Kamis, 11 Juni 2020

PEREMPUAN MANGGARAI

PEREMPUAN MANGGARAI

Kedudukan Perempuan Manggarai dalam Budaya “Lonto Leok”: Satu Kritik dan Tiga Rekomendasi



Enu-enu dalam balutan kain adat Manggarai. Foto/floresmuda.com

Oleh Occe Idaman

Lonto leok merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Manggarai. Sebagai suatu bentuk warisan para leluhur, lonto leok menjadi salah satu budaya yang seringkali dipraktikkan masyarakat di bumi Congka Sae.

Satu hal yang menggugah Penulis untuk menulis tentang budaya ini, yakni minimnya partisipasi kaum perempuan pada saat kegiatan lonto leok berlangsung.

Occe Idaman

Meskipun kaum perempuan hadir pada saat acara lonto leok, tetapi mereka hampir tidak memiliki suara untuk dapat menentukan sebuah keputusan. Sebaliknya, mereka hanya mengurusi urusan konsumsi di dapur.

Budaya “Lonto Leok”

Lonto leok berasal dari dua kata, yakni lonto dan leok. Lonto artinya duduk dan leok artinya kepung, mengepung, keroyok, keliling, mengelilingi, melingkar. Dengan demikian, istilah lonto leok berarti duduk mengelilingi atau duduk melingkar.

De facto, konsep lonto leok berarti pertemuan atau musyawarah yang dihadiri oleh warga kampung untuk mengurus berbagai masalah di kampung. Tujuannya adalah untuk mencapai mufakat.

Pada zaman disrupsi ini, konsep lonto leok sudah dipahami secara baru. Lonto leok tak lagi semata-mata pertemuan untuk membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan adat. Tempat berlangsungnya acara juga tidak harus di dalam mbaru gendang (rumah adat).

Dalam perkembangan selanjutnya, lonto leok  diartikan dan dipraktikkan sebagai pertemuan tentang apa saja yang berkaitan dengan kepentingan bersama warga kampung. Locus-nya pun bisa diadakan dimana-mana tergantung kesepakatan bersama.

Occe Idaman

Lonto leok memiliki dua makna penting.

Pertama, menyatukan kata.

Lonto leok adalah ajang untuk merundingkan sesuatu secara bersama-sama untuk mencapai kesepakatan bersama. Ideal Lonto leok adalah mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta.

Semua partisipan yang hadir dalam acara lonto leok diharapkan dapat nai ca anggit (satukan hati) dengan sedapat mungkin menghindari adanya woleng curup (selisih pendapat). Maka, visi kelompok untuk kekompakan seperti muku ca pu’u neka woleng curup (semua warga seia sekata seperti pohon pisang yang bertumbuh secara merumpun/mengelompok) terwujud.

Kedua, menyatukan langkah.

Lonto leok menjadi medan untuk menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini, semua partisipan lonto leok diharapkan untuk tuka ca leleng (sehati dan bersaudara)tidak berbeda arah dan sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk woleng lako (cerai-berai).

Dengan cara ini, penyelewengan atau penyimpangan dalam tataran pelaksanaan apa yang sudah disepakati bersama dihindari. Dengan demikian, visi kelompok untuk kekompakan seperti  teu ca ambo neka woleng lako (tebu serumpun jangan cerai-berai) terjamin (John Dami Mukese dalam Marthin Chen dan Charles Suwendi (eds.), 2012:122).

Posisi Perempuan, Kritik, dan Rekomendasi

Saat seorang bayi lahir, ada dua istilah popular dalam budaya masyarakat Manggarai. Dua istilah itu adalah ata one dan ata pe’ang.

Pertama, istilah Ata one (ata = orang, one = dalam [bahasa Manggarai]), yang berarti orang dalam, adalah istilah atau sebutan untuk bayi laki-laki. Ketika bayi laki-laki itu bertumbuh dewasa dan beristri, ia akan tetap tinggal di dalam kampung dan menjadi anggota atau pemimpin suku.

Kedua, istilah Ata pe’ang (ata = orang, pe’ang = luar) atau orang luar adalah sebutan untuk bayi perempuan. Ketika bertumbuh dewasa dan bersuami, ia akan keluar dari suku orang tua dan akan mengikuti suami serta masuk ke dalam suku suami.

Dewasa ini, istilah Ata one dan Ata pe’ang di atas berpengaruh pada konsep orang Manggarai tentang eksistensi laki-laki dan perempuan terutama bila berbicara tentang hak dan kewajiban serta keadilan dalam keluarga dan masyarakat (Petrus Janggur, 2010:11).

Occe Idaman

Eksistensi laki-laki dan perempuan seperti itu kemudian berlaku pula dalam acara atau kegiatan lonto leok. Hal itu terbukti dalam posisi laki-laki yang duduk melingkar pada sebuah ruangan. Mereka bermusyawarah. Sistem demokrasi juga berlaku pada saat itu.

Meskipun demikian, ada suatu fenomena yang cukup memprihatinkan dan menurut Penulis hal itu perlu dikritisi. Fenomena itu adalah hanya kaum laki-laki yang terlibat aktif dalam tindakan mengambil keputusan saat acara lonto leok berlangsung, sedangkan kaum perempuan berada di dapur untuk mengurus bagian konsumsi.

Jadi, kaum perempuan hadir dalam acara lonto leok tidak untuk terlibat dalam musyawarah yang diakhiri dengan sebuah tindakan pengambilan keputusan bersama, melainkan hanya untuk mengurus konsumsi di dapur.

Menurut Penulis, fenomena tidak terlibatnya kaum perempuan dalam kegiatan lonto leok merupakan salah satu bentuk superioritas kaum laki-laki terhadap kaum perempuan.

Occe Idaman

Mengapa?

Pada prinsipnya, manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki martabat yang sama. Sebagai ciptaan yang teristimewa dari segala ciptaan yang ada, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya adalah hak bagi tiap orang untuk menyampaikan pendapat.

Namun, yang terjadi di dalam acara lonto leok amat berbeda. Laki-laki sajalah yang bermusyawarah. Mereka saling bertukar ide untuk mengambil sebuah keputusan tertentu.

Ironisnya, pada saat yang sama, perempuan justru sibuk di dapur untuk memasak nasi, mengolah daging, membuat kue dan kopi. Kaum perempuan tidak terlibat penuh dalam proses musyawarah.

Konsekuensinya, apapun hasil musyawarah kaum lelaki itu menjadi sebuah keputusan bersama yang harus diterima oleh semua pihak baik laki-laki maupun perempuan.

Kenyataan di atas mempertegas konstruksi sosial historis tentang perbedaan gender dan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang sifatnya tidak kodrati. Konstruksi sosial tentang gender itu justru menyebabkan terjadinya gender inequity dan gender inequality bagi perempuan (Fransiska Widyawati, dalam Marthin Chen dan Charles Suwendi (eds.), 2012:355).

Lalu, sistem budaya yang memperlakukan perempuan secara diskriminatif menyebabkan mereka kerap kali tidak memiliki hak otonom untuk mengemukakan ide dalam ranah publik yang formal.

Atas dasar itu, acara lonto leok sebagai suatu bentuk demokrasi tradisional masyarakat Tana Kuni agu Kalo perlu diperbaharui,yakni memperhatikan keterlibatan kaum perempuan dalam acara itu.

Pertimbangan dasarnya adalah pertama, “Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa kaum perempuan termasuk dalam jemaat Allah dan bangsa manusia, sama halnya seperti kaum laki-laki dan perempuan bukanlah suatu jenis makhluk hidup yang lain atau ras yang berbeda”, demikian pernyataan tegas seorang teolog feminisme, Christine de Pizan.

Kedua, manusia, baik laki-laki maupun perempuan, pada kodratnya memiliki martabat yang sama. Martabat itu tidak ditunjukkan pada jenis kelamin, tetapi pada eksistensi sebagai ciptaan yang sama di hadapan Tuhan.

Ketiga, kebebasan berpendapat diakui oleh Undang-Undang Republik Indonesia (UUD RI) No. 9 Tahun 1998, yakni “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Berdasarkan tiga poin di atas, maka tindakan mengambil keputusan dalam acara lonto leok, yang partisipannya didominasi oleh laki-laki, adalah salah satu bentuk tindakan subordinasi terhadap kaum perempuan.

Occe Idaman

Untuk menghindari pandangan dan praktik seperti itu, maka yang dibutuhkan adalah memperbarui bangunan budaya itu sendiri dengan mengakui keberadaan dan opini publik perempuan dalam kegiatan tersebut.

Atas dasar itu, Penulis merekomendasikan tiga hal sebagai berikut.

Pertama, konsep dan praksis laki-laki sebagai yang superior dalam tindakan mengambil keputusan pada saat acara lonto leok perlu dihilangkan. Laki-laki Manggarai mesti bersikap rendah hati untuk mengakui bahwa wawasan kaum perempuan tidaklah lebih bodoh darinya.

Kedua, kaum perempuan Manggarai mesti bersikap kritis terhadap suatu pola hidup dan konstruksi budaya yang mengistimewakan laki-laki. Perempuan harus berani tampil dalam kegiatan-kegiatan publik.

Ketiga, institusi seperti Gereja Katolik dan Negara mesti menjadi garda terdepan menyokong kaum perempuan untuk mendapatkan posisi strategis di ranah publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar