Perjumpaan Hukum
Negara, Agama dan Adat dalam Kasus Perkawinan di Manggarai, Flores
https://ekorantt.com/2021/11/27/perjumpaan-hukum-negara-agama-dan-adat-dalam-kasus-perkawinan-di-manggarai-flores-1-3/
Realitas ini membawa saya pada suatu argumentasi dasar bahwa
berbagai hukum, pengetahuan, keyakinan, dan filosofi yang ada di kehidupan kita
harus diperjumpakan secara kritis, dialektis, dialogis sekaligus mutualis satu
sama lain demi membangun kehidupan yang lebih baik
Oleh: Prof. Dr. Yohanes
Servatius Lon, M.A *
Latar
Belakang: Budaya Lokal vs Hukum Universal
Tanggal
1 Oktober 1991 adalah hari pertama saya mengikuti kuliah Hukum Gereja Katolik
pada Universitas Katolik Amerika di Washington D.C, Amerika Serikat. Setelah
berkenalan dengan teman kelas yang semuanya “orang barat”, salah satu teman,
Rm. Kenedy, bertanya kepada saya, “John, apakah kamu tidak salah, datang belajar kami punya hukum
Gereja di sini?
Saya terperangah dengan pertanyaan ini. Sebagai seorang imam
yang berasal dari Flores yang memiliki tradisi kekatolikan yang kuat dan
mengadopsi agama Katolik sebagai bagian dari identitas yang hakiki dan
membanggakan, saya sempat shock dan mengalami semacam lost of orientation (hilang arah).
Dalam
hati saya bertanya: Hukum Gereja mereka? Bukankah Gereja kita satu dan sama? Lantas jika itu hukum
gereja mereka, bagaimana gereja kami jauh di Flores sana melihat hukum ini?
Dengan gugup saya pun menjawab, “maybe” (mungkin).
Sejak itu, saya selalu terganggu dengan pertanyaan tersebut.
Perlahan-lahan saya belajar, bahwa selain dasar biblis, adalah benar bahwa
konteks dan pemikiran baratlah yang paling mendominasi tata aturan Gereja yang
kemudian berlaku universal. Hal tersebut jelas pada aneka aturan dan tradisi,
khususnya yang dirumuskan sebelum masa Konsili Vatikan II. Gugatan mengenai western
centris masih menjadi perhatian scholars/para ahli dewasa ini.
Pertanyaan
teman tadi hanya awal sebuah shock, sebab pada mata kuliah Sejarah Hukum Gereja, dosen saya Prof.
Mc Manus justru melakukan kajian mengenai gerakan kepeloporan Mgr. Van Bekkum
sebagai salah satu perintis pemikiran dan pelaku praksis inkulturasi dalam
Gereja Katolik. Jauh datang dari pelosok Flores ke Amerika, saya kok belajar
sesuatu dari kampung udik saya. Dosen tersebut kaget ketika mengetahui bahwa
saya berasal dari Manggarai, dimana Mgr. Van Bekkum berkarya. Ia memuji sang
uskup dan mengatakan ia belajar banyak dari Mgr. Van Bekkum.
Ia berpesan kepada saya untuk belajar dan membaca hukum Gereja
(universal) dalam semangat hukum lokal Manggarai. Sejak itu, rasa bangga saya
sebagai orang Manggarai bertumbuh menguat di negara super
power itu.
Itu pulalah titik awal yang membuka jalan bagi saya pada kajian akademis hukum
agama Katolik dan budaya, bidang yang membawa saya sampai menjadi Guru Besar
hari ini.
Menarik bahwa pengalaman saya pada awal studi Hukum Gereja
Katolik yang menekankan keharusan perjumpaan dengan tradisi dan hukum lokal,
tidak selalu dipahami baik oleh kalangan akademisi, praktisi maupun pemimpin
agama.
Masih banyak pihak yang menganggap kebenaran dan pusat pengetahuan berkiblat
pada pemikiran barat atau komunitas yang lebih maju. Dominasi dan superioritas
Barat masih kerap dihidupi. Sentralisasi pengetahuan dan hukum masih sangat kuat
sehingga small
narations cenderung dimarginalkan.
Saya teringat akan pengalaman masa kecil saya. Tahun 1967 saya
baru masuk Sekolah Dasar. Pada saat itu berlaku aturan bahwa bahasa resmi dan
bahasa pengantar pembelajaran di sekolah adalah Bahasa Indonesia. Aturan ini
sungguh menjadi masalah dan beban psikologis yang berat bagi saya yang datang
dari lingkungan yang kuat berbahasa Manggarai.
Masih segar dalam ingatan saya, karena tidak bisa berbahasa
Indonesia yang baik, saya merasa tidak betah di sekolah. Bahkan perasaan
demikian sangat kuat sehingga saya tidak mau dan tidak berani lagi datang ke
sekolah seminggu lamanya. Di masa itu, anak yang tidak bisa berbahasa Indonesia
dicap bodoh, udik, dan kampungan. Jadinya, saya semakin takut.
Syukurlah, teman-teman saya seperti Pak Willy A. Hangguman, dkk setiap hari
datang mengajak saya untuk ke sekolah. Dengan cara yang sangat alamiah, Pak
Willy, dkk menciptakan suasana dan lingkungan sekolah yang membuat saya mau dan
berani datang ke sekolah. Andaikan waktu itu, teman-teman saya tidak
menciptakan lingkungan yang kondusif di sekolah, maka hampir pasti
peristiwa hari ini tidak akan terjadi.
Peristiwa masa kecil ini nampaknya bukan sekadar menjadi
pengalaman saya saja, tetapi juga dirasakan banyak anak. Ada banyak stigma
negatif dan tak berimbang terhadap sesuatu yang lokal.
Pengalaman saya sebenarnya mencerminkan politik dan kebijakan
bahasa nasional yang dominatif dan sentralistik. Kebijakan ini dapat merugikan
anak didik yang berasal dari lingkungan yang kental dengan bahasa daerahnya.
Saya mencatat beberapa teman SD saya yang mengalami drop
out (DO)
hanya karena mereka mengalami kesulitan untuk mengembangkan pola pikir sesuai
struktur Bahasa Indonesia atau karena mereka memiliki pola pikir yang sangat
kuat dipengaruhi struktur bahasa Manggarai. Sangat disayangkan.
Kritikan sentralisasi dan dominasi wacana negara yang
meminggirkan kebudayaan lokal telah menjadi perhatian serius para ahli. Ada
banyak kebijakan nasional, regional, dan bahkan mondial yang dapat
menggerus dan meminggirkan kebudayaan lokal.
Saya
sendiri, ketika kuliah Master/S2 dalam bidang Applied Languistic, menyoroti kebijakan bahasa nasional yang berpotensi menjadi language
genocide terhadap bahasa daerah di Indonesia. Kita seharusnya sepakat
bahwa budaya lokal dari komunitas kecil sekalipun, tidaklah boleh dipandang
sebelah mata. Setiap usaha untuk menyingkirkannya tidak dibenarkan.
Sebaliknya,
saya juga melihat aspek lain dari peristiwa sewaktu saya SD. Saya belajar dari
pengalaman masa kecil itu, bahwa jika seseorang hanya mengenal budayanya
sendiri dan hidup di ruang sempitnya tanpa perjumpaan dialektis dengan unsur
lain (nasional, global, grand narration), ia juga akan menjadi katak di dalam tempurung. Jika saya
tidak belajar Bahasa Indonesia dan tidak belajar Bahasa Inggris maupun
pengetahuan lainnya, saya tidak akan seperti saat ini. Maka, dapatlah saya
mengatakan bahwa lingkungan kultural yang memberi rasa nyaman bisa saja justru
akan membatasi, menghambat, dan memenjarakan seseorang, sejauh dia tidak
membuka diri bagi dunia, pemikiran, dan praktis yang lebih terbuka.
Bagi saya, pengalaman masa kecil ini menarik untuk dijadikan potret yang
menggambarkan keterikatan yang berlebihan pada budaya atau adat tertentu,
sampai terpenjara di dalamnya juga sama sekali tidak baik. Ia dapat menjadi
penghalang bagi seseorang untuk maju ke dunia yang lebih luas di luar
lingkungan budayanya.
Realitas ini membawa saya pada suatu argumentasi dasar bahwa
berbagai hukum, pengetahuan, keyakinan, dan filosofi yang ada di kehidupan kita
harus diperjumpakan secara kritis, dialektis, dialogis sekaligus mutualis satu
sama lain demi membangun kehidupan yang lebih baik.
Tesis
dasar inilah yang menjadi spirit pengembangan kajian akademis saya selama
berkarir sebagai dosen hingga meraih gelar Guru Besar. Secara khusus, saya
memberi perhatian pada tema perkawinan yang menjadi isu krusial dan problematis
dalam perjumpaan antara hukum agama (Katolik), hukum adat (Manggarai) dan
hukum negara (Indonesia).
Maka,
seharusnya ritus perkawinan adat Manggarai dan ritus perkawinan Katolik
“dikawinkan” sehingga inti hukum dimana perjanjian antara dua pribadi tidak
diabaikan namun dikukuhkan keluarga besar sesuai konteks lokal.
Perkawinan dalam Hukum Adat, Agama, dan Negara
Menikah dan membentuk keluarga
merupakan salah satu aktivitas manusia yang paling tua dan
fundamental dalam sejarah kehidupan umat manusia.Setiap komunitas memiliki
keunikan dalam memandang dan mengatur perkawinan sesuai dengan konteks sosial,
historis dan hukum yang berlaku pada komunitas masing-masing.
Seiring dengan
perkembangan peradaban dan terbentuknya hukum-hukum adat, negara maupun agama,
perkawinan masuk dalam ranah hukum. Hukum-hukum ini bisa jadi memiliki titik
kesamaan sehingga dapat saling mendukung dan memperkaya. Namun juga bisa
berbeda dan bahkan bertolak belakang satu sama lain sehingga menimbulkan
konflik dan kontroversi. Perbedaan yang ada juga menimbulkan klaim kebenaran
masing-masing pihak dimana hukum tertentu dianggap lebih benar dan baik
dibandingkan dengan hukum lainnya.
Masyarakat Manggarai memberi arti perkawinan dengan nilai
filosofis, sosial, dan religius yang tinggi. Perkawinan adalah tanda
kedewasaan, dimana seseorang memasuki fase baru hidupnya. Perkawinan sangatlah
penting untuk mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya sebagai suatu
masyarakat.
Melalui perkawinan, sebuah wa’u/klan tidak akan punah (mempo). Perkawinan juga menjadi sarana untuk memperluas dan
memperbesar keluarga. Makin besar suatu keluarga, makin berhasil keluarga
tersebut. Olehnya faktor kelahiran anak menjadi krusial dalam sebuah
perkawinan. Bahkan, jika suatu perkawinan tidak menghasilkan keturunan/anak, si
suami diperkenankan untuk mengambil wanita lain sebagai istri yang kedua atau
ketiga.
Perkawinan
tidak hanya mengikat kedua calon mempelai tetapi juga kedua keluarga besar
sebagai anak
rona (pemberi
wanita) dan anak
wina (penerima
wanita). Prosesnya juga melibatkan peran aktif keluarga besar (asé-kaē,
wa’u, anak wina, pa’ang olon agu ngaung musi).
Dalam banyak praktik, kepentingan keluarga besar dan masyarakat
bisa lebih dominan dari pada keinginan pria dan perempuan yang menikah. Dari
aspek legalitasnya, perkawinan pun lebih dominan ditentukan oleh kesepakatan
kedua keluarga besar ketimbang kedua mempelai. Perjanjian kesepakatan antara
dua keluarga besar melambangkan dan melahirkan perkawinan antara kedua
mempelai. Perjanjian tersebut dilaksanakan dalam upacara adat tudak
ela wagal (sembelihan babi) atau sikat sai kina/cikat kina,wagak/wagal kaba (acara
penyembelihan kerbau). Patut juga dicatat bahwa dalam tradisi adat masyarakat
Manggarai poligami dan perceraian diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Tentu
hal ini sudah diatur dalam hukum yang mengikat dan membuat seseorang tidak
seenaknya saja melakukan poligami atau perceraian.
Berbeda dengan hukum Adat Manggarai, Gereja Katolik lebih
menekankan peran individu atau personel yang menikah. Persetujuan perkawinan
tidak dilakukan oleh keluarga besar tetapi oleh seorang pria dan seorang
wanita.
“Persetujuan perkawinan adalah suatu tindakan kehendak dengan mana seorang pria
dan seorang wanita, melalui suatu perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali,
saling memberi dan menerima satu sama lain untuk melangsungkan perkawinan” (KHK
1057 paragraf 2).
“Harus ada tindakan persetujuan yang nyata oleh kedua mempelai.
Ini diperlukan dan tidak ada kekuatan manusia lain, orang tua, keluarga, negara
atau gereja yang dapat menggantikan persetujuan ini”.
Gereja Katolik memandang perkawinan sebagai hal yang sakral dan
sakramental. Ia bukanlah sekadar ciptaan atau temuan manusia tetapi merupakan
rencana Ilahi. Perkawinan sudah ditetapkan Allah sejak penciptaan manusia
pertama (Kej 1, 26. 28). Allah menggoreskan dalam kodrat manusia, panggilan dan
tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan. Oleh Kristus Tuhan,
perkawinan dua orang Katolik diangkat menjadi sakramen yang melambangkan kasih
dan kesetiaan Tuhan terhadap GerejaNya.
Perkawinan yang sah dilakukan di hadapan wakil resmi Gereja (uskup, imam,
diakon) dan dalam upacara resmi Gereja (Kanon 1108-1110). Setiap perkawinan
yang sah bersifat suci, monogami, dan tidak bisa diceraikan oleh siapapaun atau
lembaga manapun. “Yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.
Gereja Katolik tidak mengenal poligami dan perceraian.
Selanjutnya, Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menegaskan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan harus berdasarkan kesepakatan
kedua calon mempelai yang telah memenuhi syarat-syarat yang diamanatkan
undang-undang (pasal 6).
Suatu perkawinan dapat sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Tidak ada perkawinan yang
sah di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Artinya, setiap
warga negara Indonesia yang akan menikah harus menikah pada lembaga agamanya
masing-masing dan tunduk pada aturan perkawinan agamanya. Jika hal itu tidak
dapat dipenuhi, maka perkawinan itu tidak sah.
Selanjutnya perkawinan yang sah harus dicatat di hadapan pegawai
pencatat nikah yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada prinsipnya mendukung perkawinan monogami
tetapi tetap membuka ruang bagi poligami (Pasal 3,4,5,6) dan memungkinkan
terjadinya perceraian dan perkawinan kembali.
Perjumpaan
yang Problematis dan Konfliktual
Setiap aturan hukum bersifat mengikat pihak-pihak yang ada di
lingkupnya. Hukum negara mengikat warga negara, hukum agama mengikat penganut
agama dan hukum adat mengikat masyarakat adat. Pada umumnya, setiap hukum
dirumuskan dengan tujuan khusus untuk tujuan kebaikan. Hukum Negara, hukum
agama dan Hukum Adat tentunya memiliki spirit yang sama yaitu berusaha
menempatkan perkawinan sebagai yang fundamental bagi manusia dan menjamin hak,
kenyamanan, dan kemudahan para pihak mencapai tujuan perkawinan itu sendiri.
Perjumpaan ketiganya dapat saling memperkaya spirit tersebut.
Namun, idealisme itu tidak selalu terjadi, khususnya karena
ketiga hukum tersebut memiliki perbedaan. Perbedaan sebenarnya wajar saja,
karena tidak mungkin dan juga ganjil kalau segala hukum, aturan, dan tradisi
sama dan seragam dimana-mana. Hanya saja, ketika semua hukum ini bertemu dan
berlaku pada pribadi yang sama, perjumpaan hukum ini menjadi hal yang
problematis, kontoversial dan bahkan konfliktual manakala perbedaan tidak bisa
diharmonisasi.
Ada beberapa masalah yang sadar atau tidak sadar terjadi di dalam perjumpaan
hukum negara, agama dan adat di Manggarai.
Pertama, sejauh ini hukum
perkawinan negara sama sekali tidak mengakomodir legalitas perkawinan adat,
melainkan hukum agama saja. Akibatnya mereka yang sudah melakukan perkawinan adat
namun tidak atau belum bisa mendapatkan legalitas agama akan mengalami
kesulitan sebagai warga negara.
Dengan tidak tercatatnya perkawinan pada lembaga negara, ada
banyak hak sebagai warga sipil yang tidak dapat diperoleh secara penuh bagi
pasangan tersebut maupun bagi anak-anak yang lahir dari pasangan ini. Dengan
tidak terpenuhinya hak-hak asasi warga negara, dalam hal ini pasangan atau
anak-anak yang dilahirkan, maka martabat, keluhuran dan kualitas manusia
menjadi rendah.
Kedua, hukum perkawinan
Katolik juga tidak mengakui legalitas perkawinan adat. Orang yang sudah menikah
adat dan sifatnya legal, mengikat dan sakral belum cukup jika ia tidak menikah
seturut Hukum agama Katolik. Ada sejumlah kasus yang memang menghalangi
seseorang bisa mendapatkan legalitas perkawinan Katolik. Pasangan semacam ini
dianggap “kawing
kampong” dan “ka’éng oné nendep”.
Pasangan
demikian mengalami peminggiran hak, stigma buruk, dan perlakuan yang tidak
menggambarkan kasih Allah kepada manusia. Akibat lain dari hal ini adalah
pasangan Manggarai merasa cukup menikah secara gereja dan mengesampingkan adat
dan bahkan menganggap adat tidak perlu. Di lain pihak, ketakutan “itang
agu nangki” jika perkawinan belum diresmikan secara adat, juga menghantui
kehidupan sebuah keluarga. Bayang-bayang ketakukan ini sangat tidak sehat bagi
sebuah keluarga.
Ketiga,
tata cara atau upacara untuk legalitas perkawinan Katolik sangat berpusat pada
tata cara barat yang menekankan pertukaran perjanjian antar-pasangan,
antar-pria dan perempuan yang menikah. Di sini Gereja ditantang untuk masuk di
dalam inti budaya dan keyakinan lokal, yang menonjolkan komitmen kedua keluarga
besar dalam menjaga kelanggengan perkawinan tersebut.
Maka, seharusnya ritus perkawinan adat Manggarai dan ritus
perkawinan Katolik “dikawinkan” sehingga inti hukum dimana perjanjian antara
dua pribadi tidak diabaikan namun dikukuhkan keluarga besar sesuai konteks
lokal.
Keempat, hukum perkawinan
negara dan adat memberi ruang bagi perceraian, namun hukum perkawinan agama
tidak memberi celah bagi hal tersebut. Baik negara, agama, dan budaya
menginginkan agar keluarga menjadi rumah cinta yang aman, bahagia, sejahtera
dan adil.
Namun,
visi ideal ini tidak selalu dapat dicapai oleh setiap pasangan keluarga.
Perkawinan bisa saja berakhir gagal dan masing-masing pasangan memilih berpisah
di jalannya sendiri. Keluarga yang broken tetaplah warga negara, warga agama, dan anggota budaya. Perbedaan
hukum mengenai perceraian atau tata cara mengatasi masalah perkawinan bisa
menjadi sumber ketidakadilan, kecurigaan, dan bahkan kontroversi.
Kelima, baik hukum negara
dan hukum agama, tidak mengijinkan perkawinan tungku cu-cross cousin marriage, salah satu jenis
perkawinan yang didukung dalam budaya Manggarai. Bagi gereja dan negara, aspek
kualitas kesehatan dari keturunan yang dihasilkan dari jenis perkawinan ini
menjadi dasar pelarangan atau pencegahannya.
Bagi
orang Manggarai, ikatan keluarga yang semakin diperkokoh dan implikasinya pada
akses sosial budaya menjadi pertimbangan dukungan terhadap model perkawinan
ini. Perbedaan nilai dan pilihan ini menjadi kesulitan bagi pasangan tungku
cu.
Keenam, salah satu isu
krusial dewasa ini adalah perkawinan campur beda agama. Sejauh ini, baik
Negara, Agama, dan Adat belum benar-benar ramah terhadap perkawinan ini yang
menyebabkan banyak orang terpaksa harus melepaskan agamanya atau berpindah
agama demi sebuah legalitas perkawinan, atau harus mengalami penderitaan dalam
perjuangan cinta mereka.
Agama,
negara, dan budaya adalah tiga poros kunci kekuatan untuk membangun kehidupan
yang bermartabat, luhur, adil, makmur dan sejahtera, lahir dan batin. Ketiga kekuatan
ini adalah potensi dan kekuatan dahsyat bagi keadaban publik, keadilan sosial,
dan terpenuhinya cita-cita hidup bersama
Dari Peminggiran Hukum Adat ke Small
Naratives
Jika
diperhatikan dengan jeli perjumpaan tiga hukum di
atas, dapatlah dikatakan bahwa, sejauh ini, hukum perkawinan adat menjadi satu
hukum yang kurang diakomodir dan cenderung dipinggirkan. Paradigma peminggiran
hukum adat di Indonesia tidak lahir dari ruang kosong.
Dalam diskursus
agama dan politik di Indonesia, pemisahan adat dari agama, dan agama asli/lokal
dari agama mondial (eksport – dari negeri asing) dan cara berpikir yang melihat
kebenaran agama dari luar lebih penting dari agama lokal/asli adalah hasil
konstruksi historis, kental politis dalam sejarah Indonesia sejak masa kolonial
dan sangat menguat pada masa Orde Baru. Di dalam perkembangan itu, keyakinan
lokal cenderung disamakan dengan kekafiran yang dilawankan dengan keyakinan
agama. Olehnya, yang berbau adat dilihat lebih rendah dan bernuansa agama lebih
tinggi.
Dalam
sejarahnya, pemerintah Indonesia juga cenderung mengembangkan politik
pembangunan hukum yang diorientasikan ke arah ideologi sentralisme hukum (legal
centralism), sehingga produk hukum nasional cenderung mengabaikan,
menggusur, dan bahkan mematisurikan sistem-sistem regulasi selain hukum negara (state
law)
yang secara empirik tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, hukum
adat menjadi kurang beruntung dan bahkan terancam eksitensinya.
Padahal, dalam konteks Indonesia, hukum adat telah berfungsi
sebagai living
law (hukum
yang hidup), sistem norma dan regulasi yang berfungsi sebagai instrumen
pengendalian sosial (legal order) yang menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat.
Hukum seharusnya berperan untuk melindungi masyarakat,
terutama melindungi hak asasinya. Salah satu hak asasi masyarakat adalah
hak atas identitas adat atau tradisinya. Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa
secara tegas mendeklarasikan hak asasi masyarakat adat.
Dikatakan dalam pasal 2 bahwa “Masyarakat adat dan
warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat
dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas
asal-usul atau identitas mereka”.
Dengan demikian masyarakat adat Manggarai memiliki hak asasi
untuk hidup sesuai dengan hukum adatnya. Sudah sepantasnya hukum adat Manggarai
menjadi bagian integral dari hukum negara dan hukum agama Katolik .
Realita peminggiran hukum adat membawa saya
pada dukungan terhadap usaha untuk memperhatikan small naratives sebagai kritik terhadap sentralisasi dan
dominasi kebenaran. Di sini hukum adat yang kecil dari komunitas yang minoritas
adalah narasi yang seharusnya tidak boleh dipinggirkan. Demikian pula dalam
kaitan dengan hukum perkawinan, hukum perkawinan adat jangan sampai
dipinggirkan oleh narasi universal dan global yang dihadirkan oleh agama dan
negara.
Dalam hal ini saya mendukung pemikiran filsuf postmodernis yang
melakukan kritik terhadap substansi pemikiran filosofis tentang sentralisasi
atau absolutisasi kebenaran. Kritik tersebut sampai pada kesimpulan bahwa pola
pikir modern telah mencapai kegagalan karena hanya membawa orang pada
sentralisasi kebenaran.
Sentralisasi dan absolutisasi kebenaran telah membuat manusia
saling mengasingkan keberadaan yang lain, melecehkan keluhuran martabat manusia
itu sendiri dan bahkan melahirkan kejahatan kemanusiaan yang irasional dan
radikal.
Pergerakan para filsuf post modernis berusaha keluar dari
cengkeraman narasi besar (universal) yang berakar pada sentralisasi atau
absolutisasi kebenaran dan berusaha membuka ruang untuk mengelaborasi pemikiran
yang berasal dari budaya lokal (narasi kecil).
Bagi mereka, filsafat harus kembali ke tradisi dan budaya
tertentu. Seorang filsuf harus memposisikan dirinya dalam masyarakatnya untuk
menggambarkan nilai-nilai filosofis yang dianutnya. Dalam filsafat lokal, para
filsuf akan menemukan pluralitas definisi kehidupan, kemajemukan dimensi
kebenaran, kemajemukan dimensi hubungan dan ikatan sistem.
Dalam Gereja Katolik, absolutisme kebenaran
cukup lama diekspresikan dalam prinsip nulla salus extra ecclesiam (tidak ada keselamatan di luar Gereja).
Syukurlah, menjelang Konsili Vatikan II muncul pergerakan perubahan
paradigma atau pola pikir yang berdampak pada sikap positif terhadap budaya
lokal. Bapak-bapak Konsili Vatikan II mengembangkan semangat aggiornamento, semangat keterbukaan terhadap kekayaan
dan kearifan budaya dan hukum adat setempat.
Dikatakan dalam GS 58 bahwa Allah sendiri telah bersabda menurut
kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Gereja di sepanjang zaman dan
pelbagai situasi telah memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk
menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa dan
mengungkapkannya secara lebih baik dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka
ragam.
Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi bahwa pada jantung setiap
budaya terletak sikap yang diambil manusia terhadap misteri terbesar: misteri
Tuhan. Justru dari kodrat manusia, perkawinan memiliki dimensi kultural.
Karena itu dalam mewartakan rencana Tuhan tentang perkawinan, Gereja tidak
dapat terlepas dari pengaruh setiap kebudayaan, baik pengaruh positif maupun
pengaruh negatif, dan untuk itu dibutuhkan sikap yang arif dan cerdas dalam
menginkulturasikan pesan Tuhan tentang perkawinan. Pengakuan akan hal-hal
positif dalam hukum adat akan memperkaya ajaran Gereja tentang aturan
perkawinan, sedangkan hal-hal yang negatif perlu disempurnakan dengan
nilai-nilai injili.
Kepastian Hukum dan Bonum
Commune
Pada dasarnya hukum dimaksudkan untuk memberi
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum menuju tercapainya bonum commune atau kesejahteraan umum masyarakat. Di
sini hukum bukan saja berfungsi sebagai a tool of social control-alat kontrol masyarakat tetapi terutama
sebagai a tool of social engineering-alat rekayasa perubahan sosial. Dengan demikian, ketika hukum
negara, hukum agama, dan hukum adat berbenturan satu sama lain, maka hukum
tersebut akan mudah kehilangan signifikansinya atau manfaat, dan tidak lagi
efektif memberikan kepastian hukum dan menjamin keadilan di tengah masyarakat
Manggarai.
Dalam konteks tersebut, dibutuhkan upaya
harmonisasi dan atau terobosan hukum yang lebih komprehensif dan inklusif
dengan saling mengadopsi yang lain. Hukum negara, hukum agama, dan hukum adat
seharusnya saling mengakomodir yang lain dengan memperhatikan
prinsip lex superior derogat lex inferior dan prinsip perlindungan Hak Asasi
Manusia.
Upaya tersebut seharusnya mengutamakan tujuan dan jiwa hukum itu
sendiri yaitu demi kebaikan, keadilan, dan keberpihakan pada yang kecil lagi
tersingkirkan. Dalam konteks hukum perkawinan, kepentingan pasangan, anak yang
lahir dari pasangan, keluarga dan masyarakat seharusnya menjadi perhatian dalam
ketiga hukum perkawinan di atas.
Masing-masing hukum harus rela untuk melakukan kritik internal
dan sekaligus mampu menemukan kekuatan dari hukum di luar dirinya sendiri.
Secara khusus, negara sebagai institusi yang lebih bersifat umum, harus lebih
terbuka pada kepentingan masyarakat majemuk termasuk hukum adat.
Penutup: Perjumpaan yang
Dialogis dan Mutualis
Agama, negara, dan budaya adalah tiga poros kunci kekuatan untuk
membangun kehidupan yang bermartabat, luhur, adil, makmur dan sejahtera, lahir
dan batin. Ketiga kekuatan ini adalah potensi dan kekuatan dahsyat bagi
keadaban publik, keadilan sosial, dan terpenuhinya cita-cita hidup bersama.
Olehnya, menjadi tugas dan tanggung jawab negara, gereja/agama
dan budaya untuk hadir sebagai kekuatan yang membebaskan, mencerahkan,
memerdekaan, dan membawa kesejahteraan bagi keluarga dan bagi warga masyarakat.
Perjumpaan agama, negara, dan adat harus menjadi pemerdekaan bagi setiap
pribadi dan keluarga.
Konsekuensinya, ketiga hukum perkawinan di atas perlu
diperjumpakan secara dialogis dan mutualis dengan prisip kesetaraan dan
penghargaan satu sama lain. Hukum tidak boleh ekslusif dan tertutup bagi
kebenaran di luar dirinya. Hukum yang baik adalah yang selalu berdialog dengan
kebenaran dan konteks yang terus berkembang.
Hukum yang satu harus bisa menghargai dan menghormati hukum
lainnya, melihat nilai positif di dalam hukum-hukum tersebut dan belajar dari
hukum lainnya demi suatu kebaikan yang lebih unggul. Satu lembaga tidak boleh
merasa superior terhadap institusi atau pranata lainnya.Dengan ini pula, harus
ada sikap kritis satu sama lain dan sekaligus auto kritik atau kritis terhadap
substansi dan perkembangan hukum di dalam dirinya sendiri.
Tidak ada satupun hukum yang sempurna. Semua berkembang di dalam
konteks dan hasil kontruksi manusia yang tak luput dari tunggangan kepentingan.
Olehnya, memperjumpakan hukum juga berarti saling memberi dan memperkaya satu
sama lain. Untuk itu, saya memberikan rekomendasi berikut:
Pertama, setiap agama memang memiliki keyakinan dan
aturannya sendiri serta mempunyai otonomi terhadap kebenaran yang ada di
dalamnya, khususnya karena berdasarkan otoritas keilahian yang diperolehnya.
Namun, agama masih berada di bumi dan olehnya ia harus berpijak pada konteks
dimana ia dihidupi. Kita harus sadar bahwa nilai-nilai agama juga tidak bebas,
dikonstruksi pada situasi, sejarah dan latar belakang pembentukannya.
Olehnya, agama sudah seharusnya terus berdialog dan
berdialektika dengan nilai kemanusiaan lainnya. Hukum perkawinan agama harus
membantu keluarga di Manggarai untuk berjumpa dengan pemilik kebenaranyang
ultim yaitu pada Allah yang sifatnya misterius.
Kedua, budaya adalah pemberi makna dan arti pada
hidup komunitas. Sama seperti agama, budaya juga lahir dan berubah di dalam
konteks. Budaya bukan ada begitu saja melainkan sebagai kreasi manusia
menanggapi situasi dan kondisinya. Budaya harus memanusiakan dan memerdekakan.
Budaya harus membuat manusia mempunyai arti.
Budaya jangan sampai memiskinkan, menyingkirkan anak dan
perempuan. Budaya jangan sampai menjadi penghalang kebahagiaan keluarga. Adat
perkawinan harus juga dibaca sebagai jalan membentuk keluarga sejahtera, bebas
dari kelaparan, stunting, kemiskinan, dan buta huruf. Jangan untuk semua urusan
adat kita jual tanah dan utang menumpuk, sementara anak-anak tidak sekolah.
Upacara-upacara adat yang kurang sehat, budaya masyarakat yang
merugikan kesehatan seperti rokok, tidak tidur, tidak bersih dan lain-lain
sebaiknya dihindarkan. Budaya seharusnya membuat kita menghargai, menghormati,
memiliki ikatan kuat dengan tanah, dengan sejarah, dengan leluhur, dengan
identitas khusus dan unik, yang membuat kita berbeda sekaligus manusiawi.
Nenek moyang tentunya tidak senang dengan
kemiskinan kita. Mereka tidak senang jikan lontos ata long, longs ata
lonto. Karena itu, hukum
adat dengan segala ritual perlu diperjumpakan dengan pola pikir baru yang
mengutamakan produktivitas, efisiensi, dan ekonomis.
Apalah artinya doa dan upacara perkawinan
adat, manakala anggota keluarga kita tidak tidak bisa bersekolah, sering sakit,
hidup miskin, dan menjadi penonton kemajuan orang luar. Apalah artinya belis
yang mahal, jika keluarga baru harus berutang atau kredit untuk pelunasannya.
Mimpi nenek moyang langkas haéng ntala, uwa haéng wulang seharusnya mengajak kita untuk terbuka dengan
budaya lain, dengan agama dan negara.
Akhirnya, negara adalah entitas yang menyatukan keragaman yang
ada di dalam wilayahnya. Keragaman dalam hukum dan aturan perkawinan harus bisa
diakomodir dalam peraturan perundangan. Negara tidak mungkin dan tidak boleh menyeragamkan
ajaran dan keyakinan agama. Negara juga tidak berhak mengatur kebudayaan yang
majemuk dengan membuatnya seragam.
Tugas negara adalah menjamin keragaman, keunikan, dan kekhususan
dari setiap entitas yang ada, termasuk yang paling minoritas dan kecil
sekalipun. Pengakuan negara tidak boleh hanya didasarkan pada aturan agama
tertentu dan mengabaikan aturan agama lainnya. Ia harus menjadi kekuatan yang
merangkul dan melindungi hak-hak warganya dari segi keimanan mereka, termasuk
dalam tata hukum agama mengenai perkawinan.
Negara juga tidak boleh mematikan kekayaan budayanya, dengan
memarginalisasi tradisi dan tidak mengakomodirnya atau menghormatinya. Negara
tidak boleh sewenang-wenang terhadap nilai filosofis, religius, sosial, dan
legal dari suatu kebudayaan. Maka, sepantasnya UU Perkawinan Tahun 1974 harus
direvisi agar bisa mengakomodir kepentingan warganya dengan adil sekaligus
berbudaya.
*Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Religi dan Budaya, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.
JPS, 30 Nov. 2021