Jumat, 03 April 2020

5 K DATA MANGGARAI

5 K DATA MANGGARAI

Filosofi Lima K negatif Orang Manggarai (Rm. Ino Sutam)
Pertanyaan: Mlm Romo, kudut Rei arti   perbedaan istilah Kembeleis, kembeluak, kembeleja (kraeng Kades Momol, 31 Maret 2020)
Jawab: Tabé Kraéng kades, sebenarnya ada 5 K, dan berikut artinya
1. Kembe-léis /kembe-lési (kémbi-léis)= tak menghiraukan, lalai, lengah, tidak percaya bahwa apa yang diperintahkan untuk dilaksanakan penting, menganggap bahwa suatu masalah hanya terjadi pada orang lain atau sesuatu hanya penting untuk orang lain, tidak pada dan untuk dirinya atau orang sekitarnya, karena itu tidak perlu mempersiapkan diri untuk masalah tersebut.
2. Kembe-lu'ak = tak sopan,  sembrono,  keras kepala, ngawur, tidak mentaati, tidak bisa disuruh/diperintah (ntingul, toé tama le jera), tidak melakukan apa yang disuruh/diperintah, dan melaksanakan apa yang dilarang.
3.  Kembe-leja (kemba-leja) = lalai,   tak peduli,  tidak anggap serius apa yang sebenarnya serius,  anggap gampang hal yang sulit, menunda apa yang seharusnya segera dikerjakan sekarang.
4. Kembe-laés (kambé-laés) = membela pikiran atau pendirian sendiri yang rapuh, yang tak berdasar, tidak logis. Hal ini disebabkan seseorang merasa tahu semua hal (kembe-réa), dan sering dia hanya asal bunyi, arah pembicaraannya tidak jelas/cepat untuk menutupi kesalahannya (kembe-rau), dan akhirnya hanya membuat ribut dan gaduh (kembe-rao)
5. Kembe-lambong (kambo-lambong) = mengerjakan sesuatu asal-asalan, tidak bermutu, tidak sesuai dengan petunjuk, tidak sesuai dengan yang dilaporkan  tetapi hal itu ditutup-tutupi (kembe-rau).


Selenkgkapnya sbb:


Sumber:

https://florespos.co.id/berita/detail/filosofi-negatif-dan-kekuatan-kata

Ini  penggalan tulisan Rm Bone Rampung Pr  dalam Flores Pos

Filosofi Negatif dan Kekuatan Kata

...........................................................................



Kata Bahasa Daerah Jadi Pilihan
Ada lima kata kunci yang digunakan dan didalami acara bincang tayang ini. Kata kunci itu, adalah Kembeléis, Kembelu'ak, Kembeleja, Kembelambong, dan Kembelaé(Verheijen, 1967:208). Semua kata ini bermakna negatif atau menggambarkan sikap tidak terpuji yang ditunjukkan seseorang dalam perilaku dan peribahasa. Lima kata bermakna negatif ini diharapkan tidak muncul dalam konteks penanganan masalah Pevikor-19. Lima kata ini berkekuatan menekan individu dalam rangka meluputkan nyawa berhadapan bencana.
Pertama, Kembe-léis /kembe-lési (kémbi-léis) diartikan sebagai sikap tidak menghiraukan, lalai, lengah, tidak percaya bahwa apa yang diperintahkan untuk dilaksanakan penting, menganggap bahwa suatu masalah hanya terjadi pada orang lain atau sesuatu hanya penting untuk orang lain, tidak pada dan untuk dirinya atau orang sekitarnya, karena itu tidak perlu mempersiapkan diri untuk masalah tersebut.
Contoh, mahasiswa A yang akan ke kampus mengendarai sepeda. Kakaknya memberikan helm kepadanya agar selamat jika kecelakaan. Si A menolak dengan alasan tidak akan kecelakaan apalagi kampusnya dekat. Dalam perjalanan ke kampus A tertabrak dan kepalanya pecah. Kondisi kepala pecah akibat sikap kémbi-léis
Kedua, Kembe-lu'ak diartikan  tidak sopan, sembrono, keras kepala, ngawur, tidak taat, tidak mau diperintah, mearasa diri lebih hebat, bahkan bertindak berlawanan dengan apa yang diharakpan.
Contoh, seorang sopir diingatkan agar tidak merokok saat mengisi bahan bakar di SPBU. Sopir tidak menghiraukannya sambil menunggu giliran ia menyalahkan rokok di area terlarang itu. Akibatnya, terjadi kebakaran pada depot bahan bakar itu.
Ketiga, Kembe-leja (kemba-leja) dapat diartikan membiarkan, lalai, tidak peduli,  menganggap enteng, membiarkan hal negatif tidak teratasi padahal sesungguhnya bisa diatasi.
Contoh, seorang sopir membiarkan mobil parkir di halaman yang panas dan hujan sementara garasi dibiarkan kosong. Mobil akan rusak karena sikap Kembe-leja mobil
Keempat, Kembe-laés (kambé-laés) artinya selalu merasa jalan pikirannya yang paling benar dan harus diterima meskipun kadang-kadang tanpa dasar dan tidak masuk akal.   Bicaranya tidak terarah untuk menutupi kelemahan cara berpikirnya. Sering  menginterupsi pembicaraan orang yang ditujukan kepadanya dengan mengalihkan pembicaraan.
Contoh, Si B, mahasiswa yang hampir drop out ditanyai orangtuanya perihal alasan keterlambatan studinya. Si B bukannya memberi alasan yang masuk akal kepada bapanya tetapi dia justru bercerita tentang banyaknya dosen yang melakukan penelitian dan topik yang dipilihnya sulit bagi dosen pembimbing. Cerita seperti inilah yang disebut kambé-laés.
Kelima, Kembe-lambong (kambo-lambong) digambarkan sebagai sesuatu yang dilakukan  asal-asalan, minimalis, tidak bermutu, tidak sesuai dengan petunjuk, penuh rekayasa, dan kepalsuan.
Contoh, kontraktor bangunan yang ingin mendapatkan banyak  keuntungan akan mengerjakan proyek tidak sesuai ketentuan. Campuran semen dan pasir menurut ketentuan misalnya, 1 berbanding 8, tetapi dalam pelaksanaannya 1 berbanding 11, kayu yang dipakai menurut kesepakatan misalnya jenis jati putih tetapi dalam pelaksanaannya kayu kemiri juga dipakai. Hasilnya, dalam waktu singkat bangunan itu selesai tetapi dalam waktu singkat juga rubuh. Proyek seperti ini dikerjakan secara kambo-lambong.
Dalam penanganan wabah Pevikor-19, lima mental negatif ini harus dihindari. Semua protokol atau tata cara penanganannya tidak boleh tercemar oleh lima mental bermakna negatif seperti ini. Lima kata negatif ini pantang ada mengingat gempuran Pevikor-19 makin hari makin serius.
Karena itu, siapa pun akan mengapresiasi acara bincang tayang yang menghadirkan pakar budaya ini. Pendekatan budaya dengan memaknai kata khusus dalam bahasa daerah (Manggarai) seperti ini layak dihargai. Pendekatan berbasis budaya sebegini diharapkan lebih menyentuh warga sasar pemasyarakatan penanganan Pevikor-19.
Pilihan ini kiranya lebih bermartabat dibandingkan dengan pemasyarakatan dengan memakai diksi-diksi asing (seperti yang kami uraikan dalam artikel sebelumnya Klik: Wabah Corona dan Persoalan Diksi). Penanganan Pevikor-19 bermatra budaya harus menjadi pilihan untuk setiap wilayah. Untuk konteks Manggarai tepatlah menggunakan diksi Manggarai. Ini penting karena ada prinsip bijak mengatakan bahwa “burung-burung akan terbang mengikuti burung sejenis” (Tantowi Yahya).
Filosofi Negatif (?): Catatan Kritis
Lima kata bahasa Manggarai yang dipakai Romo Ino dalam segmen bincang tayang melalui Radio NG disebutnya sebagai “Filosofi Lima K Negatif Orang Manggarai”.  Menyandingkan kata filosofi dan kata negatif seperti ini, sepintas boleh-boleh saja tetapi kalau dicermati lebih serius mungkin perlu dikritik. Mengapa? Karena sepanjang orang memahami makna dasar filosofi atau kata filsafat itu sebagai sesuatu yang positif, maka penggunaan unsur negasi di sini dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat contradictio in terminis seperti pemakaian frasa “es cair”
Filosofi secara etimologis dari bahasa Yunani philosophia dibentuk dari kata philo (φιλο = cinta) dan sophós (σοφ?ς = kebijaksanaan) menjadikan sebuah kata khusus yaitu (φιλοσοφ?α) yang artinya “cinta kebijaksanaan”. Itulah asal muasal kata filosofi di Indonesia. Kata filosofi ini dalam perkembangannya dimakna secara lebih luas lagi. 
Filosofi kemudian dimaknai sebagai studi mengenai kebijaksanaan, dasar pengetahuan, dan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan merancang pandangan mengenai suatu kehidupan. Filosofi memberi pandangan dan menyatakan secara tidak langsung mengenai sistem kenyakinan dan kepercayaan. Semuanya merujuk pada sesuatu yang baik dan positif dalam rangka pemartabatan kehidupan. Oleh karena itu, sebagai catatan kritis, penggunaan kausa “Filosofi Lima K Negatif Orang Manggarai” perlu dipertimbangkan lagi.
Pemakaian lima kata bahasa Manggarai itu bukan soal filosofi melainkan sikap dan perilaku negatif yang seharusnya disingkirkan dari kehidupan pada umumnya dan dalam menghadapi “artis maut”, Pevirko-19. Lima kata yang dibahas dalam tayang bincang harus diakui berkekuatan persuasif dalam membebaskan masyarakat dari ancaman maut global saat ini. Orang yang menerapkan lima sikap itu boleh dikatakan sebagai perilaku negatif, penyimpangan, bukan suatu sikap dan pandangan dasar.
Di atas semuanya itu tentu siapa pun berharap masyarakat memahami aneka protokol kesehatan. Paling tidak, apa yang diulas di sini menyadarkan kita bahwa kebiasaan buruk harus dihindari. Proses penyadaran menjadi penting dan yang terpenting gunakan kata-kata bahasa daerah yang memang berkekuatan mengubah kebiasaan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar