil di dalam lingko itu dengan sistem pembagian lahan untuk masing-masing warga komunal atau klan dalam berbagai suku.
Bukan hanya tanah saja yang berbentuk Lodok, kalau kita perhatikan dengan baik bagian dalam rumah adat orang Manggarai juga bagian luarnya berbentuk jaring laba-laba.
Ritus-ritus adat orang Manggarai selalu berhubungan dengan alam, sehingga alam dan rumah adat tak terpisahkan dalam kehidupan orang Manggarai. Ritus-ritus lainnya berhubungan leluhur mereka dan Sang Pencipta Kehidupan (mori jari agu dedek).
Hasil penjelajahan KompasTravel selama ini, bahwa Kabupaten Manggarai dikenal dengan 1000 rumah adat Mbaru Gendang yang tersebar di kampung-kampung. Sayangnya, sebagian besar rumah adat itu beratap seng. Artinya originalnya rumah adat itu tidak lagi menjadi ciri khas Mbaru Gendang yang diwariskan leluhur orang Manggarai.
Memang masih dilaksanakan ritus-ritus adat di dalam rumah itu, tetapi nilai keaslian dari rumah itu perlahan-lahan pudar. Jika tidak direvitalisasi rumah adat kembali ke bentuk aslinya dengan atap ijuk maka perlahan-lahan identitas rumah adat orang Manggarai akan ditelan zaman.
Kampung tradisional ini terletak di Desa Waerebo, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Flores, NTT.
Kampung adat yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini menjadi tujuan utama wisatawan asing dan Nusantara. Bahkan wisatawan sangat mengagumi keunikan bentuk rumah tradisional Flores juga alam dan manusianya.
Apalagi dengan kecanggihan teknologi dengan berbagai tema foto tentang kampung itu menambah daya tarik wisatawan untuk menjelajahi perkampung itu. Kampung tetap teduh di tengah riuhnya perkembangan teknologi global.
Sekarang ini akses ke kampung Waerebo sudah lumayan bagus. Belum lama ini tim jelajah sepeda Kompas mengunjungi dan menjelajahi keunikan alam di kampung tersebut.
Begitu juga dari arah Bajawa, Kabupaten Ngada, berhenti di Kampung Pela dan menuju ke Kampung Denge, meneruskan perjalanan ke pos pertama dan selanjutnya berjalan kaki ke kampung adat itu.
Kedua, kampung adat Todo. Kampung yang terletak di Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Flores, NTT berdiri dua rumah adat yang beratapkan ijuk dari pohon enau.
Kampung adat Todo merupakan kampung pusat kerajaan Manggarai di zaman dulu. Banyak peninggalan-peninggalan kerajaan di kampung Todo yang perlu dijaga dengan baik. Banyak kisah tentang kehidupan kerajaan Todo di kampung itu.
Konon diceritakan bahwa kampung Ruteng Puu merupakan kampung pertama di Manggarai sebelum lahirnya kampung-kampung lainnya. Kampung ini boleh dikatakan berada di Pusat Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, karena lokasinya tak jauh dari Kota Ruteng.
Juga diceritakan bahwa kampung ini merupakan pusat pemerintah adat Ruteng dahulu kala sebelum ada pemerintah modern. Banyak bekas-bekas dan benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan administrasi pemerintah adat.
Rumah adat kampung ini merupakan revitalisasi ulang untuk kembali ke aslinya dengan beratapkan Ijuk. Ini akan memberikan contoh yang baik bagi kampung-kampung lainnya di Manggarai.
Warisan Lingko Lodok yang Terunik di Dunia
Ada begitu banyak warisan alam lingko lodok yang tersebar di kampung-kampung di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Kali ini KompasTravel mencatat yang terdekat dari Pusat Kota Rute.
Pemkab Manggarai terus mempromosikan destinasi-destinasi unggulan di wilayah itu bekerjasama dengan biro perjalanan dan Komunitas Pencinta Ruteng, Manggarai.
Ketiga, persawahan Lingko Lodok Carep. Jika kita naik pesawat terbang dari arah Kupang dan Labuan Bajo, dari atas pesawat kita disuguhkan bentuk persawahan yang berbentuk laba-laba.
Ini semua warisan leluhur orang Manggarai yang tidak tergerus arus globalisasi dan teknologi canggih. Orang Manggarai terus merawat dan menjaga serta melestarikan warisan leluhur itu.
********************
NTT Targetkan 273 Desa Wisata pada 2018
Travel / News
http://travel.kompas.com/read/2015/05/04/113600427/NTT.Targetkan.273.Desa.Wisata.pada.2018
NTT Targetkan 273 Desa Wisata pada 2018
Senin, 4 Mei 2015 | 11:36 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Warga Kampung Adat Bena, Ngada, Flores, NTT, bermain musik tradisional
yang biasa dimainkan dalam rangka upacara adat pembangunan rumah baru,
Selasa (15/6/2011). Kampung berusia sekitar 1.200 tahun ini kental
dengan arsitektur kuno dan budaya megalitik.
Terkait perkembangan pariwisata di daerah NTT, Gubernur Frans Lebu Raya ketika pada periode kedua (2013-2018) desa wisata di NTT akan ditingkatkan menjadi 273," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parektif) NTT, Marius Ardu Jelamu, di Kupang, Sabtu (2/4/2015).
Ia mengatakan, hingga 2014 NTT baru mempunyai 73 desa wisata. Penambahan jumlah desa wisata tersebut, merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat NTT, khususnya yang ada di pedesaan.
Karena itu, pemerintah berkeyakinan bahwa desa wisata akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Secara otomatis, langkah ini akan menjadi lokomotif untuk menggerakkan sektor lainnya," katanya.
Desa-desa wisata saat ini antara lain desa wisata Wae Sano, Cunca Lolos, dan Liang Dara di Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai. Kemudian desa wisata Labuan Bajo, Komodo, Pasir Panjang, Desa Batu Cermin di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Selanjutnya Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai dan Desa Nangalabang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, serta desa wisata perkampungan tradisional Bena di Kabupaten Ngada dan perkampungan tradisional Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
DOK INDONESIA.TRAVEL
Desa Lamalera, masuk dalam agenda petualangan karena di sinilah atraksi
berburu paus secara tradisional masih tetap dipertahankan.
Berikut Desa Oebelo dengan obyek wisata pembuatan alat musik tradisional
Sasando dan Oelnasi dengan obyek wisata agro dan pemancingan serta Desa
Manusak dengan obyek wisata agro dan wisata alam di Kabupaten Kupang.Selanjutnya desa Lede Unu dengan obyek wisata perkampungan adat dan Desa Kujiratu dengan obyek wisata situs Kujiratu di Kabupaten Sabu Raijua, Desa Maritaing dengan wisata alam dan bahari serta Desa Marisa dengan obyek wisata bahari di Kabupaten Alor.
Selain itu katanya, ada empat desa wisata di Kabupaten Lembata yang juga mendapat dukungan program desa wisata yakni, Desa Atawai di Kecamatan Nagawutung dengan obyek wisata air terjun Lodowawo, Desa Atakore dengan dapur alam budaya, Desa Lamalera dengan obyek wisata penangkapan paus secara tradisional dan Desa Laranwutun dengan wisata bahari.
"Umumnya desa-desa wisata yang menjadi sasaran bantuan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2014 lalu bahkan 2015 ini terdapat pada 46 kecamatan yang ada di 22 kabupaten/kota di NTT.
Terkait persoalan infrastruktur menuju desa-desa wisata, Wely menambahkan, mulai 2015 akan menjadi program lintas satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Infrastruktur ke desa-desa wisata maupun obyek wisata yang ada di daerah ini memang penting menjadi perhatian pemerintah. "Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sendiri sudah mengusulkan kepada Bappeda terkait program lintas SKPD dan ini sudah dibahas juga di forum SKPD," katanya.
Ia mengatakan, pembangunan jalan dan jembatan ataupun infrastruktur lainnya seperti air bersih pada obyek-obyek wisata sesungguhnya bukan domain Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Pembangunan infrastruktur merupakan tugas dan tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Lanskap Kampung Adat Bena, Ngada, Flores, NTT, Selasa (15/6/2011).
Kampung berusia sekitar 1.200 tahun ini kental dengan arsitektur kuno
dan budaya megalitik.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam APBD tahun anggaran 2014
mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 2,5 miliar untuk mendukung program
desa wisata di provinsi kepulauan itu. "Dana tersebut akan disalurkan
kepada 50 desa wisata, masing-masing desa akan mendapat alokasi dana
sebesar Rp 50 juta," katanya.Ia menjelaskan, dana yang dialokasikan untuk desa-desa wisata itu akan dimanfaatkan untuk mengairahkan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang bermukim di desa-desa wisata. "Dananya akan dimanfaatkan untuk membantu kelompok masyarakat pada desa-desa wisata untuk pemberdayaan ekonomi, yang berhubungan langsung dengan sektor pariwisata," katanya.
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : Antara |
Sabtu, 02 Mei 2015
Homo Florensiensis dan Fosil Indonesia Lainnya
"The Hobbit" dari Flores Ternyata Punah 50.000 Tahun Lalu
http://sains.kompas.com/read/2016/03/31/06300021/.The.Hobbit.dari.Flores.Ternyata.Punah.50.000.Tahun.Lalu?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Sains
"The Hobbit" dari Flores Ternyata Punah 50.000 Tahun Lalu
Tim Riset Hobbit di Liang Bua Kegiatan ekskavasi untuk mengungkap misteri The Hobbit dari Liang Bua, Flores.
KOMPAS.com - Riset
yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas), Smothsonian
Institution, dan University of Wollongong merevisi pandangan sebelumnya
tentang manusia kerdil dari Flores.
Homo floresiensis, demikian nama spesies manusia itu, dinyatakan punah 38.000 tahun lebih awal dari waktu yang diungkap dalam penelitian sebelumnya.
Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (30/3/2016) itu berpotensi memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Hobbit, begitu manusia kerdil dari Flores biasa dipanggil, ditemukan pada tahun 2003 lalu oleh tim arkeolog yang diantaranya berafiliasi dengan Arkenas.
Peneliti Arkenas yang ikut menemukannya antara lain Thomas Sutikna dan EW Saptomo. Keduanya lantas dinyatakan sebagai arkeolog paling berpengaruh di dunia berkat temuan tersebut.
Manusia kerdil yang otaknya hanya sebesar simpanse (400 cm3) itu ditemukan pada kedalaman kurang lebih 6 meter dari permukaan Liang Bua saat ini.
Tinggi jenis manusia itu hanya 106 cm, karenanya disebut manusia kerdil. Penampakannya mirip dengan manusia yang hidup di Asia dan Afrika 1 - 3 juta tahun lalu.
Penemuannya membuahkan kontroversi. Sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa Hobbit merupakan jenis manusia tersendiri, beberapa ilmuwan lain menganggapnya bagian dari Homo erectus atau malah Homo sapiens yang mengalami kecacatan.
Penentuan waktu kepunahan spesies ditentukan berdasarkan usia lapisan tanah termuda dan tertua tempat fosil spesies manusia tersebut ditemukan.
Hasil riset sebelumnya yang dipublikasikan pada tahun 2003 mengungkap, lapisan tanah tempat H floresiensis ditemukan berusia antara 95.000 - 12.000 tahun.
Fosil yang ditemukan diduga berusia 18.000 tahun. Sementara itu, terdapat fragmen lain yang ditemukan pada lapisan tanah yang berusia 12.000 tahun. Waktu kepunahan kemudian dinyatakan 12.000 tahun lalu.
Kini penemuan terbaru mengungkap fakta berbeda. Thomas Sutikna yang terlibat penemuan Hobbit dan menjadi penulis utama dalam publikasi riset baru kali ini mengatakan, ada yang kurang tepat dalam dasar penentuan usia Hobbit beserta kepunahannya.
"Kami tak menyadari dalam ekskavasi awal bahwa deposit Hobbit pada dinding gua bagian timur sama dengan yang berada di dekat tengah gua, yang kami perkirakan berusia 74.000 tahun," kata Sutikna.
Sutikna dalam rilis bersama yang bisa dilihat di Scimex.org mengatakan, perluasan penelitian mengungkap bahwa ada deposit tanah yang besar dan berusia lebih tua yang digerus oleh erosi permukaan, membentuk lereng curam ke mulut gua.
"Sayangnya, usia sedimen yang menutupi ini yang kemudian digunakan untuk menentukan usia hobbit, tetapi ekskavasi dan analisis lebih lanjut mengungkap bahwa kasusnya tak seperti itu," kata Saptomo.
Matt Tocheri, paleontropolog Universitas Lake Head Kanada yang juga terlibat riset terbaru ini mengatakan, penanggalan dalam riset terbaru dilakukan dengan berbasis Uranium, Argon-argon, dan Luminescence.
"Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Tocheri saat ditemui Harian Kompas pada Rabu (30/3/2016) di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.
Peneliti menemukan pula artefak terkait H floresiensis yang berusia paling muda 50.000 tahun. Maka waktu itulah yang dijadikan dasar penentuan kepunahan spesies itu.
Perubahan perkiraan waktu kepunahan H floresiensis ini memunculkan kontroversi. Bila dinyatakan bahwa Hobbit punah 12.000 tahun lalu, maka mereka kemungkinan besar mengalami kontak dengan spesies kita yang datang ke Flores 50.000 tahun lalu.
Namun bila waktu kepunahannya 50.000 tahun lalu, apakah Hobbit masih kontak dengan manusia modern? Bila kontak, bagaimana relasinya? Jangan-jangan, spesies kitalah yang memusnahkan Hobbit.
Dalam abstrak publikasi di Nature, peneliti mengatakan bahwa interaksi antara manusia modern dan spesies manusia purba lain dengan hobbit masih menjadi pertanyaan.
Homo floresiensis, demikian nama spesies manusia itu, dinyatakan punah 38.000 tahun lebih awal dari waktu yang diungkap dalam penelitian sebelumnya.
Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (30/3/2016) itu berpotensi memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Hobbit, begitu manusia kerdil dari Flores biasa dipanggil, ditemukan pada tahun 2003 lalu oleh tim arkeolog yang diantaranya berafiliasi dengan Arkenas.
Peneliti Arkenas yang ikut menemukannya antara lain Thomas Sutikna dan EW Saptomo. Keduanya lantas dinyatakan sebagai arkeolog paling berpengaruh di dunia berkat temuan tersebut.
Manusia kerdil yang otaknya hanya sebesar simpanse (400 cm3) itu ditemukan pada kedalaman kurang lebih 6 meter dari permukaan Liang Bua saat ini.
Tinggi jenis manusia itu hanya 106 cm, karenanya disebut manusia kerdil. Penampakannya mirip dengan manusia yang hidup di Asia dan Afrika 1 - 3 juta tahun lalu.
Penemuannya membuahkan kontroversi. Sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa Hobbit merupakan jenis manusia tersendiri, beberapa ilmuwan lain menganggapnya bagian dari Homo erectus atau malah Homo sapiens yang mengalami kecacatan.
Penentuan waktu kepunahan spesies ditentukan berdasarkan usia lapisan tanah termuda dan tertua tempat fosil spesies manusia tersebut ditemukan.
Hasil riset sebelumnya yang dipublikasikan pada tahun 2003 mengungkap, lapisan tanah tempat H floresiensis ditemukan berusia antara 95.000 - 12.000 tahun.
Fosil yang ditemukan diduga berusia 18.000 tahun. Sementara itu, terdapat fragmen lain yang ditemukan pada lapisan tanah yang berusia 12.000 tahun. Waktu kepunahan kemudian dinyatakan 12.000 tahun lalu.
Kini penemuan terbaru mengungkap fakta berbeda. Thomas Sutikna yang terlibat penemuan Hobbit dan menjadi penulis utama dalam publikasi riset baru kali ini mengatakan, ada yang kurang tepat dalam dasar penentuan usia Hobbit beserta kepunahannya.
"Kami tak menyadari dalam ekskavasi awal bahwa deposit Hobbit pada dinding gua bagian timur sama dengan yang berada di dekat tengah gua, yang kami perkirakan berusia 74.000 tahun," kata Sutikna.
Sutikna dalam rilis bersama yang bisa dilihat di Scimex.org mengatakan, perluasan penelitian mengungkap bahwa ada deposit tanah yang besar dan berusia lebih tua yang digerus oleh erosi permukaan, membentuk lereng curam ke mulut gua.
"Sayangnya, usia sedimen yang menutupi ini yang kemudian digunakan untuk menentukan usia hobbit, tetapi ekskavasi dan analisis lebih lanjut mengungkap bahwa kasusnya tak seperti itu," kata Saptomo.
Matt Tocheri, paleontropolog Universitas Lake Head Kanada yang juga terlibat riset terbaru ini mengatakan, penanggalan dalam riset terbaru dilakukan dengan berbasis Uranium, Argon-argon, dan Luminescence.
"Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Tocheri saat ditemui Harian Kompas pada Rabu (30/3/2016) di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.
Peneliti menemukan pula artefak terkait H floresiensis yang berusia paling muda 50.000 tahun. Maka waktu itulah yang dijadikan dasar penentuan kepunahan spesies itu.
Perubahan perkiraan waktu kepunahan H floresiensis ini memunculkan kontroversi. Bila dinyatakan bahwa Hobbit punah 12.000 tahun lalu, maka mereka kemungkinan besar mengalami kontak dengan spesies kita yang datang ke Flores 50.000 tahun lalu.
Namun bila waktu kepunahannya 50.000 tahun lalu, apakah Hobbit masih kontak dengan manusia modern? Bila kontak, bagaimana relasinya? Jangan-jangan, spesies kitalah yang memusnahkan Hobbit.
Dalam abstrak publikasi di Nature, peneliti mengatakan bahwa interaksi antara manusia modern dan spesies manusia purba lain dengan hobbit masih menjadi pertanyaan.
Editor | : Yunanto Wiji Utomo |
Homo Florensiensis
Sumber:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=479335488891840&set=a.107147096110683.16944.100004461781156&type=1&theater
Kompas Print (Cetak), 27 April 2014
60 Persen Fosil Manusia Purba Dunia Ditemukan di Indonesia
http://regional.kompas.com/read/2017/10/25/07270861/60-persen-fosil-manusia-purba-dunia-ditemukan-di-indonesia
Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono
Kompas.com - 25/10/2017, 07:27 WIB
"Indonesia salah satu negara yang penting dalam dunia arkeologi," kata salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Thomas Sutikna, Saat menjadi pembicara dalam diskusi Arkelologi 'Rumah Peradaban Gua Braholo', di Gunungkidul, Selasa (24/10/2017).
Alasannya, sambung Thomas, karena geografis Indonesia yang strategis diapit dua benua yakni Asia dan Australia.
"Indonesia itu merupakan melting pot (metafor untuk masyarakat heterogen yang semakin homogen) atau dengan kata lain seperti periuk, semua aspek ada," bebernya.
(Baca juga : Dunia Mengakui Arkeologi Indonesia, tetapi Pemerintah Berdiam Diri)
Selain itu, potensi sumber daya arkeologi dari Sabang sampai Marauke luar biasa. Fosil masa pra sejarah yang usianya jutaan tahun contohnya, ditemukan di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.
Terakhir ditemukan di Situs Liang Bua di Flores, dengan usia ratusan tahun ribu tahun yang lalu.
Jika menelik dari laman http://arkenas.kemdikbud.go.id, pada 2003 lalu ditemukan manusia purba Homo Floresiensis lebih 9 individu Homo Floresiensis, akan tetapi hingga saat ini hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh.
Satu fosil dan memiliki karakeristik fisik yang unik, yaitu tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar. Usia situs Liang Bua diperkirakan 60.000-100.000 tahun yang lalu. Untuk alat batu mereka diperkirakan berusia antara 50.000–190.000 tahun yang lalu.
"Di Indonesia ditemukan dari manusia sampai binatang ada," tuturnya.
Arkeolog yang menghabiskan waktu 17 tahun melakukan penelitian di Liang Bua ini menjelaskan, hampir 60 persen fosil manusia purba ditemukan di Indonesia.
(Baca juga : Tiga Replika Tengkorak Manusia Purba Sangiran Dipamerkan di Gorontalo)
Hal ini lantaran pada masa lalu, sekitar zaman es, wilayah Indonesia bagian barat menyatu atau disebut Paparan Sunda, dan bagian timur pun menyatu disebut Paparan Sahul. Sehingga awal hewan purba bisa bermigrasi.
Lalu 1,8 juta tahun lalu, Homo Erektus bermigrasi dari daratan Afrika ke Asia Tenggara, dan Eropa seperti di Perancis dan Spanyol, tetapi lebih muda. Di Indonesia penelitian terakhir ditemukan di Sangiran dan Liang Bua.
"Semua manusia (purba) baik dari DNA maupun fosil dari Afrika," kata Thomas yang juga Peneliti dari Centre for Archaeological Science, University of Wollongong, Australia.
Ia menyebutkan, penelitian terus berkembang. Para ilmuwan pun harus terus sharing dengan ilmuwan lain dari luar negeri untuk mengetahui perjalanan manusia purba menuju Indonesia timur sampai Pasifik.
Untuk perjalanan manusia modern (Homo sapiens) sesuai dengan situs yang ditemukan selatan melalui pesisir Jawa Utara sampai ke Australia.
(Baca juga : Bukan Cuma Kita, Manusia Purba Juga Suka Bawa Kotak Makan. Apa Isinya?)
Namun demikian, sampai sekarang peneliti belum menemukan jalur perjalanan manusia purba modern sampai ke Australia. Sebab di sana sudah ditemukan fosil berusia 50.000 tahun lalu.
Sementara di Indonesia, usianya lebih muda. Seperti di Situs Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, yang usianya sekitar 40.000 tahun lalu, Liang Bua usianya 47.000 tahun lalu, dan di Timor usianya diperkirakan 30.000-42.000 tahun lalu.
"Di Australia lebih tua. Masalahnya mereka harus melewati Indonesia, karena tidak mungkin dari Afrika langsung ke Australia. Itu pentingnya Indonesia memiliki peranan penting tentang cikal bakal manusia," tuturnya.
Kope: Tanda Ata Rona
Kope: Tanda Ata Rona
Sumber: https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story, diakses 2 mei 2015, pkl 14:20
Caci 5: Embong Larik agu adat Caci
EMBONG LARIK: THE ART OF CACI, THE ART OF LIFE
Gabriel Mahal
Gabriel Mahal
Ini foto di Cijantung di Jakarta. Bukan di Manggarai, Flores. Kitorang
di Jakarta main caci juga. Dan memang lebih nikmat main caci di tanah
rantau. Apalagi di kota Metropolitian. Tapi kalau kitorang yang merantau
masih main caci, mestinya di Manggarai, Flores, lebih sering lagi.
Nah, kalau lihat foto ini, mungkin saja timbul pertanyaan soal ekspresi
wajah para jagoan ini. Ini pemain yang tangkis nampak serius,
konsentrasi, waspada. Sementara pemain yang pegang larik yang hendak
melakukan pemukulan, nampak senyum-senyum, santai. Gak salah nih?! Iya
gak salah.
Ini salah satu seni dalam permainan caci (the Art of Caci), sama seperti "The Art of War" (Seni Perang)-nya Sun-Tzu. Dalam foto ini pemain yang hendak memukul ini sedang melakukan aksi Seni Embong Larik. Artinya harifiahnya, meninabobokan larik (cambuk). Artinya, sebenarnya bukan meninabobokan larik, tetapi meninabobokan lawannya, pemain yang menangkis. Bikin lawannya itu "temo" (terlena, lengah, tidak waspada), dengan cara bersenandung - menyanyikan lagu Manggarai yang tujuannya memang meninabobokan. Di tengah senandungnya atau kapan saja, dia merasa bahwa pihak lawannya itu terlena, tidak waspada, dia akan melakukan serangan yang mendadak (Sudden Attack). Karena pihak lawannya, harus tetap waspada, awas, tidak terlena, selama dia bersenandung. Embong Larik merupakan bagian dari The Art of Caci. Seni bermain caci.
Embong Larik sebagai The Art of Caci mengandung dua aspek ajaran yang merupakan bagian dari Filosofi Caci. Pertama, manusia Manggarai dalam aktifitas kehidupannya, dalam perjuangannya, tidak lepas dari berkesenian yang merupakan santapan jiwanya. Perjuangan hidup untuk mencapai tujuan tidak selalu dicapai dengan keseriusan yang luar biasa yang bisa bikin putus semua urat, tapi pencapaian tujuan itu bisa juga dilakukan dengan gaya Embong Larik. After all, life itself is a song. Hidup itu sendiri adalah suatu tembang yang kita nyanyikan. Kedua, walaupun demikian, sikap waspada, eling, kesadaran (awareness) harus selalu berada pada puncaknya, karena kita tidak tahu kapan bahaya itu datang, kapan serangan itu menghantam kita. Maka, seperti dalam ajaran Yesus, pelita kesadaran, kewaspadaan itu, pelita berjaga-jaga itu selalu ditempatkan di atas gantang, bukan di bawah gantang. Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan pelita kesadaran dan kewaspadaan dan menempatkannya di bawah gantang.
Begitulah ajaran dalam Seni Embong Larik sebagai bagian dari The Art of Caci yang sebenarnya merupakan Seni Kehidupan (The Art of Life) manusia Manggarai pemilik Budaya Caci itu. Maka, ketika kamu orang main caci atau nonton caci, main atau nontonlah dengan menyalakan pelita kesadaran akan nilai-nilai kultural yang diajarkan dalam Seni Caci itu. Semoga.
https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story;diakses pada 2 Mei 2015, 13:50 (JPS)
Ini salah satu seni dalam permainan caci (the Art of Caci), sama seperti "The Art of War" (Seni Perang)-nya Sun-Tzu. Dalam foto ini pemain yang hendak memukul ini sedang melakukan aksi Seni Embong Larik. Artinya harifiahnya, meninabobokan larik (cambuk). Artinya, sebenarnya bukan meninabobokan larik, tetapi meninabobokan lawannya, pemain yang menangkis. Bikin lawannya itu "temo" (terlena, lengah, tidak waspada), dengan cara bersenandung - menyanyikan lagu Manggarai yang tujuannya memang meninabobokan. Di tengah senandungnya atau kapan saja, dia merasa bahwa pihak lawannya itu terlena, tidak waspada, dia akan melakukan serangan yang mendadak (Sudden Attack). Karena pihak lawannya, harus tetap waspada, awas, tidak terlena, selama dia bersenandung. Embong Larik merupakan bagian dari The Art of Caci. Seni bermain caci.
Embong Larik sebagai The Art of Caci mengandung dua aspek ajaran yang merupakan bagian dari Filosofi Caci. Pertama, manusia Manggarai dalam aktifitas kehidupannya, dalam perjuangannya, tidak lepas dari berkesenian yang merupakan santapan jiwanya. Perjuangan hidup untuk mencapai tujuan tidak selalu dicapai dengan keseriusan yang luar biasa yang bisa bikin putus semua urat, tapi pencapaian tujuan itu bisa juga dilakukan dengan gaya Embong Larik. After all, life itself is a song. Hidup itu sendiri adalah suatu tembang yang kita nyanyikan. Kedua, walaupun demikian, sikap waspada, eling, kesadaran (awareness) harus selalu berada pada puncaknya, karena kita tidak tahu kapan bahaya itu datang, kapan serangan itu menghantam kita. Maka, seperti dalam ajaran Yesus, pelita kesadaran, kewaspadaan itu, pelita berjaga-jaga itu selalu ditempatkan di atas gantang, bukan di bawah gantang. Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan pelita kesadaran dan kewaspadaan dan menempatkannya di bawah gantang.
Begitulah ajaran dalam Seni Embong Larik sebagai bagian dari The Art of Caci yang sebenarnya merupakan Seni Kehidupan (The Art of Life) manusia Manggarai pemilik Budaya Caci itu. Maka, ketika kamu orang main caci atau nonton caci, main atau nontonlah dengan menyalakan pelita kesadaran akan nilai-nilai kultural yang diajarkan dalam Seni Caci itu. Semoga.
https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story;diakses pada 2 Mei 2015, 13:50 (JPS)
Vitus Nendo Kae
Geby, Foto yang bagus, ini ase kae kalimalang Mr. Philipus yang lagi
siap menangkis dan mr. Karel yg lagi embong larik, Mantap
THE ETHICS OF CACI
Gabriel Mahal
Gabriel Mahal
Mau tahu bagaimana serunya main caci di Jakarta? Ya, bisa lihat saja
adegan di foto ini. Begitu semangatnya anak-anak muda Manggarai di tanah
rantau bermain caci sampai-sampai lupa etika dalam bermain caci.
Dalam permainan caci yang seperti dalam foto ini tidak boleh, kecuali
memang sejak awal pemain yang menangkis itu mengambil posisi duduk saat
hendak menangkis serangan lawan. Tapi posisi duduk itu jarang sekali
dilakukan. Paling banter dalam posisi berlutut untuk memperkecil ruang
serangan lawan yang hanya boleh menyerang dari depan.
Dalam foto
ini pihak pemain yang menangkis dalam posisi jatuh. Ketika dalam
keadaan lawan seperti ini, pemain yang memukul tidak lagi boleh
melakukan serangan. Dia mundur dengan gaya kelong (menari) untuk
memberikan kesempatan kepada pihak lawannya berdiri dan mengambil posisi
siap untuk diserang. Tapi, ya begitulah semangatnya anak muda yang
tentu perlu belajar lagi The Art of Caci (Seni Caci) sebagai The Art of
Life (Seni Kehidupan) orang Manggarai.
https://www.facebook.com/gabriel.mahal.58?fref=nf&pnref=story, diakses pada 2 Mei 2015, 13:50 (JPS)
Langganan:
Postingan (Atom)