Di Manggarai ada pantai Watu pajung (Batu Payung), di Lombok ada Batu Payung. Ada hubungan keduanya? Coba dipikirkan. Lihat gambar dan berita di bawah ini.
Travel / Travel Story
http://travel.kompas.com/read/2015/04/19/144200627/Menikmati.Matahari.Terbit.di.Pantai.Watu.Payung
Menikmati Matahari Terbit di Pantai Watu Payung
Minggu, 19 April 2015 | 14:42 WIB
PERJALANAN ekspedisi Utara dari Kabupaten Manggarai
Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (8/4/2015) sampai Jumat
(10/4/2015) tidaklah sia-sia. Belum banyak yang mengeksplor kekayaan
alam di wilayah Kecamatan Sambirampas, Kabupaten Manggarai Timur.
Potensi pariwisata di wilayah Utara dari Kabupaten Manggarai Timur yang
baru berusia tujuh tahun ini.
Tim ekspedisi yang terdiri dari bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur dan jurnalis yang bekerja di Kabupaten Manggarai Timur dan Dinas Pariwisata Manggarai Timur serta Kecamatan Sambirampas dan sejumlah kepala desa yang difasilitasi Pemkab Manggarai Timur untuk mempromosikan obyek-obyek wisata yang masih tersembunyi di Manggarai Timur.
Berawal dari keinginan untuk mempublikasikan pariwisata di bagian Utara ini, tim berangkat dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (8/4/2015) dengan mengendarai dua kendaraan. Semua berkumpul di rumah Kabag Humas, Bonifasius Sai pada Rabu pagi sambil minum kopi Colol.
Sekitar jam 10.00 Wita, tim ekspedisi Utara bergegas dengan dua kendaraan menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas. Kami melewati jalur tengah dari Borong menuju ke Mbeling, hutan konservasi Banggarangga dan melewati Kecamatan Pocoranaka.
Setelah perjalanan sekitar 3-4 jam, tim istirahat di Kampung Beamuring
untuk minum kopi di rumah keluarga. Setelah istirahat kurang lebih satu
jam, tim kembali berangkat menuju ke Benteng, ibu kota Kecamatan
Lambaleda. Dari Benteng kami berangkat menuju ke Kampung Teker untuk
makan siang. Matahari terbit di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Keluarga dari Agustinus Suparman (staf Humas dan protokoler Pemkab Manggarai Timur) di Kampung Teker sudah menyiapkan hidangan makanan siang bagi rombongan tim ekspedisi utara tersebut.
Kurang lebih dua jam lebih, kami makan siang dengan jagung masak dan berbagai hidangan lainnya. Sesudah itu kami berangkat menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas melewati Dampek.
Sepanjang perjalanan Transflores bagian Utara, khususnya dibagian Dampek, di pinggir jalan negara itu, petani sedang mengumpulkan kayu api untuk dijual ke mobil menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Kami istirahat sejenak di pinggir jalan sambil melihat deretan kayu api
yang siap dijual kepada pelanggan mereka. Selanjutnya kami menuju ke
Pota dan tiba sekitar pukul 21.00 Wita. Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setiba di Rumah Jabatan Camat Sambirampas, kami disambut dengan ramah oleh Camat Sambirampas, Sarjudin bersama staf. Kami makan malam dengan hidangan ikan kuah khas masyarakat Pota. Selanjutnya kami bercerita sambil menggali potensi unik di sekitar Sambirampas.
Esok, Kamis (9/4/2015), sekitar jam 04.30 Wita, kami dipandu oleh Tenaga Harian Lepas sekaligus koordinator Pariwisata di Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur di Pota, Arsyad dan Kepala Desa Nangabaras, Warkah Jalu menuju ke obyek wisata yang sangat terkenal di wilayah Sambirampas. Obyek wisata itu adalah Pantai Pasir Watu Payung.
Pantai Pasir Watu Payung masuk dalam wilayah Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, NTT. Pantai ini belum setenar dibandingkan pantai-pantai lainnya di Pulau Flores.
Kami tiba di Pantai Watu Payung sebelum matahari terbit. Setiba di
pantai itu, matahari mulai terbit dan kami bersyukur dapat menikmati
keindahan matahari terbit di Pantai Pasir Putih Watu Payung.
Masing-masing rombongan dengan kameranya mulai memotret matahari terbit
dan keindahan pantai di saat matahari terbit. Tak ketinggalan, Fansy,
Robert, Albert, Lasarus, staf Humas mulai membidik keindahan pantai
tersebut.
Batu berbentk payung di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan
Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Kami semua menikmati dan mengagumi keindahan alam yang diwariskan Sang Pencipta bagi kemajuan Manggarai Timur kedepan. Selama ini potensi pariwisata ini hanya dinikmati warga lokal di Sambirampas dan Kecamatan Lambaleda dan ada juga kunjungan wisatawan asing,” ungkap Arsyad.
Kepala Desa Nangambaur, Warkah Jalu menjelaskan, pantai ini disebut Pantai Watu Payung karena ada sebuah batu raksasa di pinggir pantai berbentuk payung. Orang lokal menyebutnya 'watu payung' atau batu payung. Selain pantai yang indah, perairaan Watu Payung juga tempat hidupnya penyu.
“Kami sering melihat turis asing dan domestik berkunjung ke pantai ini untuk mandi dan menikmati matahari terbit. Selain itu, di sekitar pantai ini, tempat hidupnya binatang Komodo Flores. Orang lokal menyebut binatang Rughu dan Mbou. Kami pernah mengantar tim peneliti dari Amerika Serikat yang melihat dan mengambil sampel darah binatang Komodo itu. Menurutnya, Rughu atau Mbou Pota merupakan binatang ajaib Komodo. Komodo ini tinggal di dalam goa besar di sekitar pantai,” jelasnya.
Warkah memaparkan, dulu ada nelayan yang sedang berbaring di sekitar
pantai digigit Komodo dan meninggal dunia. Bahkan, binatang peliharaan
warga di sekitar kampung Nangambaur sering menjadi mangsa Komodo. Bersantai di pasir Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Ini potensi besar yang harus segera dilindungi oleh Pemerintah Manggarai Timur ke depan bekerja sama dengan masyarakat lokal,” katanya.
Arsyad menjelaskan, ada sejumlah obyek wisata di Sambirampas. Ada danau Rana Kulan, rawa-rawa air payau di sekitar Pantai Watu Payung, kuburan tua, tempat hidupnya burung kalong di Nangabaras dan berbagai obyek lainnya. Namun, selama ini belum dikelola dan dipublikasi secara luas.
“Selama ini ada 206 wisatawan asing yang berwisata ke Pantai Watu Payung dan obyek-obyek lainnya. Ada desa wisata dan berbagai tempat pariwisata lainnya,” ujarnya.
Menurut Arsyad, pihaknya senang dan bersyukur ada tim ekspedisi Utara yang terdiri dari wartawan di Manggarai Timur serta fotografer yang akan mempublikasikan keindahan Sambirampas yang masih tersembunyi.
“Kami siap mengantarkan siapa pun yang akan melihat dan menikmati
pariwisata di Kecamatan Sambirampas. Peranan media massa sangat penting
dalam mempublikasi keindahan di Kecamatan Sambirampas,” jelasnya.
Batu berbentuk payung di Pantai Watu Payung, Desa Nangambaur, Kecamatan
Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sayangnya, tim ekspedisi tidak melihat binatang Komodo di sekitar Watu Payung.
Camat Sambirampas, Sarjudin mengatakan, kunjungan dari tim ekspedisi yang dirangkaikan dengan panen raya jagung variates unggul Lamuru sangat berarti dan bermakna bagi keberlanjutan pariwisata di Kecamatan Sambirampas.
“Kiranya dengan publikasi yang seluas-luasnya di media massa mampu memperkenalkan keunikan dan keindahan pariwisata di Kecamatan Sambirampas yang sangat jauh dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur,” katanya.
Tim ekspedisi yang terdiri dari bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Manggarai Timur dan jurnalis yang bekerja di Kabupaten Manggarai Timur dan Dinas Pariwisata Manggarai Timur serta Kecamatan Sambirampas dan sejumlah kepala desa yang difasilitasi Pemkab Manggarai Timur untuk mempromosikan obyek-obyek wisata yang masih tersembunyi di Manggarai Timur.
Berawal dari keinginan untuk mempublikasikan pariwisata di bagian Utara ini, tim berangkat dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (8/4/2015) dengan mengendarai dua kendaraan. Semua berkumpul di rumah Kabag Humas, Bonifasius Sai pada Rabu pagi sambil minum kopi Colol.
Sekitar jam 10.00 Wita, tim ekspedisi Utara bergegas dengan dua kendaraan menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas. Kami melewati jalur tengah dari Borong menuju ke Mbeling, hutan konservasi Banggarangga dan melewati Kecamatan Pocoranaka.
Keluarga dari Agustinus Suparman (staf Humas dan protokoler Pemkab Manggarai Timur) di Kampung Teker sudah menyiapkan hidangan makanan siang bagi rombongan tim ekspedisi utara tersebut.
Kurang lebih dua jam lebih, kami makan siang dengan jagung masak dan berbagai hidangan lainnya. Sesudah itu kami berangkat menuju ke Pota, ibu kota Kecamatan Sambirampas melewati Dampek.
Sepanjang perjalanan Transflores bagian Utara, khususnya dibagian Dampek, di pinggir jalan negara itu, petani sedang mengumpulkan kayu api untuk dijual ke mobil menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Setiba di Rumah Jabatan Camat Sambirampas, kami disambut dengan ramah oleh Camat Sambirampas, Sarjudin bersama staf. Kami makan malam dengan hidangan ikan kuah khas masyarakat Pota. Selanjutnya kami bercerita sambil menggali potensi unik di sekitar Sambirampas.
Esok, Kamis (9/4/2015), sekitar jam 04.30 Wita, kami dipandu oleh Tenaga Harian Lepas sekaligus koordinator Pariwisata di Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur di Pota, Arsyad dan Kepala Desa Nangabaras, Warkah Jalu menuju ke obyek wisata yang sangat terkenal di wilayah Sambirampas. Obyek wisata itu adalah Pantai Pasir Watu Payung.
Pantai Pasir Watu Payung masuk dalam wilayah Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur, Flores, NTT. Pantai ini belum setenar dibandingkan pantai-pantai lainnya di Pulau Flores.
“Kami semua menikmati dan mengagumi keindahan alam yang diwariskan Sang Pencipta bagi kemajuan Manggarai Timur kedepan. Selama ini potensi pariwisata ini hanya dinikmati warga lokal di Sambirampas dan Kecamatan Lambaleda dan ada juga kunjungan wisatawan asing,” ungkap Arsyad.
Kepala Desa Nangambaur, Warkah Jalu menjelaskan, pantai ini disebut Pantai Watu Payung karena ada sebuah batu raksasa di pinggir pantai berbentuk payung. Orang lokal menyebutnya 'watu payung' atau batu payung. Selain pantai yang indah, perairaan Watu Payung juga tempat hidupnya penyu.
“Kami sering melihat turis asing dan domestik berkunjung ke pantai ini untuk mandi dan menikmati matahari terbit. Selain itu, di sekitar pantai ini, tempat hidupnya binatang Komodo Flores. Orang lokal menyebut binatang Rughu dan Mbou. Kami pernah mengantar tim peneliti dari Amerika Serikat yang melihat dan mengambil sampel darah binatang Komodo itu. Menurutnya, Rughu atau Mbou Pota merupakan binatang ajaib Komodo. Komodo ini tinggal di dalam goa besar di sekitar pantai,” jelasnya.
“Ini potensi besar yang harus segera dilindungi oleh Pemerintah Manggarai Timur ke depan bekerja sama dengan masyarakat lokal,” katanya.
Arsyad menjelaskan, ada sejumlah obyek wisata di Sambirampas. Ada danau Rana Kulan, rawa-rawa air payau di sekitar Pantai Watu Payung, kuburan tua, tempat hidupnya burung kalong di Nangabaras dan berbagai obyek lainnya. Namun, selama ini belum dikelola dan dipublikasi secara luas.
“Selama ini ada 206 wisatawan asing yang berwisata ke Pantai Watu Payung dan obyek-obyek lainnya. Ada desa wisata dan berbagai tempat pariwisata lainnya,” ujarnya.
Menurut Arsyad, pihaknya senang dan bersyukur ada tim ekspedisi Utara yang terdiri dari wartawan di Manggarai Timur serta fotografer yang akan mempublikasikan keindahan Sambirampas yang masih tersembunyi.
Sayangnya, tim ekspedisi tidak melihat binatang Komodo di sekitar Watu Payung.
Camat Sambirampas, Sarjudin mengatakan, kunjungan dari tim ekspedisi yang dirangkaikan dengan panen raya jagung variates unggul Lamuru sangat berarti dan bermakna bagi keberlanjutan pariwisata di Kecamatan Sambirampas.
“Kiranya dengan publikasi yang seluas-luasnya di media massa mampu memperkenalkan keunikan dan keindahan pariwisata di Kecamatan Sambirampas yang sangat jauh dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur,” katanya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Jelajahi Warisan Leluhur Orang Manggarai di Flores
Kompas.com - 25/11/2017, 15:09 WIB
http://travel.kompas.com/read/2017/11/25/150900627/jelajahi-warisan-leluhur-orang-manggarai-di-flores
Leluhur orang Manggarai terkenal budayanya karena warisannya menggaet orang asing untuk melakukan penelitian tentang keajaiban alamnya, juga rumah adatnya yang berbahan alamiah.
Bahkan sebelum binatang Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, alam dan budaya orang Manggarai sudah lebih dahulu dikenal secara luas oleh wisatawan asing maupun Nusantara.
(Baca juga : Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat)
Warisan alam yang menggugah orang asing berkunjung ke kawasan Manggarai adalah sistem pembagian tanah yang berkeadilan. Bahkan, bentuknya yang unik menarik orang luar untuk menjelajahinya.
Warisan Lingko lodok tersebar di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Leluhur orang Manggarai terinspirasi dengan keunikan yang dilakukan binatang laba-laba dalam membuat sarangnya.
Leluhur orang Manggarai terinspirasi dengan kegiatan binatang ini sehingga mereka membangun rumah adat dengan bentuk seperti jaring laba-laba. Bahkan, saat pembagian tanah juga berbentuk jaring laba-laba.
Zaman purbakala, orang Manggarai menanam berbagai jenis tanaman di ladang, sebelum masuknya padi. Lahan kering juga dibagi dengan cara lingko lodok.
(Baca juga : Selain Komodo, Pink Beach di Flores Juga Memikat Wisatawan)
Lingko dalam bahasa Manggarai adalah hamparan yang luas, sedangkan lodok adalah bagian terkecil di dalam lingko itu dengan sistem pembagian lahan untuk masing-masing warga komunal atau klan dalam berbagai suku.
Bukan hanya tanah saja yang berbentuk Lodok, kalau kita perhatikan dengan baik bagian dalam rumah adat orang Manggarai juga bagian luarnya berbentuk jaring laba-laba.
Ritus-ritus adat orang Manggarai selalu berhubungan dengan alam, sehingga alam dan rumah adat tak terpisahkan dalam kehidupan orang Manggarai. Ritus-ritus lainnya berhubungan leluhur mereka dan Sang Pencipta Kehidupan (mori jari agu dedek).
Hasil penjelajahan KompasTravel selama ini, bahwa Kabupaten Manggarai dikenal dengan 1000 rumah adat Mbaru Gendang yang tersebar di kampung-kampung. Sayangnya, sebagian besar rumah adat itu beratap seng. Artinya originalnya rumah adat itu tidak lagi menjadi ciri khas Mbaru Gendang yang diwariskan leluhur orang Manggarai.
Memang masih dilaksanakan ritus-ritus adat di dalam rumah itu, tetapi nilai keaslian dari rumah itu perlahan-lahan pudar. Jika tidak direvitalisasi rumah adat kembali ke bentuk aslinya dengan atap ijuk maka perlahan-lahan identitas rumah adat orang Manggarai akan ditelan zaman.
Kampung tradisional ini terletak di Desa Waerebo, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Flores, NTT.
Kampung adat yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini menjadi tujuan utama wisatawan asing dan Nusantara. Bahkan wisatawan sangat mengagumi keunikan bentuk rumah tradisional Flores juga alam dan manusianya.
Apalagi dengan kecanggihan teknologi dengan berbagai tema foto tentang kampung itu menambah daya tarik wisatawan untuk menjelajahi perkampung itu. Kampung tetap teduh di tengah riuhnya perkembangan teknologi global.
Sekarang ini akses ke kampung Waerebo sudah lumayan bagus. Belum lama ini tim jelajah sepeda Kompas mengunjungi dan menjelajahi keunikan alam di kampung tersebut.
Begitu juga dari arah Bajawa, Kabupaten Ngada, berhenti di Kampung Pela dan menuju ke Kampung Denge, meneruskan perjalanan ke pos pertama dan selanjutnya berjalan kaki ke kampung adat itu.
Kedua, kampung adat Todo. Kampung yang terletak di Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Flores, NTT berdiri dua rumah adat yang beratapkan ijuk dari pohon enau.
Kampung adat Todo merupakan kampung pusat kerajaan Manggarai di zaman dulu. Banyak peninggalan-peninggalan kerajaan di kampung Todo yang perlu dijaga dengan baik. Banyak kisah tentang kehidupan kerajaan Todo di kampung itu.
Konon diceritakan bahwa kampung Ruteng Puu merupakan kampung pertama di Manggarai sebelum lahirnya kampung-kampung lainnya. Kampung ini boleh dikatakan berada di Pusat Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, karena lokasinya tak jauh dari Kota Ruteng.
Juga diceritakan bahwa kampung ini merupakan pusat pemerintah adat Ruteng dahulu kala sebelum ada pemerintah modern. Banyak bekas-bekas dan benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan administrasi pemerintah adat.
Rumah adat kampung ini merupakan revitalisasi ulang untuk kembali ke aslinya dengan beratapkan Ijuk. Ini akan memberikan contoh yang baik bagi kampung-kampung lainnya di Manggarai.
Warisan Lingko Lodok yang Terunik di Dunia
Ada begitu banyak warisan alam lingko lodok yang tersebar di kampung-kampung di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Kali ini KompasTravel mencatat yang terdekat dari Pusat Kota Rute.
Pemkab Manggarai terus mempromosikan destinasi-destinasi unggulan di wilayah itu bekerjasama dengan biro perjalanan dan Komunitas Pencinta Ruteng, Manggarai.
Ketiga, persawahan Lingko Lodok Carep. Jika kita naik pesawat terbang dari arah Kupang dan Labuan Bajo, dari atas pesawat kita disuguhkan bentuk persawahan yang berbentuk laba-laba.
Ini semua warisan leluhur orang Manggarai yang tidak tergerus arus globalisasi dan teknologi canggih. Orang Manggarai terus merawat dan menjaga serta melestarikan warisan leluhur itu.
********************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar