BULAN Juni-Agustus merupakan musim kunjungan wisatawan asing dan domestik ke Pulau Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Tujuan pertama mereka mengunjungi Pulau Flores adalah bertandang ke Taman Nasional Komodo.
Ada
apa di Taman Nasional Komodo? Semua warga global sudah mengetahuinya.
Ada binatang purba yang masih hidup di Taman Nasional Komodo. Nama
binatang ajaib itu adalah binatang raksasa Komodo. Bahkan, pada
September 2014 lalu digelar hajatan global yang disebut Sail Komodo.
Pada puncak Sail Komodo, ribuan wisatawan, baik wisatawan menggunakan kapal layar
(yacht)
dari berbagai dunia memadai laut Labuan Bajo. Bergemanya Sail Komodo
yang secara khusus dipromosikan seluas-luasnya memberikan dampak pada
perkembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat pada khususnya dan
di
Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Memberikan makan kepada leluhur dalam ritual 'Kapu Agu Naka' yang
diadakan di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor,
Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Dibalik keanehan binatang Komodo yang hidup di bumi Congka Sae, sebutan
untuk bumi Mangggarai Raya, tersimpan berbagai keunikan tradisi dan
budaya masyarakat yang secara turun temurun diwariskan.
Selain
Tari Caci yang sudah terkenal di kalangan masyarakat Manggarai Raya, ada
tradisi-tradisi yang terus diupacarakan di rumah-rumah adat di seluruh
Manggarai Raya. Salah satu tradisi itu adalah Tradisi “Kapu Agu Naka”.
Pada
bulan Juli 2014, salah satu suku di Kampung Paang Lembor, Desa Wae
Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat menggelar ritual
“Kapu Agu Naka”. Kapu artinya pangku dan Naka artinya, riang. Kapu agu
Naka diartikan memangku seseorang dengan penuh riang atas berbagai
keberhasilan, baik memberikan keturunan yang berkembang banyak maupun
kesuksesan dalam menggarap sawah, kebun dan sekolah.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Sesajen yang digantung di rumah adat Gendang dalam ritual 'Kapu Agu
Naka' yang diadakan di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan
Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Warisan leluhur ini harus dilaksanakan oleh keturunan dalam kehidupan
masyarakat Manggarai Raya. Uniknya, ritual ini digelar untuk menghormati
leluhur yang telah berjasa memberikan keturunan yang terus berkembang
di Kampung Paang Lembor maupun yang berdomisili di luar kampung
tersebut.
Ritual ini selalu ditunda-tunda karena kemampuan warga
yang terbatas untuk membeli berbagai hewan, seperti kerbau, babi dan
ayam serta menyiapkan berbagai kebutuhan dalam ucapara tersebut. Lalu
ditunda-tunda acaranya maka leluhur memberikan teguran kepada
keturunannya berupa sakit yang tidak pernah sembuh, tersendat-sendat
keberhasilan dalam pendidikan perguruan tinggi.
Menganalisis
tanda-tanda itu ditambah dengan mimpi dari sejumlah warga maka tetua
adat Kampung Paang Lembor sepakat menggelar tradisi “Kapu Agu Naka”.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Warga Manggarai Raya menyambut kedatangan Konsulat Australia di
Denpasar yang menghadiri ritual 'Kapu Agu Naka' yang diadakan di Kampung
Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai
Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Benediktus Koro, kepada
Kompas.com, di Rumah adat Gendang Paang
Lembor pada pertengahan Juli 2104 menjelaskan, leluhur dari warga
masyarakat di Paang Lembor dikenal dengan panggilan Empo Tok. Ayah dari
Empo Tok ini adalah Sor Mondong. Saat Empo Tok masih kecil, ayahnya
meninggal dunia. Lalu, ketika ayahnya meninggal, Empo Tok menjadi “Lalo”
(anak yatim piatu) di kampung tersebut. Setelah itu Empo Tok tinggal
dengan keluarga tantenya di wilayah Ndoso, Kecamatan Ndoso.
Benediktus
menjelaskan, Empo Tok adalah anak tunggal dari keturunan Sor Mondong
(ayahnya). Saat bertumbuh besar dan menjadi pemuda serta memiliki
keluarga, Empo Tok menggelar ritual “Oke Lewang Leca Kando Lalo” artinya
buang semua sial dan cukup dia saja yang menjadi anak tunggal.
Dalam
ritual itu, Empok Tok mengambil seekor ayam jantan warna putih. Lalu
dia “Wada” atau bersumpah: "Ini ayam putih. Karena saya hidup sendirian
melalui ayam warna putih ini saya minta berkat dari Yang Maha Kuasa agar
keturunan saya berkembang biak di kemudian hari. Cukup saya saja yang
anak tunggal. Apabila permohonanku terwujud maka keturunan saya
menggelar ritual Kapu Agu Naka sebagai ucapan terima kasih dan bersyukur
atas rahmatMu dengan kerbau berwarna belang-belang."
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Sesajen yang sudah siap diberikan kepada leluhur dalam ritual 'Kapu Agu
Naka' di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor,
Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Diperkirakan 400 tahun silam pesan itu disampaikan dan masih diingat oleh keturunnya dengan mengisahkan terus menerus.
Sesudah
gelar ritual itu, sebagaimana dikisahkan nenek moyang, Benediktus
menuturkan, Empo Tok memperistrikan Anos. Hasil perkawinannya lahirlah
anak-anak mereka yakni Tonjong (anak sulung), Panjong (anak kedua), Koro
(anak ketiga) dan Golo (anak bungsu).
Lalu Benediktus
menjelaskan, keturunannya mulai lupa atas pesan leluhur mereka
mengakibatkan “do Nangki” artinya, bermacam musibah sakit yang tak
pernah disembuhkan. Kadang-kadang hadir dalam mimpi. Ada banyak warga
Kampung Paang Lembor sakit dan berobat di Rumah Sakit di Manggarai Raya,
namun, tidak pernah sembuh.
Lalu, warga mencari alternatif
dengan meminta orang pintar dari kampung tetangga. Lalu, orang pintar
melihat tanda-tanda itu bahwa warga Kampung Paang Lembor dari keturunan
leluhur mereka lupa melaksanakan ritual “Kapu Agu Naka” atau ritual
ucapan bersyukur sebagaimana yang dipesan leluhur zaman dulu.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Ritual 'Kapu Agu Naka' di Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka,
Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada
Juli 2014.
Setelah mendengar saran dari orang pintar, tetua adat di Kampung Lembor
menggelar ritual kecil di rumah adat Gendang Paang Lembor dan sepakat
menggelar ritual besar yakni “Kapu Agu Naka”. Setelah upacara kecil di
rumah adat gendang Paang Lembor, sejumlah warga yang sakit
perlahan-lahan sembuh. Keturunan dari Empo Tok, jelas Benediktus,
berkembang sampai di Kampung Kilor, Kampung Bangka Maring, Kampung
Lingko Wae dan Paang Lembor sendiri. Paang Lembor sebagai pusatnya.
Benediktus
menjelaskan, berkat dari doa para leluhur itu, berbagai pekerjaan yang
dilakukan keturunannya selalu berhasil dalam sekolah, sehat, usaha
pertanian berjalan lancar dan hasil panen padi berlimpah. Bahkan, rahmat
itu menghasilkan tujuh orang sudah doktor. “Kami bangga ritual ini
disaksikan oleh seorang Konsulat
Australia di
Bali saat berkunjung ke Pulau Flores,” ucapnya.
Seorang putra Paang Lembor, Dr Agustinus Bandur kepada
Kompas.com di Kampung itu pada Juli 2014 menjelaskan, ada pesan dari Empo Tok dengan kata-kata seperti ini:
“Eme Beka agu Buar, neka Ghemong Naring mori agu ngaran kudut kapu agu naka”
yang artinya: "Kalau keturunan berkembang biak, jangan lupa mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai pemberi hidup."
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Konsulat Australia memakai pakaian adat Manggarai Raya di Kampung Paang Lembor, Nusa Tenggara Timur pada Juli 2014.
Bandur menjelaskan, permohonan dari leluhur di Kampung Paang Lembor
direstui Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga keturunannya berkembang biak.
“Saat acara ini digelar, saya undang Kedutaan
Australia di Jakarta. Lalu, mereka mengutus seorang Konsulat
Australia di
Bali,” jelasnya.
Pada
ritual itu ada tahap-tahap yang dilalui di antaranya, berdoa di kuburan
leluhur, Barong Wae, upacara adat di mata air sampai puncak pada Paki
Kaba atau bunuh kerbau yang berwarna belang-belang.
Menurut
Bandur, di Kecamatan Lembor memiliki tempat wisata yang menarik, di
antara persawahan Lodok atau persawahan berbentuk Sarang Laba-Laba,
Istana Ular, hamparan persawahan Lembor, serta ritual-ritual adat yang
masih sangat unik.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Keindahan pegunungan di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur.
Untuk menuju ke wilayah Lembor tidak terlalu sulit karena berada di
jalan Lintas Transflores Maumere-Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo ditempuh
dalam waktu 2 jam dengan kendaraan roda empat. Paang Lembor memiliki
arti. "Paang" artinya pintu gerbang sedang "Lembor" adalah nama sebuah
kecamatan. Jadi Paang Lembor adalah perbatasan antara Kabupaten
Manggarai dengan Kabupaten Manggarai Barat.
“Banyak potensi
wisata yang harus dikembangkan dan dipromosikan ke dunia luar sehingga
wisatawan dapat menyaksikan ritual-ritual adat orang Manggarai Raya,”
kata Bandur.