BELAJAR ADAT MANGGARAI (Bagian Keempat)
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1921121161543082&id=100009356516655
Penentuan Tata Adat Kebiasaan (Ruku agu Sake)
1) Untuk menjalankan sebuah upacara, orang Manggarai memiliki panduan baku. Salah satu panduan bakunya adalah tradisi yang diturunkan oleh leluhur melalui peraturan-peraturan baik menyangkut upacara, hewan kurban, waktu pelaksanaan maupun tata kebiasaan lainnya. Kebiasaan itu kerap disebut ruku, sake maupun ceki.
2) Ruku dalam bahasa yang paling mudah diartikan sebagai kebiasaan, adat istiadat yang ditradisikan turun temurun. Sake berarti kebiasaan. Dalam ujaran sering terdengar sebutan “lorong ruku agu sake dite” (mengikuti adat kebiasaan kita). Ada juga pernyataan: “nenggo’o rukun diten” (beginilah tradisi kita). Ujaran ini bermakna bahwa orang Manggarai memiliki adat-kebiasaan yang sudah ditradisikan dan menjadi pedoman atau panduan bagi usaha menjalankan kehidupan.
Ujaran yang kerap dijumpai juga “toe répeng péde-toe haeng tae” (secara harfiah berarti: tidak dapat pesan-tidak menjumpai pembicaraan, yang bermakna: tidak mengetahui tradisi dengan baik). Ujaran ini menggarisbawahi karakter dari nilai budaya yakni pewarisan.
3) Tradisi yang baik diwariskan melalui beberapa hal, antara lain, pertama, toing (pengajaran). Dalam kebudayaan orang Manggarai, toing dilakukan orang tua terhadap anaknya. Juga terhadap kelompok usia yang lebih muda dari pemberi toing. Toing tidak hanya dilakukan oleh manusia yang masih hidup tetapi juga oleh wura agu ceki, mori agu ngaran. Dalam konteks toing, ada waheng. Waheng adalah jenis toing dalam bentuk yang lebih kompleks. Bencana alam, misalnya, bisa menjadi sebuah perwujudan waheng bagi pribadi atau komunitas yang telah banyak melakukan kesalahan dan dosa.
4) Kedua, titong (pendampingan). Dalam menjalankan titong orang Manggarai memperhatikan pola berkata dan bertindak. Apakah ada kata dan tindakan yang keliru, langsung diperbaiki, entah secara pribadi maupun secara bersama dalam kelompok klan (wa’u). Misalnya seorang anak melakukan kesalahan, dia langsung didampingi. Namun ketika ada masalah besar yang melibatkan klan, maka pendampingan orang bersangkutan dalam acara khusus.
5) Ketiga, toming (mencontohkan). Orang tua mencontohkan kebajikan-kebajikan yang baik kepada anak-anak. Dalam cara memanggil misalnya orang tua memanggil anak dengan pola bahasa yang sopan: Papa, mai ga (Papa, marilah kita, padahal maksudnya anak). Atau, sebutan untuk orang ada dalam dua tingkatan. Sebutan hau berarti anda untuk sesame usia ataupun untuk lebih muda. Sedangkan panggilan ite ditujukan bagi yang berusia lebih tua dari pemanggil.
6) Toing, titong dan toming lalu diwariskan secara otomatis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pada pengaturan acara adat khususnya ritus-ritusnya. Penggunaan hewan kurban semisal kerbau (kaba) atau babi (ela) pada acara paka di’a (kenduri) merupakan kebiasaan (ruku) yang sudah disepakati. Demikian halnya hewan yang lain. Juga berhubungan dengan penentuan hari, jumlah hari dalam menjalankan ritus. Misalnya, untuk upacara Cear cumpe ada yang menentukan tiga hari pascanifas tapi ada juga yang lima hari. Lalu, pada saat kematian untuk menentukan Saung Ta’a (pembebasan dari masa berkabung) sesuai ceki (kebiasaan) ada yang ceki telu (tiga hari) ada yang ceki lima (lima hari).
7) Perulangan kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati kemudian membentuk tradisi. Tradisi ini diterima dan diakui sebagai sebuah keharusan. Lahirlah ruku agu sake, juga ceki sebagai bagian dari keyakinan yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat pemiliknya.
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1921121161543082&id=100009356516655
Penentuan Tata Adat Kebiasaan (Ruku agu Sake)
1) Untuk menjalankan sebuah upacara, orang Manggarai memiliki panduan baku. Salah satu panduan bakunya adalah tradisi yang diturunkan oleh leluhur melalui peraturan-peraturan baik menyangkut upacara, hewan kurban, waktu pelaksanaan maupun tata kebiasaan lainnya. Kebiasaan itu kerap disebut ruku, sake maupun ceki.
2) Ruku dalam bahasa yang paling mudah diartikan sebagai kebiasaan, adat istiadat yang ditradisikan turun temurun. Sake berarti kebiasaan. Dalam ujaran sering terdengar sebutan “lorong ruku agu sake dite” (mengikuti adat kebiasaan kita). Ada juga pernyataan: “nenggo’o rukun diten” (beginilah tradisi kita). Ujaran ini bermakna bahwa orang Manggarai memiliki adat-kebiasaan yang sudah ditradisikan dan menjadi pedoman atau panduan bagi usaha menjalankan kehidupan.
Ujaran yang kerap dijumpai juga “toe répeng péde-toe haeng tae” (secara harfiah berarti: tidak dapat pesan-tidak menjumpai pembicaraan, yang bermakna: tidak mengetahui tradisi dengan baik). Ujaran ini menggarisbawahi karakter dari nilai budaya yakni pewarisan.
3) Tradisi yang baik diwariskan melalui beberapa hal, antara lain, pertama, toing (pengajaran). Dalam kebudayaan orang Manggarai, toing dilakukan orang tua terhadap anaknya. Juga terhadap kelompok usia yang lebih muda dari pemberi toing. Toing tidak hanya dilakukan oleh manusia yang masih hidup tetapi juga oleh wura agu ceki, mori agu ngaran. Dalam konteks toing, ada waheng. Waheng adalah jenis toing dalam bentuk yang lebih kompleks. Bencana alam, misalnya, bisa menjadi sebuah perwujudan waheng bagi pribadi atau komunitas yang telah banyak melakukan kesalahan dan dosa.
4) Kedua, titong (pendampingan). Dalam menjalankan titong orang Manggarai memperhatikan pola berkata dan bertindak. Apakah ada kata dan tindakan yang keliru, langsung diperbaiki, entah secara pribadi maupun secara bersama dalam kelompok klan (wa’u). Misalnya seorang anak melakukan kesalahan, dia langsung didampingi. Namun ketika ada masalah besar yang melibatkan klan, maka pendampingan orang bersangkutan dalam acara khusus.
5) Ketiga, toming (mencontohkan). Orang tua mencontohkan kebajikan-kebajikan yang baik kepada anak-anak. Dalam cara memanggil misalnya orang tua memanggil anak dengan pola bahasa yang sopan: Papa, mai ga (Papa, marilah kita, padahal maksudnya anak). Atau, sebutan untuk orang ada dalam dua tingkatan. Sebutan hau berarti anda untuk sesame usia ataupun untuk lebih muda. Sedangkan panggilan ite ditujukan bagi yang berusia lebih tua dari pemanggil.
6) Toing, titong dan toming lalu diwariskan secara otomatis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pada pengaturan acara adat khususnya ritus-ritusnya. Penggunaan hewan kurban semisal kerbau (kaba) atau babi (ela) pada acara paka di’a (kenduri) merupakan kebiasaan (ruku) yang sudah disepakati. Demikian halnya hewan yang lain. Juga berhubungan dengan penentuan hari, jumlah hari dalam menjalankan ritus. Misalnya, untuk upacara Cear cumpe ada yang menentukan tiga hari pascanifas tapi ada juga yang lima hari. Lalu, pada saat kematian untuk menentukan Saung Ta’a (pembebasan dari masa berkabung) sesuai ceki (kebiasaan) ada yang ceki telu (tiga hari) ada yang ceki lima (lima hari).
7) Perulangan kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati kemudian membentuk tradisi. Tradisi ini diterima dan diakui sebagai sebuah keharusan. Lahirlah ruku agu sake, juga ceki sebagai bagian dari keyakinan yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat pemiliknya.
Gendang Tenda is with Cyprian Guntur and 4 others.
BELAJAR BUDAYA MANGGARAI (Bagian Kelima)
https://www.facebook.com/profile.php?id=100009356516655&fref=ufi
Parapihak dalam Ritus Adat
1) Apakah sebuah ritus adat Manggarai dapat dilakukan tanpa kehadiran pihak lain? Jawabannya: Tidak. Siapa saja yang harus hadir dalam ritual adat orang Manggarai? Ini temuan kami.
Setiap ritual adat, kehadiran pemilik acara adalah unsur konstitutif. Tidak bisa sebuah acara dibuat tanpa kehadiran pemiliknya. Pemilik acaralah, apapun namanya, yang mengundang pihak lain keluarga atau famili (ase-kae pa'ang olon-ngaungn musin), pihak penerima gadis (anak wina) dan pihak pemberi gadis (anak rona). Para pihak ini hadir dengan peran dan hak masing-masing.
2) Pihak ase-kae, anak wina dan anak rona menjadi saksi dalam ritual itu. Pada acara "kapu" (penerimaan secara resmi) pada anak rona akan dikatakan sbb: "Yo ruma, ai ite ende-ema, anak rona, ata ine watu cie-ame watu nare, ai comong agu wangkan dite, le rekok lebo, ro’eng ngoel, ngasang wing agu dading de anak dite…. one leso ho’o kali ga, kudu adak lite, cikop le’as, kudu anak ngger olon kali, neka manga koles rekok lebo, ro’eng ngoe one mose dise, kudu ise kali, petu kole sosor, kudu tiwu galang naang, woko hoo kali ite ngasang ende ema, weki neki ranga manga one leso hoo, reweng dami ngasang kesa, ngasang koa, toe manga banan lami ta ite, tuak keta dami ngasang kesa agu koa one leso ho’o, kudut kapu agu naka ite ngasang ende-ema, one leso hoo, kudu sendeng lobo bekek ited mori leso hoo, kapu lobo paa, ai hitus reweng ruku agu sake bao agu mede. Ho’o tuak dami ngasang kesa kudu rokot sangged tombo dami one leso ho’o, kudut kapu agu naka ite ngasang ende ema ata ine watu cie, ame watu nare. Yo ite, toe reweng kanang, kapok” (sambil menyodorkan sebotol tuak kepada anak rona).
3) Pihak yang telah di-"kapu" (misalnya anak rona) akan menjawab sbb: "Yo, neho reweng dami ngasang ende ema kole ite, ai comong agu wangkan dite, le rekok lebo-ro’eng ngoel, ngasang wing agu dading, de anak dami, koa dami, woko ho’o kali leson bog a, kudu adak cikop le’as, ho’o kole kami ende-ema weki neki ranga manga one leso ho’o, mesen keta nuk agu tenang dite ngasang kesa, ngasang koa, kamping ami ngasang ende ema leso ho’o, teti tuak dite nagasang kesa laing, anak lain, kudut kapu agu naka ami ngasang ende ema one leso ho’o, neho tae dami ite, ai hitu muings ngasang reweng ine-reweng ame, atau haeng tae, repeng pede, sanggen ruku agu sake, ata mbat dise ame, serong dise empo, kudut hiang tau ngasang ema agu anak, neho tae dami ite, toe ma celan one mai reweng dite". Dari jawaban anak rona, diketahui bahwa mereka juga merestui acara ini dilangsungkan. Ada pengambilan bagian secara aktif para pihak.
4) Keterlibatan para pihak itu bermacam-macam sesuai dengan posisi. Ase-kae yang hadir dalam acara adat cukup dengan memberikan kewajiban sesuai kesepakatan (bantang) ataupun secara sukarela. Misalnya pada saat acara wuat wa'i (perutusan) ase-kae memberikan sejumlah uang tanda mendukung orang yang di-"wuat-wa'i"-kan. Sedangkan anak wina selain memberikan sejumlah uang sesuai "na'a bantang" melalui "sida" (pembebanan sejumlah uang) juga memberikan uang "tura cai" (penyampaian bahwa sudah datang), "manuk" (ayam) dan "wali urat di'a/naring urat di'a" (syukur karena pratandanya baik atau sesuai harapan). Dan anak rona memiliki posisi penting dalam ritus adat orang Manggarai. Pada acara tertentu mereka mendapat sejumlah uang atau hewan. Pada acara "Cear Cumpe" (Pemakluman bahwa si ibu sudah boleh keluar rumah dan beraktifitas seperti biasa pasca kelahiran) dan "teing Ngasang" (pemberian nama bayi), anak rona dipertuan agung karena mereka disebut sebagai sumber dan asal (ulu, sa'i). Demikian halnya dalam acara "tuke mbaru-weda rewa" (peminangan) dan "wagal/nempung" (pengresmian perkawinan secara meriah). Mereka mendapat sejumlah uang dan hewan "paca" (belis).
Terdapat keyakinan bahwa melalui kerelaan untuk memberi dalam acara ritual adat, anak wina akan memeroleh rejeki yang berlimpah. Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima rejeki.
Pihak anak rona disebut dalam bahasa kiasan yang kaya arti, misalnya sebagai berikut: ende-ema, ine watu ci'e-ame watu nare, ulu-sa'i.
5) Akhirnya, ritual adat tidak bisa dijalankan tanpa kehadiran penutur torok (dalam bahasa kiasan disebut: ata lemba sangged tombo, letang temba, mu'u luju-lema emas). Dalam ritus tertentu seorang penutur torok mempersiapkan diri secara serius melalui "selek" (merias diri dengan segala kualitas kedirian, termasuk "teing hang ase-ka'e weki" memberikan persembahan kepada roh pelindung diri) agar acara itu berjalan baik dan mulus, tanpa mendatangkan bala bagi dirinya maupun pemilik acara. Jika acara selesai ada "caca selek" dengan mempersembahkan kurban khusus. sebagaimana pernah disinggung pada tulisan terdahulu, ketika penutur torok "cadel" pada saat renge, hal itu bisa mendatangkan malapetaka bagi banyak orang.
https://www.facebook.com/profile.php?id=100009356516655&fref=ufi
Parapihak dalam Ritus Adat
1) Apakah sebuah ritus adat Manggarai dapat dilakukan tanpa kehadiran pihak lain? Jawabannya: Tidak. Siapa saja yang harus hadir dalam ritual adat orang Manggarai? Ini temuan kami.
Setiap ritual adat, kehadiran pemilik acara adalah unsur konstitutif. Tidak bisa sebuah acara dibuat tanpa kehadiran pemiliknya. Pemilik acaralah, apapun namanya, yang mengundang pihak lain keluarga atau famili (ase-kae pa'ang olon-ngaungn musin), pihak penerima gadis (anak wina) dan pihak pemberi gadis (anak rona). Para pihak ini hadir dengan peran dan hak masing-masing.
2) Pihak ase-kae, anak wina dan anak rona menjadi saksi dalam ritual itu. Pada acara "kapu" (penerimaan secara resmi) pada anak rona akan dikatakan sbb: "Yo ruma, ai ite ende-ema, anak rona, ata ine watu cie-ame watu nare, ai comong agu wangkan dite, le rekok lebo, ro’eng ngoel, ngasang wing agu dading de anak dite…. one leso ho’o kali ga, kudu adak lite, cikop le’as, kudu anak ngger olon kali, neka manga koles rekok lebo, ro’eng ngoe one mose dise, kudu ise kali, petu kole sosor, kudu tiwu galang naang, woko hoo kali ite ngasang ende ema, weki neki ranga manga one leso hoo, reweng dami ngasang kesa, ngasang koa, toe manga banan lami ta ite, tuak keta dami ngasang kesa agu koa one leso ho’o, kudut kapu agu naka ite ngasang ende-ema, one leso hoo, kudu sendeng lobo bekek ited mori leso hoo, kapu lobo paa, ai hitus reweng ruku agu sake bao agu mede. Ho’o tuak dami ngasang kesa kudu rokot sangged tombo dami one leso ho’o, kudut kapu agu naka ite ngasang ende ema ata ine watu cie, ame watu nare. Yo ite, toe reweng kanang, kapok” (sambil menyodorkan sebotol tuak kepada anak rona).
3) Pihak yang telah di-"kapu" (misalnya anak rona) akan menjawab sbb: "Yo, neho reweng dami ngasang ende ema kole ite, ai comong agu wangkan dite, le rekok lebo-ro’eng ngoel, ngasang wing agu dading, de anak dami, koa dami, woko ho’o kali leson bog a, kudu adak cikop le’as, ho’o kole kami ende-ema weki neki ranga manga one leso ho’o, mesen keta nuk agu tenang dite ngasang kesa, ngasang koa, kamping ami ngasang ende ema leso ho’o, teti tuak dite nagasang kesa laing, anak lain, kudut kapu agu naka ami ngasang ende ema one leso ho’o, neho tae dami ite, ai hitu muings ngasang reweng ine-reweng ame, atau haeng tae, repeng pede, sanggen ruku agu sake, ata mbat dise ame, serong dise empo, kudut hiang tau ngasang ema agu anak, neho tae dami ite, toe ma celan one mai reweng dite". Dari jawaban anak rona, diketahui bahwa mereka juga merestui acara ini dilangsungkan. Ada pengambilan bagian secara aktif para pihak.
4) Keterlibatan para pihak itu bermacam-macam sesuai dengan posisi. Ase-kae yang hadir dalam acara adat cukup dengan memberikan kewajiban sesuai kesepakatan (bantang) ataupun secara sukarela. Misalnya pada saat acara wuat wa'i (perutusan) ase-kae memberikan sejumlah uang tanda mendukung orang yang di-"wuat-wa'i"-kan. Sedangkan anak wina selain memberikan sejumlah uang sesuai "na'a bantang" melalui "sida" (pembebanan sejumlah uang) juga memberikan uang "tura cai" (penyampaian bahwa sudah datang), "manuk" (ayam) dan "wali urat di'a/naring urat di'a" (syukur karena pratandanya baik atau sesuai harapan). Dan anak rona memiliki posisi penting dalam ritus adat orang Manggarai. Pada acara tertentu mereka mendapat sejumlah uang atau hewan. Pada acara "Cear Cumpe" (Pemakluman bahwa si ibu sudah boleh keluar rumah dan beraktifitas seperti biasa pasca kelahiran) dan "teing Ngasang" (pemberian nama bayi), anak rona dipertuan agung karena mereka disebut sebagai sumber dan asal (ulu, sa'i). Demikian halnya dalam acara "tuke mbaru-weda rewa" (peminangan) dan "wagal/nempung" (pengresmian perkawinan secara meriah). Mereka mendapat sejumlah uang dan hewan "paca" (belis).
Terdapat keyakinan bahwa melalui kerelaan untuk memberi dalam acara ritual adat, anak wina akan memeroleh rejeki yang berlimpah. Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima rejeki.
Pihak anak rona disebut dalam bahasa kiasan yang kaya arti, misalnya sebagai berikut: ende-ema, ine watu ci'e-ame watu nare, ulu-sa'i.
5) Akhirnya, ritual adat tidak bisa dijalankan tanpa kehadiran penutur torok (dalam bahasa kiasan disebut: ata lemba sangged tombo, letang temba, mu'u luju-lema emas). Dalam ritus tertentu seorang penutur torok mempersiapkan diri secara serius melalui "selek" (merias diri dengan segala kualitas kedirian, termasuk "teing hang ase-ka'e weki" memberikan persembahan kepada roh pelindung diri) agar acara itu berjalan baik dan mulus, tanpa mendatangkan bala bagi dirinya maupun pemilik acara. Jika acara selesai ada "caca selek" dengan mempersembahkan kurban khusus. sebagaimana pernah disinggung pada tulisan terdahulu, ketika penutur torok "cadel" pada saat renge, hal itu bisa mendatangkan malapetaka bagi banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar