Mbeko: mantra (rewos)
itu bgn dari sastra. Ada seni tutur dalam mantra. Berikut salah satu
contoh sederhana bahasa mantra dalam Bahasa Manggarai :"Usang one sua,
rewung one telu, kar kanggang, melo renggong, meti tasik, kole lau go
usang ". Ini nyanyian yg sy ingat
ketika masih kecil. Namun, ini bukan Mantra (Ilmu) hitam. Sy belum
temukan contoh teks ilmu hitam dalam Ilmu Hiram (Mbeko Janto) Manggarai.
Sy tak tahu dengan Pa Yan. Boleh berbagi pa kalau sudah ada. Terima
kasih. GBU. (VMG, Hari Raya Nyepi, 7 Maret 2019, disalin di JPS, 8 Maret 2019).
Weri Mata Nii (Menanam benih padi di lahan kering) di Suku Gunung dan Kenge , Kota Komba, Manggarai Timur.
Beberapa hal penting untuk dikketahui dan dipikirkan solusinya:
1. Anak ranar (anak rona) = pemberi pengantin perempuan dalam sistem perkawinan
2. Budaya asali Manggrai adalah budaya lahan kering sedangkan budaya sawah adalah budaya impor. Sekarang seiiring dengan trend makan nasi, budaya ladang dengan begitu bayak tanaman (kacang panjang, jewawut, mentimus, kestela) itu hampir punah karena diganti budaya sawah. Perubahan ini bukan tanpa resiko pada budaya. Budaya ladang kayan dengan ritus-ritus / budaya lisan. Resiko itu adalah budaya berladang semakin tergerus makan dengan sendirinya ritus ladang turut terancam punah. Bagaimana masyarakat (adat) Manggarai menyikapi hal ini.
Ada usulan bahwa 2 wilayah (ladang dan sawah) itu harus tetap ada, terutama wilayah ladang. Krn dengan demikian maka budaya dan ritusnya akan tetap terpelihara.
3. Peran Tua' Golo dan Tua' Teno. Tua' Golo (Gendang) adalah kepala kampung (rumah), sedangkan Tua' Teno adalah kepala Lingko Tanah Ulayat. Pembagian Tanah Ulayat menjadi kewenangan Tua Teno. Keduanya dwitunggal, namun tetap perlu ada demarkasi dalam pembagian tugas. Komunikasi yang intens antara keduanya merupakan suatu memutlakan.
4. Dalam rangka lestarinya kebudayaan, penting bahwa Masyarakat Adat Memiliki Kalender Pertanian sendiri. Kalennder itu lalu diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah perlu mendukung upaya itu.
5. Budaya Sawah tetap perlu mengedepanlan budaya lisan. Meski disinyalir sebagai budaya impor, ritus -ritus budaya ladang tetap perlu diterapkan di sawah. Sawah jangan dibiarkan tanpa budaya.
Genderuwo adalah makhluk mitologi masyarakat lokal Nusantara. Ada banyak
deskripsi mengenai makhluk ini yang diceritakan dari mulut ke mulut.
Antropolog
asal Amerika Serikat Clifford Geertz mengklasifikasikan makhluk halus
di Indonesia dalam 5 jenis, yakni memedi, lelembut, tuyul, demit, serta
danyang. Memedi disebut Geertz adalah sejenis makhluk yang secara
harfiah berarti tukang menakut-nakuti. Sedangkan lelembut adalah makhluk
yang bisa membuat seseorang jadi gila dan tuyul disebut sebagai makhluk
halus anak-anak.
Demit digambarkan sebagai makhluk halus yang
menghuni suatu tempat. Sedangkan danyang kurang-lebih seperti demit,
tapi lebih diidentikkan dengan tokoh atau leluhur yang sudah meninggal
dan bertugas melindungi.
"Kepercayaan kalangan abangan di
Mojokuto terhadap makhluk halus bukanlah bagian dari sebuah skema yang
konsisten, sistematis, dan terintegrasi, tetapi lebih berupa serangkaian
imaji yang berlainan, konkret, spesifik serta terdefinisikan secara
agak tajam--metafora visual yang tidak terkait satu sama lain memberi
bentuk kepada berbagai pengalaman yang kabur dan yang kalau tidak
demikian, tidak akan dapat dimengerti," tulis Geertz dalam bukunya yang
berjudul 'The Religion of Java' pada 1960 versi terjemahannya berjudul
'Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi' yang diterbitkan pertama kali
pada 1985.
Genderuwo termasuk golongan memedi atau yang tugasnya
menakut-nakuti. Genderuwo adalah jenis memedi laki-laki, sedangkan untuk
yang perempuan disebut 'wewe'.
"Genderuwo, jenis memedi paling
umum, pada umumnya lebih senang bermain-main daripada menyakiti dan suka
mengerjai manusia, seperti menepuk pantat perempuan, memindahkan
pakaian seseorang dari rumah dan melemparkannya ke kali, melempari atap
rumah dengan batu sepanjang malam, melompat dari belakang sebatang pohon
di kuburan dengan wujud besar serta hitam dan sebagainya," kata Geertz.
Dalam
penelitian Geertz, yang bersumber dari wawancara dengan penduduk lokal,
genderuwo sejatinya tak punya maksud melukai. Namun ada kalanya
genderuwo bisa dibilang berbahaya.
Genderuwo bisa berubah wujud
menjadi manusia atau lebih tepatnya saudara yang kita kenal. Dia lantas
diyakini menculik anak-anak, padahal kenyataannya tidak.
"Pada
suatu hari, di daerah seberang jalan tempat saya tinggal, seorang anak
hilang dan orang menduga ia telah diculik genderuwo. Lalu, orang pun
pergi kian kemari membuat suara gaduh yang riuh. Ternyata anak itu
membonceng kendaraan ke kota lain dekat daerah itu dan sama sekali bukan
diculik makhluk halus," tutur Geertz.
Sejarah Kekuasaan di Manggarai Raya, dari Perang Todo vs Cibal, Hingga Pilkada Langsung
18507
Floresa.co – Tahun 2015, menjadi momentum penting
bagi Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat. Bersama sejumlah daerah
lain di Indonesia, dua kabupaten yang merupakan bagian dari Manggarai
Raya ini, akan menggelar pemilihan kepala daerah.
Itu artinya, dua kabupaten yang terletak di Pulau Flores, NTT ini
tidak lama lagi akan memiliki pemimpin baru. Bupati terpilih itulah yang
akan meneruskan tongkat estafet kepemipinan di dua kabupaten itu.
Manggarai dan Manggarai Barat serta Manggarai Timur, dulunya
merupakan satu kabupaten. Namun, jauh sebelum menjadi sebuah kabupaten,
ketiga daerah yang dulunya hanya bernama Manggarai ini, sudah memiliki
sejarah panjang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Sebelum Belanda menguasai Manggarai pada 1908, ada sejumlah kerajaan
kecil berdaulat di Mangggarai. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Lamba,
Cibal, Welak, Todo-Pongkor dan Bajo.
Advertisement
Diantara kerjaan-kerajaan itu, kerajaan Cibal atau Nggaeng Cibal dan Adak Todo pernah terlibat dalam beberapa kali pertempuran dalam rangka memperluas teritori kekuasaan.
Pertempuran pertama antara Cibal dan Todo adalah pertempuran di Reok
dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot. Pertempuran ini
dimenanagkan Cibal. Perang Rongot ini melahirkan perang-perang
berikutnya, yaitu Perang Weol I dan Weol II.
Pada perang Weol I, kemangan masih ada pada pihak Cibal. Tetapi pada
perang Weol II dimenangkan oleh Todo sehingga batas kerajaan adak Todo
bukan lagi sampai di Wae Ras dekat Cancar, tetapi sampai jauh ke dekat
Beo Kina (Rahong Utara).
Kemudian, perang berikut adalah perang Bea Loli di Cibal. Pada perang Bea Loli, Cibal kembali kalah. Sehingga menurut cerita Watu Cibal dibawah ke Todo.
Setelah itu, Todo-Pongkor memperluas wilayah ke arah timur di Borong.
Maka, terjadilah perang Adak Tana Dena. Akibat perang Adak Tanah Dena
ini, batas Todo-Pongkor meluas hingga Watu Jaji.
Pada saat Todo-Pongkor konsentrasi mengikuti perang Adak Tanah Dena, pasukan Nggaeng Cibal melancarkan serangan ke pusat kekuasaan Todo-Pongkor. Saat itu, terjadi pembakaran rumah adat Todo, yang disebut tapa niang dangka,poka niang wowang.
Konon, niang dangka saat itu tak bisa dibakar. Pasukan dari Nggaeng Cibal kemudian memperdayai seorang perempuan tua yang namanya Kembang Emas saudari dari Kraeng Mashur Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa untuk mengetahui mengapa niang dangka tidak bisa dibakar.
Perempuan tersebut kemudian memberti tahu niang dangka bisa dibakar bila bisa mengambil jimat yang ada dibubungannya. Pasukan dari Cibal pun mengambil jimat di atas bubungan.
Lalu, kemudian baru bisa membakar niang dangka tersebut.
Sayangnya, mereka juga membakar perempuan yang memberitahu keberadaan
jimat itu. Pasukan Cibal berusaha mengembalikan WatuCibal yang dicaplok pada perang Weol II, namun tak bisa diangkat. Sampai sekarang Watu Todo dan Watu Cibal tertancap bersanding di kampung Todo.
Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat
kekuasaan sipil di Todo. Namun, karena topografinya yang kurang baik,
lalu pindah ke Puni, Ruteng. Secara resmi Belanda menaklukan Manggarai
pada 1908.
Ketika Belanda mulai menguasai Manggarai, Raja Todo (1914-2924) yaitu Kraeng Tamur dipindahkan ke Puni.
Dalam perjalanan sejarahnya, Belanda melihat Manggarai yang meliputi Wae Mokel awon (batas timur) dan Selat Sape salen
(batas barat) adalah satu kesatuan yang utuh. Tidak ada lagi Cibal,
tidak ada lagi Todo, tidak ada lagi Bajo, maka disebutlah Manggarai.
Karena itulah, pada tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari
Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang
Todo-Pongkor menjadi raja pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Kerajaan Manggarai bentukan Belanda ini terdiri atas 38 kedaluan.
Bersamaan dengan diangkatnya Raja Bagung, Belanda juga menyekolahkan
Kraeng Alexander Baruk ke Manado.
Alexander Baruk adalah anak dari Kraeng Tamur, raja Todo. Tahun
1931/1932, Alexander Baruk kemabli dari sekolahnya. Lalu, kemudian
diangkat menjadi raja Manggarai. Namun, karena raja Bagung masih hidup,
maka keduanya tetap raja. Raja Bagung sebagai “raja bicara” sedangkan
yang mengambil keputusan adalah Raja Baruk. Sehingga dulu ada istilah putus le Kraeng Wunut, bete le kraeng Belek.
Kekuasaan keduanya berakhir saat keduanya meninggal dunia. Raja
Bagung meninggal 1947. Sedangkan, Raja Baruk meninggal 1949. Kemudian,
keduanya diganti oleh Kraeng Langkas atau Kraeng Constantinus Ngambut,
juga dari Todo, menjadi raja hingga 1958.
Saat Manggaria menjadi daerah swaparaja, Kraeng Ngambut masih memimpin Manggarai sebagai kepala daerah hingga 1960.
Tahun 1960 itu juga kemudian dipilih bupati pertama Manggarai yaitu Charolus Hamboer dan memimpin hingga 1967.
Setelah bupati Hambur, kemudian diganti oleh Bupati Frans Sales Lega.
Bupati Lega memimpin sampai 1978. Setelah itu, 1978-1988, Manggarai
dipimpimpin Bupati Frans Dula Burhan. Lalu, 1988-1999, dipimpin Gaspar
Parang Ehok.
Pada masa transisi 1999-2000, Manggarai dipimpin oleh bupati
sementara Daniel Woda Pale. Di era reformasi, bupati pertama yang
memimpin adalah Antony Bagul Dagur yang memimpin Manggarai dari tahun
2000 hingga 2005.
Tahun 2005 diangkat bupati sementara Wilem Nope sebelum adanya bupati definitif hasil pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pilkada langsung pertama di Manggarai berhasil dimenangkan pasangan
Christian Rotok-Deno Kamelus. Pasangan dengan sebutan Credo ini, kembali
terpilih pada pilkada langusng 2010. Kedunya memimpin Manggarai hingga
September 2015 ini.
Pada tahun 2003, ada pembentukan kabupaten Manggarai Barat sebagai
pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang ditunjuk memimpin
Manggarai Barat dari 2003-2005 adalah Fidelis Pranda.
Pada pilkada langsung 2005, Fidelis Pranda yang berpasangan dengan
Agustinsu Ch Dula berhasil menjadi bupati dan wakil bupati hingga 2010.
Pasangan ini pecah kongsi pada pilkada 2010. Agustinus Ch Dula yang
berpasangan dengan Maximus Gasa berhasil memenanagkan pertarungan dalam
satu putaran. Kedunya pun memimpin Manggarai Barat hingga September
2015.
Tahun 2007, terbentuk juga Kabupaten Manggarai Timur, hasil pemekaran
dari Manggarai. Bupati sementara yang diangkat untuk memimpin Manggarai
Timur tahun 2007-2008 adalah Frans Padju Leok.
Tahun 2008, berlangsung pilkada pertama untuk Manggarai Timur dan
berhasil dimenangkan oleh Yosep Tote yang berpasangan dengan Andreas
Agas. Pada Pilkada 2013, pasangan dengan sebutan Yoga ini kembali
terpilih untuk pimpin Manggarai Timur hingga 2018. (Petrus
D/PTD/Floresa). Artikel ini disarikan dari berbagai diskusi dan cerita dengan sejumlah narasumber yang dihubungi Floresa.co.
SEJARAH KEKUASAAN DI MANGGARAI RAYA, DARI PERANG TODO vs CIBAL HINGGA PILKADA.
Manggarai Barat serta Manggarai Timur, dulunya merupakan satu
kabupaten. Namun, jauh sebelum menjadi sebuah kabupaten, ketiga daerah
yang dulunya hanya bernama Manggarai ini, sudah memiliki sejarah panjang
tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Sebelum Belanda menguasai
Manggarai pada 1908, ada sejumlah kerajaan kecil berdaulat di
Mangggarai. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Lamba, Cibal, Welak,
Todo-Pongkor dan Bajo.
Diantara kerjaan-kerajaan itu, kerajaan Cibal
atau Nggaeng Cibal dan Adak Todo pernah terlibat dalam beberapa kali
pertempuran dalam rangka memperluas teritori kekuasaan.
Pertempuran
pertama antara Cibal dan Todo adalah pertempuran di Reok dan Rampas
Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot. Pertempuran ini dimenanagkan
Cibal. Perang Rongot ini melahirkan perang-perang berikutnya, yaitu
Perang Weol I dan Weol II.
Pada perang Weol I, kemangan masih ada
pada pihak Cibal. Tetapi pada perang Weol II dimenangkan oleh Todo
sehingga batas kerajaan adak Todo bukan lagi sampai di Wae Ras dekat
Cancar, tetapi sampai jauh ke dekat Beo Kina (Rahong Utara).
Kemudian, perang berikut adalah perang Bea Loli di Cibal. Pada perang
Bea Loli, Cibal kembali kalah. Sehingga menurut cerita Watu Cibal
dibawah ke Todo.
Setelah itu, Todo-Pongkor memperluas wilayah ke
arah timur di Borong. Maka, terjadilah perang Adak Tana Dena. Akibat
perang Adak Tanah Dena ini, batas Todo-Pongkor meluas hingga Watu Jaji.
Pada saat Todo-Pongkor konsentrasi mengikuti perang Adak Tanah Dena,
pasukan Nggaeng Cibal melancarkan serangan ke pusat kekuasaan
Todo-Pongkor. Saat itu, terjadi pembakaran rumah adat Todo, yang disebut
tapa niang dangka,poka niang wowang.
Konon, niang dangka saat itu
tak bisa dibakar. Pasukan dari Nggaeng Cibal kemudian memperdayai
seorang perempuan tua yang namanya Kembang Emas saudari dari Kraeng
Mashur Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa untuk mengetahui mengapa
niang dangka tidak bisa dibakar.
Perempuan tersebut kemudian
memberti tahu niang dangka bisa dibakar bila bisa mengambil jimat yang
ada dibubungannya. Pasukan dari Cibal pun mengambil jimat di atas
bubungan.
Lalu, kemudian baru bisa membakar niang dangka tersebut.
Sayangnya, mereka juga membakar perempuan yang memberitahu keberadaan
jimat itu. Pasukan Cibal berusaha mengembalikan Watu Cibal yang dicaplok
pada perang Weol II, namun tak bisa diangkat. Sampai sekarang Watu Todo
dan Watu Cibal tertancap bersanding di kampung Todo.
Tahun 1907
Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil
di Todo. Namun, karena topografinya yang kurang baik, lalu pindah ke
Puni, Ruteng. Secara resmi Belanda menaklukan Manggarai pada 1908.
Ketika Belanda mulai menguasai Manggarai, Raja Todo (1914-2924) yaitu Kraeng Tamur dipindahkan ke Puni.
Dalam perjalanan sejarahnya, Belanda melihat Manggarai yang meliputi
Wae Mokel awon (batas timur) dan Selat Sape salen (batas barat) adalah
satu kesatuan yang utuh. Tidak ada lagi Cibal, tidak ada lagi Todo,
tidak ada lagi Bajo, maka disebutlah Manggarai.
Karena itulah, pada
tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai
menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja
pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Kerajaan Manggarai bentukan
Belanda ini terdiri atas 38 kedaluan. Bersamaan dengan diangkatnya Raja
Bagung, Belanda juga menyekolahkan Kraeng Alexander Baruk ke Manado.
Alexander Baruk adalah anak dari Kraeng Tamur, raja Todo. Tahun
1931/1932, Alexander Baruk kemabli dari sekolahnya. Lalu, kemudian
diangkat menjadi raja Manggarai. Namun, karena raja Bagung masih hidup,
maka keduanya tetap raja. Raja Bagung sebagai “raja bicara” sedangkan
yang mengambil keputusan adalah Raja Baruk. Sehingga dulu ada istilah
putus le Kraeng Wunut, bete le kraeng Belek.
Kekuasaan keduanya
berakhir saat keduanya meninggal dunia. Raja Bagung meninggal 1947.
Sedangkan, Raja Baruk meninggal 1949. Kemudian, keduanya diganti oleh
Kraeng Langkas atau Kraeng Constantinus Ngambut, juga dari Todo, menjadi
raja hingga 1958.
Saat Manggari menjadi daerah swaparaja, Kraeng Ngambut masih memimpin Manggarai sebagai kepala daerah hingga 1960.
Tahun 1960 itu juga kemudian dipilih bupati pertama Manggarai yaitu Charolus Hamboer dan memimpin hingga 1967.
Setelah bupati Hambur, kemudian diganti oleh Bupati Frans Sales Lega.
Bupati Lega memimpin sampai 1978. Setelah itu, 1978-1988, Manggarai
dipimpimpin Bupati Frans Dula Burhan. Lalu, 1988-1999, dipimpin Gaspar
Parang Ehok.
Pada masa transisi 1999-2000, Manggarai dipimpin oleh
bupati sementara Daniel Woda Pale. Di era reformasi, bupati pertama yang
memimpin adalah Antony Bagul Dagur yang memimpin Manggarai dari tahun
2000 hingga 2005.
Tahun 2005 diangkat bupati sementara Wilem Nope sebelum adanya bupati definitif hasil pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pilkada langsung pertama di Manggarai berhasil dimenangkan pasangan
Christian Rotok-Deno Kamelus. Pasangan dengan sebutan Credo ini, kembali
terpilih pada pilkada langusng 2010. Kedunya memimpin Manggarai hingga
September 2015 ini.
Pada tahun 2003, ada pembentukan kabupaten
Manggarai Barat sebagai pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang
ditunjuk memimpin Manggarai Barat dari 2003-2005 adalah Fidelis Pranda.
Pada pilkada langsung 2005, Fidelis Pranda yang berpasangan dengan
Agustinsu Ch Dula berhasil menjadi bupati dan wakil bupati hingga 2010.
Pasangan ini pecah kongsi pada pilkada 2010. Agustinus Ch Dula yang
berpasangan dengan Maximus Gasa berhasil memenanagkan pertarungan dalam
satu putaran. Kedunya pun memimpin Manggarai Barat hingga September
2015.
Tahun 2007, terbentuk juga Kabupaten Manggarai Timur, hasil
pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang diangkat untuk memimpin
Manggarai Timur tahun 2007-2008 adalah Frans Padju Leok.
Tahun 2008,
berlangsung pilkada pertama untuk Manggarai Timur dan berhasil
dimenangkan oleh Yosep Tote yang berpasangan dengan Andreas Agas. Pada
Pilkada 2013, pasangan dengan sebutan Yoga ini kembali terpilih untuk
pimpin Manggarai Timur hingga 2018.
Artikel ini disarikan dari berbagai diskusi dan cerita dengan sejumlah narasumber yang dihubungi
Kala ‘Niang’ Todo Jadi Lautan Api Disergap Pasukan ‘Purak’ Cibal
Saat kuda si putri bersama pengiringnya berarak menuju benteng, mbeko Rebo Ame Rembong mengirimkan kabut rendah yang tebal dari belakang. Di bawah kabut itu, merayap pasukan Todo maju menuju benteng Cibal.
Kupang, Vox NTT-Jumat, 20 November 1761. Dalam kesengitan arus musim barat, sebanyak 27 buah perahu asal Bima meninggalkan Warloka, Manggarai Barat menuju negeri Todo di Manggarai.
Perahu yang mengangkut sekitar 500-an pasukan siap tempur Bima itu dipimpin oleh Tureli Bolo bernama Ismail.
Selain pemimpin pasukan, Ismail juga diutus sebagai wali sultan Bima, Abdul Kadim untuk bertemu dengan pemimpin Adak (kerajaan) Todo.
Seminggu berlayar, mereka akhirnya tiba di pelabuhan Ramut yang terletak di pantai selatan Adak Todo.
Ramut atau yang dikenal Wae Ramut berada di bawah pengawasan langsung fungsionaris bangsawan Todo.
Jarak dari ibu kota negeri Todo masih cukup jauh sekitar 20-an kilo meter ke pedalaman.
Kehadiran 27 perahu itu, bukan untuk melakukan invasi ke Manggarai sebagaimana yang ditulis dalam Naskah Bima.
Bima sesungguhnya datang demi menepati permintaan utusan Todo yang diantar dan dijurubicarai ‘Dalu Bajo’.
Delegasi Todo yang ke Bima terdiri dari Prera Ame Keka, Klaru, Cebut Ame Ncerum, Gura Ame Undam dan Tandang Ame Tondong (Wakil adak Bajo yang menjadi pengantar jalan dan penerjemah).
Adak Bajo dimintai Todo karena mengenal bahasa Bima dan mempunyai hubungan baik secara turun temurun.
“Kehadiran delegasi resmi Todo kepada Sultan Bima sebenarnya kejadian teramat penting sebab memiliki nilai sah secara yuridis menghalalkan kehadiran Bima di wilayah Adak Todo,” demikian jelas Dami N Toda dalam bukunya Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi.
Pengiriman bantuan Todo ke Bima berhubungan dengan serangan Cibal terakhir yang didukung perwakilan Goa di Reok dan Adak Lambaleda. Serangan mematikan sekaligus memalukan itu dikenal dengan sebutan Purak (sergap).
Koalisi pasukan Cibal melancarkan purak untuk membalas kekalahan sebelumnya di perang Weol.
Perang di Benteng Weol
Sebelum bantuan Bima itu tiba, perang besar dengan pasukan adak Cibal menjadi sejarah yang tak terlupakan di Manggarai.
Cerita perang ini bahkan masih terekam jelas di benak generasi tua Manggarai.
Pasukan Todo di bawah pimpinan Kraeng Ilang Randut, sementara pihak Cibal dipimpin Nggaeng Dapang Lando Kakor Nalo Holes, putra Nggaeng Pangge Tande.
Serangan Todo dipersiapkan dari Benteng Golo Nawang terhadap kosentrasi pasukan Cibal di Benteng Weol (Rahong Selatan).
Benteng Weol merupakan salah satu pusat kekuatan rakyat Cibal bersama para dalu dan gelarang di bawahnya.
Perang yang berkepanjangan selama lima tahun tanpa menjatuhkan benteng Weol mengakibatkan kekurangan makanan serta sakit penyakit di pihak Adak Todo.
Melihat situasi yang kian terjepit, datanglah usulan taktik perang dari Reno Ame Rembong (dari Gelarang Popo) yang memiliki mbeko (ilmu gaib).
Usulan yang disampaikan ke Kraeng Ilang Randut yakni mendandani si Monis (sebutan untuk istri Kraeng).
Monis dinaikan ke atas kuda dengan memakai payung berwarna kuning untuk berpura-pura dipersembahkan kepada Nggaeng Dapang di dalam benteng Weol.
Saat kuda si putri bersama pengiringnya berarak menuju benteng, mbeko Rebo Ame Rembong mengirimkan kabut rendah yang tebal dari belakang. Di bawah kabut itu, merayap pasukan Todo maju menuju benteng Cibal.
Pasukan Cibal tercengang melihat putri yang cantik duduk berpayung kuning di atas kuda berhias itu. Sementara para pengiring laki dan perempuan membawa bendera putih tanda penyerahan diri.
Nggaeng Cibal kemudian bertanya, di mana gerangan Kraeng Ilang Randut? Pengiring menjawab “Sudah balik ke Todo Mori”.
Dia pun berkata, “Hoi, kali toe ata rona hi Randut hitu ta” (Wah, padahal bukan laki-laki si Randut itu).
Nggaeng Dapang kemudian memerintahkan penjaga membuka pintu benteng untuk memasukan putri persembahan Todo ke perkemahaan di dalam benteng.
Sementara pasukan Cibal bersuka cita dengan pintu benteng yang terbuka, pasukan Todo meyergap pasukan Cibal hingga lari terberai.
Hasil dari kemenangan itu kemudian mengubah perbatasan baru wilayah Cibal dan Todo.
Adak Todo mendapat alihan kekuasaan atas 4 kedaluan bawahan Cibal: Dalu Rahong, Dalu Ndoso, Dalu Ruteng dan Dalu Ndehes.
Serangan Balasan Cibal
Beberapa waktu kedua Adak memang hidup secara damai. Namun dendam atas kekalahan akibat tipu muslihat Todo serta penyempitan wilayah Adak Cibal menimbulkan perang babak baru.
Cibal kemudian meminta bantuan bala tentara kerajaan Goa (Makasar) yang bermarkas di Reok.
Tak cukup dengan bantuan Goa, Adak Cibal juga meminta bantuan Adak Lamba Leda untuk menyerang langsung atau purak ke pusat Adak Todo. Waktu yang paling tepat untuk menyerang mulai dipikirkan.
Sementara, kemenangan Todo di benteng Weol bagaikan api penyemangat untuk melancarkan invasi ke daerah lain di Flores Barat.
Todo terus melancarakan ekspansi ke wilayah bagian timur Manggarai dengan menggempur Adak Tana Dena.
Saat perhatian Todo fokus ke timur, pihak Cibal yang kala itu dipimpin Nggaeng Gande Ame Rambe, berhasil menggagas strategi purak ke jantung ‘beo’ Todo.
Serangan ini dilancarkan melalui benteng Wae Kukur yang dijaga oleh Kraeng Janggok, putra Kraeng Re bersama gelarang Ling.
Benteng Wae Kukur pun berhasil ditaklukan Cibal. Dari arah bukit Kebe Gego, pasukan Cibal dapat melihat benteng Pongkor di seberang Wae Mese menyala dengan polesan warna kapur putih dan dentuman ancaman tembakan meriam Laro Bajo.
Ancaman itu, tak membuat nyali pasukan Cibal ciut. Siasat Cibal bukan serangan ke benteng Wae Mese, tetapi ke jantung Beo Todo.
Pasukan Cibal kembali pulang ke benteng Wae Kukur untuk memasuki Todo dari arah belakang, melewati punggung gunung.
Dengan menyogok penjaga benteng Wae Kukur sebanyak 20 orang hamba, pasukan Cibal mendapat jalan rahasia lewat punggung gunung Todo melewati Ndajang-Lia-Repok-Desu dan akhirnya memasuki Todo dari belakang tanpa terjaga.
Sementara kosentrasi pasukan Todo berada di dua benteng di sebelah utara, agak jauh di depan.
Pasukan purak Cibal yang terpimpin rapi dalam waktu sekejap membakar rumah-rumah orang Todo yang beratap ijuk. Dalam sekejap pula, kampung pusat peradaban itu menjadi lautan api.
Pasukan Todo yang berada di benteng terdekat kaget melihat kepulan asap yang membubung ke langit. Mereka membutuhkan waktu satu jam untuk sampai ke pusat kampung.
Dami N Toda, dari sumber lisan mengisahkan, meski rumah-rumah lain terbakar, namun rumah induk atau yang biasa disebut Niang Dangka Todo (rumah bercabang) tidak bisa terbakar karena dilindungi ilmu gaib.
Sementara bagi Cibal, rumah itu adalah simbol Adak Todo yang harus dilenyapkan. Maka dalam waktu singkat dipikirkan cara membakarnya sebelum pasukan terdekat Todo tiba.
Nggaeng Ponjung tak hilang akal. Ia memaksa seorang nenek tua lumpuh bernama Ntomang (ibu Kraeng Ilang Randut) untuk membuka rahasia sakti rumah itu dengan jaminan tidak akan membunuhnya.
Nenek Ntomang sepakat namun punya persyaratan: mengembalikan padanya barang yang tersimpan di dalam rumah itu.
Syarat diterima. Pasukan Cibal pun disuruh naik ke atas bubungan niang, membuka sembilan depa kain putih yang melilit ngando (tiang bubungan) dan mengambil emas gumpalan dari dalamnya. Emas itu harus diserahkan kepadanya.
Setelah petunjuk itu dilakukan, pasukan Cibal membakar rumah itu hingga rata dengan tanah. Namun Nggaeng Ponjung mengingkari janjinya.
Nenek tua itu dilemparkannya ke dalam amukan api Niang Dangka.
Sebelum tubuhnya hangus terbakar, sang nenek mengucapkan sumpah serapah atau dalam bahasa Manggarai disebut Wada yang berbunyi demikian:
“Cing teke sili/wela teke pea’ng/neho aku taung o’om tai/toe le uwa dise anakg ho’o/lise empo teke wan tai/kudut kawe rangga”
Selain Niang Dangka, target lain pasukan Cibal adalah batu Todo yang berbentuk seperti tugu. Namun, batu tersebut tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.
Setelah merampas apa saja yang bisa dibawa, pasukan purak Cibal kembali melalui jalan rahasia dengan aman.
Terhina oleh purak itulah, maka Adak Todo mencari dukungan ke Bima dan Adak Bajo untuk serangan balasan.
Menurut, Dami N Toda, cerita lisan yang merupakan ciri khas sumber asli Manggarai ini, merupakan bukti bahwa Bima tidak pernah meginvasi Manggarai secara langsung.
Kehadiran 27 perahu yang masuk ke Todo bukan untuk berperang seperti yang tertulis dalam Naskah Bima tulisan H. Ahmad/Held.
Sebaliknya, Bima hadir karena diminta oleh Adak Todo untuk membalas serang purak mengingat keterlibatan Goa dan Adak Lamba Leda di belakang Cibal.
Lalu, bagaimana sampai Kesultanan Bima mengklaim Manggarai sebagai daerah jajahan dan meminta upeti berupa budak?
Simak kisah selanjutnya….
Penulis: Irvan K
Sumber utama: Dami N Toda dalam bukunya “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi”
Cako: Penggawa de Mori Keraèng mai kerèba agi hi Maria Nggeluk
Wale: Ai hia poli dè’i le Nai Nggeluk
— Tabè-O Maria —
Cako: Aku ata koè de Mori Keraèng
Wale: Nia kèta taè Ditè, lorong laku
— Tabè-O Maria —
Cako: Anak de Mori Keraèng poli ciri ata manusia
Walè: Hia poli kaèng baling itè
— Tabè-O Maria —
Cako: Endè Nggeluk de Mori Keraèng, tegikoè latang te ami
Walè: Kudut ami haèng batè rekè di Kristus
— Ngaji de ga: —
Yo Mori, poli pecing lami le kerèba de
Mori Malèkat, Kristus anak Ditè poli ciri ata manusia: tegi lami lolikoè
Litè Mori, widang nggeluk ditè onè pucu dami, kudut le susa panggol
Diha, ami to’o kolè tai agu nèra mèsè, landing Kristus hitu Mori dami.
Amèn.
Yo Sengaji, yo Endè daku, aku condo weki
rug agu Itè. Agu kudut aku anak ata sundur onè ranga Ditè, aku condo
agu Itè, mata daku, tilu daku, mu’u daku, agu sangged kèta taung wekig.
Landing hitu yo Endè di’a, ai aku nenggitu Ditèg morin, lamikoèk aku,
cakakoèk aku, neho paèng Ditè agu ceca de rum.
Di’a Kèta Naid
Cako: Di’a kèta naid, Raja Surga, Alleluya
Walè: Ai Hia ata patun te na’ang weki Ditè, Alleluya
Cako: Mosè kolè nèho poli taèn, Alleluya
Walè: Tegikoè latang te ami agu Mori Keraèng, Alleluya
Cako: Delèk agu di’a nai laing Maria Ata Molas, Alleluya
Walè: Landing Mori mosè kolè tuung, Alleluya
— Ngaji de ga: —
Yo Mori Keraèng ata poli pandè di’a nai
de lino, ai anak Ditè Yesus Kristus to’o kolè wa mai boan. Tegi lami:
tèingkoè ami, le tongka di Maria ata Molas, Endè Diha, lèlak te mosè
tèdènglèn, landing Kristus hitu Mori dami. Amen.
Mr. William, the singer, is a traditional palm-sugar maker. But he likes to sing, a traditional song, so much. His playing guitar was not good enough, but, I really enjoyed it. This video was taken about 2 years ago in front of his house. I call it "sound from heaven" because it takes me to a memorable place and moment.
Landu:
O..........
1. Beo one Kolang
Satarara
Suka
Tebang
Teno
Dadar
Lasang
.Pata
Ker
.Ranggu
Kondok
Ndieng
Kolang
Lenga
Bentang (?)
Rawuk
Lakang
Nua
Nggolo
Lawi
Tado
Ndaung
Monsok
Bentang
Borong
Muang
Ngalo,
Tueng
Ko'et
Dampul
Pitak
Mbajang
Golo Gonggo
Hawe
Wajur
Nao
Masing
Wetik
Rejing
Wol
Kotok
Balo
Lambur
Leda
Dahang
Runa
2. Bilang
1 = sa
2 = hua
3= telu
4= pad
5 = lima
6 = enem
7 = pitu
8 = alo
9 = siok
10 = sempulu
11 = sempulu sa
12 = sempulu sua
13 = sempulu telu
14 = sempulu pad
15 = sempulu lima
16 = sempulu enem
17 =aempulu pitu
18 = sempulu alo
19 = sempulu siok
20 = sua mpulu
JPS, 6 Juli 2019
DURIT BEO ONE KOLANG (NB: Judul by Frans Jelata), isi by.............................
Pika sabun jaonng data Rawuk
Mahal jaong data Lasang
Tawar lata Pata
Taluk lata Ranggu
Weli lata Wetik
Tuka tepo ata Teno
Kala ming ata Daghang
Duat le Suka dodo hili Kotok
Imung ming ata Ndiuk
Woko seang lata Leda babe lata Hawe
Pande mbau lata Ndaung, bembeng lata Redek
Ndai lata Lait, tombo lata Monsok agu ata Nggorong
Gangga data Dadar boat ming ata Kotak Sai hae Daleng, sengka lata Lengkah Pika tete ming ata Ker, piha jaong data Bilah, Alo jaong data Balo. Sai hale Gonggo, weli huan lata Muang, Pika pau' wa Damput (?) Dampul (?) Pali lata Lawi, palak ming lata Lakang, Ngahok lata Ngalo, porong lata Longoh Sikat lata Pitak, sengka lata Se'ang Po'e lata Ko'et, temba lata Tebang Bike ming ata Ndieng, pampang lata Mbajang Pangoh lataLandong,pau lata Lambur Pua lata Runa, Lako ata Tado Hemong beo Jewong, pesing lata Rejing, tombo molor lata Wol Pahar le mai Satarara, Lorong kaut pesu le Golowelu Wentar lata Lenga, bongkar ming lata Kolang (JPS, 9 Juli 2019 - sumber : Forward John Pato / Pat Dekosta - WAG Golowelu I -, https://web.whatsapp.com/ )
TOMBO Manggarai - Dialek Kolang
Apa bedan tombo Kolang agu tombo Manggarai
One tombo Kolang, huruf s one tombo Manggarai jiri h one tombo Kolang, rapang, one kata usang, tombo Manggaarai, uhang one tombo Kolang.
Rapang one kata iwod:
Pisa - Piha
Sua - Hua
Ratus - ratuh
Mose - Mohe
Mese = Mehe
Senget = Henged
Salang - Halang
Sili - Hili
Sala - hala
Kamis - Kamih
Saki - Haki
Musi - Muhi
Luis - Luih
Ruis - Ruih
One kata-kata soo, pengecualian, rapang : sa ( # ha). Kecuali Sa (ca), tetap sa, rapang one bilang: sa hua, telu, pad, lima, enem, pitu, alo, siok, sempulu
Iwod kole, huruf o one tombo Manggarai, jiri u one tombo Kolang, rapang one kata Mori, tombo Manggarai, jiri Muri one tombo Kolang.
Rapang one kata iwod:
Gori - Guri
Rony - Runi
Jony - Juny
Koning - Kuning
Polus - Puluh
Kopi - kupi
Iwod kole, huruf t one tombo Manggarai, jiri d oe tombo Kolang, rapang one kata lopat, tombo Manggarai, jiri lopad one tombo Kolang
Iwod kole, huruf e agu s one tombo Manggarai, jiri a agu h one tombo Kolang, rapang one kata Mesak , tombo Manggarai, jiri Mahak one tombo Kolang
Mesak - mahak
Meseng = mahang
Keri (K) = kali (M) = padahal / asalkan / yang terpenting
Loho (K) = leso (M) = hari
Mawo (K) = woja (M) = padi
Dereng (K) = ndereng (M) = merah
Kata te ri (rei) Si (K) = Sei (M) = siapa (I). Si ngahang gau (Siapa nama kamu?) Ape (K) = Apa (M) = Apa (I). Apa hiti ? (Apa itu) Ngo nia? (mau ke mana) Kole nia mai (Pulang dari mana) Ata sui (K) = Ata soo (coo) = kenapa
Bp Loren,taung aluh dopo mol dite kaeng lino ho gah.tunim
ngger muhi rangam ngger 0l0,dedia lako kamping muri agu ngaran.(sor
war). (3 Nov. 2018)
https://www.facebook.com/vitus.jangkong.98
-------------------
Porong eme sai wotw, tawa lima gantang, regeh lima leke
https://www.youtube.com/watch?v=2vBnOt2SZQI
NUNDUK
TIWU PEKA
Tiwu Peka hoo hale lupi Wae Impor, Ranggu, Kolang, Manggarai Barat, Flores. Lupi Ranggu hitu manga beo Teno. Manga hua tau ata rona one sa tempad /beo. Sengata ata Golowelu, sengata ata Teno (?) . Ihe reme manga nempungd. Biasan du nempung manga siap tuak te inung. tuak hoo na' one leke du kudud inung. Remek dia tombo segod halla tuak hoo, wiga bowo wa tana. Ribeng hiad kudut inung tuak. Wajol mesen momangn latang tuak hood bowo, tegi diha, porong tuak hitud bowo wa tana nganse manga koley one leke. Ogo te ganti le tuak bana. "Ganti tak gaku e" jaong latang hiad pande bowo tuak. "E ... ngiti damang," wale dihad ata pande bowon. Hiad ata pande bowon sake tana te kudu agu pande manga kolen tuak hoo hod bowo one tana. Sake liha landing toe tara ita tuak hoo. Sake suku sake toe tara ita tuak hoo, bo ite mole jing tana Peka wa ga. Hia hoo mai kamping jing tana Peka. "Sui, betuan mai dite." ri de jing tana Peka. "Ole.. te tegi tuak dite aku ta. Mai lata (jing) hoo lege tuak hoo sedalo eros. Ting pacung - timpes gurung ata pande wokok neho ukuran mok te inung (?) . Landing hiad ata Golowelu ngoeng tuak hood one gogong eros. Bantang ihe. "Marang nggiti tong, hau paka bantu aku." tegi data (jing) tana Peka. "Bantu ape?" rei data Golowelu. "Hau sampe anak molas gaku," jaong de ata (jing) tana Peka. "Ata sui anak molah dite?" rei data Golowelu. Hia beti bokakn. " wale data tana (jing) Peka. Lelo data Golowelu hoo. Kali tuna ata haeng le pekang. "Sui eme nganceng laku rewos laku anak molas dite? " rai data Golowelu. "Eme ngance tong, maram agu hau ket anak molas gaku," jaong de data tana Peka. Eng lata Golowelu. "Sengka mu' gau," jaong data Gowowelu. "Sengka le ine wai molas hoo'. Emi haju ata sangkal one muun. "Sui rasan?" rei data Golowelu. "Mau toem betin," wale de ine wai molas (tuna). Ina betin bokak. Ai lorong reke du wangkan, ise sua kawing. Ba tuak liha, wa kole ine wai molas te jiri Wian laing. Ise mohe see Golowelu. Du kudut bekang tiba meka, ine wai jing tuna hoo ngo tiku wae. Landing, du toe di ngo tiku wae, hia mannga peden agu inangn. "Inang neka sero longa' jaongn. "E..." wale de inangn. Kali poli hitu, ianng hoo sero longa. One sosor /ngalor wae , dion rasan le ine wai one mai tuna hoo. "Ae.... ata wur agu oke aku ise iang agu anakn. Aku walang ga kole kamping ennde emag," jaong one nain ata molas one mai tuna hoo. Du sai one mbaru, tombo liha. "Woko tara sero longa dite inang, ngeng goo de ite wur agu oke aku. Aku walang ga kole kamping ende agu emag," jaongn. Tiba-tiba welwutir boat kaud hia agu jiri tuna kole. Hia ngo kawe nua bate sakke de ata Golowelu, ronan, kole wa Tiwi Peka. Ronan hoo ga, ngo batu. Ngo batu hoo diha, landing toem kole see Golowelu. Hia terus kaeng ngger wa Wangkung, Boleng. Ata Iwod ata Golowelu soo ga wesak ngger eta Lelak, wiga nanga Welu eta Lelak. Iwod wesak ngger awo Cumbi, iwo kole ngger awo par, wiga manga Welu kole awo Manggarai Timur. Ised so wa Wangkug Boleng, ihe ata anak de de tuna.
Sumber: tuturan (nunduk) Martinus Lede ( ame tua martinus lede) , usia sekitar 90 tahun, asal Teno, Kolang, Kecamatan Kuwus, Kab. Manggarai Barat, Flores, NTT. Perekam: Gaudens Suhardi , 21 Juli 2019 pkl 11:41 am.
Danong one lupi wai' Poso Kuwus manga beo Welu. One beo Welu hitu mohe hua tau ahe kae, Ndegur agu Ndegar. Ndegur kae, Ndegar ahe. Ihe sua rajin pante tuak. Sa loho Ndegur tegi sampe di Ndegar te ba tua one hekang. Pande li Ndegur. Landing....tuak hoo' bowo wa tana. Rabo hi Ndegur hoo. "Ghau paka batu tuak hitu wa tana," jaong di Ndegur te latang hia Ndegar. Sake tana te batu tuak hoo hia Ndegar. Sakke suku sake toe tara sumang tuak hoo. Mlah sumang ata sekilo. Ngo nitu hia Ndegar. "Ape mai mai hau ta?" rei data soo latang hia Ndegar. Tombo musi olon liha Ndegar. "Mai batu tuak ata bowo onne tana. Kae gaku jaong paka manga kole tua hitu itu po ngance kole one hekang aku, Dasor ngance sampe lite," gesar diha Ndegar. "Ta dod tuak gaku," jaong data hoo. Aku ngaceng ting hau tua eme hau ngance sampe aku. "Ape hitu ta ite" rei di Ndegar. "Lela le hau ta, anak molas gami, peti bokak. Eme nganceng pane inan le hau, tei tuak hau laku." jaong de ame data molas hoo. Sampe liha. Dia anak molah data hoo. Hia teing tuak agu taing kole anak molas te kawing agu hia Ndegar. Kole ngger one Weu hia Ngegar. Ba tuak te leko tuak de kaen. Poli hitu hia kole kaeng sama agu ata wa Tiwi Peka. Wajol toe tara kole hia, akhir mai hia Ndegur adak kelas hia Ndegar. Denga liha Ndegar. Kole hia. Adak kelas toe jadi ai mose kid hi Nndegar. Ise pesta. Hi Ndegar ba ag winan hiot one mai darat (tuna). Sa leso iset Welu sero longa, apa ata ireng de wina diha Ndegar. Woko isuk lawer longa hia Ndegar agu winan mora. Ise kole nggeor one beo data tua de ine wai, wa Tiwu Peka. Hai Ndegur kanang ata kaeng eta one Welu. Hitu nunduk hia Ndegur Welu agu Ndegar Peka.
JPS, 27 Juli 2019.
Po'nng / haju / bunga
Haung momang molas Kolang = bunga putih, edelweis, penangkis makhhluk halus ( te dungkang kakar tana) NUNDUK WANGKAN TIWU PEKA, WAE IMPOR, RANGGU, KOLANG, KUWUS BARAT
Tiwu Ndegar Peka, tiwu artinya kolam, ndegar artinya meluap atau tumpahan, peka artinya takaran dari bambu (gogong).
Ata Kolang pante tuak. Sa loho hemong too gula. Lad ngo pante. Ndegar (lepak) tuak, bambek ngo peang mai peka (gogong). Wa' ngger wa tana. Jiri tiwu, wiga ngahang ga tiwu Peka. Manga kakar tana kaeng one tiwu Peka. Kakar jana hitu jiri one mai Wae tuak raping. Wae tuak raping en (ine ) wai. Eme kudut mangan waen wae raping, paka dia' - dia lomes du tewan. Dere landu paka ngelo agu de dia dontor kudut ngase mai waen one mai soko raping.