Sabtu, 18 Oktober 2014

RUMAH BERATAP SENG


RUMAH BERATAP SENG. SEBUAH UPAYA PEMAKNAAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
 https://www.facebook.com/notes/10152643697209733/



Pada awal bulan Juli kemarin saya ke Manado untuk mengikuti simposium ISBI yang diadakan di sana. Ketika sudah tiba di Manado saya melihat bahwa hampir semua rumah penduduk di sana beratap seng. Hampir tidak ada yang beratap genteng yang terbuat dari tanah liat. Paling-paling yang tampak ialah atap yang terbuat dari seng yang dicetak berbentuk genteng yang berwarna warni (merah tua, biru laut, hijau tua, coklat, dll). Seakan-akan ada sebuah kesepakatan sosial bahwa atap rumah harus dari seng atau bahan lain. Yang jelas, bukan dari genteng tanah liat. Genteng tanah liat tidak menjadi pilihan utama. Bahkan sedapat mungkin tidak dipakai, untuk tidak sampai dikatakan dihindari.

Hal itu kurang lebih sama dengan apa yang bisa kita lihat di Manggarai tempat kelahiran saya (dan mungkin juga sebagian besar di daratan Flores saya kira). Sebagaimana halnya di Manado hampir semua rumah di Manggarai beratap seng (kecuali dengan beberapa kekecualian di Reo dan Borong dan di beberapa tempat yang lain). Dulu rumah-rumah asli di Manggarai beratap alang-alang atau ijuk atau sirap, atau bahkan bambu yang dibelah. Itulah yang bisa kita lihat dalam pelbagai kampung tradisional Managgarai, sebagaimana masih tetap dilestarikan di sebuah kampung asli yang bernama Waerebo.

Setelah melihat kenyataan itu, seorang teman (dari Jawa) kemarin di Manado bertanya kepada orang-orang Manado yang kebetulan sedang berjalan bersama kami: mengapa orang tidak mau memakai genteng? Bukankah atap genteng itu lebih murah dan lebih sejuk karena terbuat dari tanah liat? Pertanyaan yang benar-benar berlatar belakang pemikiran pragmatis-ekonomis. Tetapi hidup ini ternyata membutuhkan tidak hanya visi pragmatis dan ekonomis belaka. Ada visi lain yang harus ikut dipikirkan dan dipertimbangkan dengan baik dan seksama.

Menarik sekali ketika kami mendengar jawaban yang ia berikan sbb: genteng itu terbuat dari tanah liat. Kalau kita tinggal dalam rumah yang beratap genteng berarti kita berada di bawah tanah atau di dalam tanah. Itu adalah sebuah pemali. Sebab hal tinggal di bawah atau di dalam tanah itu tidak lain berarti mati. Tinggal dalam tanah atau di bawah tanah itu hanya untuk orang mati saja; itu sama artinya dengan dikuburkan. Oleh karena itu, selama orang masih hidup hendaknya ia tidak tinggal dalam rumah yang beratapkan tanah. Atap tanah itu hanya untuk orang mati. Hidup beratapkan tanah sudah sama dengan kematian. Itulah alasan mengapa orang tidak memakai genteng. Sebab tanah itu adalah untuk orang mati saja.

Lalu beberapa orang teman yang kebetulan pernah juga ke Manggarai (Flores pada umumnya) dan tahu bahwa saya berasal dari Manggarai, bertanya kepada saya, apakah ada alasan yang kurang lebih sama seperti itu bagi kenyataan bahwa rumah-rumah asli orang Manggarai tidak beratapkan bahan yang terbuat dari tanah. Terus terang saja, saya sebagai orang Manggarai, tidak bisa langsung memberi sebuah jawaban spontan terhadap pertanyaan itu. Boleh jadi juga ada jalan pikiran seperti itu, tetapi untuk membuktikannya, harus terlebih dahulu diadakan sebuah penelitian. Tetapi yang jelas ialah bahwa ketika mendengar jawaban itu saya langsung teringat akan syair sebuah lagu rakyat di Manggarai yang usianya sudah cukup tua. Saya ingat lagu ini sudah saya dengar sejak saya masih sangat kecil. Mungkin sudah diciptakan pada tahun 60-an atau bahkan mungkin juga sebelumnya. Beberapa penggal syair lagu ini, menurut saya sepertinya menyimpan argumen filosofis yang kurang lebih mirip dengan argumen yang diajukan oleh orang Manado di atas tadi.

Lagu yang saya maksudkan ialah lagu yang berjudul Ende go (Oh Ibu). Sebagian syairnya berbunyi sbb: tatap ali tana daku mata. Tadu ali watu mata daku. Sejauh yang saya ingat dan hafal dari masa kecil, selengkapnya teks lagu yang terdiri atas empat bait itu berbunyi sbb:
1). Ende go, Ende go ende go, ende go, ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, tatap ali tana daku mata, ende go, ho’o aku caig ende go.
2). Ende go, ende go, ende go, ende go, ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, tadu ali watu mata daku, ende go, ho’o aku caig ende go.
3). Ende go, ende go endo go, ende go ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, do’ong ali golo mata porong, ende go, ho’o aku caig ende go.
4). Ende go, ende go ende go, ende go ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, panggu ali watu mata daku, ende go, ho’o aku caig ende go.

(Ada juga versi lain dari lagu ini, yang mengganti subjeknya dari Ende dengan Ema; sedangkan kata-kata lain dalam syair lagu itu tetap sama saja). Ungkapan syair lagu itu (dari bait satu sampai bait empat) mencoba melukiskan keadaan perpisahan karena kematian di mana orang sudah tidak bisa lagi saling bertemu dan saling memandang satu sama lain karena ada penghalang besar di antara keduanya, tanah dan batu. Memang ketika jenazah orang mati dikuburkan maka liang lahatnya akan ditimbun dengan tanah dan tumpukan bebatuan.

Mungkin di balik syair lagu rakyat ini terdapat juga sedikit alasan mengapa orang Manggarai juga tidak membuat atap rumahnya dari tanah, sebab atap tanah itu adalah sama dengan kubur. Orang yang masih hidup tidak tinggal dalam kubur. Itu sebabnya sebagai atap rumah orang memilih bahan-bahan lain dari anasir alam seperti alang-alang atau ijuk ataupun kayu atau bambu yang diolah menjadi sirap. Ketika Zink (Seng) muncul maka orang-orang ramai-ramai beralih memakai bahan itu yang dianggap lebih praktis dan bahkan bergengsi juga. Dulu orang menyebut rumah beratap Seng itu dengan sebutan Mbaru bele; yang berbeda dari mbaru wunut, mbaru ri’i, atau mbaru sante. Bahkan kosa kata itu sedikit banyak memperlihatkan perkembangan historis kemajuan pembangunan di Manggarai. Dan Mbaru Bele adalah titik perkembangan paling depan dibandingkan dengan beberapa bahan lain selain Bele (Seng) tadi.

Mungkin juga karena ada alasan lain, yaitu karena kata rumah itu sendiri, dalam bahasa Manggarai ialah mbaru; kata itu secara etimologis terdiri atas mbau ru; asal-usul etimologis itu terlebih merupakan tiruan pohon rindang yang memberi naungan bagi siapa saja yang berteduh di bawahnya. Jika jalan pikiran ini benar, maka ketika orang menirunya, orang pun mengambil bahan dari tetumbuhan sebagai atap. Tetapi jalan pikiran ini ada juga titik lemahnya. Yaitu bagaimana dengan orang-orang di masa purba dulu tinggal dalam liang atau gua-gua bebatuan dan mungkin juga tanah liat, atau kapur? Mengapa mereka tidak meniru bahan-bahan yang sama seperti gua-gua bebatuan itu sebagai atap rumah mereka? Oleh karena ini, bagi saya hal ini masih merupakan sebuah misteri besar. Harus dibuat sebuah penelitian besar untuk dapat menjawab pertanyaan ini dan menyingkap misteri besar tersebut.

Ketika saya menanyakan hal ini kepada Hubertus Mega Tanji, ia memberi alasan bahwa kemungkinan hal itu disebabkan oleh masalah perkembangan teknologi. Orang Manggarai belum mengenal dan menguasai teknologi pengolahan tanah liat menjadi genteng. Tetapi saya cenderung menolak pandangan itu. Sebab orang-orang Manggarai sudah lama juga sudah mengenal teknologi pengolahan tanah menjadi alat bantu kehidupan. Misalnya teknologi pembuatan priuk tanah, tempat air minum dari tanah, kuali dari tanah. Hampir tidak dapat dibayangkan bahwa orang orang Manggarai, ketika membuat barang-barang dari tanah liat tidak pernah terilhami untuk membuat atap yang terbuat dari tanah. Saya membayangkan bahwa mereka pasti pernah memikirkannya tetapi pikiran itu ditolak karena alasan seperti yang sudah dikemukakan di atas tadi.


Hotel Quality, Manado, 2 Juli 2014 



  • You and 24 others like this.
  • Fransiskus Borgias M para JEMPOLERS, trima kasih banyak atas JEMPOL2 apresiatif kalian semua di sini.... salam damai sejahtera...
  • Tarsis Hurmali Pak Frans, terimakasih untuk artikel kecil ini. Saya juga berteori: mbaru itu datang dua kata: mba'u ru. Artinya: ari-ari sendiri. Bukankah ari2 kita adalah satu pelindung lapis paling dalam setelah kita juga diselimuti oleh rahim mama yang diciptakan Allah dengan begitu hebatnya?
    15 hrs · Like · 2
  • Tarsis Hurmali Jadi, mana mungkin lalu mbaru itu dibuat dari tanah? Di Manggarai dulu orang semua rumah panggung, juga dengan alasan sama dengan alasan orang Manado itu, rupa-rupanya, tetapi itu pasti perlu tanya sana-sini.
    15 hrs · Like · 2
  • Tarsis Hurmali Oh ya, saya ingat Hotel itu baik, menghadap laut utara, kalau pergi 500 meter ke kiri di tepi pantai seberang jaan, ada restoran yang saya tidak lupa: Restoran Bibir Ikan! Heheheh, di Manado, kata mereka katanya juga ada Resto Bibir Orang. Hahaha, neka rabo bapak Ahli Kitab Suci, ata wange ye....
    15 hrs · Edited · Like · 2
  • Tarsis Hurmali Bisa juga: mba'u ru artinya ari-ari baru, mba'u weru, karena ari2 asli dari dalam rahim mama terkasih di Manggarai biasanya dikuburkan di samping rumah atau lebih asli lagi, digantungkan di kayu kalo. Tali pusat itu disebut kuni. Makanya tempat di mana ari2 kita dikubur atau digantung disebut kuni agu kalo. Mengapa kalo? Kalo adalah pohon lambang kesuburan dan naungan! Kalo atau dadap (Erythrina variegata). Neka rabo, am manga ata salang be pe'ang ta ....
    14 hrs · Like · 3
  • Haman Rofinus Yah itu hanya pikiran kita sja di masa ini, khusus di manggrai mungkin wkt itu dulu jarang yah mendptkan genteng dri tanah liat, krn ada kemajuan dan perubhn zaman bhkan org memilih genteng utk jdikan atap.. Mungkin sprti itu jga di manado org mengguna...See More
    14 hrs · Like · 1
  • Tarsis Hurmali Di Bruderan Aloysius Tubi Ruteng dulu pernah dibuat genteng2 yang bagus, dan tutup segera karena barang itu tidak diminati. Menarik
  • Blasis Prang Inspiring..... home is different with house... Pengkajian narasi yang indah dari pengalaman yang sangat empirik sampai pada sebuah pemaknaan yang menggugah nilai historis, prgamatis dan terlebih nilai kemanusiaan. Historisitas turut membangun sebuah peradaban kemanusiaan sehingga menjadi sebuah pola sejarah yang memiliki nilai untuk direnungkan dan dipertahan (bila perlu) sehingga unsur keunikan terjaga dan nilai-nilai yang baik dan perlu dari masa lalu tetap dijaga...
    12 hrs · Like · 2
  • Fabi Dius Tulisan ini amat menggugah! Terlepas dari arti dan sejarahnya di Menado,ada hal yg menarik bg org Manggarai,bahwa kehadiran mbaru bele di Manggarai menjadi titik awal kebangkitan sosial saat itu.Ada Raja Wunut,ada raja Bele.Sebutan ini mau menunjukkan ...See More
    12 hrs · Like · 2
  • Fransiskus Borgias M Pa Tarsis Hurmali, trima kasih atas masukannya... semua poin itu penting dan menarik... mengenai etimologi mbaru, dari mbau (ari-ari) sy juga pernah tulis di FB ini dan di blog saya... tetapi yg baru dari catatan dite ialah, mengkaitkan mbaru dan mbau dan ketidakmungkinan membuat naungan (mbau) dari tanah... itu hal yg menarik untuk dipikirkan lebih lanjut... trima kasih.. sy tidak akan lupa hal ini... Erb juga sudah singgung hal ini dalam bukunya... tapi sebelum baca buku Erb sy sudah belajar dari Pater Flori Laot...OFM, SOKTRATES DARI GOLO MOMOL ITU... hehehehe.... tabe ga...
  • Fransiskus Borgias M tuang frater Blasis Prang, trima kasih atas masukkannya... terutama menyangkut distingsi home dan house itu, juga menyangkut pengaruh historisitas dalam pembangunan makna dan pemaknaan... sekali lagi trima kasih....
    12 hrs · Like · 1
  • Fransiskus Borgias M Haman Rofinus,heemmm trims juga atas sumbangan pemikiran ini... yah mungkin juga seperti itu... tetapi yg spt yg sy tulis di atas juga mungkin juga.... namanya juga serba mungkin dan mungkin... tae de manggaraian ga, am.... am ne nggitun am ne nggoon... semakin banyak am yg diajukan, semakin kebenaran bisa didekati... bgitulah teori pengetahuan dalam rangka ilmu2 sosial... saya kira.... tabe ga...
  • Fransiskus Borgias M ase Fabi Dius, trima kasih banyak atas masukkannya terutama terkait dengan aspek historisitas BELE dan WUNUT sebagai atap di Manggarai... memang secara tradisional rumah kita di manggarai pasti terbuat dari wunut, rii, ko sante (haju atau dari betong).... setelah ada zink (bele) barulah org pake bele.... tapi blm pake genteng (dari tanah)... menarik masukan dari krg Tarsi Hurmali ttg pembuatan genteng dulu di ruteng tapi dihentikan karena tidak diminati... hehehehe....
    12 hrs · Like · 1
  • Fransiskus Borgias M Pa Tarsi Hurmali, mengenai restoran di Manado itu, yg jual bibir ikan dan bibir orang... hehehehe... sy hanya temukan yg jual bibir ikan itu e.... yg jual bibir orang sy tidak temukan restorannya, tapi sy temukan orangnya... yg punya bibir... hahahaha... bercanda dot com eeee.e....
  • Nick Teobald Decky oi kk, mantap ni tulisan e... analisis mendalam dan memukau. yg menarik ialah sy ckup menyesal karena tidak ikut nimbrung diskusi ini waktu itu...dan agak absen dalam diskusi ini dari seluruh petualangan di Manado...hahaha...
    11 hrs · Like · 1
  • Fransiskus Borgias M Ase Nick Teobald Decky, hehehehe ini diskusi dgn Neila, dgn romo Pidyarto, dgn Tensi, dgn kepala departemen terjemahan LAI, wenas kalangit... hehehe... itu karena ite punya "diskusi" lain e... hahaha....
  • Rafael Lepen Smm Terima kasih e kraeng tua...saya jujur mengakui bahwa pola dan model rumah beratapkan seng seperti kebanyakan kita di Manggarai hanya soal konsekuensi perkembangan dan kemajuan teknologi semata, dan pada saat yang sama memperlihatkan juga status sosial seseorang. (meski ini sudah kadaluarsa mengingat semua orang dari golongan sosial manapun hampir pasti menggunakan seng biarpun dindingnya dari lencar). Dari tulisan-tulisan bertemakan budaya yang kraeng tua "share"kan di FB, satu ciri yang selalu membuat saya kagum adalah analisa linguistik (mudah2an tidak salah) yang kraeng tua pakai. Bahasa rupanya perlu ditelaah lebih mendalam, karena menyimpan makna dan filosofi tertentu. Ini kemudian membawa saya pada keprihatinan yang mendalam dengan pelbagi bentuk plesetan dan akronim aneh yang membuat orang merayakan bahasa dengan demikian dangkal. Tabe (ata komentar bon daku ho'o e kraeng tua)
    10 hrs · Like · 2
  • Fransiskus Borgias M para JEMPOLERS trima kasih banyak atas JEMPOL2 apresiatif kalian semua di sini... salam damai...
  • Fransiskus Borgias M pastor Rafael yth... trima kasih atas apresiasinya.... dulu waktu sy kecil, ketika blum ada banyak mbaru tembok (permanen istilah dite one Manggarainya) dan atap seng, idealisme orang ada dalam singkatan sbb: pekosamaraga... sy masih ingat, itu singkatan dari: pesek (manga mbaru pesek), kopi (manga uma kopi), sawah (manga sawah), ma dan ra sy sudah lupa... tapi ga yg terakhir itu manga lampu gas... itu sudah hebat... hehehe... apan kole embe mbaru pesek hitu, wesang belek betan... tambang keta mantap hitu ga... am toe bae le meu mbaru pesek e.... bukan hidung pesek e... hehehe.... tabe ga...
    10 hrs · Like · 1
  • Rafael Lepen Smm hitu de denge kole istilah mbaru pesek hitu e kraeng tua....hehehe. Saya untuk istlah bahasa Manggarai memang sangat miskin kraeng tua...makanya sulit sekali saya khotbah klu libur pakai bahasa Manggarai. Malah waktu saya tahbisan acara adatnya saya jawab dalam bahasa Indonesia hehehe
  • Tarsis Hurmali Ga-nya untuk lampu gas pak Frans, lampur petromax dulu itu salah satu indicator kesejahteraan
  • Nahusman Petrus Kae, orang Baduy dalam tidak akan mengganti atap alang-alang rumah dengan genteng walau tanah mereka sangat ideal untuk membuat genteng karena mereka tidak boleh melukai bumi. Mereka tidak boleh bersawah karena itu melukai perut bumi. Kalau menguburkan orang mati hanya dikorek-korek pakai kayu dan tidak dalam. Setelah sekian lama di atas kuburan itu boleh dibuat kebun lagi. Penghargaan mereka atas bumi dan tanah sungguh luar biasa.
    7 hrs · Like · 1
  • Placidus S Sanarry Kela, tulisan dite hoo, sungguh memperlihatkan pola interakasi diantara berbagai resultante kehidupan orang manggarai. Sebab exposenya tidak hanya soal pergeseran nilai-nilai dibidang ekonomi. tetapi juga pemaknaan simbolis atas apa yang digunakan. Menariknya apa yang kela posting ini, juga menjadi bagian dari pertanyaan saya, ketika menginjakkan kaki di bumi congkasae itu. Amat jarang dijumpai rumah-rumah di Manggarai yang beratapkan genteng. Ternyata setelah membaca tuturan naratif dite, wah begitu banyak persinggungannya dengan budaya serta juga barangkali pemaknaan atap sebagai sebuah perspektif tradisi dan budaya. Mengambil frase "atap" sebagai sebuah simbol perlindungan akan kehidupan dimaknai sebagai ada kekuatan dari atas yg menjadi penjaga dan melindungi dari setiap sesuatu yg merugikan, baik fisik maupun non fisik. Dengan mengambil analogi yang sama, maka atap hunian juga mesti diambil dari sesuatu yang letaknya diatas, dari pohon, dari dedaunan, karena menjadi inherent dengan kesadaran yang utama tadi..Dari pemaknaan seperti ini memang menjadi sulit buat orang-orang kita untuk mengambil tanah sebagai bahan atap rumah, sebab tanah adalah tempat kaki berpijak. Tetapi tentu saja penjelasan ini mesti ditunjang oleh studi interdisiplin ilmu, sebab zink yang kita pakai sekarang sebetulnya juga berasal dari perut bumi dalam bentuk mineral. Yang mungkin lebih rasional, lebih karena pertimbangan prakstis dan pragmatis. Zink dalam bentangan yang besar memudahkankannya menjadi pelindung yang aman, walau terasaa lebih panas dibanding dengan genteng.. Apalagi karena zink atau seng sudah dipoles teknologi, sehingga warnanya tak lagi mirip dengan tanah.
    Dicopy pada 18 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar