TARIAN CACI, WARISAN LELUHUR MANGGARAI
Secara sederhana, Caci bisa dideskripsikan sebagai pertarungan antara dua orang pria, satu lawan satu, secara bergantian. Yang seorang menjadi pihak yang memukul dalam bahasa setempat disebut Paki dengan menggunakan Larik atau pecut yang biasanya terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang sudah kering; sedangkan pihak lain akan menangkis (dalam bahasa Manggarai disebut Ta’ang) pukulan sang lawan dengan menggunakan Nggiling atau perisai, juga terbuat dari kulit kerbau dengan tambahan Agang (dikenal juga dengan nama Tereng) atau busur yang terbuat dari bambu dan di lilit dengan rotan
Caci
Caci menurut berbagai sumber termasuk tokoh ada Manggarai bisa dibahasakan sebagai permainan atau tarian perang yang dilakonkan dua pria jawara dari dua kelompok yakni Ata One (warga kampung) dan Ata Pe’ang (pendatang) yang disebut juga Landang (penantang). Mereka mengenakan pakaian perang berupa celana warna putih bersalut kain adat Songke warna hitam, ukuran selutut yang diikat erat agar tidak lepas saat tanding. Sementara, di bagian dada dibiarkan telanjang. Kepala jawara ini bertutup Panggal, yaitu tameng semacam tanduk kerbau terbuat dari kulit kerbau yang keras dan dilapisi serta dihiasi kain warna-warni. Panggal dipasang di kepala sampai menutup sebagian muka dan dilapisi dengan Sapu (destar) atau handuk.
Saat dua orang sedang bermain, anggota kelompok lain akan memberikan dukungan dengan tari-tarian sambil menunggu giliran untuk bertanding. Lokasi pertandingan biasanya adalah di Natas Gendang atau halaman rumah adat, dan biasa dimainkan pada upacara-upacara adat besar seperti Penti. Dewasa ini tarian Caci bagi orang Manggarai dipentaskan untuk memeriahkan acara-acara khusus baik yang bersifat adat maupun tidak, seperti syukuran hasil panen, pentahbisan imam, atau penerimaan tamu adat maupun kenegaraan.
Caci, sering disebut sebagai olahraga ketangkasan yang jantan, terutama karena aturan bermainnya, di mana ketika yang lain memukul atau paki, maka pihak lain harus menangkisnya (ta’ang) dan juga akan mendapat kesempatan memukul. Begitu seterusnya sampai pada bagian akhir, akan ada pihak yang dinyatakan menang dan ada pihak yang kalah. Menang dan kalah ditentukan oleh hasil atau capain sukses pukulan larik. Jika hanya mengenai atau melukai badan, tidak dihitung sebagai nilai.
Poin sesungguhnya bisa diraih jika ada pukulan yang mengenai wajah atau muka lawan. Masyarakat Manggarai umumnya mengenal kondisi ini sebagai Beke, meski beberapa Kedaluan (Hamente) lebih mengenal istilah Rowa untuk kondisi ada pecaci yang luka akibat pukulan lawan di bagian wajah.
Jika dia mampu menangkis pukulan penantang, pukulan cambuk itu tidak mengenai badannya mulai dari pinggang hingga kepala. Kalau tidak, dia akan menderita luka. Tetapi kalau cambuk mengenai mata disebut beke (kalah) dan harus segera diganti baik lawan maupun penantangnya.
Caci Yang Magis
Dalam penuturan para orang tua Manggarai, di masa lalu, beberapa pecaci bahkan mengalami kondisi Beke atau Rowa yang parah seperti biji mata yang jatuh ke tanah. Para tetua adat meyakini, kondisi ini disebabkan oleh sikap si petarung yang melupakan adat, atau tidak menghormati tradisi, atau juga melanggar ketentuan-ketentuan adat.
Caci, selain mengajarkan kemurnian hati, juga memuat unsur seni yang tinggi, karena para jawara tidak saja cakap bertanding, tetapi juga luwes lomes (menari) dan dere (menyanyi). Itu dimaksudkan menarik perhatian penonton, terutama gadis-gadis pujaan yang ikut menyaksikan caci dan ber-danding atau menyanyikan lagu-lagu tradisional mengiringi permainan caci.
Dalam konteks budaya modern, permainan caci sebenarnya adalah warisan sikap sportif dari para leluhur. Pemain tidak harus selalu membalas pukulan sang pemukul. Sang pemukul dapat digantikan yang lain untuk menangkis balasan pukulan. Caci juga tidak menyimpan sikap dendam di antara pemain. Karena setelah pertandingan Caci di siang hari, pada malam harinya para petarung akan berkumpul bersama untuk perayaan atau ritual adat lainnya dalam budaya Manggarai.
Di masa lalu, setelah menggelar caci di siang hari, malam hari biasanya dilanjutkan dengan danding atau tandak. Dalam acara ini peserta berbaris dalam sebuah lingkaran. Pria berdiri dalam satu kelompok, perempuan di kelompok lain. Antara kelompok pria dan perempuan berdiri berselingan. Lagu dan syair danding dijawab bersahut-sahutan antara pria dan wanita.
Inilah saatnya mencari jodoh bagi muda-muda yang masih sendiri dibantu watang (jembatan atau perantara atau comblang). Jika tidak keberatan, si gadis langsung dibawa lari (rook). Kemudian orangtuanya datang mencari. Tetapi sering juga dilanjutkan dengan tahap pacaran menuju ke jenjang perkawinan.
Caci di Manggarai mengajarkan banyak hal, seperti Kepahlawanan, Ketangkasan, Keindahan, Sportivitas dan Kemurnian Hati. Hal-hal lain yang selalu ada dalam tiap Permainan Caci adalah, kelompok pemusik, biasanya para wanita dan ibu-ibu yang selalu memainkan tetabuhan gong dan gendang untuk mengiringi pertandingan. Caci disebut juga sebagai tontonan kompleksitas budaya Manggarai dalam satu moment. Go’et atau syair pantun adat Manggarai, tari-tarian tradisional Manggarai, relasi sosial yang harmonis bisa dinikmati sebagai satu paket komplit dalam kegiatan ini.
Selain itu juga ada kelompok pemuda yang selalu siap dengan sopi atau tuak bakok (arak Manggarai), minuman khas yang selalu ada dalam setiap perhelatan budaya ini. Biasanya diminum oleh petarung untuk sekedar membangkitkan semangat dan menambah keberanian, atau juga dinikmati oleh penonton. Caci adalah perhelatan budaya yang indah, semarak dan menyenangkan.
Bagi orang Manggarai, pementasan caci merupakan pesta besar dimana desa penyelenggara memotong kerbau beberapa ekor untuk makanan para peserta atau siapa pun yang menyaksikan caci, secara gratis. Caci adalah warisan leluhur Manggarai yang tetap lestari sampai saat ini.
Refleksi:
Mengapa agang terbuat dari bambu? Karena bagi orang Manggarai, bambu itu simbol mitra penciptaan manusia. Dalam mitos, dua insan manusia pertama Manggarai lahir dari bambu. Maka bambu menjadi simbol manusia, terutama menjadi pelindung diri.
(Pertanyaan ini diajukan saudara Fery dari Timung, Kec. Wae Ri' - Manggarai, pada 30 Juni 2017 di Sukaresmi - Lippo Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, di kontrakan Pendik - Ellen).