LIMA FALSAFAH KEHIDUPAN MASYARAKAT MANGGARAI DAN PEMBUNUHAN IDENTITAS BUDAYA ORANG LUWUK DAN LENGKO LOLOK
Kastra.co – Tatanan kehidupan masyarakat Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya, digambarkan dalam lima falsafah yang memiliki keterikatan antara yang satu dengan yang lain. Hubungan kelima falsafah tersebut sangat akur dan dekat, bagaikan hubungan bagian-bagian anggota tubuh manusia yang saling berhubungan.
Hal ini secara histori menjelaskan tentang bagaimana fungsi falsafah itu dalam kehidupan dan memberikan kontribusi bagi kelangsungan hidup masyarakat Manggarai.
Budaya memang unik, karena sesuatu yang terus berlangsung dan tidak akan berhenti pada titik tertentu. Dan sebagaimana kita ketahui, kebudayaan adalah hasil interaksi kehidupan bersama suatu bangsa.
Dalam keberlangsungan hidup masyarakat Manggarai, sangat dipandang perlu kelima falsafah sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara. Kelima falsafah budaya Manggarai tersebut akan saya jelaskan berikut ini. Pertama, mbaru bate ka’eng (rumah sebagai tempat tinggal). Rumah yang dimaksudkan adalah bukan hanya rumah yang secara simbolik adalah rumah adat masyarakat Manggarai atau mbaru niang, namun rumah yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah kampungnya. Mengapa? Karena di sini tidak hanya fokus pada rumah gendang itu sendiri, akan tetapi kita akan membahas mbaru sebagai suatu bentuk kesatuan yang utuh dan murni.
Kedua, natas bate labar (halaman kampung untuk bermain atau kegiatan lain). Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah tempat yang sering digunakan oleh masyarakat lokal untuk bermain, berjemuran padi, kopi atau beberapa kegiatan lain yang diselenggarakan.
Ketiga, uma bate duat (tempat di mana masyarakat bekerja untuk mencari nafkah). Uma bate duat dimaksudkan sebagai tempat masyarakat bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya.
Keempat, wae bate teku (mata air sebagai sumber air). Wae adalah sumber kehidupan masyarakat Manggarai. Kelima, compang bate dari. Secara harafiah compang dapat diartikan sebagai tempat untuk memberikan sesajian atau persembahan. Pengertian ini tidak terlepas dari keasadaran nenek moyang Manggarai akan suatu roh supranatural (Mori Kraeng dan empo, roh nenek moyang) yang melampui kehidupan mereka. Kesadaran membangkitkan rasa rindu dalam diri mereka untuk selalu dekat dengan kekuatan itu. Karena itu, mereka mendirikan compang di tengah kampung.
Eksistensi benda ini di tengah kampung membahasakan kehadiran suatu realitas supranatural yang mereka yakini. Seluruh bahan persembahan masyarakat Manggarai dipersembahkan di compang itu. Compang itu menyimpan arti simbolis. Hakekat manusia sebagai makhluk simbolis menempatkan dirinya dalam satu jarak tertentu dari realitas yang lain. Untuk sampai pada perjumpaan yang dekat dengan yang lain maka manusia memerlukan suatu sarana simbolis. Sarana simbolis itu adalah bahasa. Bahasa dijadikan sebagai sarana instrumental yang menjembatani relasi, interaksi dan komunikasi antara manusia dengan realitas lain atau dengan sesama manusia.
Dari kelima falsafah ini dapat kita tarik hubungannya antara satu dengan yang lain. Mbaru bate kaeng, selain sebagai tempat tinggal, juga merupakan tempat bagi masyarakat untuk bisa membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat serta sebagai tempat untuk beristirahat.
Dari rumah inilah mayarakat Manggarai diberikan kekuatan jasmani dan rohani untuk bisa bekerja dan berkarya. Rumah tanpa natas bate labar pun adalah sesuatu yang kurang lengkap, karena di tempat ini selain sebagai tempat untuk bermain juga dipergunakan untuk menjemur padi, kopi, cengkeh atau untuk mengadakan acara-acara adat seperti acara penti, kenduri atau pesta sekolah.
Untuk bisa mengadakan berbagai acara, maka masyarakat perlu memiliki uma bate duat, karena untuk mendapatkan penghasilan rumah tangga, masyarakat mendapatkannya di tempat ini. Tradisi yang melekat dalam budaya Manggarai adalah pelestarian budaya-budaya baik yang berkaitan dengan perkawinan, kematian, syukuran panen ataupun syukuran lain.
Untuk bisa menyukseskan kegiatan-kegiatan budaya seperti ini, masyarakat sangat membutuhkan wae bate teku. Hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan nyata masyarakat. Maka munculah sebutan hubungan natas bate labar dan wae bate teku yang sering disebut adalah contoh beo Deru Waen Lerang. Ini adalah kepercayaan yang terus dijaga oleh masyarakat Manggarai.
Untuk bisa mensyukuri segala apa yang telah diterima oleh masyarakat Manggarai, baik itu kesehatan ataupun penghasilan berupa barang, maka masyarakat berkeyakinan untuk membuatkan ritus adat pemberian sesajian kepada roh nenek moyang seraya mengucapkan terima kasih kepada mori jari agu dedek, awang eta tanah wa, bur awo kolep sale (Tuhan Maha Pencipta, langit dan tanah, terbit dan terbenamnya matahari).
Dengan memahami kelima falsafah di atas, maka masyarakat Manggarai akan diajarkan melalui budayanya untuk hidup bergotong royong, karena kelima hal tersebut telah menyatu dan tidak bisa terlepas dari kehidupan nyata masyarakat Manggarai.
Menurut Lukman Saputra, dkk, gotong royong merupakan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Sikap gotong royong adalah bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan dilakukan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing.
Sesungguhnya gotong-royong yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai adalah perwujudan semangat sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Dengan demikian pada hakekatnya, dalam gotong-royong terdapat kerja sama untuk kepentingan bersama.
Ungkapan goet/bahasa kiasan ‘neka oke kuni agu kalo (jangan lupa tanah kelahiran), merupakan bentuk keperihatinan nenek moyang terhadap generasinya agar tetap menjaga dan melestarikan budaya sebagai hasil pewarisan terdahulu. Budaya diwariskan dengan tujuan untuk menjaga eksistensinya sebagai nilai fundamental dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Selain untuk menjaga eksistensi budaya itu sendiri, hal lain yang dimaksudkan di sini adalah untuk mengenal dan memahami hakekat budaya bagi masyarakat.
Budaya akan menjelaskan identitas kita dan melalui budaya pula orang akan mengenal karakter, sikap dan prilaku kita. Ini sungguh suatu penghargaan kepada generasi pewaris untuk terus mempelajari budaya Manggarai tanpa mengenal usia dan batas jenjang sosial.
Memaknai kuni agu kalo dalam adat Manggarai adalah berbicara tentang adat dan budaya Manggarai agar kita tidak lupa akan asal-usul atau tanah kelahiran.
Beberapa waktu yang lalu, saya mencoba untuk menanyakan dan mencari informasi kepada orang tua yang memahami tentang hal ini. Bapak Dominikus Jehadut (tokoh adat Deru), merupakan narasumber yang saya wawancarai. Bapak Dominikus menjelaskan bahwa kata kuni berarti ari-ari seorang anak yang telah dibungkus, sedangkan kalo adalah pohon dadap.
Zaman dahulu belum mengenal kemajuan seperti yang kita alami sekarang, setiap bayi biasanya dilahirkan di rumah, bukan di klinik, pustu atau rumah sakit. Itulah sebabnya dalam ritus kelahiran di Manggarai ada yang disebut dengan entap siding yaitu memukul dinding rumah untuk menanyakan jenis kelamin bayi yang baru dilahirkan dengan bertanya ata one (laki-laki) ko ata peang (wanita). Kalau bayi yang dilahirkan adalah laki-laki, maka orang yang ada di dalam rumah menjawabnya ata one. Sedangkan kalau yang dilahirkan adalah perempuan, maka dijawab dengan ata peang.
Ari-ari dari bayi yang telah dilahirkan dipotong dan dibungkus. Sebutan masyarakat Manggarai untuk ari-ari adalah mbau dan kuni. Selanjutnya ari-ari tersebut tidak dikuburkan, namun digantung pada kayu dadap.
Namun dalam perkembangan waktu, ari-ari dari bayi yang baru dilahirkan itu tidak lagi digantung pada kayu dadap, tetapi dikuburkan mengingat kenyamanan dari serangan binatang. Menurut kepercayaannya bahwa jika ari-ari yang digantung pada kayu dadap diserobot binatang atau anjing, maka akan terganggu kesehatan dari bayi dan bisa saja bayi akan terus menangis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa go’et neka oke kuni agu kalo secara harafiah berarti ungkapan untuk tidak boleh melupakan tanah dimana ari-ari atau kuni-mu digantung.
Untuk itu, saya mengajak kita sebagai masyarakat Manggarai terutama bagi generai-generasi milenial untuk terus menjaga dan melestarikan budaya, sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam hidup. Dengan memahami budaya ini, akan mengajarkan kita untuk mengetahui makna penting kelima falsafah budaya Manggarai sebagai suatu kearifan lokal yang patut dijunjung tinggi dalam rangka untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Memahami konteks ini, saya selalu merenungkan satu goet yang mengajakan bahwa eme ngoeng ghan ghoset mai pinga goet, eme ngoeng ghan lawar main pinga palak. Secara harafiah dapat diartikan bahwa jika kita ingin menikmati daging yang dimasak dengan sebuku bambu, maka dengarlah petuah dari orang tua. Dan jika kita ingin menimati daging yang telah tercampur dengan berbagai bumbu yang lezat, maka dengarlah pembicaraan. Antara petuah dan pembicaraan adalah hal yang baik untuk kehidupan kita.
Terkait hal ini, saya kembali melihat dampak rencana pembangunan pabrik semen oleh PT. Singa Merah dan PT. Istindo Manggarai di di Lingko Lolok dan Luwuk, Lamba Leda. Lokasi yang akan dibangun pabrik semen adalah bagian dari falsafah budaya Manggarai yaitu beo bate kaeng dan uma bate duat. Apalah artinya falsafah beo bate kaeng dan uma bate uma duat kalau tidak dilestarikan dengan baik sehingga menjadi desa berbasis budaya lokal.
Mengenai desa berbasis budaya lokal jelas-jelas telah diterangkan oleh bupati sendiri, seperti yang dikutip pada tagar.id yang saya muat pada tulisan saya sebelumnya. Apakah ini yang yang dikatakan program desa berbasis budaya lokal?
Ini sangat disayangkan karena pelan-pelan pihak pemerintah daerah kabupaten Manggarai Timur membunuh nasib masyarakat di Luwuk-Lamba Leda. Bukankah pemerintah yang diharapkan oleh masyarakat untuk bersama-sama dengan mereka memperjuangkan kesejateraan dan melestarikan budaya lokal?
Sangat diharapkan kepekaan pemerintah dalam melihat kondisi yang akan terjadi di kemudian hari. Janggan menggunakan kekuatan hak jabatannya untuk mengetuk palu rencana pembangunan pabrik semen, namun harus mendengarkan suara-suara rakyat.
Dengan menerima relokasi yang direncanakan, berarti mereka akan kehilangan kalo atau tanahtempat kuni mereka digantung atau dikuburkan dulu. Mereka akan kehilangan sebagian besar dari 5 falsafat kehidupan orang Manggarai. Orang Luwuk akan kehilangan identitasnya sebagai orang Luwuk, demikian juga orang Lengko Lolok akan kehilangan identitas sebagai orang Lengko Lolok. Maka, Lengko Lolok dan Luwuk hanya tertinggal namanya saja; mereka akan hilang, tiada lagi ada. Mereka akan menyebar ke wilayah lain dan akan menjadi pendatang di daerah baru itu hanya karena mereka tergoda oleh janji manis perusahaan.
Bukankah ini pembunuhan identitas budaya Manggarai pada diri orang Luwuk dan Lengko Lolok?
Rencana Tambang di Matim Ancam Ketersediaan Air 4 Kabupaten di Flores-NTT
Kastra.co – Rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping di Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengancam kelestarian mata air di ekosistem karst, yang menjaga sumber air di 4 kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, dan Nagekeo.
Alsis Goa dari JPIC (Justice, Peace, and integration of creation) OFM (Ordo Fratrum Minorum) Indonesia, mengatakan rencana pembuatan pabrik semen dan penambangan batu gamping di ekosistem karst di Desa Satar Punda, kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur bisa mengakibatkan kawasan itu kehilangan sumber mata air. JPIC-OFM Indonesia adalah lembaga milik Tarekat OFM di Indonesia yang fokus pada sejumlah bidang karya, yakni animasi, advokasi, sosial karitatif dan pastoral ekologi.
Ekosistem karst, yang menjadi lokasi pembangunan pabrik semen adalah tempat penyimpanan dan regulator air untuk seluruh wilayah pantai utara Flores. Bila fungsi karst sebagai regulator air terganggu, sumber-sumber mata air juga akan mengering. Tanpa sumber air yang cukup, kegiatan pertanian akan terdampak dan akibat selanjutnya, ketahanan pangan masyarakat terancam.
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan karst umumnya juga sangat bergantung pada sumber mata air.
“Dengan kondisi ini, bersama warga, bersama komunitas-komunitas kami menolak kehadiran perusahaan tambang juga pabrik semen yang akan beroperasi. Karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, lebih banyak kehancuran yang ditimbulkan daripada kebaikan,” tegas Alsis Goa dalam diskusi virtual pada Kamis (18/6) pekan lalu yang digelar oleh Jaringan Tambang.
Penambangan batu gamping oleh PT. Istindo Mitra Manggarai (IMM) direncanakan di kawasan karst seluas 599 hektare di kampung Lingko Lolok. Sedangkan pabrik semen oleh PT. Semen Singa Merah (PT SSM) akan dibangun di kampung Luwuk. Kedua kampung itu berada di desa Satar Punda. Menurut Alsis Goa belum diketahui secara pasti luas areal pembangunan pabrik dengan investasi senilai tujuh triliun rupiah itu.
Pabrik Semen dan Tambang Batu Gamping Ancam Kelestarian Karst di Manggarai Timur
Umbu Wulang, Direktur WALHI Nusa Tenggara Timur, mengingatkan Manggarai Timur bisa menjadi daerah baru yang terdampak kekeringan pada musim kemarau, jika ekosistem karst rusak akibat pertambangan.
Mengutip data BNPB 2019, kata Umbu, 851 dari 1,969 desa yang mengalami kekeringan atau sekitar 43 persen, ada di NTT. Dia mengkritik rencana pertambangan dan pembangunan pabrik semen tidak memperhatikan risiko krisis air di NTT.
“Kebijakan pertambangan ini lagi-lagi hanya akan memperparah kekeringan di NTT. Khususnya di daerah Manggarai yang selama ini kita tahu menjadi salah satu daerah yang punya hutan, punya daya dukung air yang memadai karena dia ada di kawasan karst,” kata Umbu dalam diskusi virtual yang sama.
Sejauh ini upaya media terkait mendapatkan keterangan pasti terkait dari pemerintah Kabupaten Manggarai Timur maupun Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur belum membuahkan hasil.
Sebelumnya juga Kelompok Diaspora Manggarai Peduli menyurati Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati Matim Andreas Agas terkait rencana pembangunan pabrik semen dan tambang di Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
“Dengan demikian, daerah ini memiliki peranan yang sangat vital bagi daya dukung air untuk sebagain besar kabupaten di Manggarai sampai ke kabupaten Ngada terutama daerah sekitar Riung,” bunyi surat tertanggal 2 Juni 2020.
Kawasan Manggarai Timur bagian utara mulai dari Wae Pesi sampai Kecamatan Lengko Elar dan ke selatan sampai dengan daerah sekitar Benteng Jawa merupakan satu-satunya Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang cukup besar di Pulau Flores.
Gubernur Nusa Tenggara Timur dikutip dari Media Indonesia (26/4) menjelaskan pembangunan pabrik semen itu untuk memenuhi kebutuhan semen di NTT yang mencapai 1,2 juta ton per tahun.
Pabrik semen Kupang baru bisa memasok 250 ribu ton atau sekitar seperlima dari total kebutuhan. Kekurangan pasokan sebanyak 950 ribu ton masih didatangkan dari Jawa. Jika produksi semen di Manggarai Timur itu melimpah, dapat diekspor ke Timor Leste dan Darwin, Australia.
Ekosistem Karst Tak Tergantikan
Doktor Cahyo Rahmadi, Peneliti Biologi Gua dan Karst dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Senin (23/6/2020) mengatakan pelestarian ekosistem karst berhadapan dengan kecenderungan para pemegang kebijakan daerah yang memilih keuntungan ekonomi jangka pendek.
Mereka memilih mengabaikan potensi kerugian di masa depan yang lebih besar akibat kerusakan ekosistem demi kepentingan pembangunan. Padahal, ekosistem karst tidak tergantikan.
“Jadi kalau untuk beberapa pemanfaatan industri pertambangan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian itu tadi. Karena apa sekalinya dia (karst) sudah rusak tidak bisa dikembalikan lagi,” ujar Cahyo.
Sumber: VOA Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar