http://kupang.tribunnews.com/2014/06/28/bet-loo-gula-kaling-ko-wae-cio
JPS, 22 Agustus 2015
1. Tipek = idep (?) = camkan
2. Mbili mbolot = mbali - mbolot = tidak karuan
3. Tasang = pake = pakai
4. celap = ................= silau
5. Gul = koing = panggilan untuk memberitahu / meminta izin apa boleh lewat atau tidak.
Evolusi manusia
Orang Manggarai sekarang merupakan hasil perkawinan beragam etnis. Dari beragam etnis itu, bisa disederhanakan dalam dua kategori tempat tinggal, yakni gunung dan pantai. Maka dikenallah dua kelompok manusia, yakni orang gunung (ata golo) dan orang pantai (ata wae). Atau ada juga istilah orang asli ( ata isi tana) dengan pendatang (ata long).
Dari pelbagai sumber yang dikumpulkan diketahui bahwa nenek moyang orang Manggarai berasal dari berbagai benua yakni Eropa, Afrika dan Asia.
Dari Eropa, disinyalir berasal dari Turki. Konon seorang tokoh di Nanga Rawa, Tanah Rata Borong, Manggarai Timur. Tokoh itu adalah Temelo (Tamelo). Tamelo datang dari Turki bersama rombongan pasukan teknis pembuatan kapal perang untuk membantu perang Aceh yang diserang oleh Portugis. Namun pasukan itu tak semua tiba kembali ke Turki. Ada yang pesiar menuju kawasan lain, termasuk yang mendarat di Nanga Rawa - Kisol - Borong, Manggarai Timur. Katanya, perahunya kini menjadi batu di sana. Tamelo menyisakan7 potong tebu dan 12 bilah parang. Itu yang dia bawa memasuki kawasan Manggarai.Dia memasuki Poco Ndeki lalu menuju ke Riwu, masuk kawasan Biting - Bangga Rangga lalu menuju Mandosawu. Di Mandosawu dia berkebun.Gunung Mandosawu berdekatan dengan Gunung Ranaka. (Ranaka, bahasa Manggarai: Rana = danau; Ka = Burung Gagak. Ranaka = danau yang sering dikunjungi oneh burung gagak). Tamelo berkebun juga di dekat Ranaka (Danau Burung Gagak) itu. Berbagai tanamannya tumbuh subur. Buahnya bagus-bagus. Suatu waktu kebunnya didatangi sejumlah perempuan cantik. Siapakah mereka itu? Setelah diamatinya mereka ternyata peri yang berasal dari dunia khayangan. Mereka bisa berubah rupa menjadi manusia, namun dalam sekejam bisa mengenakan kembali mantel dan parasut untuk bisa terbang kembali ke khayangan. Tamelo penasaran dengan para perempuan itu. Muncul niat dalam hati untuk meminang salah satunya. Dia mencari akal. Suatu malam di bulan purnama, dia bersembunyi di rimbunnya dedaunan tanamannya. Para gagak datang. Mereka melepaskan mantel dan parasut. Mereka menjadi manusia. Tampak cantik. Salah seorang menyembunyikan mantel dan parasutnya di dekat persembunyian Tamelo. Tamelo mengambilnya dan menyembunyikannya. Ketika hendak pulang, mereka mengambil kembali mantel dan parasutnya lalu terbang menuju dunia khayangan. Seorang tidak bisa terbang karena tak menemukan parasut dan mantelnya. Dia mencari dan mencari tapi tak dapat. Saat dia mencari dalam suasana sedih hati dia bertemu dengan Temelo. Temelo senang bukan kepalang. Mereka sepakat untuk kawin lalu melahirkan Jermelo dan adiknya. Jermelo dan adiknya merengek. Hal ini memusingkan ibu. Ibu kewalahan mengatasinya. Dalam situasi galau dia mencorek-coret pada abu tungku dapur. Tanpa sengaja dia menemukan kembali mantel dan parasutnya. Dia kembali ke khayangan sambil membawa anaknya yang masih kecil. Jermelo menikah. Namun perempuannya tak disebutkan siapa dan dari mana. Hasil perkawinan mereka menurunkan Teke Le (Sang Utara) dan Teke Lau (Sang Selatan). Teke Lau (Sang Selatan) kawin dengan Nggae Sawu. Teke Le kawin lalu melahirkan Sesawu. Namun tak dikisahkan siapa dan dari mana istri Teke Lau. Sesawu kawin lalu menurunkan Rendong Mataleso (Si Matahari). Istri Sesawu tak diketahui nama dan asalnya. Rendong Mataleso menurunkan Mbula, Ingkal, Paju, Longko, Wucur, Poca, Kamping dan Maja. Mbula menuju Lambaleda. Ingkal menuju Riwu. Paju ke Cibal. Longko ke Poka - Cakep, Wucur ke Ngaker, Poca ke Desu, Kamping ke Sita, Ingkal ke Kolang, Torok Golo. Keturunan mereka ini kemudian menyebar ke hampir seluruh wilayah Manggarai.
Kedua dari Sulawesi Selatan, simak tabu-tabu dan suku Maras (Welo),
Ketiga dari Minangkabau
Ini konformasi kisah yang saya dapatkan waktu kecil
June 18, 2014
My weakness:dominate by technology of internet, read only
news (user) not creator news. That important become creator news, not
focus,
My activity today: make report of
introduction, make cover,make resign
letter, make present list, fill /write on blog
Call Ms Tuti at Optimause JPS primary phone. Press number 9 than
call Optima number 5806203. “I will go to Optima but I arrive at afternoon. I
want to delivery my report and resign
letter,” I say. “Wow…., I will sent Primary certificate to you,” shesay. “okay,” I answer.Than I go out for momentfor lunch. I wrap it.I pay IDR 13.000 (rice, vegetable of acid ,
fish of tongkol). I go to Harmony shop to bind (jilid)the report.I entrance. Evidently it is
Cathreen and Mario’sof parent of shoop.
They are Batak people. Mario ever school at JPS when Primary while Cathreen
still at JPS. I cannot bind (jilid)
there.I go back to shelter of Harmony.
I eat there. Than I go toBogor village
to bind .(jilid) report. I go therewhile
fill the fuel. I commend (titip) iton shop
of bind .(jilid) when I go to fuel station.I pay Rp 12.000 for bind (jilid , 3ex). I
fill Rp 10.000. Than I go back to JPS. Start to OSI on 18:30 am. I drive motor
cycle. The big jamm atmargin
river
Pondok Ungu (may be 45’ jamm)., commend .(titip) motor cycle on care
place of home. I zigzag .(zigzag) on middle big jamm. I run to Harapan
Indah shelter while zigzag (zigzag).I arrive at Harapan Indah
shelter. Lucky the bus of Busway already come, stillwait passenger. I entrancewhile panting (terengah-engah). I’m relieved (lega) when
direct / straightgetbus without wait so long.I pay Rp 3.500.I sit down on back. Icontact Mr. Hila to wait me Utan Kayu
shelter. About 1,5 hours I arrive there,” I callandsms. “Okay, he says. Than the busway start. The journey from Bekasi to
Pulo Gadingis smooth.I arrive at Pulo Gadung. I wait busway to
Pramuka road. Please through Bermis shelter. I do it. We wait busway enough
long . I get busway. I stop at Bermisshelter.I contact to Mr. Hila.
“I’m lost (tersesat). I’m at at Utan kayu Rawamangun,” he say. Please say, Utan
kayu at Central Hotel,” I say. Evidently
Mr. Hila use taxi IDR 20.000. “Wow…. heis miss communication. “. No need to use taxy, please only on foot,” he
says. I arrive at 19.00 am at Pulo
Gadung. I use buswaythrough Bermis. I
wait in Bermis so long. Wow….boring to waitandfeeltiredin pollution and big jamm situation. There is busway that by pass Jl.
Perintis Kemerdekaan. I wait bus that turn at Kayu Putih – Jl. Pemuda – Jl.
Pramuka (shelter of Utan Kayu). Evidentlymy decide wrong. I late to make decision. If I stop at shelter Cempaka
Putih Timur, certainly it faster tome to
arrive atshelter of Utan Kayu. I often
late to make decision. I decide to transit at Cempaka Putih Timur so I entrance
busway that by pass Cempaka Putih area. I transit at Cempaka Putih Timur. I walk
on shelter that long. I’m tired. I try to still spirit but my tired still show
it to me. The buswayto UKIcome. I transitshelter BPKB. I
walk on shelter that enough long. I wait bus at Jl. Pramuka. The busway come. I
try to contact Mr. Hila. He already
arrive there. I stop at shelter Utan Kayu. When I arrive, I waitfor moment. Than hecome. I givebag that consist souvenir offoodthat I buy at Bandung on
Tuesday, June 17, 2014. Than I continue my journey with busway to Dukuh Atas 2,
than transit atDukuh Atas 1 and 2shelter. I wait buswayto Harmony. I wait enough long. Than the
busway come. I arrive at Harmony. I transit there to Kedoya. I wait busway to
Kedoya use busway to Lebak Bulus.I get
bus on 22.00 pm. I stop at Duri Kepa shelter. I entranceto OPTIMAoffice. Lucky Mr. Rudy still available there. I put my data. Than I get
the dataespecially certificate. I bring
it. I wait busway. Thisistheend busway.I stop at Harmony.
Wow…. my moneyless, while no public car
to Cempaka Putih / Percetakan Negara.I
decide to go to Sarina shelter.I
looking for BCA ATM.I exit from busway.
I ask atGedung Jaya – Menara
Thambrin.“Pleasego the Menara Thambrin bulding. There 24 hour
available ATM. I entrance. “This place I often entrance when join on Prudentialtraining.I take money there. Than I looking for food for supper.I eat fried food with cost Rp 10.000. For
first I eat on margin road of Jl. Thambrin, near BPPTbuilding. Than I I cross shelter busway.I looking for taxy. I use EXPRESStaxy.In taxy we by the way.We
introduce one to theothers. “I from
Padang. I’m Jomy.” He say. “I’mFrans, from
Manggrai Flores.In story from ancient,
our ancientfrom Pagarujung,
Minangkabau, Padang, West Sumatra. There isstory aboutfight of buffalo,” I
say. “Oh yes,there iswar between Pagarujung vs Majapahit. If war
of army, Majapahit is bigkingdom, have
strong armythan Pagarujung.
Pagarujungthink how win war without
army war. Please battle of animal,especiallybuffalo.
This is
alternative war. They suggest it to Majapahit kingdom. Majapahit accept
it. The envoy (utusan) of Pagarujung lurk (mengintai) buffalo that
Majapahit use when
battleof buffalo.“Oh…they use the female (betina) buffalo that have
big body, long horn (tanduk) , have long milk (stomach) (susu yang panjang)” the envoy (utusan) say.
“Please prepare the small buffalo that still suck (?) suckle (menyusui). We put
and binding (ikat)knife on horn (tanduk) . They
separatethechild
buffalo with mother buffalo, so the
child buffalo hungry andthirsty. Thedeal time forbattle come. The big buffalo
(from majapahit) and small buffalo (fromPagarujung) battle. The child .
small buffalo think the Majapahit buffalo is his mother. So, itcome andrun to…..(suck) suckle (menyusui).The big buffalo can not plow (seruduk) andlosethe little buffalo.The small
buffalo suck while make wound (luka) the body ofbig buffalo. The big buffalo wound (luka) and death. So the little buffalo
win. Finally Pagarujung win. “ he say. “Wow… this story same with story that I
hear in Manggarai that I know from Mr. Bone Kaso when we are still childhood. ‘
I say.I thank you to Mr. Jomy because fromhis history I clear the story that still hazy .(kabur) to me.We by pass Menteng –
Jl Imam Bonjol – Jl Diponegoro -Jl.
Kramat Raya – Jl. Pemuda – Rawasari – Percetakan Negara - .I payIDR 30.000. I arrive on 01.00 am, wow…. go backfrom Office on middlenight. I’m soslow. Please repair myself.
Keempat: Kalimanatan. Ada suku di Kota Komba yang mengaku bahwa nenek moyangnya berasal dari Kalimantan. Begitu mereka mendarat di pantai Selatan (Wae Wole - Wae Lengga/ Bondei - Kisol) mereka menuju daratan. Mereka membawa serta dengan anjing. Mereka melepaskan anjing ini. Suatu pagi mereka melihat anjing ini basah. "Tentu anjing ini menemukan air. Bagaimana caranya agar mereka mengetahui letak air itu? Mereka menyirami abu dapur pada anjing itu. Beberapa waktu kemudian, mereka melihat bahwa anjing itu kembali lagi ke rumah dalam keadaan basah, pertanda bahwa di sekitar daerah itu ada air. Lalu mereka mengikuti jejak abu yang dijatuhkan dari tubuh anjing itu. Mereka berhasil mendapatkan air itu. Mereka begitu bergembira ketika menemukan air.
Hemat saya (FJ), ada beberapa data yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah bahasa / nama tempat. Ada kemiripan antara nama tempat di Manggarai dengan tempat di Kalimantan. Misalnya, kampung Kelumpang di Kec. Rahong Utara, Manggarai dengan Kecamatan Kalumpang di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, (https://media.neliti.com/media/publications/21403-ID-siput-air-tawar-sebagai-hospes-perantara-trematoda-di-desa-kalumpang-dalam-dan-s.pdf; )
Selain itu kata Nanga. Di Mangarai ada banyak Nanga, seperti Nanga Kantor, Nangalili, Nanga Bere, Nanga Woja, nanga Lanang. Di Kalimanta ada nanga Tayap di Kab. Ketapang Kalbar, Nanga Taman (Sekadau) , Nanga Mahap (Sekadau)
Asal - usul nama Manggarai, bisa dilihat dalam tulisan di blog berikut ini
http://djohandyharwali.blogspot.com/
diunduh pada Minggu, 16 Agustus 2015, pkl 13:46
a.Sejarah pemberian nama Manggarai
Nama Manggarai berasal dari dua suku
kata yaitu kata Manggar dan kata Rai. Kata Manggar diambil dari nama batu yang
dibawa oleh Empo Masur seorang keturunan raja (Raja Luwu) dari Sumatera Barat
yang artinya Watu Jangkar yang
biasanya digunakan untuk menahan Wangka (Perahu) ketika Wangka (perahu)
berhenti. Sementara itu, Watu Rai berarti batu asah yang digunakan untuk mengasah parang, tombak dan lain-lain
oleh masyarakat setempat. Kedua batu ini merupakan dasar pemberian nama
Manggarai.
Empo Masur berdampak pada perubahan nama
tempat yang ia datangi yaitu dari nama Nuca Lale atau Lale Lombong berubah
menjadi Manggarai. Hal ini menunjukan bahwa pada awalnya nama Manggarai adalah
Lale Lombong atau Nuca Lale. Adanya perubahan nama Nuca Lale atau Lale Lembong
menjadi Manggarai karena kedatangan Empo Masur membawa banyak perubahan untuk
masyarakat setempat. Kehadiran Empo Masur melahirkan istilah Caci, Lodok
Lingko, Mbaru Niang, Nggong, dan Gendang di Manggarai.
Ada beberapa nilai budaya Daerah Manggarai yang sampai
sekarang ini masih tetap dijaga kelestariannya. Yang pertama adalah budaya
Caci. Caci pertamakali dipelopori oleh Empo Masur. Kata Caci itu sendiri
berasal dari tiga suku kata yaitu ci gici
ca. Ketiga kata ini memiliki kesatuan arti yaitu menguji kemampuan
seseorang. Ci artinya menguji, gici artinya perorang, dan ca artinya satu. Jadi secara harafiah caci berarti menguji kemampuan lelaki Manggarai
satu persatu. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua laki-laki Manggarai
mampu memperagakan Caci. Hal ini dikarenakan, Caci menuntut para aktornya untuk
memiliki keberanian, kelincahan, keindahan suara, dan pandai bergoyang (lomes). Sejarah munculnya Caci di
Manggarai diawali dengan inspirasi dari Empo Masur yang menghubungkan kebiasaan
mereka di Sumatera Barat (Sabung Kerbau) sebagai budaya untuk menghibur
masayarakat.
Perubahan yang dibuat Empo Masur bukan hanya terbatas pada
pembentukan Caci sebagai budaya daerah. Ada beberapa istilah yang dibuat Empo
Masur selama hidupnya di tanah Manggarai yaitu Lodok Lingko, Mbaru Niang,
Nggong, dan Gendang. Sampai sekarang masyarakat Manggarai menggunakan
istilah-istilah budaya ini dalam setiap perhelatan kegiatan kebudayaan.
b.Perkembangan
Manggarai
Pada masanya
Manggarai memiliki enam (6) raja. Raja pertama adalah Raja Lanur yang berasal
dari Wudi. Raja kedua adalah raja Sehak yang berasal dari Ntala Ruteng. Raja
ketiga adalah Lontar yang dijuluki Melondek berasal dari Cabo bagian Cibal.
Raja keempat adalah Tamur berasal dari Todo. Raja kelima adalah Ngambuk yang
juga berasal dari Todo. Dan raja yang terakhir adalah raja Barut.
Pada masa Raja
Lontar, daerah Manggarai dibagi kedalam bentuk Dalu. Dalu dalam pemahaman
sekarang disebut Kecamatan. Ada 37 Dalu dalam Masa kepemimpinan Raja Lontar
yaitu Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Pongkor, Poco, Leok, Sita Torok, Golo,
Rongga Koe, Kempo, Rajong, Manus, Riwu, Ndehes, Cibal, Lamba Leda, Reok, Pasat,
Nggalak, Bari, Rego, Congkar, Biting, Rembong, Pota, Manus, Ruis, Mata Wae,
Mburak, Welak, Wontong, Lelak, Todo, Bajo, Nggorang, dan Raju.
______________________________________________
Potret Sejarah Manggarai dalam Sejarah Nusantara: Sebuah Studi Literatur
Catatan editor:Tulisan ini merupakan karya dari Vianney Andro Prasetyo, seorang alumni Australian National University. Ia merupakan pemerhati lingkungan, penikmat pariwisata, kopi dan sejarah. Sekarang, Andro tinggal di Ruteng. Dalam surat elektronik kepada Floresa.co, ia berharap, ulasan dengan basis ilmiah ini yang juga berisi hipotesis mengenai asal usul Manggarai, bisa menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin belajar tentang Manggarai.
Kesultanan Bima dan Kesultanan Makassar
Sejarah Manggarai tidak lepas dari sejarah Kerajaan lain di Nusantara seperti Kerajaan Gowa yang kemudian dilebur bersama Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar, Kerajaan Bima, perkembangan Agama Islam di Nusantara dan penyebaran Agama Katolik di Flores.
Kawasan Barat Flores (Manggarai) pada masa lampau dikuasai oleh Kerajaan Bima hingga pada awal tahun 1900 (Steenbrink 2013). Bima menjadi Kerajaan Islam karena pengaruh Penguasa Gowa yang memeluk Islam pada tahun 1605 dan kemudian membentuk Kesultanan Makassar. Bima yang saat itu menjadi taklukan Gowa kemudian memeluk agama Islam (Steenbrink 2013). Sebagai daerah taklukan, Bima mengirim upeti kepada penguasa Gowa yang juga diambil dari tanah Manggarai seperti hasil bumi dan ternak (Daeng 1995).
Keadaan ini bertahan hingga tahun 1667 saat diadakan Perjanjian Bungaya antara VOC dan Kerajaan Gowa yang saat itu menguasai Bandar Makassar. Gowa yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut tetap melakukan perlawanan dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin hingga akhirnya dikalahkan oleh VOC pada 1669. Perlawanan ini dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669). Daerah yang berhasil lepas dari kekuasaan Gowa akibat perjanjian dan perang ini adalah Makassar, Bone dan Bima. Pada tahun 1669, Bima kemudian menyerah dan menandatangi suatu perjanjian dagang dengan VOC. Selanjutnya, Bima menjadi penguasa tunggal atas Manggarai yang diakui oleh VOC (Daeng 1995).
Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo (Daeng 1995). Pada tahun 1727, seorang putra Sultan Bima mempersunting seorang Putri dari Kesultanan Makassar, Puteri Daeng Tamima. Kawasan Manggarai kemudian diserahkan sebagai hadiah perkawinan dan Puteri Daeng Tamima mendirikan Kerajaan Islam di Reo, pantai utara Manggarai. Sultan Musa Lani Alima dari Bima ternyata tidak setuju menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada Kesultanan Makassar. Maka, pada tahun 1732 dibentuklah persekutuan dengan Bajo untuk menyerang Reo dari laut dan mengusir orang Makassar di Reo. Akan tetapi, serangan ini gagal sehingga disusun kekuatan baru dengan bantuan Todo dari arah selatan (Daeng 1995).
Todo menggunakan kesempatan ini untuk memperoleh hegemoni dan pengaruh atas pedalaman Manggarai dengan menaklukkan penguasa-penguasa lokal di pedalaman. Akibat kekuatan yang tidak seimbang, maka Puteri Daeng Tamima akhirnya menyerah dan kembali ke Makassar. Dengan demikian pengaruh Bima atas Manggarai tetap dapat dipertahankan (Daeng 1995).
Setelah mengamankan kekuasaan di Manggarai, Bima menjadikan Reo sebagai pusat pemerintahan di Manggarai dengan mengangkat perwakilan Sultan Bima yang disebut Naib. Perwakilan Sultan Bima yg kedudukannya lebih rendah dari perwakilan di Reo juga ditempatkan di Labuan Bajo, Pota dan Bari. Di Manggarai, Kesultanan Bima mempelopori suatu sistem pemerintahan yang disebut kedaluan dan gelarang. Gelarang memiliki status dibawah Kedaluan (Daeng 1995).
Pada tahun 1732, situasi struktur pemerintahan di Manggarai adalah perwakilan Sultan Bima di Reo, Pota, Bari dan Labuan Bajo, tiga dalu besar; Todo, Cibal dan Bajo yang tidak mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo dan juga dalu-dalu kecil lainnya. Selanjutnya, Dalu Todo juga membawahi tiga belas kedaluan yang lebih kecil yaitu Kolang, Lelak, Wontong, Welak, Ndoso, Ndeles, Rahong, Ruteng, Poco Leok, Torok Golo, Sita, Riwu dan Manus, namun tetap membayar upeti kepada Naib di Reo. Sementara itu, Dalu Cibal dan Dalu Bajo tidak membawahi dalu-dalu kecil lainnya namun juga membayar upeti kepada Naib di Reo (Daeng 1995).
Kedaluan yang mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo adalah Ruis, Pasat, Nggalak, Rego, Pacar, Boleng, Kempo, Nggorang, Mburak, Lo’ok dan Lambaleda. Sementara itu, kedaluan yang berada dalam garis koordinatif dengan Naib di Pota adalah Congkar, Biting dan Rembong (Daeng 1995). Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Bima di Manggarai dan juga daerah kekuasaan Dalu besar yang ada maka jumlah kedaluan di Manggarai pun bertambah. Pada perkembangannya, daerah Manggarai terbagi dalam 38 kedaluan (Steenbrink 2013).
Naiknya hegemoni Dalu Todo rupanya tidak disukai oleh Dalu Cibal yang menganggap Dalu Todo bukanlah Manggarai asli melainkan keturunan Minangkabau. Rivalitas diantara kedua Dalu ini kemudian menghasilkan beberapa peperangan terbuka yang kemudian dimenangkan oleh Dalu Todo. Keberpihakan Bima terhadap Dalu Todo terjadi akibat aliansi yang terbentuk dalam menyerang Reo. Namun, sebenarnya Bima tidak mempunyai kepentingan terhadap perselisihan yang terjadi diantara kedua dalu tersebut selain mengamankan pengaruh mereka atas Manggarai (Daeng 1995).
Asal usul Dalu Todo atau pemimpin kedaluan tersebut yang berasal dari Minangkabau memang masih sulit dibuktikan secara ilmiah mengingat sedikit sekali catatan sejarah mengenai Manggarai, kecuali menggali dan menganalisa dari catatan sejarah kebudayaan lain yang terkait, seperti Bima, Makassar (Gowa) ataupun Minangkabau. Cerita masa lampau dan asal usul di Manggarai masih disampaikan turun menurun secara verbal.
Tidak adanya akses ke pendidikan mengakibatkan budaya Manggarai pada masa lampau tidak mengenal budaya literasi dalam konteks membaca dan menulis. Beberapa orang mungkin mempunyai kemampuan tersebut terutama yang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain di derah pesisir ataupun karena intervensi dari misionaris (Pemerintah Kolonial Belanda) dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah misi yang ada di Flores. Misionaris dan Pemerintah Kolonial Belanda juga telah membantu memberikan referensi sejarah Manggarai sejak awal 1900 melalui penelitian-penelitian etnologi.
Minangkabau
Namun bila kita kaitkan dan lihat lebih jauh mungkin saja cerita ini bisa di telaah berdasarkan catatan sejarah dan riset yang ada. Suku Minangkabau dan Makassar dan Bugis merupakan sedikit dari suku-suku di Indonesia yang melakukan perantuan pada masa lalu (Persoon 2002). Wilayah yang diliputi juga cukup besar. Suku Minangkabau merantau hampir diseluruh kawasan Asia Tenggara termasuk kawasan Indonesia Timur. Salah satu perantau awal dari Minangkabau bermukim di kawasan Negri Sembilan di Semenanjung Malayu dan menjadi bagian dari Negara Federasi Malaysia.
Suku Makassar ataupun Bugis diketahui melakukan pencarian teripang hingga ke pesisir utara di benua Australia dan melakukan perdagangan hingga ke Madagaskar. Ada kemiripan yang mendasari perantuan suku-suku ini, yaitu perdagangan atau faktor ekonomi. Namun, ada satu hal yang berbeda dari Suku Minangkabau yang juga mendorong suku ini untuk merantau, yaitu budaya Matrilineal (Persoon 2002).
Orang Minangkabau akan pergi merantau dan enggan untuk kembali sebelum meraih kesuksesan. Suatu pegangan hidup yang ditanamkan oleh para Ibu di Minangkabau kepada anak laki-lakinya yang kini menjadi lebih umum bagi suku-suku lain di Indonesia. Anak laki-laki Minangkabau akan merantau dan keluar dari rumah saat dewasa karena menyadari bahwa rumah dan tanah menjadi hak bagi Saudarinya, apalahi bila saudari mereka sudah menikah dan mempunyai anak. Suatu budaya yang diperkenalkan oleh nenek moyang legendaris masyarakat Minangkabau Datuak Katamanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sebatang. Mereka berdua yang dipercaya menyusun sistem adat Minangkabau atau yang dikenal dengan Lareh Bodi Caniago pada sekitar tahun 1200, jauh sebelum Agama Islam masuk ke Minangkabau (Batuah AD dan Madjoindo AD 1959).
Menurut catatan dalam Suma Oriental oleh Robert Pires, diketahui bahwa pada sekitar awal tahun 1500 terdapat Tiga Raja yang berkuasa di Minangkabau; Raja Alam, Raja Sabda dan Raja Ibadat (Cortesao A 1944). Menurut catatan yang dibuat antara tahun 1513-1515, disebutkan bahwa dari ketiga Raja Minangkabau tersebut hanya satu yang telah memeluk Agama Islam sejak 15 tahun sebelumnya. Ini artinya, Agama Islam mulai berkembang di sebagian masyarakat Minangkabau pada sekitar tahun 1498 – 1500.
Seperti dijelaskan diawal, budaya merantau Minangkabau yang kuat berdampak pada migrasi besar-besaran sekitar tahun 1500 an (Dobbin 2008). Banyak orang Minangkabau yang pindah ke sisi Timur Sumatera bahkan hingga ke Semenanjung Malaya karena adanya Kesultanan Malaka dan jalur perdagangan yang ramai. Kesultanan Malaka saat itu memang dipengaruhi oleh Islam namun pada pelaksanaan hukum dan pemerintahan tidak didasarkan sepenuh pada nilai-nilai Islam (Halimi 2008). Demikian pula dengan situasi masyarakat Minangkabau saat itu. Masyarakat Minangkabau baru menerapkan ajaran Islam sepenuhnya setelah meletusnya Perang Paderi (1803-1838), akibat konflik antara Kaum Adat dan Kaum Paderi (Ulama).
Setelahnya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak orang Melayu termasuk Minangkabau yang berimigrasi ke Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Saat itu Kerajaan Gowa belum memeluk Islam dan orang-orang Melayu ini lah yang memperkenalkan Islam hingga Kerajaan Gowa memeluk Islam pada awal tahun 1600 yang juga kemudian mempengaruhi Kerajaan Bima.
Hipotesa Keturunan Minangkabau di Manggarai
Bila melihat dari catatan sebelumnya dimana pada tahun 1732 telah terdapat 3 dalu besar di Manggarai termasuk Todo, dan belum berkembangnya Islam di Manggarai, maka hipotesa yang bisa dibangun adalah sebagai berikut:
Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari suku Minangkabau yang merantau pada sekitar abad ke 12 sampai abad ke 14 saat telah berlaku budaya Matrilineal. Namun kemudian, mengapa budaya tersebut tidak diterapkan di Todo masih perlu diteliti. Mungkin saja para perantau awal ini adalah mereka yang menolak budaya Matrilineal.
Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari Suku Minangkabau yang merantau ke Sulawesi Selatan pada abad ke 15 dan 16. Diketahui bahwa suku Minangkabau telah bermukim di Makassar sejak tahun 1490. Sebagai bandar yang cukup besar pada masanya, sangatlah mungkin Makassar dihuni oleh suku-suku lainnnya seperti Bugis, Luwu dan bahkan Bima. Kawin campur mungkin terjadi dan pengaruh Islam masih belum terlalu kuat. Dengan hubungan antara Gowa dan Bima, juga karakter Minangkabau dan Bugis/Makassar sebagai perantau dan penjelajah, mungkin terjadi bahwa perantau Minangkabau ini ataupun keturunannya ikut dalam ekspedisi ke Manggarai dan bermukim didaerah Todo hingga berkembang sampai saat ini. Abad ke 15 sampai dengan awal abad ke 17 bisa dikatakan sebagai masa peralihan dimana Kerajaaan-Kerajaan di Nusantara mulai memeluk Islam. Namun pengaruhnya dalam pemerintahan dan hukum belum begitu kuat, sehingga masih banyak masyarakatnya yang berpegang kepada adat istadat dan budaya. Hal ini juga terjadi di Kerjaan Minangkabau dan Kerajaan Gowa sehingga sangat mungkin perantau Minangkabau yang datang ke Manggarai masih berpegang kepada adat dibanding agama yang masif relatif baru.
Pertanyaan mengenai budaya matrilineal yang tidak diwariskan juga akan muncul. Namun hipotesa ini menjelaskan bahwa mungkin saja para perantau ini punya motif yang sama dengan perantau di hipotesa pertama, yaitu menolak Matrilineal atau bisa saja para perantau ini adalah suku Minangkabau yang telah menetap beberapa saat di Makassar sebelum melanjutkan perjalanan ke Manggarai. Sebagai pendatang di Makassar yang adalah patrilineal, bukan tidak mungkin Suku Minangkabau ini kemudian mengadopsi sistem yang sama. Faktor kawin campur dan eksposur terhadap budaya lain bisa mempengaruhi kenapa sistem kekerabatan matrilineal tidak dibawa ke Manggarai.
Perbudakan dan Perlawanan
Kondisi topografi dan geografi pada masa lampau menyebabkan sulitnya akses ke daerah pedalaman Manggarai. Sehingga terdapat perbedaan jelas antara penduduk di daerah pesisir yang didominasi suku Bima, Makassar dan Bugis dan penduduk Manggarai di daerah pedalaman. Hingga tahun 1900, penduduk di pedalaman mempunyai perasaan takut yang mendalam tehadap pendatang karena risiko penyerangan dan dijadikan budak (Steenbrink 2002).
Pada tahun 1700, di Batavia telah terdapat suatu desa dengan nama Manggarai yang dinamakan karena banyaknya budak yang berasal dari Flores bagian Barat (Steenbrink 2002). Mereka mengumpulkan pajak, hasil bumi, ternak dan juga budak dari penguasa lokal (dalu) dipedalaman Manggarai (Steenbrink 2013).
Pada 1 Januari 1860, Pemerintahan Kolonial Belanda menghapus perbudakan di Hindia Belanda. Akan tetapi budak-budak di Pulau Sumbawa yang sebagian berasal dari Flores bagian Barat baru benar-benar dibebaskan pada tahun 1910 (Steenbrink 2013). Sementara di Flores Barat sendiri praktek pengambilan budak baru benar-benar hilang saat Belanda secara resmi mengambil alih kekuasaan pada 1908.
Pada tahun 1783 diadakan suatu perjanjian tertulis antar Sultan Bima, Abdulkadim dengan sejumlah Dalu di Manggarai yang isinya mengingatkan kembali pengakuan Belanda terhadap kekuasaan Bima di Manggarai pada tahun 1669. Persetujuan ditandai dengan penyerahan alat-alat upacara kebesaran dan senjata kepada sejumlah perwakilan Dalu. Akan tetapi, isi perjanjian tersebut membuat hubungan antara Bima dan penduduk pedalaman Manggarai menjadi tidak seimbang dimana kedaluan di pedalaman dilarang melakukan hubungan dagang dengan pihak lain. Sementara itu, Bima hanya menerima pajak, upeti dan budak dari kedaluan yang ada. Penduduk Bima, Bugis atau Makassar yang beristrikan orang dari pedalaman Manggarai dilarang tinggal di derah kedaluan karena akan mencemari adat dan agama. Ini pula yang membuat Agama Islam pada saat itu tidak bisa berkembang di Manggarai yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan lokal (Steenbrink 2013).
Melalui persetujuan pada 1783, Bima telah memainkan peranan penting dan pengaruhnya terasa sampai jauh ke pedalaman. Sehingga timbul reaksi dan perlawanan dari pemimpin lokal, apalagi dengan adanya kekuatan baru yang muncul, Todo.
Pada tahun 1860, Dalu Todo menentang Bima secara resmi dengan menolak kekuasaan Sultan Bima. Pada tahun 1905, Todo menolak untuk membayar upeti pada saat penobatan seorang Sultan baru di Bima. Pada tahun 1915, saat seorang Sultan Bima wafat, seluruh Kedaluan di Manggarai menolak hadir pada saat upacara pemakamam dan menyatakan diri bebas dari Bima (Daeng 1995).
Runtuhnya Kekuasaan Bima
Pada awal 1900, kekuasaan Bima di Manggarai mulai memudar. Pada tahun 1908, Belanda secara resmi melakukan kegiatan administratif di Manggarai. Selanjutnya, pada tahun 1913, terjadi perubahan dalam struktur Kesultanan Bima dimana teritori Manggarai dibawah Raja Naib di Reo dinyatakan terpisah dari Kesultanan Bima dan menjadi unit administratif tersendiri. Perubahan struktur VOC ke Pemerintah Hindia Belanda juga mempengaruhi eksistensi Bima di Manggarai. Dengan dibubarkannya VOC pada 1 Januari 1800, maka perjanjian Bima dan VOC pada tahun 1669, tidak lagi relevan dan Pemerintahan Hindia Belanda yg baru mempunyai preferensi yang berbeda tehadap tanah jajahannya di Flores, termasuk salah satunya untuk pengembangan Agama Katolik.
Pada awalnya, Pemerintah Hindia Belanda masih mempertimbangkan untuk mempertahankan keturunan Sultan Bima sebagai penguasa Manggarai yang terpisah dari Bima. Namun, karena situasi yang telah berubah dan penolakan dari penguasa lokal di Manggarai, maka Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niat tersebut dan diantara tahun 1927 dan 1929 Pemerintah Hindia Belanda membuat keputusan untuk memulangkan semua pegawai pemerintahan yang berasal dari Bima (Steenbrink 2013).
Selanjutnya, anak bungsu dari Tamur, pemimpin Kedaluan Todo yang bernama Baroek dinominasikan untuk menjadi Raja Manggarai (Radja van Manggarai). Baroek yang lahir pada 1900 telah dididik pada sebuah sekolah Misi di Ende. Sementara menunggu Baroek yang sedang menempuh pendidikan kembali ke Manggarai, Belanda menomminasikan Kraeng Bagoeng yang juga berasal dari Dalu Todo untuk menjadi Raja Manggarai pada tahun 1924 (Steenbrink 2013).
Kekuasaan Bima di Manggarai berakhir secara resmi pada tanggal 21 April 1929. Sementara itu, Baroek di inagurasi menjadi Raja yang baru pada tanggal 13 November 1930. Radja Bagoeng yang adalah Raja Manggarai sebelumnya berganti menjadi Raja Bicara Manggarai (Radja Bitjara van Manggarai). Keputusan final ini menandai berakhirnya kekuasaan Muslim Bima di Manggarai dan diganti dengan Penguasa Katolik lokal dari Manggarai dibawah pengawasan Belanda. Pusat pemerintahan yang sedianya berada di Reo juga dipindahkan ke Ruteng (Steenbrink 2013).
Raja Bagoeng dan Raja Baroek wafat pada masa Kemerdekaan dan masa transisi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya, kekuasaan Raja Manggarai diteruskan oleh Kraeng Ngambut yang juga berasal dari Todo. Kepemimpinan Kraeng Ngambut berlangsung sejak masa transisi Kemerdekaan Indonesia, Manggarai sebagai daerah Swa Praja hingga akhirnya ditetapkan sebagai Kabupaten.
Semenjak menjadi Kabupaten hingga saat ini, Manggarai telah dipimpin oleh tujuh Kepala Daerah. Bupati pertama adalah Bapak Karolus Hambur yang kemudian digantikan oleh Bapak Frans Sales Lega. Nama Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandara di kota Ruteng. Bupati yang ketiga adalah Bapak Frans D. Burhan yang kemudian diteruskan oleh Bapak Gaspar Parang Ehok. Bapak Anton Bagul dan Bapak Kris Rotok meneruskan kepemimpinan daerah hingga Manggarai saat ini dipimpin oleh Bapak Deno Kamelus bersamaWakilnya Bapak Viktor Madur.
Manggarai juga mendapat pengaruh budaya oleh pendatang dari berbagai macam latar belakang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Padang, Bali, Makasar, Belanda, Portugis, termasuk penduduk Pulau Flores dan penduduk NTT dari daerah lain. Hal ini telah memperkaya dan membentuk keanekaragaman budaya di Manggarai.
Referensi:
1944, Cortesao A., The Soma Oriental of Tome Pires, Hakluyt Society, Vol. 2, London
1959, Batuah A.D dan Madjoindo A.D., Tambo Minangkabau dan Adatnya, Balai Pustaka, Jakarta.
1995, Daeng H. ‘Manggarai Daerah Sengketa Antara Bima dan Gowa’, Humaniora 11.
1997, Zuhdi S. and Wulandari T.,’Kerajaan Tradisional di Indonesia: BIMA’, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.
2002, Persoon G.A., Defining Wildness and Wilderness: Minangkabau Images and Actions on Siberut (West Sumatra), ‘Tribal Communities in the Malay Worlds: Historical, Cultural and Social Perspectives’, pp. 439-456, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
2002, Steenbrink K., ‘Flores: Efforts to Create Modern and Christian Society’, Catholics in Indonesia 1808 – 1942. Chapter: 3.
2008, Dobbin C., Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784 – 1847, Komunitas Bambu, Jakarta.
2008, Halimi A.J., Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.
2013, Steenbrink K., ‘Dutch Colonial Containment of Islam in Manggarai, West-Flores, in Favour of Catholicism, 1907-1942’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 169, Pp. 104-128, Brill.
Paju Lae, hitu ngasang empo laring sain diset Cibal. Danong, mensia agu darat (kakartana) ruis tau kaeng, neho rahit le saung ri' kaut. Di'a keta gauk sama tau. Sampe saep du sekeng da'et. Sa' leso, Paju Lae ngoeng te pande compang. Eme pande compang, perlu watu mese. Toem danga mberes de mensia te teti watu mese (eros). Landing, de darat, emong koed. Wiga ga, tegi sampe de darat. Jangka sama , reje leleng ise. Mai jaong de darat so': Ngance lami sampe ite te pande compang hitu landing tegi dami ne nggo'. Eme reme kerja gami, neka keta manga lolo kong dengang de asu. " hitu tegi dise. "Mau ta ite, ami ngance pande apa ata tegi dite situ. Mai one mai bantang sama, reje leleng hitu ga, pande le darat so compang hitu. Watu eros teti taung lise. Idek go.... lako kraeng (nggaeng Cibal) lupi nitu, agu lut kin asun. Isuk lawer rinsi ransang de darat, lolo agu dengang asu so'. Woko denge kaut lolo e asu, lego seroda kaut kerja de darat so, losi ngo ngger one tempat ata aman latang ise. Toe dim polin Compang ho'. Lanar watu u ata kembelambong kit nitu.
Hitu nunduk mangan Compang Cibal hiot lanar kin watu ata kembelambong kit ai wajol toe dim poli le darat kerjan, losi wung ta' ise ga wajol lolo de asu.
Sumber Nunduk: Maksi Adil, wae de Paju Lae. Tombo one Tlpn 12 Agustus 2015 pkl 19:00 - 20.00 pm. JPS, 14 Agustus 2015.
2 . COMPANG PACAR (15. COMPANG PACAR)
Wa
Pacar, Kecamatan Macang Pacar, Manggarai Barat - Flores manga
compang. So' nunduk Compang Pacar ho? Ne nggo' nunduk.
Mede,
manga
sengata Adak Pacar. Hia ho'ata mbeko eros. Hia kudut pande
Mbaru. Poka haju Lale hia te pande siri agu bantal mbaru. Reme soso
balokn
hia, manga lawo munggis (asu nggowe / asu de poti) labar lupi nitu. Deko
liha aso nggowe situ, na' one
sikang. Asu nggowe so' manga ata ngara'd. De darat morid. Asu nggowe so'
paeng
de darat. Gereng de darat asu nggowe so', toe tara kole mbaru.Ngo
kawe le darat so' asu nggowe so'. Sumang tau agu Mori Adak Pacar ho'.
"Ole, aku
ta, manga mora asu nggowe,sala manga ita koed lite,"ngge de darat
kamping Mori Adak Pacar. "Mau ta, one kandang dakus, ai
ise katut osang daku," wale de Mori Adak Pacar. "Ole...
ta,baeng koe me,lego koes lite, laki dat perlu laku paeng
situ," sawal de darat. "Nggo to, eme perlud lite paeng situ, so'
jangka kali. Aku nganceng lego kole paeng dite istu eme
ite lorong tegi daku," jaong de Mori Adak Pacar. "Ole...,
tegi apa keta dite ta, nganceng pande agu kawen
lami," wale de darat. "Meu paka pande compang
one sa wie kaut latang empo dami," jaong de Mori Adak Pacar.
"Eng ta ite, ngance lami pande compang dite hitu asal
lage koe asu paeng (nggowe daku) situ,"wale de darat. "Eng, pande
lite, aku lego
tong asu nggowe dite,"jaong de Mori adak Pacar. Emi one mai
sikang liha asung nggowe so'. Lego wiga kole mbaru de
darat ho'. Landing paka pinga lite. Eme reme kerja ami, neka manga
ngai ngaok one tempat kerja dami. Eme ngai ngaok, lego lami kerja
hitu" jaong de darat ho'. Eng..... wali de Mori Adak Pacar.
Darat ho' benta ase kaen te pande Compang ho'. Teti
watu mese lise wa one beo Pacar. Watu situ emi wa
mai Tureng, Boleng. Sibuk kerja de darat so'. Du keta sibuk
kerja dise, Wina de Mori Adak Pacar (reme weki mendon) wela du serehang
tana wajol bek sio. Ine wai' ho' sio one lewo,
hena one saung haju Lale / saung muku wa ngaung mbaru bate kerja
de darat so'. Runin sio
ata henang saung Lale hitu: Pit...pot... pit....
pot...pit...pot......Runi titik sio ho' neho te wewa
darat so't ngai kerja pande compang. Compang ho' toe
dim polin. Latang runi sio: pit... pot...ho', pikir
dise ngai ngok tanda gerak tana ga. O...legon lise kerja hitu. Jadin
ga.... Compang hitu toem polin. Do watu ata ngai nggel nggaur kid.
(Tombo
de Kraeng Frans......../ Ema'd Mery, wa mai Pacar. Tombo
du manga acara Naka Beka Kilo Ema Gaba Ngatul -Ende Bertha ,
wa Satar Terang, 12 Agustus 2013.....Ketik, JPS 18 -11-2013).
3. COMPANG KER - KOLANG
4.Compang Kilor -Pong Lembor - Wae Bangka - Lembor One beo Kilor, Pang Lembor, Wae Bangka Lembor, manga compang. Le tombo, compang ho' pande le darat (ata pele sina).Tombon neho tombo compang Pacar. Ata pele sina situt kerja manga ata 7 du wangkan. Manga ata sio one wancang. Sio hitu pau' one lewo. Ne nggo' runin ata denge le ata pele sina: Pit.... pot.... pit pot. Pot pit...., poli ata pitu., pit pat...... poli ata pat.
Ngo' jaong de ata pele sina so', ae..... toe di'an latang ami te pitu / pat ho'. Wajol toe aman rasan lise, ise lego kerja hitut ata toe di poli. Manga watu wae one salang ngger one wae teku one Kilor.
(Dikisahkan oleh Kraeng Kons - dari Lalang / Lale - Lembor wa Mbaru dise Bp Juan, 1 Januari 2016).
Ada suatu kisah, dimana seorang laki-laki dan perempuan yang sudah lama
kenal, mereka saling mencintai, lalu sang lelaki ingin menikahinya.
Namun ketika menghadap keluarga sang wanita dan ayah sang wanita
menanyai asal-usulnya, ayah sang wanita menjadi tak setuju karena mereka
masih berkerabat.
Mengapa hal itu terjadi? Apa salahnya menikah dengan kerabat sendiri?
Ilustrasi / tceygpt.weebly.com
Ternyata, menikah dengan kerabat akan menyebabkan keturunan yang
dilahirkan cacat. Hal ini sudah terjadi di desa Kush, Mesir. Karena
menikah disana membutuhkan biaya yang sangat mahal, maka orang tua
menikahkan anak-anak mereka dengan kerabat sendiri. Hasilnya, 60%
keturunan mereka lahir cacat.
Imam Syafi'i juga pernah mengungkapkan, bahwa wanita yang menikah dengan
lelaki di kalangan keluarganya, anak yang dihasilkan akan lemah
pikirannya.
”Pernikahan dengan saudara kandung atau saudara yang sangat dekat bisa
meningkatkan secara drastis kemungkinan mendapatkan dua salinan gen yang
merugikan, dibandingkan jika menikah dengan orang yang berasal dari
luar keluarga," jelas Debra Lieberman, ilmuwan ilmu genetika dari University of Hawaii.
Selain merugikan dari keturunan yang didapatkan, menikah dengan kerabat
tidak menambah saudara. Karena yang dinikahi memiliki saudara yang sama.
Jadi bukan hanya sekedar dosa, tapi keturunan yang dihasilkan pun akan lahir tidak sempurna.
Ende tua dami, ngasangn Martina Waweng, one mai Uku Ndiwar
Ne ngoo' Nundukn:
Ronggo (Ndiwar) vs Rawung ( Kawong): Waweng, Ngantur, Ongkom, Bawung
1. Waweng vs Baduk (Nua 2 - Wela):
Kornelis Garu, Gaspar Nganggu, Agnes Kindung, Gabriel Ngatul, Lusia Daem, Paulus Habut, Regina Anem, Antonia Nia, Yakobus Babur
2. Ngantur (Wawa) vs Ndiung (......): Gabriel Gabu ( Guru Gaba)
3. Ongkom vs Agnes Kanu (uku Welo - Wela): Lena Ganul, Geradus Jeharut, Herman John, Sia
Tinjak, Herman Don
4. Bawung vs Hatal (uku Cireng - kaeng sale Lambur - Kolang): Alo Apul
Sumber: Geradus Jeharut (Ema'd Vero).; hasil ngobrol di Ntalung Pada - Wela, Jum'at, 10 Juli 2015
Membangkitkan Adat di Manggarai:
By: Retsky Anugrah W.P.
Retsky menganalisa tulisan Maribeth Erb: Adat Revivalism in West Flores culture, Religion, and Land.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari tulisan Erb ini adalah:
Adat memberikan kepastian di tengah ditidakpastian reformasi. Adat juga mampu menyatukan kekuatan masyarakat di tengah ketidakpastian klaim-klaim negara yang dianggap merugikan masyarakat adat. Sedangkan menjadi katolik adalah bagian dari adat itu sendiri, karena dengan menjadi Katolik sekaligus mempunyai adat adalah langkah politik masyarakat di tengah-tengah gurita otoritas pemerintah yang hendak mencaplok tanah dan properti material lainnya milik masrarakat Manggarai.
Membangkitkan Adat di Manggarai, Flores Barat
Review tulisan: Adat Revivalism in Western Flores Culture, Religion, and Land. Penulis: Maribeth Erb. (Bab p .
Sejumlah orang Manggarai mengakui bahwa nenek morang mereka berasal dari Sulawesi Selatan. Hal ini ada benarnya terutama bila ditinjau dari aspek bahasa. Ada beberapa komponen yang membenarkan hal ini.
Pertama, kosa kata.
Antara bahasa Manggarai dengan bahasa Makasar ada beberapa kata yang sama, misalnya: Keraeng (Manggarai), Karaeng (Makasar)
Kuliner:
Makasar memiliki kuliner Pallu Mara, sedangkan Manggarai memiliki kuliner Pelmara. Pelmara adalah kuliner yang merupakan daging yang dicampur dengan darah dan daun-daun, misalnya saung uwu (daun yang rasanya agak asam). Perpaduan daging yang dicampur bersama darah dan "saung uwu" sangat nikmat. Ini yang disebut Pelmara. Permara biasa ada pada saat perta perkawinan (nikah, wagal, dll).
Asesoris budaya:
gong gendang, keris dan kain penutup kepala yang dalam bahasa Manggarai disebut Sapu. Sapu itu sekarang bisa dibuat topi permanen.