http://www.floresa.co/2015/08/13/sejarah-kekuasaan-di-manggarai-raya-dari-perang-todo-vs-cibal-hingga-pilkada-langsung/
Sejarah Kekuasaan di Manggarai Raya, dari Perang Todo vs Cibal, Hingga Pilkada Langsung
Floresa.co – Tahun 2015, menjadi momentum penting bagi Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat. Bersama sejumlah daerah lain di Indonesia, dua kabupaten yang merupakan bagian dari Manggarai Raya ini, akan menggelar pemilihan kepala daerah.
Itu artinya, dua kabupaten yang terletak di Pulau Flores, NTT ini tidak lama lagi akan memiliki pemimpin baru. Bupati terpilih itulah yang akan meneruskan tongkat estafet kepemipinan di dua kabupaten itu.
Manggarai dan Manggarai Barat serta Manggarai Timur, dulunya merupakan satu kabupaten. Namun, jauh sebelum menjadi sebuah kabupaten, ketiga daerah yang dulunya hanya bernama Manggarai ini, sudah memiliki sejarah panjang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Sebelum Belanda menguasai Manggarai pada 1908, ada sejumlah kerajaan kecil berdaulat di Mangggarai. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Lamba, Cibal, Welak, Todo-Pongkor dan Bajo.
Advertisement
Diantara kerjaan-kerajaan itu, kerajaan Cibal atau Nggaeng Cibal dan Adak Todo pernah terlibat dalam beberapa kali pertempuran dalam rangka memperluas teritori kekuasaan.Pertempuran pertama antara Cibal dan Todo adalah pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot. Pertempuran ini dimenanagkan Cibal. Perang Rongot ini melahirkan perang-perang berikutnya, yaitu Perang Weol I dan Weol II.
Pada perang Weol I, kemangan masih ada pada pihak Cibal. Tetapi pada perang Weol II dimenangkan oleh Todo sehingga batas kerajaan adak Todo bukan lagi sampai di Wae Ras dekat Cancar, tetapi sampai jauh ke dekat Beo Kina (Rahong Utara).
Kemudian, perang berikut adalah perang Bea Loli di Cibal. Pada perang Bea Loli, Cibal kembali kalah. Sehingga menurut cerita Watu Cibal dibawah ke Todo.
Setelah itu, Todo-Pongkor memperluas wilayah ke arah timur di Borong. Maka, terjadilah perang Adak Tana Dena. Akibat perang Adak Tanah Dena ini, batas Todo-Pongkor meluas hingga Watu Jaji.
Pada saat Todo-Pongkor konsentrasi mengikuti perang Adak Tanah Dena, pasukan Nggaeng Cibal melancarkan serangan ke pusat kekuasaan Todo-Pongkor. Saat itu, terjadi pembakaran rumah adat Todo, yang disebut tapa niang dangka,poka niang wowang.
Konon, niang dangka saat itu tak bisa dibakar. Pasukan dari Nggaeng Cibal kemudian memperdayai seorang perempuan tua yang namanya Kembang Emas saudari dari Kraeng Mashur Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa untuk mengetahui mengapa niang dangka tidak bisa dibakar.
Perempuan tersebut kemudian memberti tahu niang dangka bisa dibakar bila bisa mengambil jimat yang ada dibubungannya. Pasukan dari Cibal pun mengambil jimat di atas bubungan.
Lalu, kemudian baru bisa membakar niang dangka tersebut. Sayangnya, mereka juga membakar perempuan yang memberitahu keberadaan jimat itu. Pasukan Cibal berusaha mengembalikan Watu Cibal yang dicaplok pada perang Weol II, namun tak bisa diangkat. Sampai sekarang Watu Todo dan Watu Cibal tertancap bersanding di kampung Todo.
Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil di Todo. Namun, karena topografinya yang kurang baik, lalu pindah ke Puni, Ruteng. Secara resmi Belanda menaklukan Manggarai pada 1908.
Ketika Belanda mulai menguasai Manggarai, Raja Todo (1914-2924) yaitu Kraeng Tamur dipindahkan ke Puni.
Dalam perjalanan sejarahnya, Belanda melihat Manggarai yang meliputi Wae Mokel awon (batas timur) dan Selat Sape salen (batas barat) adalah satu kesatuan yang utuh. Tidak ada lagi Cibal, tidak ada lagi Todo, tidak ada lagi Bajo, maka disebutlah Manggarai.
Karena itulah, pada tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Kerajaan Manggarai bentukan Belanda ini terdiri atas 38 kedaluan. Bersamaan dengan diangkatnya Raja Bagung, Belanda juga menyekolahkan Kraeng Alexander Baruk ke Manado.
Alexander Baruk adalah anak dari Kraeng Tamur, raja Todo. Tahun 1931/1932, Alexander Baruk kemabli dari sekolahnya. Lalu, kemudian diangkat menjadi raja Manggarai. Namun, karena raja Bagung masih hidup, maka keduanya tetap raja. Raja Bagung sebagai “raja bicara” sedangkan yang mengambil keputusan adalah Raja Baruk. Sehingga dulu ada istilah putus le Kraeng Wunut, bete le kraeng Belek.
Kekuasaan keduanya berakhir saat keduanya meninggal dunia. Raja Bagung meninggal 1947. Sedangkan, Raja Baruk meninggal 1949. Kemudian, keduanya diganti oleh Kraeng Langkas atau Kraeng Constantinus Ngambut, juga dari Todo, menjadi raja hingga 1958.
Saat Manggaria menjadi daerah swaparaja, Kraeng Ngambut masih memimpin Manggarai sebagai kepala daerah hingga 1960.
Tahun 1960 itu juga kemudian dipilih bupati pertama Manggarai yaitu Charolus Hamboer dan memimpin hingga 1967.
Setelah bupati Hambur, kemudian diganti oleh Bupati Frans Sales Lega. Bupati Lega memimpin sampai 1978. Setelah itu, 1978-1988, Manggarai dipimpimpin Bupati Frans Dula Burhan. Lalu, 1988-1999, dipimpin Gaspar Parang Ehok.
Pada masa transisi 1999-2000, Manggarai dipimpin oleh bupati sementara Daniel Woda Pale. Di era reformasi, bupati pertama yang memimpin adalah Antony Bagul Dagur yang memimpin Manggarai dari tahun 2000 hingga 2005.
Tahun 2005 diangkat bupati sementara Wilem Nope sebelum adanya bupati definitif hasil pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pilkada langsung pertama di Manggarai berhasil dimenangkan pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus. Pasangan dengan sebutan Credo ini, kembali terpilih pada pilkada langusng 2010. Kedunya memimpin Manggarai hingga September 2015 ini.
Pada tahun 2003, ada pembentukan kabupaten Manggarai Barat sebagai pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang ditunjuk memimpin Manggarai Barat dari 2003-2005 adalah Fidelis Pranda.
Pada pilkada langsung 2005, Fidelis Pranda yang berpasangan dengan Agustinsu Ch Dula berhasil menjadi bupati dan wakil bupati hingga 2010.
Pasangan ini pecah kongsi pada pilkada 2010. Agustinus Ch Dula yang berpasangan dengan Maximus Gasa berhasil memenanagkan pertarungan dalam satu putaran. Kedunya pun memimpin Manggarai Barat hingga September 2015.
Tahun 2007, terbentuk juga Kabupaten Manggarai Timur, hasil pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang diangkat untuk memimpin Manggarai Timur tahun 2007-2008 adalah Frans Padju Leok.
Tahun 2008, berlangsung pilkada pertama untuk Manggarai Timur dan berhasil dimenangkan oleh Yosep Tote yang berpasangan dengan Andreas Agas. Pada Pilkada 2013, pasangan dengan sebutan Yoga ini kembali terpilih untuk pimpin Manggarai Timur hingga 2018. (Petrus D/PTD/Floresa).
Artikel ini disarikan dari berbagai diskusi dan cerita dengan sejumlah narasumber yang dihubungi Floresa.co.
Manggarai Post. - NTT
SEJARAH KEKUASAAN DI MANGGARAI RAYA, DARI PERANG TODO vs CIBAL HINGGA PILKADA.
Manggarai Barat serta Manggarai Timur, dulunya merupakan satu kabupaten. Namun, jauh sebelum menjadi sebuah kabupaten, ketiga daerah yang dulunya hanya bernama Manggarai ini, sudah memiliki sejarah panjang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Sebelum Belanda menguasai Manggarai pada 1908, ada sejumlah kerajaan kecil berdaulat di Mangggarai. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Lamba, Cibal, Welak, Todo-Pongkor dan Bajo.
Diantara kerjaan-kerajaan itu, kerajaan Cibal atau Nggaeng Cibal dan Adak Todo pernah terlibat dalam beberapa kali pertempuran dalam rangka memperluas teritori kekuasaan.
Pertempuran pertama antara Cibal dan Todo adalah pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot. Pertempuran ini dimenanagkan Cibal. Perang Rongot ini melahirkan perang-perang berikutnya, yaitu Perang Weol I dan Weol II.
Pada perang Weol I, kemangan masih ada pada pihak Cibal. Tetapi pada perang Weol II dimenangkan oleh Todo sehingga batas kerajaan adak Todo bukan lagi sampai di Wae Ras dekat Cancar, tetapi sampai jauh ke dekat Beo Kina (Rahong Utara).
Kemudian, perang berikut adalah perang Bea Loli di Cibal. Pada perang Bea Loli, Cibal kembali kalah. Sehingga menurut cerita Watu Cibal dibawah ke Todo.
Setelah itu, Todo-Pongkor memperluas wilayah ke arah timur di Borong. Maka, terjadilah perang Adak Tana Dena. Akibat perang Adak Tanah Dena ini, batas Todo-Pongkor meluas hingga Watu Jaji.
Pada saat Todo-Pongkor konsentrasi mengikuti perang Adak Tanah Dena, pasukan Nggaeng Cibal melancarkan serangan ke pusat kekuasaan Todo-Pongkor. Saat itu, terjadi pembakaran rumah adat Todo, yang disebut tapa niang dangka,poka niang wowang.
Konon, niang dangka saat itu tak bisa dibakar. Pasukan dari Nggaeng Cibal kemudian memperdayai seorang perempuan tua yang namanya Kembang Emas saudari dari Kraeng Mashur Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa untuk mengetahui mengapa niang dangka tidak bisa dibakar.
Perempuan tersebut kemudian memberti tahu niang dangka bisa dibakar bila bisa mengambil jimat yang ada dibubungannya. Pasukan dari Cibal pun mengambil jimat di atas bubungan.
Lalu, kemudian baru bisa membakar niang dangka tersebut. Sayangnya, mereka juga membakar perempuan yang memberitahu keberadaan jimat itu. Pasukan Cibal berusaha mengembalikan Watu Cibal yang dicaplok pada perang Weol II, namun tak bisa diangkat. Sampai sekarang Watu Todo dan Watu Cibal tertancap bersanding di kampung Todo.
Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil di Todo. Namun, karena topografinya yang kurang baik, lalu pindah ke Puni, Ruteng. Secara resmi Belanda menaklukan Manggarai pada 1908.
Ketika Belanda mulai menguasai Manggarai, Raja Todo (1914-2924) yaitu Kraeng Tamur dipindahkan ke Puni.
Dalam perjalanan sejarahnya, Belanda melihat Manggarai yang meliputi Wae Mokel awon (batas timur) dan Selat Sape salen (batas barat) adalah satu kesatuan yang utuh. Tidak ada lagi Cibal, tidak ada lagi Todo, tidak ada lagi Bajo, maka disebutlah Manggarai.
Karena itulah, pada tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Kerajaan Manggarai bentukan Belanda ini terdiri atas 38 kedaluan. Bersamaan dengan diangkatnya Raja Bagung, Belanda juga menyekolahkan Kraeng Alexander Baruk ke Manado.
Alexander Baruk adalah anak dari Kraeng Tamur, raja Todo. Tahun 1931/1932, Alexander Baruk kemabli dari sekolahnya. Lalu, kemudian diangkat menjadi raja Manggarai. Namun, karena raja Bagung masih hidup, maka keduanya tetap raja. Raja Bagung sebagai “raja bicara” sedangkan yang mengambil keputusan adalah Raja Baruk. Sehingga dulu ada istilah putus le Kraeng Wunut, bete le kraeng Belek.
Kekuasaan keduanya berakhir saat keduanya meninggal dunia. Raja Bagung meninggal 1947. Sedangkan, Raja Baruk meninggal 1949. Kemudian, keduanya diganti oleh Kraeng Langkas atau Kraeng Constantinus Ngambut, juga dari Todo, menjadi raja hingga 1958.
Saat Manggari menjadi daerah swaparaja, Kraeng Ngambut masih memimpin Manggarai sebagai kepala daerah hingga 1960.
Tahun 1960 itu juga kemudian dipilih bupati pertama Manggarai yaitu Charolus Hamboer dan memimpin hingga 1967.
Setelah bupati Hambur, kemudian diganti oleh Bupati Frans Sales Lega. Bupati Lega memimpin sampai 1978. Setelah itu, 1978-1988, Manggarai dipimpimpin Bupati Frans Dula Burhan. Lalu, 1988-1999, dipimpin Gaspar Parang Ehok.
Pada masa transisi 1999-2000, Manggarai dipimpin oleh bupati sementara Daniel Woda Pale. Di era reformasi, bupati pertama yang memimpin adalah Antony Bagul Dagur yang memimpin Manggarai dari tahun 2000 hingga 2005.
Tahun 2005 diangkat bupati sementara Wilem Nope sebelum adanya bupati definitif hasil pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pilkada langsung pertama di Manggarai berhasil dimenangkan pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus. Pasangan dengan sebutan Credo ini, kembali terpilih pada pilkada langusng 2010. Kedunya memimpin Manggarai hingga September 2015 ini.
Pada tahun 2003, ada pembentukan kabupaten Manggarai Barat sebagai pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang ditunjuk memimpin Manggarai Barat dari 2003-2005 adalah Fidelis Pranda.
Pada pilkada langsung 2005, Fidelis Pranda yang berpasangan dengan Agustinsu Ch Dula berhasil menjadi bupati dan wakil bupati hingga 2010.
Pasangan ini pecah kongsi pada pilkada 2010. Agustinus Ch Dula yang berpasangan dengan Maximus Gasa berhasil memenanagkan pertarungan dalam satu putaran. Kedunya pun memimpin Manggarai Barat hingga September 2015.
Tahun 2007, terbentuk juga Kabupaten Manggarai Timur, hasil pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang diangkat untuk memimpin Manggarai Timur tahun 2007-2008 adalah Frans Padju Leok.
Tahun 2008, berlangsung pilkada pertama untuk Manggarai Timur dan berhasil dimenangkan oleh Yosep Tote yang berpasangan dengan Andreas Agas. Pada Pilkada 2013, pasangan dengan sebutan Yoga ini kembali terpilih untuk pimpin Manggarai Timur hingga 2018.
Artikel ini disarikan dari berbagai diskusi dan cerita dengan sejumlah narasumber yang dihubungi
Manggarai Barat serta Manggarai Timur, dulunya merupakan satu kabupaten. Namun, jauh sebelum menjadi sebuah kabupaten, ketiga daerah yang dulunya hanya bernama Manggarai ini, sudah memiliki sejarah panjang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Sebelum Belanda menguasai Manggarai pada 1908, ada sejumlah kerajaan kecil berdaulat di Mangggarai. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Lamba, Cibal, Welak, Todo-Pongkor dan Bajo.
Diantara kerjaan-kerajaan itu, kerajaan Cibal atau Nggaeng Cibal dan Adak Todo pernah terlibat dalam beberapa kali pertempuran dalam rangka memperluas teritori kekuasaan.
Pertempuran pertama antara Cibal dan Todo adalah pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot. Pertempuran ini dimenanagkan Cibal. Perang Rongot ini melahirkan perang-perang berikutnya, yaitu Perang Weol I dan Weol II.
Pada perang Weol I, kemangan masih ada pada pihak Cibal. Tetapi pada perang Weol II dimenangkan oleh Todo sehingga batas kerajaan adak Todo bukan lagi sampai di Wae Ras dekat Cancar, tetapi sampai jauh ke dekat Beo Kina (Rahong Utara).
Kemudian, perang berikut adalah perang Bea Loli di Cibal. Pada perang Bea Loli, Cibal kembali kalah. Sehingga menurut cerita Watu Cibal dibawah ke Todo.
Setelah itu, Todo-Pongkor memperluas wilayah ke arah timur di Borong. Maka, terjadilah perang Adak Tana Dena. Akibat perang Adak Tanah Dena ini, batas Todo-Pongkor meluas hingga Watu Jaji.
Pada saat Todo-Pongkor konsentrasi mengikuti perang Adak Tanah Dena, pasukan Nggaeng Cibal melancarkan serangan ke pusat kekuasaan Todo-Pongkor. Saat itu, terjadi pembakaran rumah adat Todo, yang disebut tapa niang dangka,poka niang wowang.
Konon, niang dangka saat itu tak bisa dibakar. Pasukan dari Nggaeng Cibal kemudian memperdayai seorang perempuan tua yang namanya Kembang Emas saudari dari Kraeng Mashur Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa untuk mengetahui mengapa niang dangka tidak bisa dibakar.
Perempuan tersebut kemudian memberti tahu niang dangka bisa dibakar bila bisa mengambil jimat yang ada dibubungannya. Pasukan dari Cibal pun mengambil jimat di atas bubungan.
Lalu, kemudian baru bisa membakar niang dangka tersebut. Sayangnya, mereka juga membakar perempuan yang memberitahu keberadaan jimat itu. Pasukan Cibal berusaha mengembalikan Watu Cibal yang dicaplok pada perang Weol II, namun tak bisa diangkat. Sampai sekarang Watu Todo dan Watu Cibal tertancap bersanding di kampung Todo.
Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil di Todo. Namun, karena topografinya yang kurang baik, lalu pindah ke Puni, Ruteng. Secara resmi Belanda menaklukan Manggarai pada 1908.
Ketika Belanda mulai menguasai Manggarai, Raja Todo (1914-2924) yaitu Kraeng Tamur dipindahkan ke Puni.
Dalam perjalanan sejarahnya, Belanda melihat Manggarai yang meliputi Wae Mokel awon (batas timur) dan Selat Sape salen (batas barat) adalah satu kesatuan yang utuh. Tidak ada lagi Cibal, tidak ada lagi Todo, tidak ada lagi Bajo, maka disebutlah Manggarai.
Karena itulah, pada tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Kerajaan Manggarai bentukan Belanda ini terdiri atas 38 kedaluan. Bersamaan dengan diangkatnya Raja Bagung, Belanda juga menyekolahkan Kraeng Alexander Baruk ke Manado.
Alexander Baruk adalah anak dari Kraeng Tamur, raja Todo. Tahun 1931/1932, Alexander Baruk kemabli dari sekolahnya. Lalu, kemudian diangkat menjadi raja Manggarai. Namun, karena raja Bagung masih hidup, maka keduanya tetap raja. Raja Bagung sebagai “raja bicara” sedangkan yang mengambil keputusan adalah Raja Baruk. Sehingga dulu ada istilah putus le Kraeng Wunut, bete le kraeng Belek.
Kekuasaan keduanya berakhir saat keduanya meninggal dunia. Raja Bagung meninggal 1947. Sedangkan, Raja Baruk meninggal 1949. Kemudian, keduanya diganti oleh Kraeng Langkas atau Kraeng Constantinus Ngambut, juga dari Todo, menjadi raja hingga 1958.
Saat Manggari menjadi daerah swaparaja, Kraeng Ngambut masih memimpin Manggarai sebagai kepala daerah hingga 1960.
Tahun 1960 itu juga kemudian dipilih bupati pertama Manggarai yaitu Charolus Hamboer dan memimpin hingga 1967.
Setelah bupati Hambur, kemudian diganti oleh Bupati Frans Sales Lega. Bupati Lega memimpin sampai 1978. Setelah itu, 1978-1988, Manggarai dipimpimpin Bupati Frans Dula Burhan. Lalu, 1988-1999, dipimpin Gaspar Parang Ehok.
Pada masa transisi 1999-2000, Manggarai dipimpin oleh bupati sementara Daniel Woda Pale. Di era reformasi, bupati pertama yang memimpin adalah Antony Bagul Dagur yang memimpin Manggarai dari tahun 2000 hingga 2005.
Tahun 2005 diangkat bupati sementara Wilem Nope sebelum adanya bupati definitif hasil pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pilkada langsung pertama di Manggarai berhasil dimenangkan pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus. Pasangan dengan sebutan Credo ini, kembali terpilih pada pilkada langusng 2010. Kedunya memimpin Manggarai hingga September 2015 ini.
Pada tahun 2003, ada pembentukan kabupaten Manggarai Barat sebagai pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang ditunjuk memimpin Manggarai Barat dari 2003-2005 adalah Fidelis Pranda.
Pada pilkada langsung 2005, Fidelis Pranda yang berpasangan dengan Agustinsu Ch Dula berhasil menjadi bupati dan wakil bupati hingga 2010.
Pasangan ini pecah kongsi pada pilkada 2010. Agustinus Ch Dula yang berpasangan dengan Maximus Gasa berhasil memenanagkan pertarungan dalam satu putaran. Kedunya pun memimpin Manggarai Barat hingga September 2015.
Tahun 2007, terbentuk juga Kabupaten Manggarai Timur, hasil pemekaran dari Manggarai. Bupati sementara yang diangkat untuk memimpin Manggarai Timur tahun 2007-2008 adalah Frans Padju Leok.
Tahun 2008, berlangsung pilkada pertama untuk Manggarai Timur dan berhasil dimenangkan oleh Yosep Tote yang berpasangan dengan Andreas Agas. Pada Pilkada 2013, pasangan dengan sebutan Yoga ini kembali terpilih untuk pimpin Manggarai Timur hingga 2018.
Artikel ini disarikan dari berbagai diskusi dan cerita dengan sejumlah narasumber yang dihubungi
Kala ‘Niang’ Todo Jadi Lautan Api Disergap Pasukan ‘Purak’ Cibal
Saat kuda si putri bersama pengiringnya berarak menuju benteng, mbeko Rebo Ame Rembong mengirimkan kabut rendah yang tebal dari belakang. Di bawah kabut itu, merayap pasukan Todo maju menuju benteng Cibal.
Kupang, Vox NTT-Jumat, 20 November 1761. Dalam kesengitan arus musim barat, sebanyak 27 buah perahu asal Bima meninggalkan Warloka, Manggarai Barat menuju negeri Todo di Manggarai.
Perahu yang mengangkut sekitar 500-an pasukan siap tempur Bima itu dipimpin oleh Tureli Bolo bernama Ismail.
Selain pemimpin pasukan, Ismail juga diutus sebagai wali sultan Bima, Abdul Kadim untuk bertemu dengan pemimpin Adak (kerajaan) Todo.
Seminggu berlayar, mereka akhirnya tiba di pelabuhan Ramut yang terletak di pantai selatan Adak Todo.
Ramut atau yang dikenal Wae Ramut berada di bawah pengawasan langsung fungsionaris bangsawan Todo.
Jarak dari ibu kota negeri Todo masih cukup jauh sekitar 20-an kilo meter ke pedalaman.
Kehadiran 27 perahu itu, bukan untuk melakukan invasi ke Manggarai sebagaimana yang ditulis dalam Naskah Bima.
Bima sesungguhnya datang demi menepati permintaan utusan Todo yang diantar dan dijurubicarai ‘Dalu Bajo’.
Delegasi Todo yang ke Bima terdiri dari Prera Ame Keka, Klaru, Cebut Ame Ncerum, Gura Ame Undam dan Tandang Ame Tondong (Wakil adak Bajo yang menjadi pengantar jalan dan penerjemah).
Adak Bajo dimintai Todo karena mengenal bahasa Bima dan mempunyai hubungan baik secara turun temurun.
“Kehadiran delegasi resmi Todo kepada Sultan Bima sebenarnya kejadian teramat penting sebab memiliki nilai sah secara yuridis menghalalkan kehadiran Bima di wilayah Adak Todo,” demikian jelas Dami N Toda dalam bukunya Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi.
Pengiriman bantuan Todo ke Bima berhubungan dengan serangan Cibal terakhir yang didukung perwakilan Goa di Reok dan Adak Lambaleda. Serangan mematikan sekaligus memalukan itu dikenal dengan sebutan Purak (sergap).
Koalisi pasukan Cibal melancarkan purak untuk membalas kekalahan sebelumnya di perang Weol.
Perang di Benteng Weol
Sebelum bantuan Bima itu tiba, perang besar dengan pasukan adak Cibal menjadi sejarah yang tak terlupakan di Manggarai.
Cerita perang ini bahkan masih terekam jelas di benak generasi tua Manggarai.
Pasukan Todo di bawah pimpinan Kraeng Ilang Randut, sementara pihak Cibal dipimpin Nggaeng Dapang Lando Kakor Nalo Holes, putra Nggaeng Pangge Tande.
Serangan Todo dipersiapkan dari Benteng Golo Nawang terhadap kosentrasi pasukan Cibal di Benteng Weol (Rahong Selatan).
Benteng Weol merupakan salah satu pusat kekuatan rakyat Cibal bersama para dalu dan gelarang di bawahnya.
Perang yang berkepanjangan selama lima tahun tanpa menjatuhkan benteng Weol mengakibatkan kekurangan makanan serta sakit penyakit di pihak Adak Todo.
Melihat situasi yang kian terjepit, datanglah usulan taktik perang dari Reno Ame Rembong (dari Gelarang Popo) yang memiliki mbeko (ilmu gaib).
Usulan yang disampaikan ke Kraeng Ilang Randut yakni mendandani si Monis (sebutan untuk istri Kraeng).
Monis dinaikan ke atas kuda dengan memakai payung berwarna kuning untuk berpura-pura dipersembahkan kepada Nggaeng Dapang di dalam benteng Weol.
Saat kuda si putri bersama pengiringnya berarak menuju benteng, mbeko Rebo Ame Rembong mengirimkan kabut rendah yang tebal dari belakang. Di bawah kabut itu, merayap pasukan Todo maju menuju benteng Cibal.
Pasukan Cibal tercengang melihat putri yang cantik duduk berpayung kuning di atas kuda berhias itu. Sementara para pengiring laki dan perempuan membawa bendera putih tanda penyerahan diri.
Nggaeng Cibal kemudian bertanya, di mana gerangan Kraeng Ilang Randut? Pengiring menjawab “Sudah balik ke Todo Mori”.
Dia pun berkata, “Hoi, kali toe ata rona hi Randut hitu ta” (Wah, padahal bukan laki-laki si Randut itu).
Nggaeng Dapang kemudian memerintahkan penjaga membuka pintu benteng untuk memasukan putri persembahan Todo ke perkemahaan di dalam benteng.
Sementara pasukan Cibal bersuka cita dengan pintu benteng yang terbuka, pasukan Todo meyergap pasukan Cibal hingga lari terberai.
Hasil dari kemenangan itu kemudian mengubah perbatasan baru wilayah Cibal dan Todo.
Adak Todo mendapat alihan kekuasaan atas 4 kedaluan bawahan Cibal: Dalu Rahong, Dalu Ndoso, Dalu Ruteng dan Dalu Ndehes.
Serangan Balasan Cibal
Beberapa waktu kedua Adak memang hidup secara damai. Namun dendam atas kekalahan akibat tipu muslihat Todo serta penyempitan wilayah Adak Cibal menimbulkan perang babak baru.
Cibal kemudian meminta bantuan bala tentara kerajaan Goa (Makasar) yang bermarkas di Reok.
Tak cukup dengan bantuan Goa, Adak Cibal juga meminta bantuan Adak Lamba Leda untuk menyerang langsung atau purak ke pusat Adak Todo. Waktu yang paling tepat untuk menyerang mulai dipikirkan.
Sementara, kemenangan Todo di benteng Weol bagaikan api penyemangat untuk melancarkan invasi ke daerah lain di Flores Barat.
Todo terus melancarakan ekspansi ke wilayah bagian timur Manggarai dengan menggempur Adak Tana Dena.
Saat perhatian Todo fokus ke timur, pihak Cibal yang kala itu dipimpin Nggaeng Gande Ame Rambe, berhasil menggagas strategi purak ke jantung ‘beo’ Todo.
Serangan ini dilancarkan melalui benteng Wae Kukur yang dijaga oleh Kraeng Janggok, putra Kraeng Re bersama gelarang Ling.
Benteng Wae Kukur pun berhasil ditaklukan Cibal. Dari arah bukit Kebe Gego, pasukan Cibal dapat melihat benteng Pongkor di seberang Wae Mese menyala dengan polesan warna kapur putih dan dentuman ancaman tembakan meriam Laro Bajo.
Ancaman itu, tak membuat nyali pasukan Cibal ciut. Siasat Cibal bukan serangan ke benteng Wae Mese, tetapi ke jantung Beo Todo.
Pasukan Cibal kembali pulang ke benteng Wae Kukur untuk memasuki Todo dari arah belakang, melewati punggung gunung.
Dengan menyogok penjaga benteng Wae Kukur sebanyak 20 orang hamba, pasukan Cibal mendapat jalan rahasia lewat punggung gunung Todo melewati Ndajang-Lia-Repok-Desu dan akhirnya memasuki Todo dari belakang tanpa terjaga.
Sementara kosentrasi pasukan Todo berada di dua benteng di sebelah utara, agak jauh di depan.
Pasukan purak Cibal yang terpimpin rapi dalam waktu sekejap membakar rumah-rumah orang Todo yang beratap ijuk. Dalam sekejap pula, kampung pusat peradaban itu menjadi lautan api.
Pasukan Todo yang berada di benteng terdekat kaget melihat kepulan asap yang membubung ke langit. Mereka membutuhkan waktu satu jam untuk sampai ke pusat kampung.
Dami N Toda, dari sumber lisan mengisahkan, meski rumah-rumah lain terbakar, namun rumah induk atau yang biasa disebut Niang Dangka Todo (rumah bercabang) tidak bisa terbakar karena dilindungi ilmu gaib.
Sementara bagi Cibal, rumah itu adalah simbol Adak Todo yang harus dilenyapkan. Maka dalam waktu singkat dipikirkan cara membakarnya sebelum pasukan terdekat Todo tiba.
Nggaeng Ponjung tak hilang akal. Ia memaksa seorang nenek tua lumpuh bernama Ntomang (ibu Kraeng Ilang Randut) untuk membuka rahasia sakti rumah itu dengan jaminan tidak akan membunuhnya.
Nenek Ntomang sepakat namun punya persyaratan: mengembalikan padanya barang yang tersimpan di dalam rumah itu.
Syarat diterima. Pasukan Cibal pun disuruh naik ke atas bubungan niang, membuka sembilan depa kain putih yang melilit ngando (tiang bubungan) dan mengambil emas gumpalan dari dalamnya. Emas itu harus diserahkan kepadanya.
Setelah petunjuk itu dilakukan, pasukan Cibal membakar rumah itu hingga rata dengan tanah. Namun Nggaeng Ponjung mengingkari janjinya.
Nenek tua itu dilemparkannya ke dalam amukan api Niang Dangka.
Sebelum tubuhnya hangus terbakar, sang nenek mengucapkan sumpah serapah atau dalam bahasa Manggarai disebut Wada yang berbunyi demikian:
“Cing teke sili/wela teke pea’ng/neho aku taung o’om tai/toe le uwa dise anakg ho’o/lise empo teke wan tai/kudut kawe rangga”
Selain Niang Dangka, target lain pasukan Cibal adalah batu Todo yang berbentuk seperti tugu. Namun, batu tersebut tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.
Setelah merampas apa saja yang bisa dibawa, pasukan purak Cibal kembali melalui jalan rahasia dengan aman.
Terhina oleh purak itulah, maka Adak Todo mencari dukungan ke Bima dan Adak Bajo untuk serangan balasan.
Menurut, Dami N Toda, cerita lisan yang merupakan ciri khas sumber asli Manggarai ini, merupakan bukti bahwa Bima tidak pernah meginvasi Manggarai secara langsung.
Kehadiran 27 perahu yang masuk ke Todo bukan untuk berperang seperti yang tertulis dalam Naskah Bima tulisan H. Ahmad/Held.
Sebaliknya, Bima hadir karena diminta oleh Adak Todo untuk membalas serang purak mengingat keterlibatan Goa dan Adak Lamba Leda di belakang Cibal.
Lalu, bagaimana sampai Kesultanan Bima mengklaim Manggarai sebagai daerah jajahan dan meminta upeti berupa budak?
Simak kisah selanjutnya….
Penulis: Irvan K
Sumber utama: Dami N Toda dalam bukunya “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar