Umbiro, Tradisi Kampung Rajong Koe di Flores Menghormati Alam
Kompas.com - 09/08/2017, 09:15 WIB
Selasa (1/8/2017), Sekolah Dasar Katolik Waekekik merayakan pesta yang ke-54 tahun. Saat suasana hening yang diselimuti dingin dan kabut, tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya penari dari Sekolah Dasar Inpres Nunur, Desa Mbengan dari berbagai sudut panggung di tempat syukuran tersebut.
(BACA: Menari Ndundu Ndake Bersama Perempuan Flores)
Penari yang membawakan ritual Umbiro adalah siswa dan siswi Sekolah Dasar Inpres Nunur. Untuk atraksi Umbiro memerlukan 30 orang penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Secara perlahan-lahan dengan hentakan kaki di tanah dipadukan dengan kain selendang memberikan suasana gembira kepada ribuan penonton yang memadati kemah syukuran pesta emas sekolah tersebut.
(BACA: Jangan Ditiru! Kelakuan Turis Menginjak Cagar Budaya di Yogyakarta)
Iringan gong dan gendang serta lagu-lagu khas Manggarai Timur memberikan nuansa berbeda yang dibawakan oleh siswa dan siswi kelas tiga, empat dan lima.
Hiburan yang dibawakan penari dengan meritualkan Umbiro membangkitkan ingatan tetua adat di Desa Ranakolong dan Desa Mbengan terhadap tradisi Umbiro yang diwariskan leluhur di dua desa tersebut.
Mereka membersihkan lahan di ladang untuk menanam padi didahului berbagai ritual adat yang menghormati tanah.
Orang Manggarai Timur sangat menyatu dengan alam. Segala sesuatu yang berhubungan dengan menanam berbagai jenis holtikultura selalu didahului oleh ritual adat yang menghormati alam semesta dan Tuhan Maha Pencipta.
Ada ritual Weri Mata Nii (berkat benih padi) yang diritualkan dengan darah ayam. Ada juga ritual Pasok Mata Nii (tanam benih padi dan jagung yang sudah diberkati secara adat). Ada ritual Raut Kalang (bersih rumput di sela-sela padi).
Selanjutnya ada ritual Umbiro yang dilaksanakan di pinggir ladang ketika padi mulai berisi. Ritual ini selalu dibawakan oleh para petani di Manggarai Timur, khususnya di wilayah selatan di antaranya Desa Mbengan, Desa Ranakolong, Desa Gunung, Desa Gunung Baru serta 22 desa lainnya.
Saat meritualkan Umbiro diiringi lagu-lagu yang berhubungan dengan padi. Meminta alam semesta, leluhur dan Tuhan Maha Pencipta untuk memberikan hasil yang berlimpah dan menjaga padi dari gangguan roh-roh halus.
Umbiro juga adu kemampuan antara kaum perempuan dengan laki-laki. Sebelum dilaksanakan ritual itu di pinggir ladang, terlebih dahulu dipersembahkan sesajian kepada alam, leluhur dan Tuhan Maha Pencipta dengan benda ayam, babi dan kambing serta benda-benda lainnya.
Ritual adat orang Manggarai Timur selalu berhubungan dengan alam semesta, padi, jagung, serta berbagai umbi-umbian.
Ritual ini secara alamiah dibuat leluhur orang Manggarai Timur karena pada zaman dahulu alam selalu dekat dengan manusia dan segala sesuatu berhubungan dengan alam semesta.
Maksud dari tradisi ini adalah meminta alam semesta, tanah, leluhur dan Tuhan agar buah padi panjang dan bulir-bulirnya padat dan berlimpah. Ritual ini selalu dilaksanakan di ladang-ladang masyarakat.
"Segala sesuatu yang kami lakukan selalu berhubungan ritual-ritual adat, baik dengan alam semesta maupun manusia. Kami orang adat yang selalu menghargai tradisi dan ritual-ritual yang diwariskan leluhur. Yang lebih mendalam dari berbagai ritual adat adalah ritual menghormati padi, jagung dan berbagai jenis umbi-umbian. Ada juga ritual menghormati sumber mata air yang disebut Karong Wae (ritual menghormati sumber mata air),” katanya.
Thomas mengaku bangga bahwa ritual-ritual yang berhubungan dengan padi, jagung dibuat dalam bentuk tari-tarian yang dikembangkan oleh pelajar dan guru di Sekolah Dasar Inpres Nunur, SDK Waekekik, SDI Messi dan Sekolah Menengah Atas Negeri II Kota Komba.
Berbagai ritual itu dipentaskan dalam berbagai festival budaya di tingkat kabupaten bahkan dipentaskan dalam gala dinner lomba balap sepeda internasional.
"Saya dengar bahwa tradisi Umbiro sudah terkenal di Belgia, bahkan baru-baru ini tari-tarian itu dipentaskan kepada pebalap sepeda internasional yang datang dari berbagai negara di dunia ini," katanya.
Menurut Joman tradisi Umbiro adalah tradisi yang dilaksanakan di pinggir ladang saat padi mulai berbunga dan biasanya dilaksanakan pada bulan Maret.
"Ada sepuluh nyanyian dibawakan di antaranya Mai taung, Sai Ndereng, Api sili, Kepe Le, totok ametong, lowing, suku wela suwuk, ole nara ge, Beteng Jerek, O rure, dan Kole Ge," katanya.
Dua syair dari sepuluh syair lagu, lanjut Joman, adalah "Kepe Le Kepe Le, Le Mori Mori Mese, tadu Lau Lau Woja Galung" artinya alam dan leluhur jaga ladang serta Tuhan Maha Pencipta memberkati padi agar berbuah melimpah.
Berikutnya "O Rue Le Mai Wela Tete, Ndo Kaka Ndewe Radi Teku Lewe" artinya semoga semua tanaman di ladang seperti padi, ubi tatas, jagung bertumbuh subur dan tidak diganggu oleh berbagai jenis burung.
Pastor John Jonga, peraih Yap Thiam Hien Award 2009 asal Kampung Nunur, Desa Mbengan saat menghadiri Pesta emas SDK Waekekik mengaku bulu kuduknya merinding saat siswa dan siswi Sekolah Dasar Inpres Nunur dan SMAN II Kota Komba mementaskan tari-tarian yang berhubungan dengan pertanian.
Jonga yang bertugas di Papua menjelaskan bahwa dirinya lahir dan dibesarkan dalam berbagai tradisi yang diwariskan leluhur dan orangtua untuk menghormati alam semesta dan Tuhan Maha Pencipta.
Pastor Daniel Ivan Darto Simamora, OFMCap kepada KompasTravel merasa bangga dan kagum dengan pementasan tarian Umbiro dan Riik Kozu yang dibawakan oleh siswa-siswi sekolah ini.
Ini membuktikan bahwa anak-anak masih menjaga dan mencintai budaya yang diwariskan leluhur orang Manggarai Timur, Flores.
“Orang Batak juga sangat menghargai budaya dan berbagai tari-tarian. Bahkan, segala aspek kehidupan orang Batak selalu berhubungan dengan adat istiadat dan ritual-ritual adat yang berhubungan dengan alam semesta,” katanya.
Sehari Menari Sanggu Alu dan Lipa Songke di Waemokel Flores
Berita Terkait
LONCATAN kaki kanan pelajar Sekolah Menengah
Pertama Katolik Waemokel, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba,
Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur di celah-celah
bambu kecil menandakan atraksi tarian Sanggu Alu dimulai.
Hentakan kecil bambu yang digerakkan oleh anggota penari laki-laki mengajak penari perempuan untuk bersiap-siap meloncat di celah-celah bambu tersebut.
Satu per satu penari perempuan yang berpakaian kain songke dan kebaya berjingkrak-jingkrak di celah-celah bambu yang terus digerakkan oleh penari laki-laki.
Kelincahan sangat diperlukan dalam tarian Sanggu Alu. Jika tidak lincah, maka kaki kanan dari penari perempuan akan terbentur dengan bambu yang digerakkan oleh penari laki-laki.
Irama kaki yang sama membuat keindahan dan keunikan tarian Sanggu Alu menjadi daya tarik pelajar di dekolah menengah tersebut.
Bunyi
gesekan bambu kecil yang dilakukan penari laki-laki dan dipadukan
loncatan indah penari perempuan di celah-celah bambu itu memberikan daya
tarik kepada penonton yang memadat Aula Sekolah Menengah Pertama
Katolik Waemokel, Selasa (9/2/2016) lalu.
Persiapan bambu untuk atraksi Sanggu Alu di Sekolah Menengah Pertama
Katolik Waemokel, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten
Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Selasa (9/2/2016).
Pada hari itu dirayakan ulang tahun pelindung SMPK Waemokel, Santo Arnoldus Jansen dan ulang tahun sekolah yang ke-38 serta merayakan Natal 2015 dan Tahun Baru bersama di lembaga tersebut.
Tepuk tangan meriah dari penonton, yang adalah pelajar SMPK Waemokel lainnya memberikan semangat kepada penari Sanggu Alu untuk terus menari-nari di celah-celah bambu.
Tarian Sanggu Alu yang diwariskan leluhur di Kabupaten Manggarai Timur terus dilestarikan di Sekolah Menengah Pertama Katolik Waemokel.
Satu-satunya
sekolah menengah pertama di Kabupaten Manggarai Timur yang terus
mempertahankan tarian khas ini. Bahkan, tarian ini selalu dipentaskan di
sekolah tersebut dalam mata pelajaran kurikulum lokal.
Tarian Sanggu Alu dipentaskan pelajar Sekolah Menengah Pertama Katolik
Waemokel, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten
Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Selasa (9/2/2016).
Kepala Sekolah SMPK Waemokel, Robertus Wahab kepada KompasTravel menjelaskan, tarian Sanggu Alu merupakan kekhasan di lembaga sekolah ini. Setiap kali ada perayaan di sekolah selalu dipentaskan tarian ini.
“Ini merupakan kreativitas pelajar di SMPK Waemokel dalam melestarikan tarian khas lokal yang diwariskan leluhur di Manggarai Timur,” kata Robertus.
Tampil di Berbagai Acara Budaya Lokal
Pelajar Sekolah Menengah Pertama Katolik Waemokel, Kelurahan
Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores,
Nusa Tenggara Timur membawa bambu kecil, Selasa (9/2/2016).
Robertus menjelaskan, tarian Sanggu Alu selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya lokal serta peringatan-peringatan hari besar seperti Perayaan 17 Agustus, perayaan Hari Pendidikan, 2 Mei serta berbagai perayaan di lembaga gereja.
Seperti pada Hari Pangan Sedunia yang diselenggarakan oleh Keuskupan Ruteng di Paroki Santo Arnoldus dan Joseph Waelengga pada 2015 lalu dipentaskan tarian Sanggu Alu oleh pelajar SMPK Waemokel.
Selain Tarian Sanggu Alu, lanjut Robertus, ada juga tarian yang tak kalah menariknya, yakni tarian Lipa Songke. Tarian ini dibawakan oleh siswi.
Tarian ini diiringi lagu dan musik Manggarai. "Lipa" artinya kain selimut, sedangkan "Songke" adalah kain khas masyarakat Manggarai. Jadi tarian Lipa Songke adalah tarian menggunakan kain songke.
Liukan badan penari dengan iringan musik khas Manggarai Raya mampu memikat pelajar lainnya yang sedang menonton serta tidak beranjak dari kursi mereka. Mereka menyimak dan menikmati penampilan dari penari perempuan di sekolah tersebut.
Kain selendang, kebaya serta kain songke memberikan nilai tersendiri dalam tarian Lipa Songke. Langkah kaki dari penari perempuan seirama dengan alunan musik khas Manggarai Raya memberikan keunikan tersendiri dari tarian ini.
“Lembaga ini terus melestarikan dan mengembangkan tarian-tarian khas masyarakat Manggarai Raya. Salah satu cara untuk mencintai tarian lokal ini adalah pelajar dilatih dan dipentaskan di berbagai event budaya di wilayah Manggarai Timur,” jelas Robertus.
Anggota
Komite Sekolah Menengah Pertama Waemokel, Yoseph Geong kepada
KompasTravel menjelaskan, tarian Sanggu Alu merupakan tarian khas
masyarakat Manggarai Timur. Untuk wilayah Manggarai dan Manggarai Barat,
tarian ini disebut dengan tarian Rangkuk Alu.
Pelajar Sekolah Menengah Pertama Katolik Waemokel, Kelurahan
Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores,
Nusa Tenggara Timur, membawakan tarian Lipa Songke.
Yoseph memaparkan, tarian ini tarian ungkapan kegembiraan dari masyarakat pasca panen. Bahkan, tarian ini ditampilkan pada malam hari di bulan terang.
“Saya bangga dengan pelajar Sekolah Menengah Pertama Waemokel yang selalu menampilkan budaya lokal seperti tari-tarian khas masyarakat Manggarai Timur. Saya berharap pengembangan dan pelestarian tarian ini terus dipertahankan dan menjadi ciri khas di lembaga ini,” katanya.
Paket Wisata Budaya di Manggarai Timur
Pelajar Sekolah Menengah Pertama Katolik Waemokel, Kelurahan
Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores,
Nusa Tenggara Timur, membawakan tarian Lipa Songke.
Kekayaan tarian khas masyarakat Manggarai Timur serta berbagai ritual-ritual budaya memberikan nilai tersendiri bagi wisatawan asing dan domestik yang berwisata ke wilayah Manggarai Timur.
Keaslian budaya serta tariannya mampu memikat wisatawan Eropa yang sudah pernah mengunjungi Manggarai Timur, seperti tarian Vera yang pernah menghibur wisatawan Perancis, tarian Wai Doka dan Umbiro disuguhkan kepada wisatawan Belgia. Tarian Padoa dari masyarakat Sabu di Manggarai Timur juga dipentaskan kepada wisatawan asing beberapa tahun lalu.
Menangkap peluang itu, Pastor Paroki Santo Arnoldus dan Joseph, Romo Hieronimus Jelahu memprogramkan pementasan tarian khas masyarakat di wilayahnya pada hari Ulang Tahun paroki di tahun ini.
“Saya bersama dewan paroki serta masyarakat di wilayah paroki siap menyelenggarakan pementasan budaya dengan melibatkan sekolah-sekolah yang ada disekitar paroki ini. Saya berharap Waelengga sebagai pintu masuk wisatawan ke wilayah Manggarai Raya menjadi pusat atraksi-atraksi budaya kepada wisatawan mancanegara dan domestik,” katanya.
Hentakan kecil bambu yang digerakkan oleh anggota penari laki-laki mengajak penari perempuan untuk bersiap-siap meloncat di celah-celah bambu tersebut.
Satu per satu penari perempuan yang berpakaian kain songke dan kebaya berjingkrak-jingkrak di celah-celah bambu yang terus digerakkan oleh penari laki-laki.
Kelincahan sangat diperlukan dalam tarian Sanggu Alu. Jika tidak lincah, maka kaki kanan dari penari perempuan akan terbentur dengan bambu yang digerakkan oleh penari laki-laki.
Irama kaki yang sama membuat keindahan dan keunikan tarian Sanggu Alu menjadi daya tarik pelajar di dekolah menengah tersebut.
Pada hari itu dirayakan ulang tahun pelindung SMPK Waemokel, Santo Arnoldus Jansen dan ulang tahun sekolah yang ke-38 serta merayakan Natal 2015 dan Tahun Baru bersama di lembaga tersebut.
Tepuk tangan meriah dari penonton, yang adalah pelajar SMPK Waemokel lainnya memberikan semangat kepada penari Sanggu Alu untuk terus menari-nari di celah-celah bambu.
Tarian Sanggu Alu yang diwariskan leluhur di Kabupaten Manggarai Timur terus dilestarikan di Sekolah Menengah Pertama Katolik Waemokel.
Kepala Sekolah SMPK Waemokel, Robertus Wahab kepada KompasTravel menjelaskan, tarian Sanggu Alu merupakan kekhasan di lembaga sekolah ini. Setiap kali ada perayaan di sekolah selalu dipentaskan tarian ini.
“Ini merupakan kreativitas pelajar di SMPK Waemokel dalam melestarikan tarian khas lokal yang diwariskan leluhur di Manggarai Timur,” kata Robertus.
Robertus menjelaskan, tarian Sanggu Alu selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya lokal serta peringatan-peringatan hari besar seperti Perayaan 17 Agustus, perayaan Hari Pendidikan, 2 Mei serta berbagai perayaan di lembaga gereja.
Seperti pada Hari Pangan Sedunia yang diselenggarakan oleh Keuskupan Ruteng di Paroki Santo Arnoldus dan Joseph Waelengga pada 2015 lalu dipentaskan tarian Sanggu Alu oleh pelajar SMPK Waemokel.
Selain Tarian Sanggu Alu, lanjut Robertus, ada juga tarian yang tak kalah menariknya, yakni tarian Lipa Songke. Tarian ini dibawakan oleh siswi.
Tarian ini diiringi lagu dan musik Manggarai. "Lipa" artinya kain selimut, sedangkan "Songke" adalah kain khas masyarakat Manggarai. Jadi tarian Lipa Songke adalah tarian menggunakan kain songke.
Liukan badan penari dengan iringan musik khas Manggarai Raya mampu memikat pelajar lainnya yang sedang menonton serta tidak beranjak dari kursi mereka. Mereka menyimak dan menikmati penampilan dari penari perempuan di sekolah tersebut.
Kain selendang, kebaya serta kain songke memberikan nilai tersendiri dalam tarian Lipa Songke. Langkah kaki dari penari perempuan seirama dengan alunan musik khas Manggarai Raya memberikan keunikan tersendiri dari tarian ini.
“Lembaga ini terus melestarikan dan mengembangkan tarian-tarian khas masyarakat Manggarai Raya. Salah satu cara untuk mencintai tarian lokal ini adalah pelajar dilatih dan dipentaskan di berbagai event budaya di wilayah Manggarai Timur,” jelas Robertus.
Yoseph memaparkan, tarian ini tarian ungkapan kegembiraan dari masyarakat pasca panen. Bahkan, tarian ini ditampilkan pada malam hari di bulan terang.
“Saya bangga dengan pelajar Sekolah Menengah Pertama Waemokel yang selalu menampilkan budaya lokal seperti tari-tarian khas masyarakat Manggarai Timur. Saya berharap pengembangan dan pelestarian tarian ini terus dipertahankan dan menjadi ciri khas di lembaga ini,” katanya.
Kekayaan tarian khas masyarakat Manggarai Timur serta berbagai ritual-ritual budaya memberikan nilai tersendiri bagi wisatawan asing dan domestik yang berwisata ke wilayah Manggarai Timur.
Keaslian budaya serta tariannya mampu memikat wisatawan Eropa yang sudah pernah mengunjungi Manggarai Timur, seperti tarian Vera yang pernah menghibur wisatawan Perancis, tarian Wai Doka dan Umbiro disuguhkan kepada wisatawan Belgia. Tarian Padoa dari masyarakat Sabu di Manggarai Timur juga dipentaskan kepada wisatawan asing beberapa tahun lalu.
Menangkap peluang itu, Pastor Paroki Santo Arnoldus dan Joseph, Romo Hieronimus Jelahu memprogramkan pementasan tarian khas masyarakat di wilayahnya pada hari Ulang Tahun paroki di tahun ini.
“Saya bersama dewan paroki serta masyarakat di wilayah paroki siap menyelenggarakan pementasan budaya dengan melibatkan sekolah-sekolah yang ada disekitar paroki ini. Saya berharap Waelengga sebagai pintu masuk wisatawan ke wilayah Manggarai Raya menjadi pusat atraksi-atraksi budaya kepada wisatawan mancanegara dan domestik,” katanya.
Penulis | : Kontributor Manggarai, Markus Makur |
Editor | : I Made Asdhiana |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar