...........................................................
............................................................
..............................................................
Konon, di salah satu kampung desa Golo Ronggot, Lembor, Manggarai Barat hiduplah seorang nenek tua. Usianya sangat panjang. Anak-anaknya mengalami kesulitan bagaimana memeliharanya karena usianya yang begitu panjang. Boleh jadi mereka lelah, bosan memeliharanya. Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka membunuhnya? Tidak. Apakah mereka memberi racun kepadanya? Tidak! Lalu, apa? Inilah yang mereka lalukan. Mereka mengantarnya ke sungai, Wae Raho. Di pingir kali ada gua (liang). Mereka menempatkan dia di situ. Setiap orang yang melewati tempat itu berusaha menyapanya. Apa yang dilakukan si nenek di sana? Dia menyesuaikan diri dengan kehidupan air. Dia mencari makanan di air, berupa katak, ikan, kepiting, belut. Lama kelamaan dia betah dan terbiasa dengan habitat air. Tubuhnya melengkung, berjalan membungkuk. Tangannya berfungsi seperti kaki. Dia kemudian sangat pintar menyeberangi air. Dia paham seluk beluk air, termasuk bagaimana mengatasi banjir. Karena keahliannya ini, dia kerap dimintai bantuan orang untuk menyeberangi kali, terutama saat banjir. Sebagai tanda balas budi orang memberikan makanan berupa ubi bakar, pisang, buah-buahan kepadanya.
Suatu ketika, banjir besar terjadi. Orang mau menyeberang sungai "Wae Raho". Mereka memanggil Empo untuk minta bantuan. "Empo, begitu tiba di seberang, nanti kami memberikan ubi bakar, " begitu janji mereka. Mereka naik di atas punggung empo saat menyeberangi kali. Begitu tiba di seberang, apakah mereka memberi ubi benaran? Ternyata tidak. Mereka memberikan ubi lain. Apa itu? Batu yang sudah dibakar. "Empo, buka mulutmu!," pinta mereka. Empo membuka mulut. Mereka menaruh batu panas di dalam mulutnya. Empo merasa kaget shock karena batu panas yang membakar kerongkongan. Dia memuntahkan batu itu. Dia segera masuk ke dalam sungai. Dia sangat sakit hati dengan perlakuan manusia. Sejak saat itu, dia tidak bersikap ramah terhadap manusia. Dia memusuhi manusia, bahkan memangsanya. Itulah alasannya mengapa "Empo / Waja" memakan manusia. Empo / waja itu pada mulanya manusia.
Pada zaman dulu, bila orang menyeberangi wae raho, mereka tak lupa memberikan sesajian kepada leluhur yang menjaga air (sungai) Wae Raho. Kakek sepupu saya ketika lewat di situ tahun 1960 -an, mereka memberikan sesajian (sepa) berupa telur di gua di Wae Raho. Ini sebagai ungkapan hormat dan mohon bantuan agar selamat menyeberangi kali. Kakek percaya bahwa roh yang mendiami Wae Raho adalah leluhurnya. Kakek sepupu saya orang Ker, Ranggu Kolang. Konon istri Dalu Ranggu berasal dari Golo Ronggot. Leluhur Golo Ronggot ini sering menjenguk anaknya ke Ranggu. Dia melintasi Wae Raho, lalu menelusuri Wae Impor menuju Ranggu. Ketika tiba di Cunca Polo, dia naik ke daratan. Mengapa? Karena Cunca Polo terlalu curam. Saat naik ke daratan, orang melihatnya. Begitu lewat Cunca Polo, dia kembali menenusuri Wae Impor menuju Ranggu. Sesampai di dekat Ranggu, dia menyampaikan pesan bahwa bila keluarga /keturunanannya di Ranggu hendak bertemu dengannya, silahkan bertemu di Wae Impor. Keluarga / keturunan mempersembahkan telur (matang dan mentah) serta ayam jantan kepadanya. Telur sebagai makanan pembuka (sirih pinang - sepa - ) dan ayam sebagai makanan utama (helang).
Orang Manggarai percaya bahwa mata air / sungai memiliki penjaga. Penghormatan kepada penjaga (roh) mata air penting demi kehidupan manusia yang lebih baik. Ini dasar pemikiran mengapa orang Manggarai mengadakan sesajian suangi (muara sungai). Dalam acara penti biasanya, upacara seajian ini dilaksanakan. Biasanya dipersembahkan telur, dan ayam.
(Tulisan ini berdasarkan hasil obrolan di Hp bersama Regina Jenaut (mama) pada 19 September 2016 dan Yustina Jelita (saudari sulung) beberapa waktu yang lalu (2015?). JPS, 20 Sept. 2016.
Pada zaman dulu, bila orang menyeberangi wae raho, mereka tak lupa memberikan sesajian kepada leluhur yang menjaga air (sungai) Wae Raho. Kakek sepupu saya ketika lewat di situ tahun 1960 -an, mereka memberikan sesajian (sepa) berupa telur di gua di Wae Raho. Ini sebagai ungkapan hormat dan mohon bantuan agar selamat menyeberangi kali. Kakek percaya bahwa roh yang mendiami Wae Raho adalah leluhurnya. Kakek sepupu saya orang Ker, Ranggu Kolang. Konon istri Dalu Ranggu berasal dari Golo Ronggot. Leluhur Golo Ronggot ini sering menjenguk anaknya ke Ranggu. Dia melintasi Wae Raho, lalu menelusuri Wae Impor menuju Ranggu. Ketika tiba di Cunca Polo, dia naik ke daratan. Mengapa? Karena Cunca Polo terlalu curam. Saat naik ke daratan, orang melihatnya. Begitu lewat Cunca Polo, dia kembali menenusuri Wae Impor menuju Ranggu. Sesampai di dekat Ranggu, dia menyampaikan pesan bahwa bila keluarga /keturunanannya di Ranggu hendak bertemu dengannya, silahkan bertemu di Wae Impor. Keluarga / keturunan mempersembahkan telur (matang dan mentah) serta ayam jantan kepadanya. Telur sebagai makanan pembuka (sirih pinang - sepa - ) dan ayam sebagai makanan utama (helang).
Orang Manggarai percaya bahwa mata air / sungai memiliki penjaga. Penghormatan kepada penjaga (roh) mata air penting demi kehidupan manusia yang lebih baik. Ini dasar pemikiran mengapa orang Manggarai mengadakan sesajian suangi (muara sungai). Dalam acara penti biasanya, upacara seajian ini dilaksanakan. Biasanya dipersembahkan telur, dan ayam.
(Tulisan ini berdasarkan hasil obrolan di Hp bersama Regina Jenaut (mama) pada 19 September 2016 dan Yustina Jelita (saudari sulung) beberapa waktu yang lalu (2015?). JPS, 20 Sept. 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar