Watu Timbang Raung di Flores, Tempat Mengadili Orang yang Berutang
Berita Terkait
PULAU Flores sangat terkenal dengan keunikan
alam serta kisah dibaliknya. Belum semua obyek wisata di Kabupaten
Manggarai Barat sudah diperkenalkan kepada wisatawan mancanegara maupun
wisatawan nusantara.
Di Bagian Pantai Utara dari Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur memiliki obyek wisata alam dan layak untuk berpetualangan.
Bagi wisatawan yang suka tantangan untuk menyusuri wilayah Utara dari Manggarai Barat, berkunjunglah ke Watu Timbang Raung.
Apa itu Watu Timbang Raung? Watu Timbang Raung yang terletak di wilayah Kengko-Rego, Desa Rego, Kecamatan Masang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat adalah tempat mengadili orang yang memiliki utang.
"Watu" artinya batu, "Timbang" artinya menimbang sedangkan "Raung" artinya utang. Jadi "Watu Timbang Raung" diterjemahkan sebuah batu dengan ketinggian ratusan meter sebagai tempat mengadili orang yang berutang.
Letaknya berada di tengah hutan rimba di sekitar wilayah Kengko-Rego. Inilah kisah unik Watu Timbang Raung sebagaimana dikisahkan masyarakat setempat.
Belum lama ini KompasTravel
melakukan adventure di wilayah Utara Manggarai Barat dan mengunjungi
Watu Timbang Raung. Dipandu oleh Matias Dandung, Benyamin serta sejumlah
keluarga dari wilayah Rego kami menuju ke obyek wisata Watu Timbang
Raung yang sudah pernah dikunjungi wisatawan dari Perancis itu.
Watu Timbang Raung terletak di wilayah Kengko-Rego, Desa Rego,
Kecamatan Masang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa
Tenggara Timur adalah tempat mengadili orang yang memiliki utang.
Awalnya berangkat dari Kota Waelengga, ibu kota Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Senin (1/2/2016), menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai dengan menggunakan travel lokal.
Semalam tidur di rumah keluarga di Kota Ruteng. Lalu pagi Selasa (2/2/2016) bergegas menuju ke Terminal Mena untuk mengejar Oto Colt menuju ke wilayah Utara Manggarai Barat, tujuan Rego.
Tepat jam 07.00 Wita, sopir Oto Mulia Terang melajukan kendaraannya menuju ke wilayah Cancar, Golowelu, Wajur, dan makan siang di Pertigaan Noa.
Pertigaan Noa adalah tempat semua kendaraan berhenti untuk makan siang baik yang ke Ruteng, Terang maupun Rego. Ada sejumlah warung lokal yang menyediakan hidangan makan siang, makan malam bagi penumpang dan sopir serta kondektur.
Dari
pertigaan Noa, saya bersama dengan pemandu lokal, Matias Dandung
melintasi wilayah Utara Manggarai Barat dengan melewati sejumlah kampung
serta pemandangan alam di kiri kanan jalan. Tujuan kami adalah ke
Kampung SAR untuk menghadiri ritual adat, SOR WAE dari Mama Rosalia Jila
yang meninggal dunia minggu lalu.
Dua orang ibu sedang melintasi jalan menuju Watu Timbang Raung di
wilayah Kengko-Rego, Desa Rego, Kecamatan Masang Pacar, Kabupaten
Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Watu Timbang Raung
adalah tempat mengadili orang yang memiliki utang.
Selain itu, saya memiliki tujuan untuk mengabadikan serta mempromosikan Watu Timbang Raung yang menjadi bahan cerita secara turun temurun dari warga di Kabupaten Manggarai Barat. Keunikan batunya. Kisahnya yang misterius. Tak sia-siakan waktu itu untuk berpetualangan untuk berwisata ke Watu Timbang Raung.
Saat melintasi jalan raya Lintas Utara, dari kejauhan sudah terlihat keunikan Watu Timbang Raung serta kemegahannya yang berada di puncak gunung Hutan Rego. Saat itu pula, saya mengeluarkan kamera dari dalam tas dan langsung mengabadikannya.
Saya bersama dengan beberapa orang berjalan kaki di jalan raya di pinggir batu tersebut. Melihat keunikan dan kemegahan batu itu, saya terus mengabadikan dengan kamera. Sungguh unik batu tersebut. Sayangnya, minim promosi.
Sambil melihat keunikan batu tersebut, saya bersama dengan sejumlah warga menikmati suara burung yang masih terjaga dengan baik. Sesudah itu, saya menggali informasi dari beberapa warga terkait dengan kisah Watu Timbang Raung.
Mereka meminta saya untuk bertemu dengan mantan Kepala Desa Rego yang mengetahui kisahnya. Lalu, Kamis malam (4/2/2016) saya bertamu dengan rumah mantan kepala Desa. Saya disambut dengan ramah sesuai budaya setempat serta menyuguhkan saya kopi Arabika khas Kampung Rego.
Sambil meneguk kopi khas Kampung Rego, mantan Kepala Desa Rego, Abraham Lega, kepada KompasTravel, Kamis (4/2/2016) di kediamannya mulai bertutur.
Warga di sekitar Watu Timbang Raung di wilayah Kengko-Rego, Desa Rego,
Kecamatan Masang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa
Tenggara Timur. Watu Timbang Raung adalah tempat mengadili orang yang
memiliki utang.
Pada zaman dulu, kurang tahu persis tahunnya, sebagaimana dikisahkan leluhur dan orangtua-orangtua di wilayah Kampung Kengko dan Rego serta kampung tetangga sekitarnya bahwa ada seorang laki-laki berambut panjang memiliki banyak utang padi.
Sang pemilik padi terus menagih utang, namun orang itu tidak sanggup membayarnya. Tahun demi tahun, utang padi terus bertumpuk. Orang itu tak sanggup membayarnya.
Abraham mengisahkan, suatu hari pemilik padi menagih lagi kepada orang itu, tetapi orang itu tidak sanggup membayarnya. Lalu, pemilik padi menghukum orang itu dengan disaksikan banyak orang dengan menyuruh naik ke atas batu yang tingginya ratusan meter.
Di batu itu ada cabang berbentuk meja. Pemilik padi menyuruh orang itu agar naik ke batu sampai di cabang yang berbentuk meja. Sang pemilik meminta kepada orang yang berutang itu untuk membawa Nio (isi kelapa tua), Leke (Tempurung), dan sisir serta Wae (air).
Saat itu, lanjut Abraham, sebagaimana dikisahkan oleh orangtuanya, jika orang yang berutang itu mampu sampai ke batu meja itu serta melakukan Rono (membersihkan rambutnya dengan air kelapa) maka utangnya lunas. Waktu pemilik pai berpikir bahwa orang yang berutang itu pasti jatuh.
Ternyata, orang yang berutang itu sanggup menggapai batu meja tersebut serta membasahi rambutnya dengan air kepala. Dia duduk di batu meja itu sambil membasahi rambutnya dengan air kelapa.
Semua
orang yang menyaksikan peristiwa itu heran dan kagum dengan kekuatan
yang dimiliki oleh orang berutang. Ternyata dia tidak jatuh.
Kemegahan Watu Timbang Raung di wilayah Kengko-Rego, Desa Rego,
Kecamatan Masang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa
Tenggara Timur. Watu Timbang Raung adalah tempat mengadili orang yang
memiliki utang.
Abraham mengisahkan, saat itu juga sesuai janji dari pemilik padi bahwa utang padinya terhapus dan sesudah menyelesaikan tugasnya, orang yang berutang turun dari batu itu disambut gembira oleh seluruh warga yang menyaksikannya. Namun, batu berbentuk meja itu sudah jatuh akibat guncangan gempa beberapa tahun silam.
“Begitulah kisah misterius dari Watu Timbang Raung yang hingga kini masih dikisahkan oleh semua orang di seluruh Manggarai Barat,” kata Abraham.
Di Bagian Pantai Utara dari Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur memiliki obyek wisata alam dan layak untuk berpetualangan.
Bagi wisatawan yang suka tantangan untuk menyusuri wilayah Utara dari Manggarai Barat, berkunjunglah ke Watu Timbang Raung.
Apa itu Watu Timbang Raung? Watu Timbang Raung yang terletak di wilayah Kengko-Rego, Desa Rego, Kecamatan Masang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat adalah tempat mengadili orang yang memiliki utang.
"Watu" artinya batu, "Timbang" artinya menimbang sedangkan "Raung" artinya utang. Jadi "Watu Timbang Raung" diterjemahkan sebuah batu dengan ketinggian ratusan meter sebagai tempat mengadili orang yang berutang.
Letaknya berada di tengah hutan rimba di sekitar wilayah Kengko-Rego. Inilah kisah unik Watu Timbang Raung sebagaimana dikisahkan masyarakat setempat.
Awalnya berangkat dari Kota Waelengga, ibu kota Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Senin (1/2/2016), menuju ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai dengan menggunakan travel lokal.
Semalam tidur di rumah keluarga di Kota Ruteng. Lalu pagi Selasa (2/2/2016) bergegas menuju ke Terminal Mena untuk mengejar Oto Colt menuju ke wilayah Utara Manggarai Barat, tujuan Rego.
Tepat jam 07.00 Wita, sopir Oto Mulia Terang melajukan kendaraannya menuju ke wilayah Cancar, Golowelu, Wajur, dan makan siang di Pertigaan Noa.
Pertigaan Noa adalah tempat semua kendaraan berhenti untuk makan siang baik yang ke Ruteng, Terang maupun Rego. Ada sejumlah warung lokal yang menyediakan hidangan makan siang, makan malam bagi penumpang dan sopir serta kondektur.
Selain itu, saya memiliki tujuan untuk mengabadikan serta mempromosikan Watu Timbang Raung yang menjadi bahan cerita secara turun temurun dari warga di Kabupaten Manggarai Barat. Keunikan batunya. Kisahnya yang misterius. Tak sia-siakan waktu itu untuk berpetualangan untuk berwisata ke Watu Timbang Raung.
Saat melintasi jalan raya Lintas Utara, dari kejauhan sudah terlihat keunikan Watu Timbang Raung serta kemegahannya yang berada di puncak gunung Hutan Rego. Saat itu pula, saya mengeluarkan kamera dari dalam tas dan langsung mengabadikannya.
Saya bersama dengan beberapa orang berjalan kaki di jalan raya di pinggir batu tersebut. Melihat keunikan dan kemegahan batu itu, saya terus mengabadikan dengan kamera. Sungguh unik batu tersebut. Sayangnya, minim promosi.
Sambil melihat keunikan batu tersebut, saya bersama dengan sejumlah warga menikmati suara burung yang masih terjaga dengan baik. Sesudah itu, saya menggali informasi dari beberapa warga terkait dengan kisah Watu Timbang Raung.
Mereka meminta saya untuk bertemu dengan mantan Kepala Desa Rego yang mengetahui kisahnya. Lalu, Kamis malam (4/2/2016) saya bertamu dengan rumah mantan kepala Desa. Saya disambut dengan ramah sesuai budaya setempat serta menyuguhkan saya kopi Arabika khas Kampung Rego.
Pada zaman dulu, kurang tahu persis tahunnya, sebagaimana dikisahkan leluhur dan orangtua-orangtua di wilayah Kampung Kengko dan Rego serta kampung tetangga sekitarnya bahwa ada seorang laki-laki berambut panjang memiliki banyak utang padi.
Sang pemilik padi terus menagih utang, namun orang itu tidak sanggup membayarnya. Tahun demi tahun, utang padi terus bertumpuk. Orang itu tak sanggup membayarnya.
Abraham mengisahkan, suatu hari pemilik padi menagih lagi kepada orang itu, tetapi orang itu tidak sanggup membayarnya. Lalu, pemilik padi menghukum orang itu dengan disaksikan banyak orang dengan menyuruh naik ke atas batu yang tingginya ratusan meter.
Di batu itu ada cabang berbentuk meja. Pemilik padi menyuruh orang itu agar naik ke batu sampai di cabang yang berbentuk meja. Sang pemilik meminta kepada orang yang berutang itu untuk membawa Nio (isi kelapa tua), Leke (Tempurung), dan sisir serta Wae (air).
Saat itu, lanjut Abraham, sebagaimana dikisahkan oleh orangtuanya, jika orang yang berutang itu mampu sampai ke batu meja itu serta melakukan Rono (membersihkan rambutnya dengan air kelapa) maka utangnya lunas. Waktu pemilik pai berpikir bahwa orang yang berutang itu pasti jatuh.
Ternyata, orang yang berutang itu sanggup menggapai batu meja tersebut serta membasahi rambutnya dengan air kepala. Dia duduk di batu meja itu sambil membasahi rambutnya dengan air kelapa.
Abraham mengisahkan, saat itu juga sesuai janji dari pemilik padi bahwa utang padinya terhapus dan sesudah menyelesaikan tugasnya, orang yang berutang turun dari batu itu disambut gembira oleh seluruh warga yang menyaksikannya. Namun, batu berbentuk meja itu sudah jatuh akibat guncangan gempa beberapa tahun silam.
“Begitulah kisah misterius dari Watu Timbang Raung yang hingga kini masih dikisahkan oleh semua orang di seluruh Manggarai Barat,” kata Abraham.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar