Minggu, 18 Oktober 2015

Budaya Manggarai dalam Reflleksi Usman D. Ganggan - Gerson Poik

 
 Sejam Bersama Gerson Poyk:
 https://www.facebook.com/H.khairul.putro/posts/10204366357233496
Usman D Ganggang added 3 new photos.
9 hrs · Edited ·
Sejam Bersama Gerson Poyk:
"Kembali ke kearifan budaya tapi jangan berhenti di sana"
Berjumpa Opa Gerson Poyk, sastrawan kelahiran Rote Ndao ini, kita di bawah ke dunia antaberantah. bagaimana tidak, imajinasi kita digelandang ke mana saja. begitulah ketika saya jumpa darat dengan beliau, waktu begitu cepat berlalu tapi cerita tentang dunia sastra tak pernah habis.
Semua cerita yang diceritakan beramanat buat kita. Kita pun berusaha menemukan makna tersuratnya kemudian dicari makna tersiratnya. Dan akhirnya kita pun terseret ke dalam ceritanya. Mengasyikkan!
Saya terenyuh, ketika beliau menceritakan latar "Mutiara di Tengah Sawah", cerpennya yang ditulis ketika menjadi guru di Kota Bima NTB."Lama saya di Kota Bima, dan cerpen Mutiara di Tengah Sawah itu, saya tulis ketika berada di Bima", ceritanya.
Selanjutnya, Opa Gerson yang pernah lama hidup di Ruteng Flores itu pun, bercerita masa kecilnya di Kota Ruteng-Manggarai-NTB. Cerita masa kecilnya itu membuat saya tertawa, karena beliau bercerita bagaimana dia bersama kawannya karena lapar, mau tak mereka mencuri mangga dan kedapatan.ohkan anak Raja Manggarai, hehehe..., "Kami kan masih kecil koq disuruh untuk berjodoh", komentarnya sambil mengisap Dj Samsunya.
Lalu, bagaimana ceritanya "ENU MOLAS DI LEMBAH LINGKO?" tanya saya. Gerson yang pernah menerima Anugerah Sastra SEA WRITE AWARD (South East Write Award) dari Pemerintah Tailand di tahun 1989 itu pun bercerita. Kalau mimpi adalah via regia, jalan ke dunia tak sadar, maka Sastra saya, demikian Gerson, adalah jalan ke utopia. Novel saya, “ENU MOLAS DI LEMBAH LINGKO” adalah perjalanan ke utopia.
Ceritanya, dimulai dari seorang Profesor Matematika berlibur ke Kupang. Dia melihat terlalu banyak sarjana yang menganggur. Seorang gadis sarjana memipin sebuah sanggar yang anggotanya terdiri dari beberapa sarjana berbagai bidang. Ketika Sang Profesor mencari kuburan ibunya, ia bertemu dengan mereka di sebuah bangunan asal jadi. Sang Profesor terkejut melihat begitu banyaknya sarjana penggali kubur. Rupanya, mereka berharap untuk bisa hidup, meski banyak yang mati. Lalu dia mengajak mereka ke lembah lingko dan membuat kebun lodok lingko.
Dalam novel itu, Gerson Poyk menjelaskan bahwa iman diperkuat oleh cintakasih, cintakasih diperkuat oleh kerja yang bukan sembarang kerja. Tapi kerja yang memakai conceptual tool berupa bare maximum (kebutuhan maksimum untuk setiap individu). Kita belum mencapai bare maximum itu karena kita terasing dari bumi subur laut kaya. Kita di bumi subur dan laut kaya tapi kepala kita di padang pasir. Karena itu, Gerson Poyk mengajak untuk kita berusaha menghilangkan keterasingan itu, dengan kembali ke kearifan budaya kita tapi jangan berhenti di sana.
Kita harus melibatkan ilmu, sains, dan teknologi. Orangtua kita menghitung sector dan segemen kebun dengan tali dan jari, kita menghitung dengan computer (program Microsoft Office Exel). Nenek moyang kita memakai cangkul, kita memakai tarktor. Kita tidak perlu menjadi orang daerah saja, tetapi harus juga menjadi orang Indonesia dan warga dunia. Itu pula sebabnya,demikian Gerson, roh dari sastra saya sastra saya adalah humanism universal. “Dimulai dari absurs walls, diselesaikan dengan moral rebel, moderation”, ujarnya.
Di akhir pertemuan dengan penulis, dia bercerita. Dalam hidup itu harus menghayati kontradiktif.Di sana ada filsafat absurd. Jiwa kita jadi halus. Karena di situ ada intuisi kreatif. "Apalagi kalau kita bikin irigasi setetes, pastilah kita merasa senang", pesannya. Dan akhirnya, penulis ingat sebuah artikel yang pernah ditulis penulis. Ah...tentang jalan hidup seseorang, seperti Opa Geson Poyk ini.
Pertanyaannya, jalan mana yang ditempuh? Paling kurang, menjadikan hidup bak “musafir keong” (lamban tapi pasti) yang meninggalkan tetesan-tetesan kesejukan dan cinta di dalam hati antarmanusia, sepanjang perjalananannya. Walahuallam!***
Bersama Yoseph Yapi Taum, Yanti Christina, Buang Sine, Izna Turuk, Trisna Benteng Jawa, John Kadis, Gerard N. Bibang, Linda Tagie, Ronald Lein, Lanny Koroh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar