Rabu, 27 Mei 2020

TAMBANG DAN DEMANGGARAINISASI

‘Pabrik Semen Menambah Proses Hilangnya Manggarai,’ Peringatan Guru Besar UI untuk Bupati Agas

621
Dalam foto yang diambil pada April 2020 ini, tampak lahan bekas tambang di Sirise, Kabupaten Manggarai Timur yang ditinggalkan perusahan tambang mangan. (Foto: Floresa.co)




Floresa.co – Robert M.Z. Lawang, Guru Besar Sosiologi Pedesaan FISIP Universitas Indonesia, menulis sebuah surat terbuka untuk Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas, di mana ia mengingatkan bahwa pabrik semen yang hendak dibangun di Kecamatan Lambaleda merupakan ancaman bagi masa depan Manggarai.
Karena itu, Robert – sosiolog kelahiran Manggarai – mengatakan menolak investasi tersebut dan telah ikut menandatangani petisi bersama lebih dari 300 orang anggota Kelompok Diaspora Manggarai Peduli pada awal bulan ini.
“Saya ingin menambahkan satu alasan kecil, pabrik semen menambah proses hilangnya Manggarai,” tulis Robert dalam suratnya, yang salinannya diperoleh Floresa.co, Rabu malam,  27 Mei 2020.
Ia menjelaskam Manggarai yang ia maksudkan menunjuk pada Manggarai Raya sebagai satuan sosial, budaya, historis dan geografis yang utuh, yang sekarang secara administratif terbagi menjadi Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
Tembusan surat itu dikirimkan ke berbagai pihak, termasuk Presiden Joko Widodo, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Desa. Gubernur NTT Victor Bungtilu Laiskodat, semua bupati sedaratan Flores, pars uskup sedaratan Flores, dua kampus Katolik di Ruteng – Universitas Katolik Santo Paulus dan STIPAS Santo Sirilus serta Dekan FISIP Universitas Indonesia dan semua mantan mahasiswanya.
Surat terbuka itu merespon rencana pendirian pabrik semen oleh PT Semen Singah Merah NTT di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, yang berbarengan dengan izin tambang batu gamping – bahan baku semen – di kampung tetangga, Lengko Lolok.

Memperparah Demanggaraisasi

Robert mengatakan, pada tahun 1980-an ia pernah melontarkan isu demanggaraisasi, yang merujuk pada proses dari dalam masyarakat Manggarai sendiri yang menjauhkan hidup mereka dari nilai-nilai dasar kemanggaraian, seperti pengetahuan tentang adat istiadat, penggunaan Bahasa Manggarai yang baik dan benar, hilangnya wibawa tu’a teno karena sertifikasi tanah, atau hilangnya wibawa tu’a golo karena sistem pemerintahan desa, hilangnya ritus-ritus adat agama lokal karena pengaruh katolisisme dan kadang-kadang berkurangnya rasa identitas kampung dan sebagainya.
Sekarang, kata dia, prosesnya sudah lebih cepat lagi, karena ada tambahan faktor eksternal.
Salah satunya, kata dia, adalah adanya penguasaan aset oleh orang luar melalui pembelian yang dimungkinkan oleh sistem sertifikasi nasional atau oleh sistem manipulasi yang dibenarkan secara adat atau secara administratif kependudkan melalui kawin mawin dengan orang luar.
“Hasilnya sudah jelas, tak terhitung tanah di Manggarai sudah beralih tangan, yang dalam Bahasa Inggris lebih tepat menggambarkan kondisi yang disebut alienated, tanah sudah menjadi milik orang asing yang dapat diapakan semaunya,” kata Robert.
“Dalam perspektif lebih luas, tanah di Manggarai yang alienated itu tidak lagi merupakan komponen struktural Manggarai. Ini bukan sekedar demanggaraisasi lagi, melainkan lebih dari itu, dia hilang,” tambahnya.

Melenyapkan Struktur Sosial

Robert mengatakan, pabrik semen melenyapkan struktur sosial budaya Manggarai karena identitas Manggarai muncul dari dan berkembang dalam kesatuan antara tiga aspek, yakni permukiman yang disebut golo; satuan agraria tradisional yang disebut lingko;   dan keturunan patrilineal yang disebut wa’u yang menguasai golo dan lingko itu.
“Menghilangkan satu saja dari ketiganya, sama dengan menghancurkan struktur sosial,” katanya.
Karena pabrik semen akan menghilangkan kedua lingko dan golo,  jelas dia, eksistensi struktur sosial dalam situasi tanpa akar, karena tanah sudah tidak ada lagi.
“Dalam prediksi saya, tidak saja lingko dan golo akan lenyap melainkan juga wa’u,” katanya.
Hal itu, kata dia, terjadi karena investor pabrik ini sungguh-sungguh mempraktekkan cara-cara penjajah Belanda ketika dahulu menguasi Indonesia yang terkenal dengan politik adu domba atau divide et impera.
“Dia memecah belah Wa’u Ngéndéng – nenek moyang yang semula memiliki lingko-lingko di Lengko Lolok dan Luwuk – dan keturunannya yang tinggal di daerah pemekaran dan yang tinggal di luar Manggarai menjadi dua kelompok pro dan lontka pabrik semen,” tulis Robert.
“Yang pro sudah memperoleh pundi-pundi uang untuk imbalan keputusannya, sedangkan yang kontra masih bertahan untuk mempertahankan kesatuan struktural Manggarai Wa’u – Golo – Lingko, yang dalam hal ini, Wa’u Ngéndéng,” tambahnya.
Robert menjabarkan bahwa, hadirnya kelompok pro dan kontra membuka proses polarisasi yang potensial menimbulkan konflik keras, tidak saja antara keturunan Wa’u Ngéndéng di Manggarai dan luar Manggarai, melainkan juga antara Kabupaten Manggarai Timur yang bupatinya pro pabrik semen, dan dua kabupaten lainnya yang karena tidak masuk dalam kontestasi ini yang potensial memilih pro atau kontra.
Ia mengingatkan,  Manggarai adalah produk sejarah di bawah pimpinan Bangsawan Todo yang sekaligus pimpinan daerah (kerajaan) antara 1930an sampai 1950an yang didukung oleh semua orang Manggarai melalui pendekatan budaya – hubungan kekerabatan woé-nelu Manggarai.
“Saya percaya, masih ada penghargaan atas jasa pemersatuan ini pada orang-orang dari kedua kabupaten, sehingga luka yang mendalam dalam satu bagian, menjadi penderitaan bersama,” katanya.
“Luka-luka itu sudah banyak, seperti bekas lobang galian mangan di Manggarai bagian utara, penguasaan tanah oleh pihak asing melalui penjualan, dan lain-lain,” kata Robert.
Lantas, ia pun bertanya, “Siapa yang dapat membendung proses hilangnya Manggarai ke depan?”
Kalau desa sudah hilang dan Manggarai seluruhnya secara perlahan, kata dia, pertanyaan yang harus dijawab adalah apa lagi artinya desa adat yang menjadi kebanggaan pendiri bangsa ini dulu pada awal kemerdekaan kita; masih relevankah UU no 6 tahun 2014 tentang Desa tanpa desa; bukankah ini menohok prinsip negara kita Bhineka Tunggal Ika; masih adakah Manggarai itu dan masih mungkinkah wisata berbasis budaya; serta masih mungkinkah pembangunan berkelanjutan?
Karena itu, kata Robert, daripada mengharapkan pabrik semen, Manggarai Raya perlu menangkap peluang yang diberikan oleh pemerintah pusat di bidang pariwisata.
“Kalaupun karena Covid-19 kegiatan pariwisata ikut dalam arus the new normal, orang dari belahan negara kaya akan tetap terdorong untuk berpariwisata setelah bosan dikarantina berbulan-bulan,” katanya.
Ia menegaskan, pembangunan pabrik semen di Manggarai sejatinya anti sosial karena bersifat padat modal, menguntungkan orang luar (negeri) lebih daripada orang Manggarai, menghilangkan struktur sosial budaya mikro Manggarai (Wa’u Ngéndéng.), menimbulkan perpecahan yang secara langsung menghambat pembangunan Manggarai.
Ia menjelaskan, tembusan surat terbuka tersebut dengan sengaja d  dikirimkan ke berbagai pihak, dengan harapan ada perhatian dari mereka.
Robert berharap Presiden Jokowi mendiskusikan isu ini dengan Kementerian KLH dan Kementerian Desa dan Transmigrasi agar meninjau ulang kebijakan pembangunan pabrik semen ini yang potensial mengganggu pembangunan berkelanjutan.
Sementara kepada Gubernur NTT dan DPRD Provinsi NTT, ia meminta agar mereka “memahami suara rakyat Manggarai dalam proses pengembangan kebijakan pembangunan yang menjadi kewenangan Gubernur.”
Sementara untuk Bupati dan DPRD Kabupaten sedaratan Flores agar menjadi “bahan refleksi untuk pengembangan kebijakan pembangunan daerah sesuai prinsip sustainable development (sosial kemasyarakatan – ekologi – ekonomi).”
Untuk semua uskup se-daratan Flores dan kampus Katolik, kata dia, masalah ini “adalah satu tantangan besar dalam melaksanakan ensiklik Paus tentang Laudato Si” dan karena itu perlu ditanggapi secara serius.
Untuk Dekan dan Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI serta mantan mahasiswanya seluruh Indonesia, ia menegaskan, “ini salah satu tugas saya sebagai Ketua Reseach Cluster Pedesaan untuk membawa misi profetik sosiologi tentang perlunya pembangunan berkelanjutan itu menjadi perhatian kampus.”

_________________________________________________________________

Koalisi Rakyat Tolak Tambang Desak Gubernur NTT Batalkan Izin Tambang di Matim18 Jun 2020 22:17

Menurut Koalisi, pihak perusahaan terus melakukan berbagai cara untuk memuluskan misi mereka, termasuk kembali membagi-bagi uang kepada masyarakat pada 9 Juni 2020, persis pada hari saat Gubernur menyampaikan pernyataan dalam sidang itu.

KUPANG, IndonesiaSatu.co-- Sebanyak 66 Organisasi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur, mendesak Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat, agar membatalkan izin tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).

Adapun anggota Koalisi ini terdiri dari berbagai elemen, baik masyarakat dari Luwuk dan Lengko Lolok, lembaga-lembaga agama, aktivis maupun mahasiswa yang tersebar di seluruh wilayah NTT dan di sejumlah kota lain.

Sesuai rilis yang diterima media ini, Kamis (18/6/20), desakan dan tuntutan mereka disampaikan dalam surat yang diserahkan ke Gubernur Laiskodat pada Kamis (18/6/20) pagi, dengan tembusan surat disampaikan kepada DPD-RI NTT, DPRD Provinsi NTT, Bupati Manggarai Timur Andreas Agas, DPRD Kabupaten Manggarai Timur dan Ombudsman Provinsi NTT.

Dalam surat itu, mereka meminta agar Gubernur Laiskodat menolak penerbitan IUP Operasi Produksi untuk PT. Istindo Mitra Manggarai dan izin pabrik semen untuk PT. Semen Singa Merah NTT serta mencabut IUP Eksplorasi Nomor: 540.10/119/DPMPTSP/2019 milik PT. Istindo Mitra Manggarai yang diterbitkan pada 25 September 2019, dengan lahan seluas 599 hektare (ha).

"Kami berpendapat bahwa langkah memberi ruang bagi investasi pertambangan dan pendirian pabrik semen ini, alih-alih membawa kesejahteraan, yang terjadi adalah ancaman kehancuran lingkungan dan masa depan masyarakat di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, maupun wilayah-wilayah di sekitarnya," demikian menurut Koalisi.

Mereka juga meminta agar Gubernur konsisten dengan pernyataannya pada 9 Juni lalu saat sidang di DPRD Provinsi, di mana ia mengklaim belum melanjutkan proses izin karena adanya penolakan berbagai elemen. 

Pernyataan itu, kata Koalisi, harus ditindaklanjuti dengan langkah menghentikan seluruh rangkaian proses pemberian izin dan upaya lain oleh dua perusahaan itu, baik yang saat ini sedang dilakukan di tingkat Pemprov NTT, di tingkat Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur maupun di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk.

"Sebab, kami menilai bahwa komitmen Gubernur untuk mendengarkan berbagai aspirasi yang menolak investasi itu tidak sinkron dengan langkah yang diambil Bupati Agas yang aktif dan bertendensi menekan masyarakat yang menolak tambang dan pabrik itu agar masyarakat mengubah sikap," kata Koalisi.

Sementara itu, lanjut Koalisi, pihak perusahaan terus melakukan berbagai cara untuk memuluskan misi mereka, termasuk kembali membagi-bagi uang kepada masyarakat pada 9 Juni 2020, persis pada hari saat Gubernur menyampaikan pernyataan dalam sidang itu.

Beragam Alasan Terkait Dampak

Isfridus Sota, mewakili warga Lengko Lolok Luwuk yang menolak kehadiran tambang dan pabrik itu mengatakan bahwa wilayah yang akan menjadi tempat operasi perusahaan mencakup perkampungan warga dan lahan-lahan pertanian yang telah bertahun-tahun menghidupi mereka, sehingga relokasi kampung dan alihfungsi lahan pertanian menjadi tidak terhindarkan.

Ia menjelaskan, relokasi kampung tidak sekedar soal pindahnya rumah-rumah warga, tetapi juga tercerabutnya komunitas warga dari kampung mereka yang tentu punya nilai budaya dan historis. 

"Relokasi itu juga berpotensi melahirkan masalah sosial baru, terkait adanya resistensi dari warga-warga di kampung sekitar lokasi baru, yang kini mulai mencuat. Sementara itu, lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lokasi tambang dan pabrik semen, membuat para petani dan anak cucu kami kehilangan ruang produksi dan sumber kehidupan," ungkap Isfridus.

Sementara itu, Direktur JPIC-OFM Indonesia, Pastor Alsis Goa Wonga, OFM, mengatakan bahwa wilayah di sekitar dua kampung itu merupakan bekas tempat beroperasinya perusahaan tambang mangan selama puluhan tahun, yang faktanya tidak membawa perubahan signifikan bagi situasi kehidupan masyarakat.

"Salah satu perusahaan yang pernah beroperasi itu adalah PT. Istindo Mitra Perdana, yang masih terkait dengan PT. Istindo Mitra Manggarai. Aktivitas tambang di sejumlah wilayah itu telah merampas tanah-tanah warga, menyebabkan beberapa orang ditangkap dan dipenjara serta memicu konflik sosial yang berkepanjangan akibat politik adu domba," kata Pastor Alsis.

Setelah perusahaan berhenti beroperasi, terang Pastor Alsis, yang tersisa hanya lingkungan yang rusak, di mana lubang-lubang bekas tambang masih menganga, tanpa ada proses pemulihan.

Senada, Manager Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menambahkan bahhw rencana penambangan dan pabrik semen ini yang terintegrasi dengan pembangunan PLTU Batubara serta terminal pengepakan dan pelabuhan, justru membawa potensi kerusakan yang dahsyat dan berkepanjangan, mengingat lokasi tambang dan pabrik ini dekat dengan pemukiman warga. 

"Debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri semen, baik pada tahap penambangan bahan baku maupun selama proses pembakaran hingga pengangkutan bahan baku ke pabrik dan bahan jadi keluar dari pabrik, serta pengantongannya, juga berisiko besar bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar. Debu juga berpotensi merusak tanaman dan sumber air. Ini tentu belum termasuk limbah pabrik semen yang masuk ke dalam kategori limbah gas dan limbah B3," jelas Melky.

Ia mengatakan bahwa proses pembakaran batubara dari PLTU juga menghasilkan PM2.5; partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran, termasuk pembangkit listrik. Partikel ini akan menetap di udara dalam jangka waktu lama dan mudah tertiup angin hingga ratusan mil. 

"PM2.5 ini mengandung senyawa beracun, yang jika terhirup dapat masuk hingga aliran darah manusia. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan asma, infeksi saluran pernapasan akut, kanker paru-paru dan memperpendek harapan hidup," katanya.

Selain itu, paparnya, PLTU juga menghasilkan emisi Nitrogen Dioksida (NO2) dan Sulfur Dioksida (SO2) yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernafasan dan jantung pada orang dewasa. 

"Bahkan, emisi tersebut dapat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun, seperti arsenik, nikel, krom, timbal dan merkuri. Akumulasi dari setiap jenis aktivitas yang akan dilakukan pihak perusahaan, jelas tak hanya berisiko bagi masyarakat di Lengko Lolok dan Luwuk, tetapi juga masyarakat sekitar," imbuhnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Cabang NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, menyinggung bahwa wilayah yang akan ditambang merupakan satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Flores yang telah disahkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia. 

"Wilayah karst ini menjadi regulator air yang menyediakan suplai air bersih bagi daerah sekitarnya, yang memberikan penghidupan bagi ribuan komunitas di belahan barat Pulau Flores, khususnya dari Reo di Kabupaten Manggarai hingga Riung di Kabupaten Ngada," urainya.

Menurutnya, karena kawasan ini memiliki fungsi yang sangat vital, maka seharusnya dijadikan kawasan lindung ekologis dan tidak diperkenankan untuk dirusak termasuk dengan mengizinkan beroperasinya pertambangan.

Ia menegaskan, perihal perlindungan karst itu telah diatur dalam UU Nomor: 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lebih spesifik dijabarkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni SK Nomor: SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia dan SK Nomor: SK.297/Menlhk/Setjen/PLA.3/4/2019 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air Nasional. 

"Selain itu, konversi lahan pertanian menjadi pertambangan bertentangan dengan kecenderungan global untuk mengupayakan ketahanan pangan pasca pandemi Covid-19 yang kini masih melanda dunia, termasuk NTT," timpalnya. 

Ia menilai, pandemi ini setidaknya memberi kita pesan penting untuk memberi perhatian serius pada sektor-sektor yang masih mampu menopang kehidupan kita, bahkan ketika dalam situasi sulit sekalipun seperti saat ini.

Sementara itu, Adeodatus Syukur dari Aliansi Mahasiswa Manggarai Raya (AMMARA) Kupang menambahkan, bahwa pihaknya berharap Gubernur NTT tetap pada komitmen awal yang sering disampaikan saat kampanye untuk tidak menjadikan tambang sebagai pilihan dalam pembangunan di NTT. 

"Sikap demikian, yang kami anggap tidak sekedar sebagai komitmen politik, tetapi juga komitmen moral, perlu diwujudnyatakan," sentil Adeodatus.

Ia beralasan, daripada mendorong industri ekstraktif, pemerintah mesti memaksimalkan upaya pemberdayaan untuk masyarakat.

"Pemberdayaan perlu dioptimalkan, terutama di bidang-bidang yang mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk pemenuhan infrastruktur-infrastruktur dasar, seperti pertanian dan air bersih," pungkasnya.

--- Guche Montero

Tidak ada komentar:

Posting Komentar