Wae Rebo, Desa Elok Flores yang Mendunia
detikTravel Community - Nama desa Wae Rebo di Flores mungkin lebih populer di telinga turis asing ketimbang Indonesia. Inilah desa di Flores yang sudah mendunia.
Hampir di setiap sudut negeri ini terdapat tempat-tempat yang menjanjikan keindahan di balik namanya yang belum santer terdengar. Salah satunya adalah Desa Adat Wae Rebo di pedalaman eksotis Pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.
Yang menarik, sebelum dikenal oleh warga Indonesia, desa adat ini sudah lebih dulu jadi primadona bagi turis-turis asing Sebuah desa terpencil itu kini semakin dikenal luas. Bahkan lebih dikenal dunia dahulu daripada di negerinya sendiri. Orang setempat mengistilahkan Wae Rebo lebih dahulu mendunia, setelah itu baru meng-Indonesia.
Kampung Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat. Gunung-gunung megah yang mengelilinginya membuat desa ini terisolasi.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakatnya harus berjalan kaki menembus hutan sepanjang 9 kilometer untuk sampai ke Denge, desa yang paling dekat dengan Wae Rebo. Wae Rebo juga termasuk satu dari beberapa desa tradisional tertua di Indonesia dan mungkin juga dunia. Konon,desa itu telah bertahan selama 19 generasi. Itu berarti, usianya di atas 1000 tahun.
Tempat ini tersembunyi di antara pengunungan yang hijau dan asri. Berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, udara di Wae Rebo begitu sejuk. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, desa ini diselimuti kabut pegunungan sehingga suasana terasa mistis. Itu sebabnya banyak pula yang menjulukinya dengan sebutan desa di atas awan.
Rumah tradisional di Wae Rebo dan di Manggarai pada umumnya tidak asal bangun. Ada nilai filosofis yang melatarinya. Bentuknya yang melingkar merupakan lambang persatuan dan harmonisasi dengan alam sekitar.
Arsitektur rumah tradisional di Wae Rebo telah mendapat pengakuan internasional. Bahkan UNESCO sendiri memberikan Award of Excellence yang merupakan penghargaan tertinggi di bidang pelestarian warisan budaya. Pengakuan UNESCO ini setelah rumah tradisional menyingkirkan 42 kandidat lain dari 11 negara di Asia Pasifik.
Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Pengunjung dapat merasakan keunikan budaya, adat istiadat,keramahan warganya serta kearifan lokal yang masih terasa kental di kampung ini.
Tempat wisata yang asyik adalah yang memberi kesan dalam ingatan. Lebih lagi jika Anda meninggalkan tempat itu dengan segudang pengetahuan baru. Jika ingin berwisata sembari akrab dengan khasanah budaya Indonesia yang eksotis dan filosofis, cobalah ke Wae Rebo.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakatnya harus berjalan kaki menembus hutan sepanjang 9 kilometer untuk sampai ke Denge, desa yang paling dekat dengan Wae Rebo. Wae Rebo juga termasuk satu dari beberapa desa tradisional tertua di Indonesia dan mungkin juga dunia. Konon,desa itu telah bertahan selama 19 generasi. Itu berarti, usianya di atas 1000 tahun.
Tempat ini tersembunyi di antara pengunungan yang hijau dan asri. Berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, udara di Wae Rebo begitu sejuk. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, desa ini diselimuti kabut pegunungan sehingga suasana terasa mistis. Itu sebabnya banyak pula yang menjulukinya dengan sebutan desa di atas awan.
Rumah tradisional di Wae Rebo dan di Manggarai pada umumnya tidak asal bangun. Ada nilai filosofis yang melatarinya. Bentuknya yang melingkar merupakan lambang persatuan dan harmonisasi dengan alam sekitar.
Arsitektur rumah tradisional di Wae Rebo telah mendapat pengakuan internasional. Bahkan UNESCO sendiri memberikan Award of Excellence yang merupakan penghargaan tertinggi di bidang pelestarian warisan budaya. Pengakuan UNESCO ini setelah rumah tradisional menyingkirkan 42 kandidat lain dari 11 negara di Asia Pasifik.
Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Pengunjung dapat merasakan keunikan budaya, adat istiadat,keramahan warganya serta kearifan lokal yang masih terasa kental di kampung ini.
Tempat wisata yang asyik adalah yang memberi kesan dalam ingatan. Lebih lagi jika Anda meninggalkan tempat itu dengan segudang pengetahuan baru. Jika ingin berwisata sembari akrab dengan khasanah budaya Indonesia yang eksotis dan filosofis, cobalah ke Wae Rebo.
Semalam di Wae Rebo, Desa di Atas Awan...
Kompas.com - 02/09/2017, 07:03 WIB
FLORES, KOMPAS.com - Menyepi dan intim dengan alam. Hal itulah yang penulis rasakan saat mengunjungi Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.
Wae Rebo merupakan kampung adat tradisional yang sudah terkenal hingga mancanegara.
Untuk melihat eksotisme Desa Wae Rebo tidaklah mudah. Butuh perjuangan lantaran lokasinya di lembah pegunungan Manggarai.
Wae Rebo berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sehingga dijuluki desa di atas awan.
Saya berkesempatan bermalam di Wae Rebo bersama rombongan Jelajah Sepeda Flores yang digelar Kompas.
BACA: Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
Menuju Wae Rebo, rombongan memulai start etape V dari Ruteng pada 16 Agustus 2017. Ruteng adalah wilayah terdekat dari Wae Rebo yang memiliki bandara.
Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, bisa juga menggunakan mobil dari Labuan Bajo.
Dari Ruteng, kami gowes hingga tengah hari. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan naik truk kayu yang sudah dimodifikasi.
Papan-papan kayu dipasang di dalam truk yang dijadikan tempat duduk. Truk semacam ini biasa dipakai untuk transportasi masyarakat setempat.
Kami
tiba sekitar pukul 15.00 Wit di Desa Denge, tempat terakhir yang bisa
dilewati kendaraan. Truk tidak dapat melewati jalan yang rusak parah.
Di sana, puluhan tukang ojek yang merupakan warga sekitar sudah
menunggu kami. Tukang ojek akan mengantarkan tamu ke Pos I Wae Lomba
sejauh sekitar 4 KM dengan jalur menanjak. Biaya ojek Rp 25.000.
Pos I merupakan titik terakhir motor bisa melintas. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 7 KM.
BACA: Wae Rebo, Desa Tradisional Terindah di Indonesia
Di sinilah perjuangan selanjutnya dimulai. Pada awal, jalur akan terus mendaki. Tentu hal itu akan memberatkan bagi wisatawan yang tak terbiasa mendaki.
Selama perjalanan harus hati-hati. Jalanan yang dilewati masih berupa tanah dan bebatuan.
Apalagi, di kanan atau kiri jalur adalah jurang. Tak ada pembatas. Perlu ekstra hati-hati ketika hujan karena jalan akan licin.
Tak sedikit wisatawan yang berkali-kali berhenti untuk istirahat. Sebagian kepayahan.
Semakin menanjak, kabut semakin tebal. Suara burung dan jangkrik terdengar di antara pepohonan.
Udara sangat bersih. Menghirup udara dalam-dalam membuat lega pernafasan. Segar.
Setelah tiga per empat perjalanan, jalur kemudian mendatar, lalu menurun hingga Wae Rebo.
Mendekati kampung, hamparan perkebunan kopi terlihat. Ada beberapa bangunan yang dipakai petani kopi untuk singgah.
Saya butuh waktu hampir dua jam berjalan kaki hingga Wae Rebo. Tiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk sampai ke desa ini.
Ada yang hanya butuh sekitar satu jam, ada pula yang di atas tiga jam.
BACA: Jangan Mengaku Pernah ke Flores sebelum Mengunjungi Wae Rebo
Sebelum memasuki perkampungan, tamu harus singgah di pos terakhir. Di sana, perwakilan rombongan diminta membunyikan kentongan sebagai tanda tamu tiba.
Dari pos tersebut terlihat jelas tujuh rumah adat berbentuk kerucut.
Sebelum beraktivitas di kampung, perwakilan pengunjung harus mengikuti upacara Waelu'u terlebih dulu.
Upacara sekitar lima menit tersebut digelar di rumah utama yang dinamakan Niang Gendang. Rumah adat yang paling besar itu merupakan tempat tinggal ketua adat.
Maksud upacara itu untuk memohon ijin dan penghormatan kepada para leluhur Wae Rebo.
Rupanya, tidak hanya kami rombongan Jelajah Sepeda Flores yang ingin menginap di Wae Rebo saat itu. Ada pula ratusan orang lain dari berbagai kelompok.
Adapula turis asing. Sebagian dari mereka ingin merayakan HUT ke-72 RI di Wae Rebo.
Dari tujuh rumah adat, hanya dua rumah yang disediakan untuk menginap para tamu. Satu rumah adat mampu menampung 30-an orang.
Lantaran saat itu banyak tamu, sebagian besar dari mereka menginap di rumah-rumah warga di sekitar rumah adat.
Para tokoh adat tak mengira jumlah tamu yang datang sebanyak itu. Pasalnya, komunikasi terputus lantaran tak ada sinyal telepon.
Tidur melingkar
Beruntung saya bisa 'nyempil' menginap di salah satu rumah adat yang dinamakan Niang Gena Maro.
Dari
dalam rumah terlihat konstruksi kayu dan bambu hingga membentuk
kerucut. Rumah itu beratap ilalang yang dianyam, ditambah ijuk untuk
menutup sela-selanya.
Di dalam rumah sudah tersedia tikar yang terbuat dari anyaman. Tikar untuk tempat tidur itu disusun melingkar.
Nah, bagian tengah rumah dijadikan tempat makan. Alas duduknya tikar anyaman. Tempat makan tersebut tidak boleh dipakai untuk tidur.
BACA: Yosef Katup, Menjaga Warisan Leluhur di Wae Rebo
Suhu di dalam rumah jauh lebih hangat dibanding suhu di luar yang sangat dingin saat malam. Jika masih terasa dingin, di setiap tempat tidur sudah disediakan selimut.
Untuk kamar mandi, jangan khawatir. Di sekitar rumah adat sudah ada bilik-bilik kamar mandi.
Lantainya sudah terpasang ubin. Jika ingin buang air besar, tamu tinggal pilih, ada closet jongkok atau duduk.
Ada pula aliran listrik meski terbatas. Pada pukul 22.00 Wit, lampu akan dimatikan.
Sebelum
makan malam, tamu disuguhi kopi dan teh hangat. Tak lama kemudian,
makan malam bersama. Nasi, ayam, sayur dan pisang disuguhkan.
Meski menunya relatif sederhana, rasanya nikmat makan bersama para tamu lain. Para mama pun ramah melayani tamu.
Sayangnya, setelah santap malam, saya tak sanggup lagi beraktivitas menjelajah Wae Rebo. Rasanya lelah setelah bersepeda dan mendaki menuju Wae Rebo.
Pada subuh keesokan hari, warga dan para tamu sudah sibuk mempersiapkan upacara HUT ke-72 kemerdekaan RI.
Setelah sarapan, ratusan orang kemudian mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih yang dipimpin Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Royke Lumowa.
(baca: Khidmatnya Upacara Peringatan HUT RI di Kampung Adat Wae Rebo...)
Peninggalan leluhur
Wae Rebo adalah satu-satunya kampung adat di Manggarai yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional Manggarai yang disebut Mbaru (rumah) Niang (tinggi dan bulat).
Para leluhur mewariskan tujuh bangunan itu yang kemudian dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun hingga kini sudah generasi ke-20.
Tujuh bangunan Mbaru Niang konon merupakan cerminan kepercayaan leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak gunung di sekeliling Kampung Wae Rebo, yang dipercaya sebagai pelindung kemakmuran kampung.
Rumah utama atau Niang Gendang bangunannya lebih besar dibanding enam rumah lain lantaran diisi hingga delapan keluarga.
Di dalam rumah utama terdapat delapan kamar. Sementara enam rumah lain diisi oleh enam keluarga.
BACA: Ritual Penti Digelar di Wae Rebo
Di langit rumah dibuat sekat-sekat sebagai tempat penyimpanan. Ada tempat penyimpanan sesaji untuk para leluhur, penyimpanan cadangan makanan, penyimpanan benih tanaman, dan barang lain.
Sebelum meninggalkan Wae Rebo, tamu bisa membeli berbagai hasil kerajinan atau olahan warga.
Ikat tenun, kopi dan madu menjadi produk unggulan yang ditawarkan. Barang-barang itu dijajakan di depan rumah adat.
Lantaran harus melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo, rombongan kami meninggalkan Wae Rebo pukul 8.30 Wit.
Berikut tips bagi Anda yang ingin mengunjungi Wae Rebo:
1. Tak banyak bawa barang
Bawa barang seperlunya yang dimasukkan dalam ransel agar mudah dibawa.
Jika tak ingin membawa beban, bisa memakai jasa porter warga sekitar. Biayanya sekitar Rp 250.000 untuk jasa bawa barang ketika naik dan turun. Jasa porter dapat diperoleh di Desa Denge.
2. Jas hujan dan senter
Jas hujan diperlukan untuk mengantisipasi hujan ketika menuju Wae Rebo. Adapun senter perlu untuk beraktivitas di Wae Rebo pada malam hari.
3. Alas kaki yang menggigit
Alas kaki yang dipakai perlu disesuaikan dengan kondisi jalan mendaki.
4. Uang tunai
Anda perlu mempersiapkan uang tunai yang cukup. Pasalnya, tidak ada mesin ATM di desa-desa menuju Wae Rebo.
Setiap tamu dibebankan Rp 325.000 untuk biaya menginap dan makan di Wae Rebo. Barangkali Anda ingin menyewa porter atau membeli hasil kerajinan warga.
5. Camilan dan minuman
Camilan dan minuman diperlukan selama mendaki menuju Wae Rebo.
6. Baterai cadangan
Baterai cadangan diperlukan untuk kamera. Pasalnya, listrik di Wae Rebo terbatas. Adapun ponsel tak berguna lantaran tak ada sinyal.
7. Datang lebih awal
Pada momen-momen tertentu, Wae Rebo bisa ramai tamu seperti 17 Agustus. Tamu tidak bisa memesan tempat tidur. Siapa cepat dia dapat.
Dunia luar tak bisa mengetahui pula jumlah pengunjung yang datang ke Wae Rebo lantaran tidak adanya sinyal untuk komunikasi. Jadi, lebih cepat sampai kampung Wae Rebo lebih baik.
Wae Rebo merupakan kampung adat tradisional yang sudah terkenal hingga mancanegara.
Untuk melihat eksotisme Desa Wae Rebo tidaklah mudah. Butuh perjuangan lantaran lokasinya di lembah pegunungan Manggarai.
Wae Rebo berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sehingga dijuluki desa di atas awan.
Saya berkesempatan bermalam di Wae Rebo bersama rombongan Jelajah Sepeda Flores yang digelar Kompas.
BACA: Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
Menuju Wae Rebo, rombongan memulai start etape V dari Ruteng pada 16 Agustus 2017. Ruteng adalah wilayah terdekat dari Wae Rebo yang memiliki bandara.
Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, bisa juga menggunakan mobil dari Labuan Bajo.
Dari Ruteng, kami gowes hingga tengah hari. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan naik truk kayu yang sudah dimodifikasi.
Papan-papan kayu dipasang di dalam truk yang dijadikan tempat duduk. Truk semacam ini biasa dipakai untuk transportasi masyarakat setempat.
Pos I merupakan titik terakhir motor bisa melintas. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 7 KM.
BACA: Wae Rebo, Desa Tradisional Terindah di Indonesia
Di sinilah perjuangan selanjutnya dimulai. Pada awal, jalur akan terus mendaki. Tentu hal itu akan memberatkan bagi wisatawan yang tak terbiasa mendaki.
Selama perjalanan harus hati-hati. Jalanan yang dilewati masih berupa tanah dan bebatuan.
Apalagi, di kanan atau kiri jalur adalah jurang. Tak ada pembatas. Perlu ekstra hati-hati ketika hujan karena jalan akan licin.
Udara sangat bersih. Menghirup udara dalam-dalam membuat lega pernafasan. Segar.
Setelah tiga per empat perjalanan, jalur kemudian mendatar, lalu menurun hingga Wae Rebo.
Mendekati kampung, hamparan perkebunan kopi terlihat. Ada beberapa bangunan yang dipakai petani kopi untuk singgah.
Saya butuh waktu hampir dua jam berjalan kaki hingga Wae Rebo. Tiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk sampai ke desa ini.
Ada yang hanya butuh sekitar satu jam, ada pula yang di atas tiga jam.
BACA: Jangan Mengaku Pernah ke Flores sebelum Mengunjungi Wae Rebo
Sebelum memasuki perkampungan, tamu harus singgah di pos terakhir. Di sana, perwakilan rombongan diminta membunyikan kentongan sebagai tanda tamu tiba.
Dari pos tersebut terlihat jelas tujuh rumah adat berbentuk kerucut.
Sebelum beraktivitas di kampung, perwakilan pengunjung harus mengikuti upacara Waelu'u terlebih dulu.
Upacara sekitar lima menit tersebut digelar di rumah utama yang dinamakan Niang Gendang. Rumah adat yang paling besar itu merupakan tempat tinggal ketua adat.
Maksud upacara itu untuk memohon ijin dan penghormatan kepada para leluhur Wae Rebo.
Rupanya, tidak hanya kami rombongan Jelajah Sepeda Flores yang ingin menginap di Wae Rebo saat itu. Ada pula ratusan orang lain dari berbagai kelompok.
Adapula turis asing. Sebagian dari mereka ingin merayakan HUT ke-72 RI di Wae Rebo.
Dari tujuh rumah adat, hanya dua rumah yang disediakan untuk menginap para tamu. Satu rumah adat mampu menampung 30-an orang.
Lantaran saat itu banyak tamu, sebagian besar dari mereka menginap di rumah-rumah warga di sekitar rumah adat.
Para tokoh adat tak mengira jumlah tamu yang datang sebanyak itu. Pasalnya, komunikasi terputus lantaran tak ada sinyal telepon.
Tidur melingkar
Beruntung saya bisa 'nyempil' menginap di salah satu rumah adat yang dinamakan Niang Gena Maro.
Nah, bagian tengah rumah dijadikan tempat makan. Alas duduknya tikar anyaman. Tempat makan tersebut tidak boleh dipakai untuk tidur.
BACA: Yosef Katup, Menjaga Warisan Leluhur di Wae Rebo
Suhu di dalam rumah jauh lebih hangat dibanding suhu di luar yang sangat dingin saat malam. Jika masih terasa dingin, di setiap tempat tidur sudah disediakan selimut.
Untuk kamar mandi, jangan khawatir. Di sekitar rumah adat sudah ada bilik-bilik kamar mandi.
Lantainya sudah terpasang ubin. Jika ingin buang air besar, tamu tinggal pilih, ada closet jongkok atau duduk.
Ada pula aliran listrik meski terbatas. Pada pukul 22.00 Wit, lampu akan dimatikan.
Sayangnya, setelah santap malam, saya tak sanggup lagi beraktivitas menjelajah Wae Rebo. Rasanya lelah setelah bersepeda dan mendaki menuju Wae Rebo.
Pada subuh keesokan hari, warga dan para tamu sudah sibuk mempersiapkan upacara HUT ke-72 kemerdekaan RI.
Setelah sarapan, ratusan orang kemudian mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih yang dipimpin Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Royke Lumowa.
(baca: Khidmatnya Upacara Peringatan HUT RI di Kampung Adat Wae Rebo...)
Peninggalan leluhur
Wae Rebo adalah satu-satunya kampung adat di Manggarai yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional Manggarai yang disebut Mbaru (rumah) Niang (tinggi dan bulat).
Para leluhur mewariskan tujuh bangunan itu yang kemudian dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun hingga kini sudah generasi ke-20.
Tujuh bangunan Mbaru Niang konon merupakan cerminan kepercayaan leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak gunung di sekeliling Kampung Wae Rebo, yang dipercaya sebagai pelindung kemakmuran kampung.
Rumah utama atau Niang Gendang bangunannya lebih besar dibanding enam rumah lain lantaran diisi hingga delapan keluarga.
Di dalam rumah utama terdapat delapan kamar. Sementara enam rumah lain diisi oleh enam keluarga.
BACA: Ritual Penti Digelar di Wae Rebo
Di langit rumah dibuat sekat-sekat sebagai tempat penyimpanan. Ada tempat penyimpanan sesaji untuk para leluhur, penyimpanan cadangan makanan, penyimpanan benih tanaman, dan barang lain.
Sebelum meninggalkan Wae Rebo, tamu bisa membeli berbagai hasil kerajinan atau olahan warga.
Ikat tenun, kopi dan madu menjadi produk unggulan yang ditawarkan. Barang-barang itu dijajakan di depan rumah adat.
Lantaran harus melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo, rombongan kami meninggalkan Wae Rebo pukul 8.30 Wit.
Berikut tips bagi Anda yang ingin mengunjungi Wae Rebo:
1. Tak banyak bawa barang
Bawa barang seperlunya yang dimasukkan dalam ransel agar mudah dibawa.
Jika tak ingin membawa beban, bisa memakai jasa porter warga sekitar. Biayanya sekitar Rp 250.000 untuk jasa bawa barang ketika naik dan turun. Jasa porter dapat diperoleh di Desa Denge.
2. Jas hujan dan senter
Jas hujan diperlukan untuk mengantisipasi hujan ketika menuju Wae Rebo. Adapun senter perlu untuk beraktivitas di Wae Rebo pada malam hari.
3. Alas kaki yang menggigit
Alas kaki yang dipakai perlu disesuaikan dengan kondisi jalan mendaki.
4. Uang tunai
Anda perlu mempersiapkan uang tunai yang cukup. Pasalnya, tidak ada mesin ATM di desa-desa menuju Wae Rebo.
Setiap tamu dibebankan Rp 325.000 untuk biaya menginap dan makan di Wae Rebo. Barangkali Anda ingin menyewa porter atau membeli hasil kerajinan warga.
5. Camilan dan minuman
Camilan dan minuman diperlukan selama mendaki menuju Wae Rebo.
6. Baterai cadangan
Baterai cadangan diperlukan untuk kamera. Pasalnya, listrik di Wae Rebo terbatas. Adapun ponsel tak berguna lantaran tak ada sinyal.
7. Datang lebih awal
Pada momen-momen tertentu, Wae Rebo bisa ramai tamu seperti 17 Agustus. Tamu tidak bisa memesan tempat tidur. Siapa cepat dia dapat.
Dunia luar tak bisa mengetahui pula jumlah pengunjung yang datang ke Wae Rebo lantaran tidak adanya sinyal untuk komunikasi. Jadi, lebih cepat sampai kampung Wae Rebo lebih baik.
PenulisSandro Gatra
EditorSri Anindiati Nursastri
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
Kompas.com - 12/10/2013, 08:37 WIB
AJAKAN teman-teman ke Wae Rebo sulit ditolak meskipun
kondisi fisik sebenarnya tidak begitu siap untuk jalan mendaki. Rasa
penasaran dan tantangan juga yang menguatkan tekad untuk mengunjungi
”kampung di punggung gunung” Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar
Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.Penasaran
karena kata seorang teman, yang lebih dulu berkunjung ke sana, Wae Rebo
sangat elok dengan keunikan budaya, adat istiadat, keramahan warganya,
serta kearifan lokal yang terjaga dengan baik. Apalagi dari foto-foto
yang dipublikasikan melalui internet, panorama Wae Rebo sungguh cantik.
Yang menantang, tentu saja perjalanan ke kampung yang letaknya 1.100
meter di atas permukaan laut itu.
Sebelum berangkat ke Wae Rebo, kami bermalam di penginapan milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo yang juga menjadi pemandu. Penginapan ini letaknya di Desa Dintor. Kami harus menginap karena perjalanan ke Wae Rebo kami rencanakan pukul 7 pagi. Pertimbangannya, udara pagi masih sejuk dan matahari belum bersinar terik. Selain itu, juga mempertimbangkan risiko turun hujan jika berangkat terlalu siang.
Setelah sarapan, Martin meminta kami berkumpul. Ia memberi tahu ”aturan main” selama berjalan menuju Wae Rebo.
”Tak perlu banyak tanya kapan sampai. Nikmati saja perjalanannya,” kata Martin sambil tersenyum. Pesan itu, tentu saja, membuat kami penasaran.
Esok paginya, kami masih harus naik mobil sekitar 6 kilometer dari Desa Dintor ke Desa Denger. Dari Denge, barulah kami berjalan kaki, mendaki, yang diawali dengan berdoa memohon kelancaran perjalanan dan keselamatan.
Dengan bawaan yang cukup banyak—makanan, minuman, jas hujan, dan
perlengkapan pribadi lain—rombongan kami menyewa tiga portir pembawa
barang yang sekaligus bertindak sebagai pemandu. Kami juga disertai
Yosef Katup, anak muda Wae Rebo, salah satu generasi ke-18 warga Wae
Rebo.Di Denge, sinyal telepon seluler melemah. Bisa
dipastikan, hingga kami turun lagi ke Denge, kami tidak bisa
berkomunikasi dengan rekan atau keluarga melalui telepon seluler.
Semangat
Di awal perjalanan, semangat kami masih tinggi. Udara sejuk, hutan rimbun, dan suara air sungai bergemercik membuat pikiran tenang dan damai. Namun, setelah sekitar 3 kilometer berjalan, pinggang mulai pegal karena jalan tanah yang kami hadapi menanjak, berlumpur, dan berbatu.
Perjalanan dari Denge ke titik istirahat Wae Lumba membuat jantung berdetak kencang. Beberapa rekan ngos-ngosan melompati batu besar, berjalan menanjak tiada henti, sekaligus berhati-hati melewati jalan licin.
Selepas Wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Kondisinya sama saja, membuat kami harus pandai-pandai mengatur langkah dan napas agar tidak cepat lelah. Salah seorang rekan kami tak tahan untuk bertanya kapan kami akan tiba di Wae Rebo. Pertanyaan yang oleh para pemandu kami—yang juga warga Wae Rebo—dijawab dengan senyum.
Di jalur ini, kami menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat dalam. Kami bahkan juga berjalan di jalan setapak yang jarak pandangnya terbatas karena kabut yang mulai turun menyelimuti punggung gunung. Ada juga titik longsor tebing yang harus dilewati dengan hati-hati. Kami saling membantu untuk melintasi titik longsor itu.
Poco Roko merupakan titik tertinggi setelah menyusuri dan membelah hutan. Tak lama setelah kami tiba di titik itu, kabut tebal tersibak angin dan sinar matahari. Kami berpapasan dengan beberapa penduduk Wae Rebo yang hendak turun ke Desa Kombo.
Martin menjelaskan sebelumnya, Desa Kombo adalah ”kembaran” Desa Wae Rebo. Warga Wae Rebo memiliki rumah dan sawah di Desa Kombo. Umumnya, anak-anak yang bersekolah di Dintor atau Denge tinggal di Desa Kombo mulai Minggu sore sampai Sabtu siang. Selepas pulang sekolah Sabtu siang, mereka kembali ke rumah di Wae Rebo. Orangtua yang anak-anaknya sekolah di Denge atau Dintor biasanya mengikuti pola yang sama dengan anak-anak mereka.
Kampung kembar ini seolah menunjukkan dua sisi kehidupan masyarakat Wae
Rebo. Di satu sisi, masyarakat Wae Rebo hidup terpisah dalam satu
komunitas, sederhana, dan menyatu dengan alam. Di sisi lain, saat
tinggal di Kombo, mereka berinteraksi sosial dengan warga masyarakat
kelompok lain dan bergaul dalam kehidupan modern.Lebih baik
Salah satu portir kami dalam perjalanan ke Wae Rebo, Petrus, dengan nada enteng menyampaikan, ”Memikul beban 10 kilogram dan berjalan 2-4 jam tanpa akses jalan yang mulus serta tidak ada sinyal komunikasi bukan bagian dari budaya kami. Kami juga bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu.”
Kami tidak tahu, apakah kalimat itu diucapkan Petrus dengan serius atau bercanda. Faktanya, sepanjang perjalanan ke Wae Rebo, pemandangan orang memanggul atau memikul barang sangat biasa ditemui.
Infrastruktur jalan yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik lagi jika mencapai Wae Rebo, memang akan mempermudah akses. Penduduk Wae Rebo tidak perlu lagi memikul barang. Selain itu, wisatawan juga lebih mudah mengunjungi Wae Rebo.
Namun, apakah infrastruktur ini akan berdampak positif bagi Wae Rebo?
Kami berbincang dengan Patrick, konsultan keuangan perusahaan di Perancis, yang terkagum- kagum dengan Desa Wae Rebo yang, menurut dia, sangat natural dan orisinal. Patrick yang tinggal satu malam di Wae Rebo menikmati tantangan berjalan kaki menembus gunung dan hutan untuk mencapai Wae Rebo.
Wisatawan asal Swiss, Pelin Turgut, juga terpesona dengan keramahan masyarakat Wae Rebo yang, menurut dia, sangat tulus. Ia juga menyukai suasana Wae Rebo yang tenang, jauh dari keramaian, dan alami.
Kepala Adat Wae Rebo Rafael memang selalu ramah menyambut tamu yang
datang ke desanya. Setiap tamu disambut secara adat di rumah adat utama
dengan keramahannya yang khas.Keunikan Wae Rebo-lah yang
memikat wisatawan. Berkat keunikannya pula, Wae Rebo dinyatakan UNESCO
sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012, menyisihkan 42 negara
lain.
Rumah kerucut
Setelah berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Wae Rebo. Energi membuncah, kelelahan sontak sirna saat melihat tujuh rumah kerucut. Tak sabar rasanya menuruni bukit untuk segera tiba di desa itu. Rasanya seperti pulang ke rumah.
Rumah kerucut mbaru niang ini sangat unik. Dari luar sepintas seperti rumah kerucut biasa. Namun, jika dilihat dari dalam, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Setiap lantai memiliki ruangan dengan fungsi berbeda-beda.
Lantai pertama yang disebut lutur atau tenda akan digunakan oleh si pemilik rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Lantai kedua yang disebut lobo adalah tempat menyimpan bahan makanan atau barang. Lantai ketiga yang disebut lentar adalah tempat menyimpan benih tanaman hasil bercocok tanam.
Lantai empat yang disebut lempa rae adalah tempat menyimpan stok cadangan makanan yang berguna saat hasil panen kurang banyak. Adapun lantai kelima yang terdapat di puncak rumah digunakan untuk menyimpan aneka sesajian pemilik rumah.
Sesaat setelah tiba di Wae Rebo, Yosef Katup mengundang kami mengikuti
upacara Waelu. Dalam upacara ini, tetua adat meminta izin kepada para
leluhur untuk menerima tamu serta memohon perlindungan hingga tamu
meninggalkan Wae Rebo dan kembali ke tempat asalnya.Kami
menghormati upacara ini. Isidorus (84), salah satu tetua adat, memberi
kami seekor ayam sebagai sebuah simbol. Doa pun dilafalkan. Inti doa
itu, kami adalah anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang kampung. Kami
sudah bukan lagi orang asing. Kami juga didoakan agar selalu terlindung
dari bahaya dan selamat kembali ke rumah.
Keramahan dan kehangatan masyarakat Wae Rebo membuat kami merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Mungkin ini juga yang dirasakan wisatawan yang pernah datang ke Wae Rebo. Jatuh cinta dan ingin kembali lagi ke Wae Rebo, suatu hari nanti. (MKN/HAM/SEM/IDR/APO/OTW/MUK)
Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
Kompas.com - 12/10/2013, 08:37 WIB
Sebelum berangkat ke Wae Rebo, kami bermalam di penginapan milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo yang juga menjadi pemandu. Penginapan ini letaknya di Desa Dintor. Kami harus menginap karena perjalanan ke Wae Rebo kami rencanakan pukul 7 pagi. Pertimbangannya, udara pagi masih sejuk dan matahari belum bersinar terik. Selain itu, juga mempertimbangkan risiko turun hujan jika berangkat terlalu siang.
Setelah sarapan, Martin meminta kami berkumpul. Ia memberi tahu ”aturan main” selama berjalan menuju Wae Rebo.
”Tak perlu banyak tanya kapan sampai. Nikmati saja perjalanannya,” kata Martin sambil tersenyum. Pesan itu, tentu saja, membuat kami penasaran.
Esok paginya, kami masih harus naik mobil sekitar 6 kilometer dari Desa Dintor ke Desa Denger. Dari Denge, barulah kami berjalan kaki, mendaki, yang diawali dengan berdoa memohon kelancaran perjalanan dan keselamatan.
Semangat
Di awal perjalanan, semangat kami masih tinggi. Udara sejuk, hutan rimbun, dan suara air sungai bergemercik membuat pikiran tenang dan damai. Namun, setelah sekitar 3 kilometer berjalan, pinggang mulai pegal karena jalan tanah yang kami hadapi menanjak, berlumpur, dan berbatu.
Perjalanan dari Denge ke titik istirahat Wae Lumba membuat jantung berdetak kencang. Beberapa rekan ngos-ngosan melompati batu besar, berjalan menanjak tiada henti, sekaligus berhati-hati melewati jalan licin.
Selepas Wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Kondisinya sama saja, membuat kami harus pandai-pandai mengatur langkah dan napas agar tidak cepat lelah. Salah seorang rekan kami tak tahan untuk bertanya kapan kami akan tiba di Wae Rebo. Pertanyaan yang oleh para pemandu kami—yang juga warga Wae Rebo—dijawab dengan senyum.
Di jalur ini, kami menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat dalam. Kami bahkan juga berjalan di jalan setapak yang jarak pandangnya terbatas karena kabut yang mulai turun menyelimuti punggung gunung. Ada juga titik longsor tebing yang harus dilewati dengan hati-hati. Kami saling membantu untuk melintasi titik longsor itu.
Poco Roko merupakan titik tertinggi setelah menyusuri dan membelah hutan. Tak lama setelah kami tiba di titik itu, kabut tebal tersibak angin dan sinar matahari. Kami berpapasan dengan beberapa penduduk Wae Rebo yang hendak turun ke Desa Kombo.
Martin menjelaskan sebelumnya, Desa Kombo adalah ”kembaran” Desa Wae Rebo. Warga Wae Rebo memiliki rumah dan sawah di Desa Kombo. Umumnya, anak-anak yang bersekolah di Dintor atau Denge tinggal di Desa Kombo mulai Minggu sore sampai Sabtu siang. Selepas pulang sekolah Sabtu siang, mereka kembali ke rumah di Wae Rebo. Orangtua yang anak-anaknya sekolah di Denge atau Dintor biasanya mengikuti pola yang sama dengan anak-anak mereka.
Salah satu portir kami dalam perjalanan ke Wae Rebo, Petrus, dengan nada enteng menyampaikan, ”Memikul beban 10 kilogram dan berjalan 2-4 jam tanpa akses jalan yang mulus serta tidak ada sinyal komunikasi bukan bagian dari budaya kami. Kami juga bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu.”
Kami tidak tahu, apakah kalimat itu diucapkan Petrus dengan serius atau bercanda. Faktanya, sepanjang perjalanan ke Wae Rebo, pemandangan orang memanggul atau memikul barang sangat biasa ditemui.
Infrastruktur jalan yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik lagi jika mencapai Wae Rebo, memang akan mempermudah akses. Penduduk Wae Rebo tidak perlu lagi memikul barang. Selain itu, wisatawan juga lebih mudah mengunjungi Wae Rebo.
Namun, apakah infrastruktur ini akan berdampak positif bagi Wae Rebo?
Kami berbincang dengan Patrick, konsultan keuangan perusahaan di Perancis, yang terkagum- kagum dengan Desa Wae Rebo yang, menurut dia, sangat natural dan orisinal. Patrick yang tinggal satu malam di Wae Rebo menikmati tantangan berjalan kaki menembus gunung dan hutan untuk mencapai Wae Rebo.
Wisatawan asal Swiss, Pelin Turgut, juga terpesona dengan keramahan masyarakat Wae Rebo yang, menurut dia, sangat tulus. Ia juga menyukai suasana Wae Rebo yang tenang, jauh dari keramaian, dan alami.
Rumah kerucut
Setelah berjalan kaki selama 4 jam, kami tiba di Wae Rebo. Energi membuncah, kelelahan sontak sirna saat melihat tujuh rumah kerucut. Tak sabar rasanya menuruni bukit untuk segera tiba di desa itu. Rasanya seperti pulang ke rumah.
Rumah kerucut mbaru niang ini sangat unik. Dari luar sepintas seperti rumah kerucut biasa. Namun, jika dilihat dari dalam, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Setiap lantai memiliki ruangan dengan fungsi berbeda-beda.
Lantai pertama yang disebut lutur atau tenda akan digunakan oleh si pemilik rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Lantai kedua yang disebut lobo adalah tempat menyimpan bahan makanan atau barang. Lantai ketiga yang disebut lentar adalah tempat menyimpan benih tanaman hasil bercocok tanam.
Lantai empat yang disebut lempa rae adalah tempat menyimpan stok cadangan makanan yang berguna saat hasil panen kurang banyak. Adapun lantai kelima yang terdapat di puncak rumah digunakan untuk menyimpan aneka sesajian pemilik rumah.
Keramahan dan kehangatan masyarakat Wae Rebo membuat kami merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Mungkin ini juga yang dirasakan wisatawan yang pernah datang ke Wae Rebo. Jatuh cinta dan ingin kembali lagi ke Wae Rebo, suatu hari nanti. (MKN/HAM/SEM/IDR/APO/OTW/MUK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar